Thursday, April 26, 2012


Siang ini baru aja baca (atau lihat) buku "A Chance of Sunshine" karya Jimmy Liao. Yeah.. i know.. udah telat banget.., tapi tetep aja buku ini berhasil bikin patah hati. Buku ini juga pernah diadaptasi menjadi sebuah film berjudul Turn Left, Turn Right yang diproduksi oleh Warner Bros. Buat yang belum baca, ini dia cuplikannya:




Living right next door to each other
she's in the habit of turning left, 
while he's in the habit of turning right. 

The two have never met... 
until one morning. 

They cross paths in the park, 
beside the fountain. 

But fate steps in, and they go their separate ways. 
Hopeless in their search for one another,
their lives become a game of chance... 
with an outcome that neither of them could have expected.

Monday, April 23, 2012

Pernah Menjadi Matahari


Ia pernah menjadi matahari. Pada sebuah hari di mana malam begitu terang benderang karena kekuasaannya. Mengisap sari pati hidup untuk diturunkan kembali dalam bentuk hujan. Sejenak menguasai hakikatnya sebagai makhluk yang berkuasa. Menikmati setiap langkah yang dijejakkannya di muka bumi untuk dijadikan Cerita Hari Ini.
Silau. Demikian yang diungkapkan sekian banyak mata yang memandang wajah dan tubuhnya. Kehadirannya kala itu begitu utuh. Setiap bagian tubuhnya memancarkan kilauan. Sejak saat itu ia lebih sering berandai-andai di depan cermin. Mengharapkan sosok pangeran tampan mengalungkan seuntai kalung berlian di leher jenjangnya. Bukan seekor tikus werog yang gemar lalu lalang di ruangan sempit yang kini didiaminya bersama ibu dan adiknya. Ia bernama Sari. Namun, bagi setiap pria yang mengharapkan senyumnya mengembang lebih banyak, sebaiknya memanggilnya dengan sebutan Sabrina. Sebuah nama yang telah tersemat di lubuk hatinya semenjak sebuah film serial tv kegemarannya mengukuhkan nama Sabrina sebagai tokoh utama. Sabrina yang anggun, bergelimang harta dan memiliki kehidupan yang begitu mudah. Ia menatap Sabrina dengan kekaguman tanpa batas. Meski harus memungkiri dinding tempatnya tinggal yang separuh tembok separuh triplek dan berteman dengan makhluk penghuni selokan mampet yang menguarkan aroma tak sedap.
Panas. Kali pertama ia merasakan aliran darahnya terpompa begitu cepat sehingga hampir mendidihkan isi kepala adalah ketika menandatangani sebuah kontrak sinetron di usianya yang baru menginjak 20 tahun. Ia tak hanya memiliki aura matahari yang menyilaukan dari paras ayunya, tetapi juga kemampuan berakting yang mengundang decak kagum. Ternyata hidup tidaklah sesulit yang ia duga. “Siapa bilang aku hanya bisa menjadi Sari yang setiap hari harus mengais rezeki sebagai pegawai salon murahan untuk membiayai ibu yang sakit-sakitan dan adik yang tak henti berteriak minta uang jajan…,”sapanya lembut pada cermin di kamar tidurnya.
Ia menyadari jati dirinya yang telah berubah satu tahun belakangan ini. Kini dirinya bukanlah obyek yang hanya menanti kedatangan pelanggan-pelanggan salon Jennifer dan mengerjakan apa yang mereka minta. Ia adalah Sari yang baru. Subyek yang dinantikan kehadirannya oleh entah berapa juta pasang mata pemirsa televisi. Sari yang menjelma menjadi Sabrina yang dikaguminya.
Ia hampir menjadi matahari. Kala bunyi mesin mobil mewah lebih sering terdengar berhenti di depan rumah mungil nan asri yang dibelinya dari honor main sinetron. Ia banyak menghabiskan waktu dengan pemilik mobil tersebut. Di bar, di café, juga di kamar hotel.
“Kapan kamu akan menandatanganinya?” sahut sang pemilik mobil mewah datar.
“Apa yang aku dapat nantinya? Sesungguhnya waktuku dalam sehari tak banyak lagi. Sebagian besar nyaris habis di tempat syuting,” jawabnya lemas sambil menyibakkan selimut yang menutup tubuhnya. Di atas tempat tidur sebuah kamar mewah di hotel itu dirinya berkali-kali harus menerima kenyataan bahwa ketenarannya bukanlah sebuah kenikmatan tak berbayar.
“Berapa kali lagi harus aku ulangi? Suatu saat kamu akan mempunyai keturunan. Mereka membutuhkan biaya untuk hidup. Kamu pikir ada rumah produksi yang mau memberi pekerjaan padamu sepuluh dua puluh tahun lagi?”
“Keturunan? Maksudmu anak?”
“Ya! Apalagi?”
Ah, bahkan lelaki dengan mobil mewahnya itu tidak punya sedikitpun keinginan untuk melengkapi hidupnya, menjadi ayah dari anak-anak yang kelak dikandungnya, setelah apa yang telah mereka lakukan bersama. Ia hanya memikirkan kepentingan pribadinya. Keinginan kelompoknya untuk makin dekat dengan pusat kekuasaan di negeri ini.
“Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?” ia meminta ketegasan dari sang pemilik mobil mewah.
“Pekerjaanmu tidak sulit, Sayang,” suaranya melunak, memohon dalam kejengkelan yang tertahan.”Setelah menandatangani surat persetujuan, kami akan mengadakan semacam upacara pengangkatan. Setelahnya, kamu dapat mengikuti ke mana kami pergi. Membantu kampanye yang kami lakukan. Jangan khawatir mengenai akomodasi dan lain-lainnya. Semua terjamin. Kami ingin kamu punya keyakinan yang kuat untuk menjadi anggota kami. Dan setelahnya, kehidupanmu hingga lebih dari 20 tahun mendatang akan terjamin.”
“Apa ia pikir aku begitu mudah diberi janji,” bisik Sari dalam hati. Namun, Sari menyadari sepenuhnya bahwa karirnya di sinetron pun akan terancam seandainya ia tidak menyetujui ajakan tersebut. Kesempatannya mengulur-ngulur waktu pun sudah habis. Keputusannya tak dapat lagi ditangguhkan.
”Huh, manusia-manusia gila kuasa itu!” seringkali Sari mengumpat dalam hati. Ia tak lagi ingat betapa keinginan kuat untuk berkuasa pulalah yang telah menyeretnya ke situasi ini. Keinginan untuk menjadi matahari.
Di luar dugaan, keputusannya untuk mengikuti ajakan lelaki dengan mobil mewah memberinya kenyamanan hidup yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Mobil dan rumah mewah hanyalah pembuka. Menu dessert, kata orang-orang kaya. Setelahnya, segenap isi bumi seolah tunduk padanya. “Akulah matahari!” ucapnya pada semesta.
Ia memang pernah menjadi matahari. Setidaknya, bila dilihat dari kesungguhannya meningkatkan kehidupan ibu, adik-adik dan sanak keluarganya. Kesetiaannya mengunjungi panti asuhan dan rumah-rumah perawatan anak dengan kelainan tubuh ataupun mental. Mereka mendoakannya. Tanpa tahu untuk kepentingan siapa sesungguhnya sang matahari datang dan menengok mereka. Mereka adalah planet-planet mungil yang menanti kado apa yang di bawa untuknya. Kehangatan saja tidak cukup bagi mereka. Dan sang matahari selalu berhasil membelikan apa saja yang mereka inginkan. Ia tahu jumlah yang ia keluarkan akan kembali padanya dalam jumlah yang lebih besar. Cukup dengan keyakinan tersebut ia terus melangkahkan kakinya dari kecamatan ke kecamatan, kabupaten ke kabupaten dan bila perlu dari pulau ke pulau untuk berkampanye di bawah nama sebuah partai. Semua ia lakukan atas nama kesejahteraan. Seluruh bangsa… kalau ia tak salah menghafal.
Semestinya matahari tidak pernah takluk di bawah telapak kaki bumi. Karena seluruh penghuni di muka bumi menggantungkan hidupnya pada matahari. Bahkan khayalanpun tak akan mampir di kepala orang waras manapun tentang kemungkinan matahari yang bertekuk lutut itu. Namun, rupanya sinar yang menghidupkan segenap makhluk itu tak akan pernah mampu diwujudkan dalam lembaran kertas yang menyebutkan sejumlah nilai. Matahari sejatinya tak pernah menuntut apa yang telah diberikannya pada semesta. Oleh karenanya, hanya kesetiaanlah yang diperoleh matahari dari bumi dan planet lain yang menemani.
*
Hingga suatu saat, langkahnya melambat. Kiranya waktu telah memakan usia tanpa ampun. Sari, Sabrina, atau siapa pun ia, yang pernah menjadi matahari itu, ingin menghentikan langkahnya sejenak. Lebih dekat pada sang penguasa semesta. Bukan penguasa negara saja.
“Kita sudah menyiapkan pengacara”
“Lalu?”
“Juga dana yang lebih dari cukup untuk dibagikan ke seluruh staf kantor pengadilan”
“Aku tidak yakin kita dapat melewati ini semua begitu saja. Tahulah, harus selalu ada yang berkorban untuk menuntaskan kasus ini. Setidaknya untuk sementara waktu”
“Maksudmu?”
Sari mendengar suara tombol ditekan. Lalu seketika percakapan itu berhenti. Di hadapannya kini seorang lelaki bersahaja duduk. Sari hanya diberi waktu tak lebih dari 2 jam untuk berbincang dengannya. Ia perwakilan dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Seorang utusan teman baiknya kala masih sekolah. Teman yang tak pernah lagi diingatnya semenjak kesibukannya di sinetron dan berkampanye meningkat.
Lelaki bersahaja itu menyerahkan secarik surat yang berisi tulisan tangan teman sekolah Sari itu. Sari tak ingin waktu terbuang terlalu banyak. Ia segera membuka surat tersebut dan menelaah isinya.
Sari yang aku hormati,

Tanpa terasa waktu telah menyeret kita pada arus yang berbeda. Waktu kudengar kau memutuskan untuk membagi waktumu di sinetron dengan kegiatan kampanye, terus terang aku dihinggapi kekhawatiran yang sangat. Berpolitik tidaklah menyenangkan, Sari. Setidaknya, untuk sebagian orang seperti kita ini. Seperti aku dan kamu. Kamu yang aku kenal dahulu. Entah kalau sekarang. Harapanku kita masih sama.
Bersama surat ini adalah seorang pengacara yang dengannya kubawakan sebuah bukti tentang percakapan orang-orang yang mungkin kamu pikir pada awalnya mereka adalah dewa penolongmu. Penjamin kehidupanmu kelak. Banyak hal dalam hidup ini tidak lah seperti yang terlihat, Sari. Aku yakin kehidupan di dalam penjara banyak memberitahumu perihal itu. Sungguh aku tak pernah menginginkan kenyataan yang saat ini sedang kau pikul.
Aku tak dapat menebak bagaimana akhir dari kisah yang menimpamu. Yang aku tahu, seseorang telah menjebakmu dan menempatkanmu pada posisi sulit seperti sekarang ini. Siapa yang sesungguhnya bersalah, begitu kabur. Hanya karena aku mengenalmu lebih daripada yang lain aku menduga kau tidak melakukan kesalahan.
Berceritalah tentang segala hal yang kau tahu sejujur-jujurnya pada lelaki di hadapanmu kini. Aku berharap ia dapat membantumu.
Oya, selepas kuliah, lebih tepatnya setelah kau menolak pinanganku, aku mengejar bea siswa S2 ke luar negri. Aku sangat bersyukur akhirnya dapat melanjutkan kuliah di Amerika. Aku berangkat ke Amerika dengan hati yang tersisa dari lara membayangkan akan berada jauh darimu. Tapi Sari, tak ada yang perlu disesali dalam hidup ini. Tugas manusia di muka bumi ini adalah melangkahkan kakinya. Itu saja.
Salam hangat,
Bima

Sari menutup surat itu dengan mata berkaca-kaca. Ia menyesal telah menukar silau dan panas yang dimilikinya dengan helaian kertas bernilai nominal. Ia lupa akan tugasnya sebagai makhluk Tuhan di muka bumi ini. Makhluk Tuhan yang hanya diminta melangkahkan kakinya dengan hati dan nurani yang dimilikinya. Semudah itu.
Ia kembali ke dalam sel tahanan tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada lelaki bersahaja yang menanti kalimat-kalimat pembelaannya.
(Ditulis untuk #CeritaHariIni yang diselenggarakan oleh @_PlotPoint)

Curahan Hati Matahari

Curahan Hati Matahari
Matahari patah hati. Ia hampir membakar bumi saking emosinya. Ia bungkam seribu bahasa kepada Jagat Raya. Segalaksi tahu penyebabnya. Matahari cemburu kepada Bintang yang lebih dicintai Bulan. Matahari sedih. Matahari terluka.
Berjuta-juta tahun cahaya yang lalu, Matahari jatuh cinta kepada ciptaan Tuhan yang bernama Bulan. Sosok yang pernah ia dengar lewat cerita awan. Namun, Matahari langsung patah hati karena Bulan lebih memilih Bintang. Bintang yang lebih pandai bersolek darinya. Bintang yang lebih genit darinya. Bintang yang lebih bersinar darinya. Bintang yang ada di waktu yang sama seperti Bulan berada.
Matahari tidak habis pikir, mengapa waktu begitu egois terhadap dirinya. Sehingga ia hanya bisa merindukan Bulan di siang hari dan kehilangan Bulan di malam hari.Lalu Matahari mulai mencoba mengingkari janjinya kepada jagat raya. Ia mencoba tidak terbit tapi gagal, karena Tuhan tidak mengizinkannya. Tuhan memisahkan Matahari dan Bulan dengan paksa. Dengan tujuan yang Matahari—belum—tidak bisa terima.
Beberapa dekade, Matahari pun terbit dengan malas. Terbit malu-malu di balik awan. Ia menyurahkan segala rindunya pada awan. Meminta awan menyampaikannya kepada Bulan. Awan yang baik itu menyanggupi dan selalu menjadi tempat curahan hati Matahari.
Suatu hari, Matahari yang egois itu mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan tentang pertanyaan-pertanyaan yang sudah mengakar kuat di dalam auranya. Matahari marah semarah-marahnya. Tapi Tuhan hanya tersenyum.
"Ri, Tahukah kamu apa yang Tuhan katakan kepadaku saat itu?", tanyanya kepadaku.
Aku menggeleng.
"Tuhan bilang, Matahari yang mega pernahkah kamu bayangkan bagaimana jadinya jika Kau dan Bulan ada di dalam satu waktu yang sama? Aku jawab, kebahagiaanku. Kata Tuhan, aku egois. Aku bingung, Ri. Aku tidak mengerti maksud Tuhan.", jelasnya padaku.
Aku masih mendengarkannya bercerita.
"Kita tidak akan pernah mengerti maksud Tuhan kalau kita tidak percaya bahwa itu adalah benar. Maka, percayalah. Itu kata Ibuku.", kataku.
Matahari tersenyum teduh. "Ibumu wanita yang hebat. Tapi, Gadis, aku mengerti apa maksud Tuhan. Aku mengerti seiring berjalannya waktu. Aku ingin seperti Bumi dan Langit yang mampu mengatasi semua misteri Tuhan."
"Lantas apa? Katakan padaku, Matahari. Aku pun ingin seperti mereka."
Aku teringat cerita Matahari tentang Bumi dan Langit. Bumi dulu tidak sebijak sekarang, ia benci dirinya karena selalu dieksploitasi oleh manusia. Ia malah menginginkan dirinya berubah seperti Mars tapi seiring waktu Bumi belajar tentang kata bernama keikhlaskan. Ia ikhlas menjadi tempat lahir, berjuang dan kembalinya manusia. Ia bersyukur bahwa dirinya bisa menjadi tempat yang mampu berguna bagi makhluk lainnya.
Kalau Langit lain lagi, ia dulu benci sekali perbedaan. Terlalu banyak perbedaan bentuk yang datang kepelataran hatinya. Terlalu banyak karena dirinya luas sekali. Tapi kemudian ia belajar untuk menerima perbedaan bukan lagi melawannya. Lihatlah, sekarang Langit mampu menjadi sosok yang sangat lapang bagi siapa pun.
"Mengapa Tuhan memisahkan aku dengan Bulan karena itu adalah hal terbaik bagi kami semua. Bayangkan bagaimana jadinya jika siang hari ada dua penerang sekaligus yang besar?", tanya Matahari.
“Aku tidak bias membayangkannya! Mungkin aku bias buta karena cahaya terlalu menyilaukan mataku.”
“Gadis pintar.”, puji Matahari. “Lalu bayangkan bagaiana jika malam ada tanpa Bulan dan bintang?”
Aku pejamkan mata dan membayangkannya.
"Menakutkan! Hatiku bisa buta tanpa penerang seperti mereka di malam hari." 
"Ya, benar! Lagi pula aku cukup besar untuk melalui hari sendiri. Sementara bintang, mereka egois dan masih labil. Merasa masing-masing paling cantik hingga akhirnya terpecah menjadi titik-titik. Bintang lebih membutuhkan Bulan daripada aku."
"Wah, Matahari. Aku berharap mampu seperti Kamu.", harapku.
Matahari meyakinkanku kemudian ia berpesan, "Jalanilah hidupmu seperti Bumi bijak, yang ikhlas tersakiti. Atau seperti langit yang luas, yang menerima bentuk perbedaan dengan lapang dada agar tercipta kerukunan. Atau seperti aku, Matahari, yang mengerti bahwa yang terbaik itu tidak selalu yang terindah. Karena di balik semua itu, Tuhan mempunyai tujuan dan Ia meminta kita untuk tetap bersyukur dalam keadaan apa pun."
Aku masih belum tahu bisa atau tidak tapi aku akan mencobanya. Matahari berpesan agar aku berbagi ceritanya, Bumi dan Langit kepada kalian agar kalian bisa belajar untuk ikhlas, menerima dan mengerti.

Matahari Ini Tak Pernah Sama Lagi

Matahari ini tak pernah sama, tak sama seperti yang kemarin, tak sama seperti senin siang yang terik ini. Mungkin karena teriknya hingga menjadikan kafe ini sepi, menyisakan 4 orang yang sedang duduk dengan meja-meja terpisah. 2 orang tua yang seperti sedang bernostalgia akan kisah mudanya, seorang remaja yang sedang sibuk dengan gadget gaulnya, dan seorang lagi aku yang sedang menuliskan sebuah cerita. Cerita hari ini mengenai aku dengan Max, lelaki yang telah menemani ku selama 6 tahun, sampai akhirnya status in a relationship kami harus diganti. Dan matahari ini telah berubah.

Malam itu aku datang ke sebuah pesta. Pesta yang diadakan di rumah Max untuk merayakan cum laude S2 Manajemennya. Aku memakaifuchsia rosette dress dan membawa clutch bag pink dengan fullpayet. Baru setapak ku langkahkan kaki menginjak rumahnya, suasana klasik begitu menyelimuti seisi ruangan. Instrumen-instrumen Mozart berdentum mengayunkan kaki para tamu yang sedang berdansa, para pelayan yang mengedarkan kue-kue kering dan gelas-gelas berisi sampanye, persis seperti pesta para bangsawan. Sekitar 30 detik aku terpana menyaksikan pesta yang biasa hanya ku lihat di televisi ini dan kini pesta itu ada di hadapan ku.

Sunshine, kenapa diam saja? Ayo masuk.” Max memegang tangan ku dan membawa ku ke tengah-tengah pesta.
“Oh ya Max, selamat ya sayang atas kelulusan mu” ku peluk dan ku kecup pipi nya sebagai ucapan selamat.
“Terima kasih, cantik. Tapi maaf, aku harus menemani seseorang dulu, nanti aku akan kembali lagi” ucapnya sambil membalas kecupan

Aroma Axe Effect perlahan memudar seiring langkah kakinya menuju seorang wanita yang mengenakan strapless long prom dress merah yang begitu menggoda. Pelukan erat dan kecupan pipi menambah kesan keakraban mereka ditambah beberapa percakapan yang menggoreskan lengkungan senyum dan sedikit tawa kecil. Aku lebih memilih pergi mencari makanan yang mungkin bisa dicicip dari pada mulai menumbuhkan rasa cemburu yang tidak penting.

Almond cheese cokelat, klapertart, dan puding semangka tampak menggoda selera ku, namun aku hanya bisa mengambil buah-buahan yang tersaji untuk menjaga berat badan ku.

“Kau sudah makan?”
“Oh Max, urusan mu sudah selesai?”
“Sudah. Kau hanya makan buah saja?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Max, tak bisa ku tampik lagi kalau aku memang sedang dalam masa diet.

“Oh ayolah Sunshine, apakah kau masih mempertahankan diet konyol mu itu? Lihat lah tubuh mu, kau sudah tampak luar biasa malam ini. Untuk apa kau melakukan diet lagi?”

Sekali lagi. Hanya senyum yang bisa ku berikan atas pertanyaannya. Mungkin dia juga tidak tahu jika dress yang ku kenakan saat ini begitu sempit dan bahkan hampir tidak dapat ku pakai.

“Ya, baiklah. Kita lupakan dulu soal diet mu itu. Ada yang ingin ku bicarakan dengan mu. Mungkin ini akan sedikit mengejutkan mu, tapi…”

Max terdiam, tampak gugup dan sedikit kikuk. Aku terdiam memandang matanya yang tampak sedikit gusar.

Sunshine, ku rasa ini semua harus diakhiri…”
“Diakhiri? Apanya yang diakhiri?”
“Emmm…”

Belum sempat Max mengutarakan maksudnya, rasa geli di perut membuat ku sedikit merinding.

“Maaf Max, aku harus ke toilet sekarang. Bisa kau tunjukkan di mana toiletnya?”

Max mengarahkan telunjuknya ke ujung koridor. Aku berjalan cepat menuju ke sana dan menemui sebuah pintu di dalamnya.

“Kau lihat Max tadi?”

Seorang perempuan bertanya kepada orang lain di luar pintu, terdengar seperti sebuah percakapan yang terjadi di luar sana.

“Ya, dia tampak dekat dengan Selena, mantan pacarnya waktu SMA dulu”
“Oh ya? Wanita yang bergaun merah tadi itu Selena?”
“Ya, dia Selena”
“Jadi apakah mereka akan melanjutkan hubungannya yang dulu?”
“Aku tidak tahu, tapi mungkin saja begitu”

Aku segera membersihkan diri dan menekan tombol flush. Seperti tersambar petir, aku shock mendengar percakapan mereka. Tidak mungkin dia tega meninggalkan ku hanya untuk kekasih lamanya. ‘Akhir’ tadi Max mengatakan ‘akhir’. apa yang dimaksudkan Max dengan kata-katanya tadi? Apa yang diakhiri? Tidak mungkin dia meminta ku datang ke pesta ini hanya untuk mengakhiri hubungan kami. Aku terus bertanya-tanya, aku terus merasa curiga. Jantung ku berdetak kencang saat aku memikirkan untuk berpisah dengan Max, rasa takut ku menjadi-jadi hingga mata ku sedikit berkaca-kaca. Matahari ini mungkin tak pernah sama lagi, mendung kini menaungi ku masuk ke dalam pemikiran yang gelap dan kelam. 

Aku segera keluar dan menghampiri Max, namun sepertinya dia sudah bersama wanita itu. Dekat, sangat dekat jarak diantara mereka, sebegitu dekatnya hingga kaca yang telah tebentuk pecah mengeluarkan tetesan air yang mengalir menyusuri pipi ku. Max mengajak wanita itu ke tengah dan mengambil sebuah mic. Dia menatap ku dari kejauhan dengan wajah yang masih sama tegangnya seperti tadi.

“Aku minta perhatian kepada semuanya sebentar. Malam ini aku ingin mengumumkan sesuatu yang penting. Aku mempunyai kekasih yang bernama Joyce. Dia ada di depan sana mengenakan gaun berwanapink.”

Bak Miss Indonesia, semua mata tertuju kepada ku yang sedang terdiam canggung. Aku segera menghapus air mata supaya tidak merusak eye liner ku yang sudah ku bentuk selama berjam-jam.

“Aku ingin membacakan sebuah puisi untuknya. Puisi terakhir yang akan ku bacakan sebagai pacarnya. Ya, mungkin saja setelah ini aku tidak akan menjadi pacarnya lagi”

Sontak jantung ku berhenti meski hanya untuk sebentar. Kenyataan paling pahit yang ku bayangkan terjadi di depan mata ku. Di depan puluhan orang di pesta ini. 

Lantunan gesekan biola mengalun dari tangan wanita bergaun merah itu, sebuah puisi terucap dari mulutnya yang sedikit bergetar.

“Matahari ku, hidup ku hangat bersama mu
Meski kita tak lepas dari pertikaian
Meski ragu datang mengganggu
Tapi cahya mu tak hilang ditelan hujan

Matahari ku, kau lah yang pertama bagiku
Melelehkan es yang telah membeku
Merapuhkan hati yang keras membatu
Hingga membentuk ku menjadi yang baru

Matahari ku, kau lah yang terakhir untukku
Ijinkan ku menoreh senyuman itu
Membuat kita menjadi satu
Maukah kau menikah dengan ku?”

Alunan biola berhenti, matanya memandang ku dengan penuh harap, sepenuh harapan mata-mata yang kini menatap ku untuk menunggu sebuah jawaban.

“Aku… aku…” lidah ku kelu, tak dapat mengutarakan apa-apa, tak dapat berpikir apa-apa.
Max datang menghampiri ku, mendekat kepadaku dan memegang tanganku.

Sunshine, would you illuminate me every morning and be my wife?

Aku memeluknya. Mengucapkan beberapa bisikkan kata yang hampir tidak bisa ku keluarkan.

I do… I do…

Sinar ini muncul kembali sesudah awan gelap berkemul di hati dan pikiran ku. Kini matahari ini tak pernah sama lagi, seperti status kami yang tak pernah sama lagi, we are married now.

Hancur


Dia pun pergi...

Sagan terbang semakin tinggi, meninggalkan rumahnya, saudara-saudaranya, dan terutama sekali, ayah yang dibencinya. Melewati atmosfer dan antariksa yang terbentang di hadapannya, tujuannya hanya satu. Matahari.

*

Pada suatu ketika, di atas langit sana, tersebutlah Dewa Matahari, Sol. Dia memiliki tiga orang anak. Primus, Sagan, dan Tersius. Jika kekuatan Sol berasal dari matahari, ketiga anaknya memperoleh kekuatan dengan caranya masing-masing.

Dari ketiga anaknya, Sol paling suka dengan anak sulungnya, Primus, karena dia yang paling kuat dan patuh padanya. Dia juga sayang pada anak bungsunya, Tersius yang baik hati dan periang.

Sagan, si anak kedua, merasa terasingkan, karena berbeda dengan kedua saudaranya, dia kurang mendapat perhatian yang serupa dari ayahnya. Iri pun lambat laun memuncak menjadi benci. Dia benci ayahnya, juga kedua saudaranya.

Sagan pun meminta penjelasan dari ayahnya.
"Ayah, kenapa kau tidak menyayangiku seperti halnya kau menyayangi Primus dan Tersius?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu, Sagan? Aku menyayangi kalian bertiga, termasuk dirimu wahai putraku."
"Lalu kenapa kau jarang sekali berbicara denganku? Kau bahkan tidak pernah memandang wajahku."

Sol terdiam. Bukannya dia tidak mau memandang wajah anaknya itu, tapi dia tak berani. Ketika Sagan lahir, Sol melihat matanya dalam-dalam, dan menemukan sinar jahat di sana, berbeda dengan yang dilihatnya pada Primus, dan juga kemudian Tersius. Hal itu membuatnya waspada, karena setiap kali dia memandang Sagan, hawa jahat itu selalu terbayang di benaknya. Dia takut bahwa Sagan akan tumbuh menjadi dewa yang jahat.

Tanda-tanda itu pun tampaknya mulai terlihat, ketika Sagan seringkali melawan perintahnya. Selain itu, anak itu sulit diatur, dan kurang begitu akur dengan kakak-adiknya.

Sol meneguhkan hati dan menatap Sagan.

Mata merah itu, kembali memancarkan hawa jahat. Sol melihat pemandangan yang mengerikan. Dunia hancur, dan kematian di mana-mana.

"Pergi kau, iblis!" Sol berteriak dan memalingkan wajahnya, kemudian pergi meninggalkan Sagan.

Sagan remuk redam. Ayahnya mengusirnya dan menyebutnya iblis. Kepalanya serasa mendidih. Dia pun langsung melesat terbang meninggalkan kediaman Dewa Matahari.

*

Sol menenangkan diri di ruangannya. Gambaran akan kehancuran dunia membuatnya kehilangan kendali. Bukan anaknya yang tadi diusirnya, tapi pemandangan mengerikan itu.

Tapi tentu saja, Sagan yang sudah dikuasai amarah tidak memahami hal itu. Kebenciannya sudah semakin memuncak. Meski begitu, dia terikat oleh pantangan yang diberlakukan padanya dan saudara-saudaranya: Mereka tidak boleh menyakiti siapapun, manusia atau dewa.

Pantangan itu tidak memungkinkannya untuk melawan ayahnya secara langsung. Hal yang sama juga berlaku terhadap saudara-saudaranya, dan dia juga tidak diperbolehkan untuk mencelakai kaum manusia yang hidup di bawah mereka. Hanya ada satu hal tersisa yang terpikirkan olehnya. Matahari.

*

Sagan pun tiba di tempat tujuannya. Bola matahari yang luar biasa panas itu berada di hadapannya. Matahari adalah sumber kekuatan ayahnya, sekaligus sumber energi untuk seluruh kehidupan di tata surya.

Dia bertekad untuk menghancurkannya.

Kemarahannya tak dapat dibendung. Dengan memusatkan seluruh kebenciannya, Sagan mengerahkan segenap kekuatannya.

Primus boleh saja menjadi yang terkuat, tapi saat ini amarah Sagan telah membuatnya menjadi berkali lipat lebih kuat dari dia yang biasanya. Diarahkannya gelombang energi yang dimilikinya ke arah bola raksasa itu.

Matahari mulai bergolak. Gelombang yang dikerahkan Sagan sudah mencapai intinya. Bola raksasa itu kemudian menggembung,

dan kemudian meledak.

*

Ledakannya menimbulkan gelombang cahaya yang luar biasa, menyebar ke seluruh tata surya, dan menyebabkan suara yang bergemuruh, terdengar hingga ke telinga para penduduk bumi.

Kemudian semuanya menjadi gelap.

Bersamaan dengan hancurnya matahari, Sol sang Dewa Matahari pun kehilangan kekuatannya. Badannya roboh, dan dia pun mati.

Primus dan Tersius yang menyaksikan semua rentetan peristiwa menggemparkan ini mendatangi ayahnya, berniat untuk menanyakan penyebabnya. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati ayah mereka sudah mati.

"Ini pasti ulah Sagan. Ayo, Tersius, kita cari dia! Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," ucap Primus.

Mereka berdua pun terbang menyusul Sagan, ke tempat dimana matahari tadinya berada. Lagi-lagi mereka dibuat terkejut.

Tidak ada siapa-siapa di sana.

Yang ada hanyalah serpihan-serpihan cahaya, hasil dari ledakan maha dahsyat barusan.

Mata Primus menangkap sesuatu. Serpihan-serpihan lain yang tidak bercahaya. Dia menyentuh salah satunya, kemudian menoleh ke Tersius dengan pandangan prihatin.

"Sagan."

Rupanya ketika matahari meledak, Sagan ikut hancur bersamanya.

*

Primus dan Tersius pun kembali, mendapati dunia yang gelap gulita. Situasi yang mereka hadapi sungguh berat. Matahari lenyap, ayah mereka sang Dewa Matahari pun tiada, dan seluruh tata surya diambang kehancuran akibat tiadanya cahaya.

Mereka bisa mendengar suara-suara di bawah sana. Panik, takut, putus asa.

Tanpa Sagan, hanya mereka berdua yang tersisa untuk melanjutkan tugas Sol sang Dewa Matahari. Bagaimana mereka akan melakukannya?

Tersius perlahan berkata, "Kita harus membuat matahari yang baru."
Primus mengangguk.

Bersama-sama, mereka membangun kembali matahari, yang bisa menjadi cahaya bagi dunia. Biarpun membutuhkan waktu yang lama, ditambah lagi dengan suasana yang tak menentu karena kegelapan ini, mereka yakin bisa melakukannya, dan menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Demi ayah mereka, dan demi saudara mereka yang mati dalam kebencian.


-END-



*ditulis untuk #CeritaHariIni,
dikembangkan dari postingan lama berjudul anak dewa matahari.*

Ikan Kaca


#Cerita hari ini tidak akan ada, jika setengah tahun yang lalu Raka tidak mengambil cuti untuk bulan madunya. Raka adalah salah satu rekanku di sebuah koran internasional. Jadi, hari selasa enam bulan yang lalu, aku berangkat menggantikan Raka ke sebuah perkampungan di daerah pesisir. Total 13 jam aku berada di perjalanan. Dua kali ganti kereta api dan sekali menumpang mobil angkutan barang untuk sampai di perkampungan itu. Tentunya rasa lelah luar biasa menghantamku, namun ini bagian dari resiko pekerjaan yang kupilih. Sebagai wartawan, aku harus mencari informasi hingga ke lubang tikus sekalipun. Angin dingin dan gerimis menyambut kedatanganku di perkampungan itu. Setelah bertanya kepada warga sekitar, aku dituntun menuju rumah kepala desa.
“Apa yang membuat kau datang kemari?” tanyanya ketika melihat kartu identitasku.
Kuceritakan apa yang membuatku rela naik kereta api selama sepuluh jam, ditambah tiga jam berada di samping supir angkutan barang.
“Jadi orang kota mulai tertarik dengan ikan kaca kami?” tanyanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku mengangguk “Kalau diizinkan, saya akan menginap 2 malam di rumah bapak dan ikut nelayan pergi menangkap ikan kaca.” kataku langsung. Rasa kantuk dan lelah selama perjalanan mulai mengerogotiku. Kepala desa terlihat menimbang sejenak “Kamu bisa tidur dengan Budi, anak laki-laki saya. Soal izin ikut berlayar, kau tanyakan sendiri pada para nelayan itu.”
Aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Ahmat, kepala desa. Hal pertama yang kulakukan adalah membasuh diri, mengingat kurang lebih 13 jam aku belum membersihkan diri. Untuk sementara, badanku kembali segar. Aku meminta Budi untuk menemaniku menemui para nelayan. Seperti kata kepala desa, agak sulit membujuk mereka. Namun setelah kujanjikan akan ikut membayar sewa kapal, mereka setuju.

***
Bergulung-gulung ombak menghantam kapal kami. Dengan pencahayaan seadanya, kapal kami menjadi terang di antara gelapnya pagi. Perutku mulai terasa mual dan angin dingin membuat wajahku kebas. Entah berapa kali air masuk ke dalam kapal kami. Bukan perkara mudah menangkap ikan batinku. Setelah beberapa saat, kapal pun berhenti. Dengan terlatih, para nelayan mulai menebarkan jala dan setelah penuh, jala akan diangkat dengan cara ditarik. Aku ikut membantu mereka menarik jala. Kulihat dari jaring-jaring jala itu, sesuatu yang berkilauan. Ikan kaca. Aku mendekatkan diri berusaha melihat lebih dekat. Kulit ikan itu seperti dibalut aluminium. Siripnya bening, dan panjangnya sekitar 90 cm. Segera ku keluarkan kamera untuk mengabadikan ikan kaca itu. Entah apa rasanya pikirku. Kesempatan mencicipi ikan kaca justru datang malamnya. Budi mengajakku ke warung milik pacarnya.
“Kenalin, ini Fitri pacarku” kata Budi.
Gadis itu tersenyum dan mengulang namanya.
“Satria” kataku memperkenalkan diri.
Fitri membawa tiga piring nasi, satu lalapan dan tiga ekor ikan kaca yang telah dimasak.
“Ayo dicoba” tawar Fitri yang segeraku iyakan.
Memang hanya ikan kaca itu yang membuatku penasaran. Sebelum mencoba, aku mengeluarkan kamera dan mengambil gambar masakan Fitri. Rasanya seperti ikan biasa, tapi dagingnya lembut dan segar.
“Enak kan? Di kampung ini, warung Fitri terkenal dengan masakan ikan kaca bakarnya” kata Budi sembari berpromosi.
Aku mengangguk. “Enak banget! Tapi rasanya sedikit manis ya?”
Fitri dengan semangat menceritakan proses pembuatan ikan bakarnya. Suaranya berbaur dengan hujan deras di luar. Hingga kami selesai makan, hujan masih saja deras. Membuat aku tak bisa pulang dan beristirahat. Sedangkan Budi, terlihat asyik mengobrol dengan pacarnya.
“Jadi ibu kota itu seperti apa?” tanya Fitri tiba-tiba.
Bingung harus menjawab apa, aku mengambil kameraku dan memberikannya pada Fitri “Di dalam ada foto ibu kota”
Ia dan Budi melihat dengan antusias. Di dalam kamera itu ada foto gedung kantorku, foto-foto demonstran yang menolak kebijakan pemerintah, foto jembatan rusak, foto banjir dan segala sesuatu yang kuliput.
“#Matahari yang cantik” gumam Fitri.
Rupanya mereka terhenti di foto yang iseng kuambil dari atap kantorku. Matahari senja dikelilingi gedung bertingkat.
“Suatu saat aku akan melihatnya langsung” kata Fitri sambil mengembalikan kameraku.
“Kita” tambah Budi mantap.
Aku menatap mereka berdua “Melihat ibu kota?”
Fitri menggeleng. “Melihat #Matahari”
Kali ini aku tertegun. “Memang di sini tidak ada #Matahari?”
“Memangnya kamu pernah melihat #Matahari di sini?” tanya Budi balik.
Memang selama dua hari ini, langit terlihat mendung. Tapi aku mengira itu karena musim hujan.
“Selama dua puluh tahun aku tinggal disini, tidak pernah sekalipun #Matahari terbit. Kata ibuku, mungkin jika langit kami terang, pasti laut kami akan bercahaya karena terpantul oleh kulit ikan kaca”
Aku membayangkan ucapan Fitri. Sepanjang malam kami sibuk membahas 'keajaiban' di kampung mereka. Dalam hati aku mencatat setiap informasi baru yang mungkin berguna untuk artikelku.

***

Kereta api itu berjalan lambat. Kereta api yang sama ketika membawaku enam bulan yang lalu, tapi kali ini dengan penumpang berbeda. Dari jauh, aku melihat Budi dan Fitri tergopoh-gopoh dengan bawaan mereka. Segera aku menghampiri mereka.
“Satria!” teriak Budi.
Hari ini, enam bulan sejak pertemuanku dengan Fitri dan Bayu, kami berjumpa kembali. Dari surat yang dikirim Fitri sebelum mereka datang, ia menceritakan bahwa sejak kedatanganku enam bulan yang lalu, hidup mereka berubah. Banyak orang asing yang penasaran dengan ikan kaca, dan ingin mencicipinya langsung. Karena itu, warung ikan kaca bakar milik Fitri mulai ramai dipenuhi wisatawan. Bahkan menteri perikanan sempat datang berkunjung kesana. Jalanan ikut di aspal, karena waktu itu menteri akan datang. Menteri juga berjanji akan membantu mereka dalam mendapatkan listrik yang memadai. Pendapatan penduduk pun sedikit membaik, karena mereka juga menyediakan penginapan di rumah mereka. #Matahari tetap tidak terbit di perkampungan itu, tapi secercah harapan baru terbit di hati setiap penduduk perkampungan.
“Ayo! #Matahari sudah menunggu kalian.” kataku. Oh ya, istriku juga bernama #Matahari.

SURYA, MUSUH MATAHARI


IYAN
Aku ingat betul, kejadian waktu itu. Terjadinya memang sudah lama sekali, sekitar 30 tahun lalu. Namun masih kuat ingatanku tentang itu, seakan-akan baru terjadi kemarin. Mungkin benar kata-kata psikolog-psikolog kenamaan di TV itu, bahwa yang namanya ingatan masa kecil akan selalu terekam dalam memori otak dan terbawa sampai dewasa. Apalagi jika sebuah peristiwa sangat berkesan atau meninggalkan trauma mendalam pada anak, seperti perceraian orangtua, kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan sebagainya. Hal itu akan berpengaruh terhadap sifat dan karakter seorang anak. Begitu pula peristiwa yang kualami 30 tahun lalu yang menginspirasi masa depanku.
#Ceritahariini bermula saat aku akan masuk Sekolah Dasar. Walaupun kejadiannya sudah lama sekali, aku merasa masih bisa membaui, melihat, dan mengecap suasananya kala itu, seakan jiwaku kembali ke badanku yang kecil.  Ibu menggandeng tanganku yang gemetar. Aku, si penakut dan pemalu, mencengkeram tangan dan rok ibuku kuat-kuat. Aku ingat, aku begitu penakut waktu itu. Apalagi saat melihat kerumunan anak-anak SD lain yang sepertinya pemberani dan galak. Aku berlindung di belakang rok ibuku yang lebar saat melewati halaman sekolah yang tanahnya keras dan tandus. Dan di hadapanku, ada gedung sekolah yang sangat besar bagi anak sekecilku. Padahal, bangunan sekolah tua dari kayu itu tidaklah besar. Namun, saat itu, sekolah dasar hanya ada satu di kampung kecil nan terpencil ini. Tidak ada pilihan lain daripada tidak sekolah. Taman Kanak-kanak saja belum ada. Namun jika dibanding sekarang kondisi kampung ini memang jauh lebih modern dan telah menjelma menjadi kota, terutama setelah pembukaan hutan untuk jalan raya dan jembatan yang otomatis membuka akses transportasi serta adanya otonomi daerah juga membuat pembangunan dilakukan jor-joran.
Saat aku akan masuk ke kelas, aku melihat pemandangan yang ganjil namun menarik di sudut sekolah. Aku melihat seorang anak yang tampak…beda. Aku melongo karena takjub. Bahkan langkahku sampai terhenti dan rok lebar ibuku itu sampai kulepas saking herannya. Ibuku langsung memaksaku terus berjalan.
“Ayo, Yan. Kenapa berhenti?! Ayo cepat masuk kelas!” ujar ibuku menarik tanganku.
“Ibu…kenapa anak itu aneh bu?! Kenapa tubuhnya putih?!” tanyaku.”Dia anak mister turis ya?” Aku menyebut orang-orang bule itu dengan sebutan ‘mister turis’ karena jika ada turis wisatawan asing yang melintas selalu dipanggil ‘mister!’ oleh anak-anak.
“Huss…kamu nggak boleh bilang macam-macam tentang anak itu. Nanti badanmu juga kena kutuk jadi putih!”
“Memangnya itu kutukan, Bu?!” tanyaku dengan polos.
“Itu buktinya! Anak itu dapat kutukan dari ibunya! Makanya dia terkena penyakit itu. Makanya kamu jangan nakal sama ibu. Dan ingat, jangan dekat-dekat sama anak itu! Nanti kamu ketularan! Kamu nggak mau kulitmu seperti itu, kan?” kata ibuku setengah menakutiku.
Aku mengangguk. Namun aku masih memperhatikannya melalui sudut mataku. Walaupun ia terlihat ajaib di mataku, namun ia ternyata sama penakutnya seperti aku. Ia sepertinya sebaya denganku dan juga digandeng oleh ibunya, namun ia masih memohon-mohon supaya tidak usah sekolah. Melihatnya yang hampir menangis membuatku iba. Takutku berangsur hilang. Aku takjub melihat kulit pucatnya yang justru tampak indah dimataku.

SURYA
Surya Priadi. Itulah namaku. Surya, berarti matahari. Priadi, berarti pria yang adi/ bagus/ utama. Nama Surya adalah nama yang sangat populer. Namun, makna nama itu sangat kontradiksi dengan kondisiku sekarang. Namaku memang Surya, namun matahari adalah musuh utamaku. Berlama-lama di bawah matahari sangat menyakitkan bagi mata dan kulitku yang ‘tembus pandang’. Aku seorang albino. Oleh karena itulah, aku sangat tidak ingin sekolah, hanya itu yang ada di benakku 30 tahun lalu, saat aku akan masuk SD. Jika saja ada sekolah khusus orang aneh, aku mau. Tapi sayang, satu-satunya sekolah dasar yang ada, hanyalah untuk mereka yang normal. Sementara aku tidak.
Aku tidak benci dengan sekolah. Aku suka sekali belajar, tapi tidak di sekolah.
Yang kubenci dari sekolah adalah manusianya. Teman-teman di kelas, guru-guru, orangtua murid, dan staf sekolah. Aku benci dengan pandangan ingin tahu mereka, bisik-bisik mereka dibelakangku, bahkan kata-kata mereka yang mengejekku. Aku benci menjadi pusat perhatian. Aku benci karena aku terlalu berbeda. Aku benci kondisiku yang membuatku tidak punya teman. Aku ingin sekali punya teman, tapi sepertinya anak-anak di kampung ini takut padaku. Aku ingin sesekali berlari bersama mereka, berenang di kali, bermain layangan, petak umpet, apa saja. Namun, terlepas dari ketakutan mereka terhadapku, walaupun aku ingin pun, aku toh tetap tidak bisa bermain bersama di bawah sinar matahari. Sinar matahari menyakitkan bagiku, mata dan kulitku tidak tahan, rasanya seperti terbakar. Sinarnya menjadi musuh bagiku. Tak heran jika aku hanya beraktivitas di dalam ruangan. Itu mungkin yang membuatku hobi membaca. Aku selalu ingin tahu, dan rasa ingin tahu itu selalu terpuaskan saat aku membaca. Untunglah ayah ibuku cukup kaya untuk membelikanku berbagai buku yang kusuka. Namun, jika aku bisa membayarnya, aku ingin sekali bisa bermain dengan teman. Sayang, aku tidak punya pilihan itu, dan menjadi seperti ini juga bukan pilihanku.

IYAN
Aku sekelas dengan anak ‘mister turis’ itu. Jelas saja dia mengundang kehebohan. Kami, anak-anak kampung ini, baru pertama kali melihat ada anak dengan penampilan seperti turis itu di kelas kami. Namun, ia beda dengan turis-turis yang pernah kulihat. Yang jelas, warna rambutnya putih sekali, bukan kuning emas atau cokelat seperti bule. Matanya juga bukan berwarna biru atau hijau, tapi sedikit merah. Sementara itu kulitnya sangat pucat. Bule sekalipun masih ada warna kecokelatan seperti terbakar matahari, namun anak ini tidak. Kulit putihnya tidak wajar, bahan bisa dibilang tak berwarna. Bahkan, kulit putih temanku yang keturunan Tionghoa, Acong, tidak seputih itu. Selain itu, yang paling membuatku yakin dia bukan anak bule adalah hidungnya yang pesek dan tidak mancung. Kalau rambut dan kulitnya berwarna seperti aku, aku yakin ia layaknya pribumi biasa.

SURYA
Aku sudah bilang, sekolah adalah mimpi burukku. Walaupun ibu guru menjelaskan di sekolah bahwa aku hanya mengalami kelainan bernama albino, dan sama sekali tidak menular, tetap saja saat itu satu sekolah takut padaku. Kultur masyarakat 30 tahun yang lalu memang belum mengenal albino. Mereka bahkan mengarang cerita bahwa aku ini anak yang terkena kutukan orangtua. Mereka bilang ibuku pernah menghina turis atau anak turis, sehingga aku pun dilahirkan seperti turis. Ah, benar-benar roman picisan yang tidak benar.
Namun, walaupun sepertinya semua orang menjauhi aku, aku tahu, ada satu anak, yang diam-diam memperhatikanku. Aku kadang memergokinya sedang melihat ke arahku, tetapi aku melihat tatapan yang bersahabat, bukan jijik atau ketakutan. Dari absensi, aku tahu namanya Adi Sofhian. Namun, rendahnya kepercayaan diriku membuat aku tidak berani berharap banyak, karena aku terlalu yakin tidak ada anak yang mau berteman denganku. Kalaupun mau, pastilah ia cukup gila karena ia tak lama akan dijauhi pula. Tak tega rasanya jika orang lain mengalami kesepian seperti yang kurasakan.

IYAN
Dari absensi aku baru tahu, namanya Surya Priadi. Nama yang sangat khas Indonesia, bukan George, Jack, Colin, atau Peter. Setidaknya aku jadi 100 persen yakin bahwa ia anak kampung ini juga, seperti aku. Aku mengamatinya diam-diam, sesekali aku ingin sekali mendekatinya, namun aku masih takut. Apalagi, semua anak di sekolah sudah terlanjur menyebarkan gosip-gosip yang tidak benar. Aku ingat, saat itu ia dijauhi oleh murid lain. Anak-anak begitu takut, kelainan kulitnya itu akan menular. Kemanapun ia pergi, ia pasti menjadi pusat perhatian. Ahhh…aku jadi kasian melihatnya. Aku beruntung sekali punya banyak teman. Sementara anak itu?  Tidak ada yang mau menjadi temannya. Pantas saja ia menjadi penyendiri.

 Setelah berminggu-minggu hanya menjadi pengintai, aku memberanikan diri untuk menyapa Surya, yang seperti biasa, duduk sendirian menunggu ibunya menjemput dengan sepeda motor. Sekolah sudah hampir sepi. Rata-rata semua anak pergi pulang jalan kaki, atau bersepeda. Sepeda motor saat itu adalah barang mewah. Orangtua Surya sepertinya memang cukup berada di masa itu.
Dengan sedikit gugup, aku menyapanya, “Hai.” Ia melongo sebentar, kemudian ia menggeser badannya ke samping, memberi tempat untukku agar duduk di kursi panjang itu. “Ibumu belum datang ya? Ibumu memang lama ya, kalau jemput kamu?” tanyaku basa basi.
“Hari ini ibuku memasak untuk kantor ayahku. Jadi mungkin aku dijemput setengah jam lagi,” jawabnya.
“Oh, kalau gitu, kita pulang sama-sama, yuk! Rumahmu nggak jauh dari sini, kan? Kita jalan kaki!” Aku menawarkan dengan bersemangat.
Ekspresinya terlihat sedih saat aku mengatakan itu. “Maaf, Yan. Aku nggak bisa jalan kaki sekarang. Cuacanya terlalu panas.”
“Lalu kenapa?” aku terus bertanya, karena memang tak paham.
“Aku nggak pakai celana panjang, aku juga nggak bawa kacamata hitam. Kalo naik motor sih, nggak masalah. Tapi kalau jalan kaki, aku nggak bisa.”
Aku menampakkan wajah bengong. Aku betul-betul tak paham.
“Kamu nggak tahu maksudku?” katanya dengan wajah keheranan. Ia pun menjelaskan tentang penderitannya sebagai albino selama ini, bahwa ia tidak bisa berlama-lama di bawah sinar matahari. Aku semakin takjub dengan hal-hal di luar akalku ini.
“Oh…makanya aku nggak pernah liat kamu sebelum masuk sekolah.”
“Aku memang hampir nggak pernah keluar rumah, kecuali sekolah. Sinar matahari menyakitkan mata dan kulitku. Aku juga takut diejek.”
Ah, ibunya datang. Jika ibunya terlambat sedikit lagi, aku yakin aku pasti akan bertanya terus padanya.

SURYA
Selama beberapa minggu, aku dan Iyan menjadi teman baik. Ia sering kuundang kerumahku, dan kupinjamkan buku-bukuku. Sebaliknya, ia megajariku bermain layang-layang, bermain petak umpet, bola, dan semacamnya. Tentu kami tidak bisa melakukannya lama-lama di luar ruangan. Aku pun berpakaian lengkap, dengan topi serta kacamata hitam. Walaupun begitu ia mengajariku untuk tetap menikmati permainan itu. "Nggak masalah kan, mainnya cuma sebentar. Yang penting kita senang." Namun, ia diam-diam bertemu denganku di rumah. Di sekolah pun, teman-temannya yang normal menjauhinya sedikit demi sedikit karena takut ia sudah membawa 'kuman albino' itu. Ia bilang, ayah ibunya pun sebenarnya melarangnya berteman denganku. Mereka takut kelainanku ini menular. “Terus, kamu tidak takut padaku?” tanyaku padanya suatu hari. Ia menggeleng. “Ibu guru sudah bilang kalo albino-mu nggak menular. Aku juga udah baca bukumu, dan albino itu keturunan dari orangtua. Aku nggak takut. Kita sama. Cuma kamu putih, aku hitam.” Dia kemudian tertawa. Aku pun ikut tertawa bersamanya sambil bercanda membandingkan warna kulit kami yang kontras. “Aku ingin jadi dokter,” katanya. “Semenjak lihat kamu pertama kalinya, Aku ingin tahu kenapa ada yang putih sepertimu, atau normal sepertiku.” Aku tersenyum. Aku senang karena telah menginspirasi sahabat pertama dalam hidupku.

IYAN
Aku tidak menyangka kebersamaan kami begitu singkat. Ia hanya tiga bulan di sekolah ini. Penyebabnya sangat tragis. Orangtua murid protes pada sekolah. Ketidaktahuan dan kebodohan membuat mereka yakin bahwa albino adalah kutukan dan bisa menular. Mereka tidak ingin membahayakan keamanan dan kesehatan anak-anak mereka. Orangtuaku, sayangnya, adalah salah satu orangtua yang sangat mendukung dikeluarkannya Surya. Sekolah setuju, karena percuma menjelaskan hal-hal yng bersifat ilmiah, sementara orang-orang di kampung ini hanya percaya pada klenik. Daripada anak-anak satu kampung tidak sekolah, orangtua Surya yang bijaksana setuju untuk mengeluarkannya. Kudengar dari ibunya, Surya dipindahkan ke tempat keluarganya di Surabaya. Di sana, ia bisa melanjutkan sekolah tanpa takut dianggap kutukan karena warga di sana sudah lebih maju pola pikirnya, tidak tradisional lagi. Dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan Surya. Aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal.

                                                                               ******
“Dok, pasien terakhir hari ini baru saja datang,” kata Santi, asistenku. Ia mengagetkanku tentang lamunanku di masa kecil dulu. Pasien itu pun mengetuk pintu saat aku mempersilakan. Aku tercengang. Sungguh. Tubuh dan rambutnya yang putih pucat tampak sama dengan warna putih di tempat praktikku. “Dr. Iyan?” tanyanya sambil tersenyum.
"Surya!"

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan