Wednesday, March 27, 2013

Komik yang Mendidik



Komik bisa mendidik? Ternyata bisa! Dalam artikel ini, PlotPoint ingin berbagi mengenai komik dan caranya mendidik yang merupakan hasil bincang #KamisKomik bersama komikus Oyasujiwo Poetranto (@oyasujiwo). Menurutnya, komik itu mendidik karena disadari atau tidak oleh pembuatnya, setiap komik sebenarnya sedang mengirimkan pesan. Komik pada dasarnya adalah media. Seperti media lainnya, komik adalah kendaraan untuk mengirimkan pesan. Komik yang dibuat dengan serius, dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tertentu agar pembaca jadi tahu, mau, bisa, dan biasa melakukan sesuatu.


Ada komikus yang memang ingin mendidik orang lewat komik, dan mendidik orang untuk ngomik. Komiknya berarti ‘komik pendidikan’. Pendidikan di sini tidak selalu berarti pelajaran sekolah, agama atau moralitas, dan nilai-nilai adiluhung. Ketika sebuah komik mengubah seseorang dari satu kondisi ke kondisi lain, maka komik tersebut sedang mendidik pembacanya. Ukurannya adalah: pertama, setelah membaca komik tersebut, orang menjadi tahu apa. Kedua, setelah membaca komik, pembaca merasa apa dan jadi mau apa. Di titik ini komikus perlu menyentuh emosi pembacanya. Komik yang bisa mengubah adalah komik yang bisa menggugah. Di sinilah komikus perlu ngomik dengan sepenuh hati. Apa isi hati komikus akan menulari pembacanya. Jika komikusnya galau sepenuh hati, dia menularkan kegalauannya, begitupula sebaliknya. Akhirnya bergantung kepada gaya hidup komikusnya juga , apa yang digunakan, apa kebiasaannya juga akan berpengaruh ke hatinya.


Ketiga, setelah membaca komik, pembacanya jadi bisa apa. Apa yg akan dilakukannya besok? Apakah pembaca melakukan hal baru? Dari tidak pernah melakukan satu hal, menjadi melakukan satu hal baru yang tidak ia lakukan sebelumnya, dari tidak bisa rapi menjadi bisa rapi. Dengan begitu komikus sedang mendidik pembacanya. Keempat, setelah baca komik, pembacanya jadi terbiasa apa? Untuk menjadi kebiasaan butuh konsistensi. Komik yang keluar satu dua kali, tidak bisa membentuk kebiasaan, harus terus-menerus secara berkala. Sebuah hal baru yang dilakukan selama dua minggu baru bisa disebut kebiasaan. Pertahankan sebuah kebiasaan selama 14 hari, otak akan menerimanya sebagai hal penting yang harus dilakukan terus menerus. Selanjutnya, otak akan mengingatkan terus, jika tidak dilakukan malah tidak enak. Dari kebiasaan, menjadi karakter, dan kemudian menjadi akhlak. 

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan