Monday, April 23, 2012

Pernah Menjadi Matahari


Ia pernah menjadi matahari. Pada sebuah hari di mana malam begitu terang benderang karena kekuasaannya. Mengisap sari pati hidup untuk diturunkan kembali dalam bentuk hujan. Sejenak menguasai hakikatnya sebagai makhluk yang berkuasa. Menikmati setiap langkah yang dijejakkannya di muka bumi untuk dijadikan Cerita Hari Ini.
Silau. Demikian yang diungkapkan sekian banyak mata yang memandang wajah dan tubuhnya. Kehadirannya kala itu begitu utuh. Setiap bagian tubuhnya memancarkan kilauan. Sejak saat itu ia lebih sering berandai-andai di depan cermin. Mengharapkan sosok pangeran tampan mengalungkan seuntai kalung berlian di leher jenjangnya. Bukan seekor tikus werog yang gemar lalu lalang di ruangan sempit yang kini didiaminya bersama ibu dan adiknya. Ia bernama Sari. Namun, bagi setiap pria yang mengharapkan senyumnya mengembang lebih banyak, sebaiknya memanggilnya dengan sebutan Sabrina. Sebuah nama yang telah tersemat di lubuk hatinya semenjak sebuah film serial tv kegemarannya mengukuhkan nama Sabrina sebagai tokoh utama. Sabrina yang anggun, bergelimang harta dan memiliki kehidupan yang begitu mudah. Ia menatap Sabrina dengan kekaguman tanpa batas. Meski harus memungkiri dinding tempatnya tinggal yang separuh tembok separuh triplek dan berteman dengan makhluk penghuni selokan mampet yang menguarkan aroma tak sedap.
Panas. Kali pertama ia merasakan aliran darahnya terpompa begitu cepat sehingga hampir mendidihkan isi kepala adalah ketika menandatangani sebuah kontrak sinetron di usianya yang baru menginjak 20 tahun. Ia tak hanya memiliki aura matahari yang menyilaukan dari paras ayunya, tetapi juga kemampuan berakting yang mengundang decak kagum. Ternyata hidup tidaklah sesulit yang ia duga. “Siapa bilang aku hanya bisa menjadi Sari yang setiap hari harus mengais rezeki sebagai pegawai salon murahan untuk membiayai ibu yang sakit-sakitan dan adik yang tak henti berteriak minta uang jajan…,”sapanya lembut pada cermin di kamar tidurnya.
Ia menyadari jati dirinya yang telah berubah satu tahun belakangan ini. Kini dirinya bukanlah obyek yang hanya menanti kedatangan pelanggan-pelanggan salon Jennifer dan mengerjakan apa yang mereka minta. Ia adalah Sari yang baru. Subyek yang dinantikan kehadirannya oleh entah berapa juta pasang mata pemirsa televisi. Sari yang menjelma menjadi Sabrina yang dikaguminya.
Ia hampir menjadi matahari. Kala bunyi mesin mobil mewah lebih sering terdengar berhenti di depan rumah mungil nan asri yang dibelinya dari honor main sinetron. Ia banyak menghabiskan waktu dengan pemilik mobil tersebut. Di bar, di café, juga di kamar hotel.
“Kapan kamu akan menandatanganinya?” sahut sang pemilik mobil mewah datar.
“Apa yang aku dapat nantinya? Sesungguhnya waktuku dalam sehari tak banyak lagi. Sebagian besar nyaris habis di tempat syuting,” jawabnya lemas sambil menyibakkan selimut yang menutup tubuhnya. Di atas tempat tidur sebuah kamar mewah di hotel itu dirinya berkali-kali harus menerima kenyataan bahwa ketenarannya bukanlah sebuah kenikmatan tak berbayar.
“Berapa kali lagi harus aku ulangi? Suatu saat kamu akan mempunyai keturunan. Mereka membutuhkan biaya untuk hidup. Kamu pikir ada rumah produksi yang mau memberi pekerjaan padamu sepuluh dua puluh tahun lagi?”
“Keturunan? Maksudmu anak?”
“Ya! Apalagi?”
Ah, bahkan lelaki dengan mobil mewahnya itu tidak punya sedikitpun keinginan untuk melengkapi hidupnya, menjadi ayah dari anak-anak yang kelak dikandungnya, setelah apa yang telah mereka lakukan bersama. Ia hanya memikirkan kepentingan pribadinya. Keinginan kelompoknya untuk makin dekat dengan pusat kekuasaan di negeri ini.
“Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang?” ia meminta ketegasan dari sang pemilik mobil mewah.
“Pekerjaanmu tidak sulit, Sayang,” suaranya melunak, memohon dalam kejengkelan yang tertahan.”Setelah menandatangani surat persetujuan, kami akan mengadakan semacam upacara pengangkatan. Setelahnya, kamu dapat mengikuti ke mana kami pergi. Membantu kampanye yang kami lakukan. Jangan khawatir mengenai akomodasi dan lain-lainnya. Semua terjamin. Kami ingin kamu punya keyakinan yang kuat untuk menjadi anggota kami. Dan setelahnya, kehidupanmu hingga lebih dari 20 tahun mendatang akan terjamin.”
“Apa ia pikir aku begitu mudah diberi janji,” bisik Sari dalam hati. Namun, Sari menyadari sepenuhnya bahwa karirnya di sinetron pun akan terancam seandainya ia tidak menyetujui ajakan tersebut. Kesempatannya mengulur-ngulur waktu pun sudah habis. Keputusannya tak dapat lagi ditangguhkan.
”Huh, manusia-manusia gila kuasa itu!” seringkali Sari mengumpat dalam hati. Ia tak lagi ingat betapa keinginan kuat untuk berkuasa pulalah yang telah menyeretnya ke situasi ini. Keinginan untuk menjadi matahari.
Di luar dugaan, keputusannya untuk mengikuti ajakan lelaki dengan mobil mewah memberinya kenyamanan hidup yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Mobil dan rumah mewah hanyalah pembuka. Menu dessert, kata orang-orang kaya. Setelahnya, segenap isi bumi seolah tunduk padanya. “Akulah matahari!” ucapnya pada semesta.
Ia memang pernah menjadi matahari. Setidaknya, bila dilihat dari kesungguhannya meningkatkan kehidupan ibu, adik-adik dan sanak keluarganya. Kesetiaannya mengunjungi panti asuhan dan rumah-rumah perawatan anak dengan kelainan tubuh ataupun mental. Mereka mendoakannya. Tanpa tahu untuk kepentingan siapa sesungguhnya sang matahari datang dan menengok mereka. Mereka adalah planet-planet mungil yang menanti kado apa yang di bawa untuknya. Kehangatan saja tidak cukup bagi mereka. Dan sang matahari selalu berhasil membelikan apa saja yang mereka inginkan. Ia tahu jumlah yang ia keluarkan akan kembali padanya dalam jumlah yang lebih besar. Cukup dengan keyakinan tersebut ia terus melangkahkan kakinya dari kecamatan ke kecamatan, kabupaten ke kabupaten dan bila perlu dari pulau ke pulau untuk berkampanye di bawah nama sebuah partai. Semua ia lakukan atas nama kesejahteraan. Seluruh bangsa… kalau ia tak salah menghafal.
Semestinya matahari tidak pernah takluk di bawah telapak kaki bumi. Karena seluruh penghuni di muka bumi menggantungkan hidupnya pada matahari. Bahkan khayalanpun tak akan mampir di kepala orang waras manapun tentang kemungkinan matahari yang bertekuk lutut itu. Namun, rupanya sinar yang menghidupkan segenap makhluk itu tak akan pernah mampu diwujudkan dalam lembaran kertas yang menyebutkan sejumlah nilai. Matahari sejatinya tak pernah menuntut apa yang telah diberikannya pada semesta. Oleh karenanya, hanya kesetiaanlah yang diperoleh matahari dari bumi dan planet lain yang menemani.
*
Hingga suatu saat, langkahnya melambat. Kiranya waktu telah memakan usia tanpa ampun. Sari, Sabrina, atau siapa pun ia, yang pernah menjadi matahari itu, ingin menghentikan langkahnya sejenak. Lebih dekat pada sang penguasa semesta. Bukan penguasa negara saja.
“Kita sudah menyiapkan pengacara”
“Lalu?”
“Juga dana yang lebih dari cukup untuk dibagikan ke seluruh staf kantor pengadilan”
“Aku tidak yakin kita dapat melewati ini semua begitu saja. Tahulah, harus selalu ada yang berkorban untuk menuntaskan kasus ini. Setidaknya untuk sementara waktu”
“Maksudmu?”
Sari mendengar suara tombol ditekan. Lalu seketika percakapan itu berhenti. Di hadapannya kini seorang lelaki bersahaja duduk. Sari hanya diberi waktu tak lebih dari 2 jam untuk berbincang dengannya. Ia perwakilan dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Seorang utusan teman baiknya kala masih sekolah. Teman yang tak pernah lagi diingatnya semenjak kesibukannya di sinetron dan berkampanye meningkat.
Lelaki bersahaja itu menyerahkan secarik surat yang berisi tulisan tangan teman sekolah Sari itu. Sari tak ingin waktu terbuang terlalu banyak. Ia segera membuka surat tersebut dan menelaah isinya.
Sari yang aku hormati,

Tanpa terasa waktu telah menyeret kita pada arus yang berbeda. Waktu kudengar kau memutuskan untuk membagi waktumu di sinetron dengan kegiatan kampanye, terus terang aku dihinggapi kekhawatiran yang sangat. Berpolitik tidaklah menyenangkan, Sari. Setidaknya, untuk sebagian orang seperti kita ini. Seperti aku dan kamu. Kamu yang aku kenal dahulu. Entah kalau sekarang. Harapanku kita masih sama.
Bersama surat ini adalah seorang pengacara yang dengannya kubawakan sebuah bukti tentang percakapan orang-orang yang mungkin kamu pikir pada awalnya mereka adalah dewa penolongmu. Penjamin kehidupanmu kelak. Banyak hal dalam hidup ini tidak lah seperti yang terlihat, Sari. Aku yakin kehidupan di dalam penjara banyak memberitahumu perihal itu. Sungguh aku tak pernah menginginkan kenyataan yang saat ini sedang kau pikul.
Aku tak dapat menebak bagaimana akhir dari kisah yang menimpamu. Yang aku tahu, seseorang telah menjebakmu dan menempatkanmu pada posisi sulit seperti sekarang ini. Siapa yang sesungguhnya bersalah, begitu kabur. Hanya karena aku mengenalmu lebih daripada yang lain aku menduga kau tidak melakukan kesalahan.
Berceritalah tentang segala hal yang kau tahu sejujur-jujurnya pada lelaki di hadapanmu kini. Aku berharap ia dapat membantumu.
Oya, selepas kuliah, lebih tepatnya setelah kau menolak pinanganku, aku mengejar bea siswa S2 ke luar negri. Aku sangat bersyukur akhirnya dapat melanjutkan kuliah di Amerika. Aku berangkat ke Amerika dengan hati yang tersisa dari lara membayangkan akan berada jauh darimu. Tapi Sari, tak ada yang perlu disesali dalam hidup ini. Tugas manusia di muka bumi ini adalah melangkahkan kakinya. Itu saja.
Salam hangat,
Bima

Sari menutup surat itu dengan mata berkaca-kaca. Ia menyesal telah menukar silau dan panas yang dimilikinya dengan helaian kertas bernilai nominal. Ia lupa akan tugasnya sebagai makhluk Tuhan di muka bumi ini. Makhluk Tuhan yang hanya diminta melangkahkan kakinya dengan hati dan nurani yang dimilikinya. Semudah itu.
Ia kembali ke dalam sel tahanan tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada lelaki bersahaja yang menanti kalimat-kalimat pembelaannya.
(Ditulis untuk #CeritaHariIni yang diselenggarakan oleh @_PlotPoint)

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan