Monday, April 9, 2012

Ini Cerita Siapa?





Oleh: @sbdrmnd 


1
Alana mematut-matut dirinya sendiri di cermin. Hey pangantin dalam cermin, kamu sungguh cantik! Apakah jujur? Tentu saja tidak, sebab cermin suka berbohong. Ia selalu mengatakan yang kiri adalah kanan dan yang kanan adalah kiri. Sudahlah, tidak ada waktu untuk berdebat soal itu. Tidak. Lelakimu sudah menunggu. Jangan pula kita permasalahkan kalimat cermin tadi, “Kamu bukan cinta pertamanya….” Benar! Alana, kamu mungkin cinta ke-empat-puluh-satu-nya. Tak apa, toh masih ada angka satu di sana. Meski letaknya paling akhir. Dan kamu mungkin juga bukan satu-satunya dokter yang menikahi pasien. Santai, Alana. Pandangi cermin itu, maka kamu akan melihat seorang dokter cantik yang sedang sibuk mematikan bara rokok nakal yang melompat dan mendarat tepat di bagian perut. Meninggalkan lubang kecil di gaun pengantin. Membekas. Menganga. Seperti luka yang menolak lupa. Seketika matamu langsung berubah menjadi lup, memperbesar lubang kecil itu hingga kamu bisa melihat serat-serat benangnya. Hitam menggumpal seperti cendawan raksasa di langit Hiroshima pada suatu hari di tahun 1945, kesamaannya? Tentu saja sama-sama mematikan. Sebab kita tak lagi bicara soal percikan bara, kita sedang bicara soal luka yang menganga dan lupa cara melupakannya. Kamar ini terlalu kuning untuk isi kepalamu yang abu-abu, terlalu cerah untuk hati yang marah.



2
2 tahun lalu lelaki itu datang padamu memohon disembuhkan, hampir gila ia dimakan dirinya sendiri. Atau mungkin ia menikmati sakitnya sendiri sebab tidak kamu temukan raut penyesalan di wajahnya. Yang mungkin adalah wajahmu juga. Kita bicara tentang seorang lelaki pintar, ia membuatmu terkesima dengan segala pengetahuannya, ia membuatmu terkagum-kagum dengan cerita-ceritanya yang luar biasa, ia juga membuatmu meleleh ketika ia menyanyikan sebuah lagu  cinta. Tak cukup sampai di situ, ia nyaris merebut semua yang kamu punya ketika ia menunjukan sketsa wajahmu, Alana. Namun, ya, tetap saja ia sakit jiwa. Kata sakit jiwa mungkin terlalu sadis untuk mendeskripsikan seorang lelaki yang setelah tertawa terbahak-bahak bisa tiba-tiba menangis tersedu. Ah, kamu jatuh cinta Alana. Jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Jatuh yang melayang-layang di angkasa.

3
Sejak saat itu, hampir setiap senjamu dihabiskan bersamanya di sebuah kafe depan jalan. Kamu boleh saja menyebutnya pendekatan untuk proses penyembuhan, kita semua tahu itu hanya alasan saja, mudah ditebak dari caramu menatap matanya. Menyelami bola matanya dan kamu menemukan dirimu sendiri di sana, duduk meringkuk seperti itik buruk merindukan seekor pelanduk yang justru malah merindukan pungguk, kita sama-sama tahu Alana, pungguk selalu merindukan bulan meski kenyataannya justru Neil Armstrong lah yang lebih dulu sampai disana. Jarakmu dengannya sedekat jarak kelingking dan jari manis, namun ‘aku’ tak menginzinkan ‘kamu’ dan ‘dia’ untuk bertemu. Tatapannya bukan cinta, Alana. Tatapan itu adalah tatapan milik seorang budak yang lelah mengahamba.  Ia justru ingin merdeka darimu. Jika pertanyaannya adalah: Lelaki normal mana yang mampu menolak wanita secantik kamu? Maka jawabannya adalah: Lelaki di hadapanmu bukan lelaki normal, Alana. Hihihi. Ini lucu, sekaligus membuktikan bahwa kepribadian lebih penting dari inteligensi. Seorang dokter bisa cinta mati pada pasien yang bahkan tak kenal dirinya sendiri.

4
Coba kamu hitung, berapa gelas bir kamu habiskan hanya untuk mendengarkan cerita-cerita kacaunya? Mulai dari suara-suara aneh yang kerap singgahi telinganya hingga tragedi alien yang menculiknya. Dari pohon kelapa yang bisa berdansa hingga lukisan yang bisa bercerita. Hatimu terlanjur menyetujui kisah ini; perempuan itu diperkosa oleh setan-setan dalam bentuk paling nyata, bukan yang berbadan merah, bertanduk dan berekor runcing, sementara suaminya ‘hilang’ entah kemana. Pula terlarut kamu dalam kisah ini; hinaan…. Anak setan! Bapaknya PKI! Anak PKI! Kafir! Ibumu pelacur GERWANI! Dan ah, apalagi yang lebih menyedihkan selain kehilangan teman di masa kanak-kanak? Lelaki itu pun tak punya alasan yang tersisa untuk mencegah munculnya teman-teman yang lebih nyata? Yang merangkak dalam kepala, yang tak pernah menjadi tua, yang bisa menerimanya sebagai manusia tanpa perlu pembuktian apa-apa. Alana, hidupmu adalah hidup lelaki itu juga. Kamu tentu menyadarinya. Ini lebih dari sekedar kebiasaan orang jatuh cinta yang suka mencocokkan zodiaknya dengan zodiak orang yang dicintainya. Ini lebih dari sekedar kebiasaan orang jatuh cinta yang cenderung jadi suka pula apa yang disukai orang yang dikaguminya. Ini lebih dari kebiasaan, sebab ini cinta yang di luar kebiasaan. Kamu tentu tahu itu, kamu terlalu pintar Alana, terlalu pintar. Hanya terlalu pintar.

5
Kini, lelaki itu akan menjadi pendampingmu. Seumur hidupmu. Menyesal kah kamu? Andai kamu tidak tahu masa lalunya, andai kamu tidak tahu siapa cinta sejatinya, andai kamu…andai kamu…. Kamu bahkan sudah hidup di masa lalunya, mencintai juga perempuan cinta pertamanya. Perempuan yang merupakan satu-satunya manusia yang masih menganggap lelaki itu manusia. Merasakan juga bagaimana dikucilkan di sekolah, di rumah. Menyedihkan sekali kamu? Bumi ini seperti penjara bagi lelaki itu, begitu pula bagimu. Padahal kamu pintar Alana, terlalu pintar untuk takluk pada cinta yang bahkan tak diketahui bagaimana bentuk dan rasanya dan seharusnya itu jadi hal kecil untuk orang pintar sepertimu. Banyak orang bilang cinta itu buta, tapi orang buta juga bisa baca huruf Braille, masih mungkin menerka dimensi ruang, masih bisa berjalan tanpa perlu ditopang. Buta tidak sama dengan lemah, apalagi dengan lumpuh. Kamu, Alana, kamu lumpuh yang bahkan lebih lumpuh dari orang lumpuh. Menyedihkan. Mengingat kamu yang bodoh dulu seperti berjalan dalam ruang gelap dengan mata terbuka sementara kini kamu yang pintar justru berjalan dalam ruang terang dengan mata tertutup. Seperti apa rasanya bermain catur dalam ruang gelap? Persis seperti apa yang kamu rasakan sekarang ini. Padahal, pengantin dalam cermin itu mengenakan gaun termahal. Tetapi cermin menampakkan rokok di tangannya terbalik. Kita semua tahu, Alana, harga gaunmu itu bisa untuk membeli ratusan bungkus rokok. Sedikit saran, lebih baik kamu jual saja gaunmu untuk membeli rokok. Sebab, sudah hampir dua bungkus rokok kamu habiskan namun kamu belum kelihatan ingin beranjak dari depan cermin.

6
Lelaki itu ada di sisimu, melemparkan sebuah buku jelek. Usia buku itu bahkan lebih tua dari usia  brewoknya. Entah bagaimana kamu yakin lelaki itu memintamu untuk membacanya, jika lelaki itu melemparkan pisau, apakah lantas kamu akan menikam perutmu sendiri, wahai Alana Sang Dokter yang pintar?

7
Buku itu berisi sejarah. Ada tulisanmu disana. Tulisan sambung, rapi sekali, seolah kamu sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk itu. Kamu juga mendapati tulisan si lelaki, jelek sekali, tetapi masih bisa terbaca. Dan matamu terhenti pada satu halaman terakhir. Halaman yang berisi tulisan super jelek, persis tulisan tangan anak TK.
hawlo, usyaku 5 thaun dan aku ksepiyan…
Lelaki itu menunjuk sebuah nama yang tertera di bawah.
Bin
Matamu terbelalak ketika melihat tanggal dan tahun tulisan itu di buat.
“Kemarin…”
“Siapa kamu?!”
“Aku Alana!”
“Lalu siapa bocah itu?” Tangan lelaki itu menunjuk seorang bocah lelaki yang sedang jongkok di sudut ruangan sambil menggigiti jarinya sendiri, ia terkejut mendengar lelaki itu berseru. Matanya yang legam menatapmu dengan dengan penuh tanda tanya, “jawab Alana! Siapa dia?!”
“A…aku tidak tahu.”
“Jelas kamu tidak kenal! Ia datang kemarin pagi saat kamu tertidur!” Lelaki itu membanting gelas bir di tangannya, “dan berapa lagi yang kamu tidak kenal? Ada berapa lagi?! Aku pikir kamu kenal siapa aku…, nyatanya aku sendiri tidak tahu siapa aku! Siapa aku, Alana? Jawab! Kenapa diam? Kenapa? Kamu pintar Alana, kamu dokter! Cari di bukumu itu, siapa aku?! Siapa, Alana! Siapa aku? Siapa kamu?!”
“A…aku Alana…”
“Bagaimana kamu yakin kamu bukan Robin? Ah tentu kamu tidak kenal siapa Robin, dia sudah pergi lama sekali…tapi dia meninggalkan jejaknya di buku ini, seandainya kamu lebih teliti membacanya.”
“Ada beberapa halaman kosong di sana, bagaimana aku bisa membacanya?”
“Halaman kosong itu kenangan yang tak kamu alami! Itu kenangan yang kamu tidak ketahui karena kamu-belum-di-sini…jadi, coba jelaskan, kenapa kamu bisa membaca tulisan bocah itu!” Bocah di sudut ruangan jadi ketakutan, tubuhnya bergetar hebat. Hampir saja ia menggigit lidahnya sendiri, beruntunglah ibu jari yang sedang digigiti itu menahannya, “Dia Bin, Alana! Bin!” Mata lelaki itu mendekat, “Kamu bilang aku sudah sembuh?”
“Kamu memang sudah sembuh…”
“Ikut aku!”

8
Dimana kita kini? Kita berada di sebuah kafe tempatmu dulu menghabiskan senja bersamanya. Mengobatinya hingga kamu yakin ia sudah sembuh dan kamu siap menikahinya. Tidak seperti biasa, lelaki itu kini memesan tiga minuman. Dua gelas bir untukmu dan untuknya, dan segelas susu coklat untuk Bin. Mata bocah itu berbinar ketika melihat segelas susu coklat dihadapannya.
“Seminggu yang lalu di tempat ini, kamu berhasil meyakinkan aku kalau aku sudah sembuh.  Ingat?”
“Tentu saja aku ingat…”
“’Tentu saja’ kamu bilang? Baiklah, ‘tentu saja kamu juga ingat bagaimana bocah ini bisa ada di sini, bukan?”
“Tidak, dan jangan paksa aku untuk mengingatnya. Kamu kan tahu…”
“Tahu apa? Kamu jelas lebih tahu…”
“Tidak.”
“Alana, dengarkan aku…aku mencintaimu. Tapi tempat kita berada di tempat yang salah, aku baru menyadarinya ketika aku melihat bocah ini,”
“Apa maksudmu?”
“Kita bukan pemilik asli tubuh ini, tak seharusnya kamu jatuh cinta padaku….”
“Kamu ingat memori kita di usia nol sampai lima tahun?”
“Ngawur! Bagaimana mungkin aku ingat? Kamu pasti lebih ingat,”
“Aku tidak ingat, tapi Bin, ia ingat….”
“Bagaimana mungkin?”
“Kamu ingat kenangan kita di usia sepuluh sampai tiga belas tahun?”
“Ah, pertanyaanmu menjebak!”
“Aku tidak ingat! Kamu juga! Kenangan itu milik Robin, ia sudah lebih dulu pergi…”
“Berarti kamu lah pemilik asli tubuh ini, buktinya kamu bisa membaca tulisan Robin.”
“Bukan aku yang membacanya, tapi Bin yang membacakannya untukku.”
“Berarti Bin lah pemilik asli tubuh ini,”
“Sempit sekali pola pikirmu! Tentu saja bukan, tubuh ini sudah berusia dua puluh lima tahun, Alana….”
“Jadi siapa pemilik tubuh ini?”
“Entahlah…, lebih penting dari itu, aku memutuskan untuk pergi.”
“Pergi kemana?”
“Mengembara…mencari tubuh baru, tubuhku sendiri.”
“Jangan! Kamu lah pemilik asli tubuh ini…”
“Bukan! Tak satupun dari kita pemilik asli tubuh ini,”
“Sebenarnya aku sudah menyadari hal ini, aku hanya tidak mau kamu tahu. Tapi kamu terlalu pintar…”
“Apa maksudmu?!”
“Apa maksudku? Jelas bukan? Aku tidak mau kamu mengusirku, aku tidak mau kita berpisah! Aku…aku terlalu mencintaimu,”
“Kamu…”
“Aku tidak mau kamu mengejar cinta pertamamu, aku mau aku lah cinta pertamamu dan selamanya akan begitu. Tapi ternyata tidak…. Aku harus pergi dari tubuhmu, secepatnya.”
Lelaki itu diam.
“Aku harus pergi…aku bukan kamu.”
“Jelaskan padaku, Alana. Tolong, ini terlalu rumit bagiku…”
“Tidak, ini sederhana; kamu akan benar-benar sembuh setelah aku pergi.”
Sementara Bin, si bocah lugu, itu masih saja sibuk bermain-main dengan susu coklatnya. Ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan, lebih tepatnya, ia menolak untuk mengerti. Yang ia tahu, susu coklat rasanya manis, apalagi kalau ditambah donat. Sebenarnya ia mau meminta donat, namun ia takut.

9
Jauh dari mereka, kita bisa melihat dua orang pegawai sedang berbincang mengisi waktu luang menunggu pengunjung yang mungkin tak akan datang. Kafe itu sebenarnya sudah hampir tutup, kalau saja lelaki itu tidak ada. Tapi konon, konsumen adalah raja.
“Kasihan ya pelanggan kita…”
“Kasihan?” temannya menegrutkan dahi, “sejak kapan kamu jadi begitu peduli?”
“Ya, kasihan aja. Setiap hari dia duduk di situ, marah-marah sendiri, nangis-nangis. Kayak…”
“Kayak apa? Orang gila? Semua orang mabuk kan memang kayak orang gila!”Temannya cekikikan.
“Beda!”
“Yaa…biarin aja deh, selama dia bayar semua minumannya,”
“Iya sih,” Keduanya tertawa.
Seorang perempuan masuk. Keduanya jadi berhenti tertawa.
“Masih buka?” Tanya perempuan itu.
Keduanya saling sikut, “Masih, mbak…silakan.”

10
“Tuhan menyediakan surga untuk ibu dan bapak…”
“Lagakmu seperti si maha tahu saja, kamu itu cuma pembohong, Alana!”
“Tuhan lebih berhak memutuskan disbanding orang-orang yang menganggap dirinya paling suci lantas berhak menghakimi ibu dan bapak. Percayalah, kamu akan menjadi lelaki hebat.”
“Tuhan sudah mengambil apa yang ku punya, itu fakta.”
“Kamu hanya belum mengerti…”
“Bagaimana aku bisa mengerti?”
“Simpan buku lamamu itu, suatu saat pasti kamu membutuhkannya.”
“Aku tak butuh kenangan pahit,”
“Maka, simpan saja, anggap itu kenang-kenangan dariku. Wanita yang hampir menikah denganmu…. Simpan juga bocah kecil ini, seorang lelaki selalu menyimpan sisi kekanak-kanakannya.”
“Untuk apa?”
“Untuk tetap bahagia…, dan sepertinya kamu butuh buku baru.”
“Kalimatmu seperti orang pintar, kamu mau menggurui? Kenapa aku harus punya buku baru lagi?”
“Untuk menuliskan petualangan barumu bersama…”

“Hey! Apa kabar?” Perempuan yang tadi baru masuk kafe tiba-tiba menyadarkan lelaki itu, hey awas! Jangan duduk di kursi itu, ada Alana di…dimana?
“Kamu?” Lelaki itu masih bingung, tangannya mencubit pahanya sendiri.
“Sombong banget, mentang-mentang udah punya pacar baru, jadi pacar lama dilupain?” mata perempuan itu melotot.
“Haha, ya enggak lah…” Hore! Tawa lepas si lelaki muncul lagi, ditambah senyum kecil yang tak kalah merdekanya. Ia sendiri tak mampu mengingat kapan terakhir kali ia tertawa dan tersenyum dengan merdeka. Namun, dapat dipastikan itu disebabkan oleh orang yang sama. Perempuan yang ada dihadapannya. Yang sudah menghilang sejak kelulusan SMA. Yang cinta pertamanya.
Lelaki itu melirik kursi di sebelah kirinya, mendapati Bin nyengir lebar sambil bertepuk tangan. Alana benar. Ia memang butuh buku harian baru.

“Ciyee…cemburu lo ya?” si pegawai kafe sedang meledek teman kerjanya yang sedari tadi menekuk wajah demi melihat Sang Pelanggan yang kini sudah tak sendirian.
“Enggaaak! Weeek…” Lidahnya menjulur, mengingatkan kita pada simbol legendaries milik The Rolling Stones.
Ah, andai mereka tahu lelaki itu selama ini pun tak pernah benar-benar sendirian. Ia sendiri, namun tidak sendirian. Sama saja. Ini cerita siapa? Sama saja.

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan