“Kita
ini satu bagai magnet. Satu, sama, namun berbeda haluan. Kamu utara,
aku selatan, dan kita bisa saja menarik semua besi-besi dan serpihan
logam, tapi tetap, aku utara dan kamu selatan. Dua kutub yang berbeda.
Mungkin kalau kita terpecah, kita bisa bergabung, menyatu dan
berhadapan. Tapi kita tetap, aku utara dan kamu selatan.”
“Bukan,” dipikiranku berbisik menggelitik: “Kutub
utara dan selatan itu adalah kau dan ego-mu. Dan aku hanyalah besi
rongsokan yang selalu tertarik dengan gaya dan medanmu. Kau adalah
magnet, yang selalu menarikku untuk pulang ke rumah.”
***
#CeritaHariIni
diawali dengan serpih serpih logam yang jatuh diambang batas pintu
sebuah pabrik senjata Israel di wilayah Tel Aviv. Namaku
Herlz. Aku adalah orang Israel yang bekerja di persenjataan Israel
sebagai buruh biasa yang kadang ikut berperang meskipun hatiku terluka.
Ya,
aku terluka saat melawan Palestina demi kedudukan Israel di tanah ini.
Luka batin yang akan terus menganga dan menimbulkan penyakit baru.
Peduli setan lah dengan negaraku atau apapun yang terjadi pada rezim
ini. Mereka, para petinggi itu, tak akan pernah mencoba menyelesaikan
perang, sampai kapanpun. Mereka hanya mengikuti apa yang sejarah
ramalkan. Lucunya, namaku Herlz, sama seperti penggagas Negara Yahudi
pada zaman dahulu, Theodor Herlz, dan yang lebih lucu lagi, aku bekerja
di pabrik persenjataan Israel yang langsung ataupun tak langsung
menyatakan aku membela Israel.
Semua itu demi lebih banyak roti untuk aku dan istriku, Aliyah, seorang wanita cantik keturunan Palestina-Arab.
Jika aku punya uang lebih, aku akan pindah dari Negara ini. Pindah ke Amerika dan hidup lebih lama dan bahagia dari sekarang.
“Ayo
kita pulang!” Ajak Ben yang baik hati sekaligus sahabatku. Aku
mengembangkan senyumku dan mengangguk. Kami pun pulang ke rumah kami
dengan berjalan kaki dan melewati daerah-daerah dan gua terpencil yang
menyeramkan. Banyak sekali risiko yang harus ku tanggung dalam
menyambung hidup bahkan untuk perjalanan dari rumah ke tempatku bekerja
dan sebaliknya. Dari mulai invasi dari pihak musuh ataupun dari binatang
buas yang bisa saja menyantap kami kapan saja.
“Ben,
apakah kau percaya jika perang ini selesai maka dunia akan kiamat?”
Tanyaku dalam perjalanan pulang sambil mengendap-endap dibawah lorong
jalan raya perang yang bau, yang kemudian akan tembus kehutan.
Ben berjalan lebih dulu sambil merunduk. “Kurasa.” Jawabnya tenang.
“Lalu
mengapa kita tidak membunuh diri kita sendiri saja supaya ketika kiamat
itu datang, kita tidak perlu risau lagi?! Percuma bukan perang ini ada,
siapapun yang menang atau kalah, mereka hanya menghadapi kematian.”
Argumenku.
Ben sudah sampai di ujung lorong dan serta merta menghidup udara segar dan meregangkan badan. Ben menatapku lekat-lekat.
“Masih banyak yang harus diperjuangkan, Herlz.” Katanya dalam.
“Perjuangan
apa lagi? Apa yang diperjuangkan?” Tanyaku sambil melanjutkan
perjalanan. Ben lebih veteran daripadaku, itu sebabnya ia sangat
bijaksana. Namun sekarang ia diam.
Booom! Duaaaar!
Suara
itu seperti granat yang menyalak tak jauh dari tempat kami. Aku dan Ben
terhuyung huyung mencari perlindungan. Kemudian berlarilah kami
kesebuah goa yang kecil cukup untuk kami berdua. Kami berlindung dibawah
goa itu selama berjam-jam menunggu sampai serangan itu selesai.
Saat
berlindung bersama Ben, dikepalaku muncul seorang wanita cantik,
berhidung rungi, bermata cokelat dan berambut cokelat yang panjang.
Orang yang sangat kucintai sepanjang hidupku, Aliyah. Aku sangat
merindukan wanita itu.
Sekelebat
bayangan muncul satu persatu dari awal pertemuanku dengannya. Saat itu
aku masih berumur 20 tahun, usia wajib militer, dan sedang berperang
melawan Palestina di jalur Gaza. Aku menemukannya hampir mati disebuah
gedung bekas apartemen yang rusak karena perang. Aku menolongnya, dia
adalah korban perang, semua keluarganya sudah meninggal karena perang.
Awalnya
ia takut denganku. Mungkin trauma. Aku tidak tega dan menolongnya,
menyeludupkannya diam-diam dan mengaku ia adalah orang Israel sampai
akhirnya membawa Aliyah ke rumahku di Tel Aviv untuk perlindungan. Saat
itu usianya masih 17. Akupun membantu mencarikan keluarganya yang lain
selama bertahun-tahun, namun hasilnya nihil.
Aku
sadar bahwa aku mencintainya, akulah keluarganya, dan kemudian aku
menikahinya saat usiaku genap 24 tahun dan Aliyah 21 tahun. Hal itu
terjadi lebih daripada 10 tahun yang lalu dan aku hidup di realita yang
sekarang.
Hari sudah malam, bintangpun bermunculan. Suara ledakan itu seakan menjauh. Aku dan Ben bergegas untuk melanjutkan perjalanan pulang. Aku tahu Aliyah pasti telah menungguku.
***
Aku
tidak dikaruniai anak. Oleh karena itu, aku tinggal hanya berdua
bersama Aliyah dan satu penjaga, Bruno, seekor anjing gembala berwarna
cokelat keemasan. Mungkin Aliyah terkena radiasi saat perang atau
penyakit yang lain.
Aku
tiba dirumah dan rumah terkesan sepi dan gelap. Lampu di depan rumah
menyala namun tidak ada tanda kehidupan, sampai akhirnya anjingku, Bruno
menarik narik celanaku yang compang camping memintaku untuk masuk ke
dalam rumah. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Aku
masuk kedalam rumah dan mendapati seluruh isinya berantakan. Aliyah pun
tidak ada dirumah. Aku mencari-cari dimanapun tapi tidak ada. Sampai
pada akhirnya aku menemukan kertas terlipat dua diatas meja makan.
Tulisan tangan Aliyah tergores disitu.
Kepada Suami ku yang ku cintai sepanjang hayat, Herzl,
Jangan
mencariku lagi. Setelah sepuluh tahun, akhirnya pemerintah Israel pun
tahu aku bukan penduduk mereka dan merekapun memutuskan mengembalikan
aku kepada Pemiliknya. Mungkin saat kau membaca surat ini, aku sedang
menangis karena aku kehilangan orang yang paling kusayangi selama ini.
Tapi aku akan selalu hidup di sisimu dan menemani setiap
langkah-langkahmu.
Ini
mungkin surat terakhirku padamu, dan akupun juga pernah bilang bahwa
sampai selama lamanya kita ini bagai magnet yang sama. Kita menjadi satu
namun tidak berhadapan. Kita adalah dua kutub yang berbeda, kau utara
dan aku selatan. Meskipun kita mampu menarik besi secara bersamaan, tapi
kita merupakan dua bagian yang berbeda.
Kita
tidak pernah berpandangan sama, hanya saja kita satu. Mungkin suatu
hari nanti akan ada yang mampu memecah kita, dan kita mampu membuat daya
untuk menarik setiap perbedaan kita. Supaya dua menjadi satu, bukan
satu menjadi dua.Tapi itu nanti, di kehidupan kita yang berikutnya.
Terimakasih
atas segala cinta yang telah kita ukir selama satu dekade yang terasa
sangat singkat. Selamat tinggal. Aku mencintaimu,
Aliyah
Dadaku
serasa bergetar. Apalagi yang dilakukan orang Israel gila itu? Aku
segera keluar mencari informasi yang lebih pasti tentang keberadaan
istriku. Aku mendatangi rumah Ben untuk meminta bantuan. Namun Ben
menolak untuk membantu mencarinya hari itu karena suasana sedang
genting.
Namun
Soraya, istri Ben mengatakan bahwa Aliyah dibawa oleh para serdadu
pemerintah ke ibukota untuk dihukum pancung karena identitas palsu
selama bertahun-tahun ditambah lagi ia adalah orang Palestina.
Akupun segera pamit pergi dan mencari segala akses untuk tiba di ibukota saat
itu juga. Segala hal aku upayakan untuk menghentikan kendaraan yang
lewat sampai akhirnya aku menghentikan sebuah truk makanan untuk suplai
para tentara di ibukota.
Akhirnya
aku tiba di ibukota dan mulai mencari tempat pengadilan dimana istriku
berada. Aku tidak memikirkan apa-apa, aku hanya ingin melihat istriku.
Namun aku tidak menemukannya. Hari sudah sangat larut, kuperkirakan saat
itu sudah pukul dua dinihari.
Aku
bertanya kepada para penjaga dan mereka bersikap acuh tak acuh. Sampai
akhirnya ada satu orang penjaga yang menceritakan bahwa tadi siang ada
wanita Palestina yang memalsukan data kependudukan dihukum pancung.
Diduga wanita itu adalah mata-mata. Jenazah wanita itupun dibakar
setelahnya.
Akupun
mendatangi ruang bekas kremasi tadi siang diantar oleh si Sipir yang
baik hati. Aku menangis sejadi jadinya diatas tumpukan arang-arang dan
abu. Tak lama aku langsung mengumpulkan abunya dan memasukan kedalam
kaleng bekas. Hatiku hancur.
***
Hari-hari
berikutnya aku hidup diantara bayang-bayang Istriku. Kadang kala aku
sering berharap membuka mata di sampingnya atau dapat melihatnya
berjalan dan memberi makan Bruno. Tapi semua hanya khayalanku, jauh di
dasar benakku.
Kiranya
aku semakin membenci peragai pemerintahan Israel. Aku membenci segala
tabiat mereka dan terutama aku benci perang. Aku terluka parah oleh
perbuatan keji mereka tapi aku juga merasa salah saat aku sadar selama
ini aku memang membahayakan Aliyah di negaraku.
Aku berjanji akan menebus kesalahanku, segala kerisauan dan kerinduanku pada Aliyah.
Pagi
itu aku berangkat bekerja seperti biasa bersama Ben. Sejak kepergian
Aliyah, aku tidak banyak bicara. Ben mengerti betul apa yang aku
rasakan.
“Ben, pulanglah!” Pintaku.
“Ha? Kau bercanda? Mau makan apa anak dan istriku kalau aku pulang?”
“Pulang, Ben! Ku minta kau pulang sekarang juga!”
“Kau tidak menggajiku, orang gila!” Katanya.
Aku meninju wajahnya. “Pulang keparat!” Seruku.
Ben menatapku serius namun tidak berusaha membalasnya.
“Aku tahu kau akan melakukan yang terbaik.” Katanya yang lalu berbalik badan dan pulang.
“Bawa
pergi jauh dirimu serta anak-anakmu!” Seruku sekali lagi. Dan aku
bersumpah aku sangat bangga pada sahabat yang sangat mengerti aku.
Akupun melanjutkan perjalananku. Hari itu.
***
Aku
memberanikan diri memasuki ruangan penelitian bom nuklir dengan
mengendap-ngendap sehabis mencuri sebuah granat dan pistol kecil dari
gudang penyimpanan persiapan perang. Dadaku memukul-mukul. Aku mungkin
bersalah namun setidaknya jika pabrik ini hancur Israel akan
menghentikan perang ini untuk sementara. Akan ada lebih sedikit orang
yang meninggal karenanya.
Bau
ruangan itu sangat aneh. Sekilas bau kimia yang sangat menusuk hidung,
kemudian bau mercon dan terakhir bau kematian yang tak termaafkan. Aku
sendiri dihadapkan pada sebuah bom yang berdaya ledak 0,0005 Megaton TNT
yang setidaknya dapat menghancurkan daerah ini sampai radius 2
kilometer. Bom itu hanya sebesar bola basket. Dan hanya ada bom itu di
pabrik ini, sebab ini adalah pabrik senjata. Bom ini pun hanya sekedar
ada untuk penelitian.
Aku melanglang pikiranku mengingat Aliyah. Aku akan kembali kepelukannya.
Segera
saja aku membuka granat dan mengenggamnya dengan tangan kiriku. Seorang
penjaga memergokiku, dan segera saja aku mengambil pistol dari sakuku
kemudian menarik pelatuknya dan melepaskannya tepat ke dada si penjaga.
Aku menatap granat ditanganku dan menghitung mundur.
5… 4… 3… 2… 1…
Aku besi dan kau magnet, yang selalu menarikku untuk tidak jauh darimu.
Jakarta, April 2012
@deapeni | http://deapeni.blogspot.com/2012/04/selatan.html
No comments:
Post a Comment