Thursday, May 31, 2012

#KamisKomik: Apakah Komik Bacaan Baik?

Halo!

Mulai minggu ini, setiap hari Kamis PlotPoint akan membahas soal komik di akun twitter kami dengan hashtag #KamisKomik. Di sini, kami akan membahas A-Z soal komik. Mulai dari sejarah, tokoh-tokoh dalam komik, hingga tips-tips yang berguna buat kamu yang ingin belajar bikin komik. Untuk Minggu pertama, pokok bahasan di #KamisKomik adalah: "Apakah Komik Bacaan Baik?" 

Materi Minggu ini ditulis oleh @hikmatdarmawan, seorang peneliti budaya pop dan budaya visual khususnya film dan komik.

Buat kamu yang kelewatan materi #KamisKomik minggu ini, jangan sedih. Berikut ini kami lampirkan materinya. Enjoy!

***


#KAMISKOMIK: Apakah Komik Bacaan Baik?

  1. Pada abad ke-20 hingga kini, komik memang ada di mana-mana.

  1. Tapi, komik juga sering dimusuhi. Pada 1955, di AS, psikolog Dr. Frederic Wertham menulis, "komik adalah perusak pikiran anak muda."

  1. Gara-gara Dr. Wertham menulis buku anti-komik, di AS sejak 1955, komik diawasi ketat. Pada tahun itu, komik2 dibakar di sana.

  1. Pada sekitar 1955 juga, para pendidik dan orang tua di Indonesia protes komik, dianggap terlalu ke-Amerika-Amerika-an.

  1. Salah satu yang diprotes di Indonesia pada saat itu adalah buku komik pertama kita, SRI ASIH, karya RA. Kosasih.

  1. Padahal, RA. Kosasih sudah berusaha melokalkan komik superheronya itu. Sri Asih meniru Wonder Woman, tapi dikasih kebaya. J

  1. Sebagai jawaban terhadap protes dan tuntutan membasmi komik, RA. Kosasih mengeluarkan komik wayang, seri MAHABHARATA.

  1. Tapi, citra negatif terhadap komik terus berlanjut, baik di Indonesia, maupun di AS.

  1. Di Eropa dan Jepang, orang lebih santai terhadap komik.

  1. Komik dianggap sebagai bacaan buruk buat anak. Padahal, siapa bilang komik adalah bacaan anak?

  1. Komik bisa buat anak, bisa juga buat orang dewasa. Kalau cerita dan isi komik yang "dewasa" dibaca anak, memang bisa buruk.

  1. Misalnya, komik-komik silat yang banyak beredar di Indonesia sejak 1968 s/d akhir 1980-an. Rata-rata itu komik dewasa.

13. Komik silat era itu (dari seri SI BUTA DARI GUA HANTU, JAKA SEMBUNG, sampai MANDALA) berisi kekerasan, filsafat & plot rumit.

14. Kalau baca buku penelitian Marcell Bonneff, KOMIK INDONESIA, pembaca komik2 silat pada era itu memang orang dewasa. #KamisKomik

15. Tapi, karena salah kaprah umum bahwa komik adalah "bacaan anak", maka muatan2 dewasa komik silat dianggap "merusak anak". #KamisKomik

16. Pada pertengahan 1990-an, penyair/dosen Sapardi Djoko Damono mengusulkan komik jadi alat bantu pendidikan, banyak yang protes. #KamisKomik

17.  Jadi, bukan hanya komik dianggap "hanya bacaan anak", komik juga dianggap sebagai "bacaan buruk". #KamisKomik

18. Makin runyam jika kita lihat konteks budaya. Apa yang dianggap layak untuk remaja di Jepang, misalnya, dianggap tak layak di AS. #KamisKomik

19.Pada pertengahan 2000, buku sejarah komik Jepang karya Paul Gravett dilarang di beberapa perpustakaan AS, karena dianggap "sadis & porno". #KamisKomik

20. Soalnya, buku Paul Gravett itu dipenuhi contoh gambar komik Jepang (manga) berbagai genre. Ada orang tua yang protes. #KamisKomik

21. Komik Jepang memang sering mengejutkan para orang tua AS.

22. Di samping beda budaya, di Jepang banyak sekali komik buat orang dewasa. #KamisKomik

23. Anggapan bahwa komik sebagai "bacaan buruk" mulai terkikis sejak 1990-an.

24. Beberapa komik di AS ternyata memenangi hadiah sastra/penulisan. #KamisKomik

25. MAUS dari Art Spiegelman, menang Pulitzer. PALESTINE (Joe Sacco) menang National Book Award. #KamisKomik

26. WATCHMEN (Alan Moore & Dave Gibbons) terpilih sebagai 100 novel terbaik menurut TIME, bersama karya2 Hemingway & Kafka. #KamisKomik

27. SANDMAN dari Neil Gaiman memenangi FANTASY AWARD –tak ada komik yang pernah menang ini sebelum, dan sesudah SANDMAN. #KamisKomik

28. Pada awal 2000-an, sekelompok jaringan pustakawan muda di AS bikin gerakan memasukkan novel grafis (komik) ke perpustakaan. #KamisKomik

29.Perpustakaan hanya mau menerima "bacaan baik". Kalau perpustakaan mau memasukkan komik, maka komik diakui "bacaan baik". #KamisKomik

30. Di Eropa, makin sering pameran senirupa yang menampilkan karya-karya komik. Misalnya, pameran Moebius: …. #KamisKomik

31. Di Jepang, makin banyak tokoh yang terbuka mengakui pengaruh komik. Sastrawan, seniman, sampai perdana menteri. #KamisKomik

32. Di Jepang, komik sering sekali digunakan sebagai alat pendidikan. Misalnya, pendidikan manajemen buat pegawai baru suatu kantor. #KamisKomik

33. JAPAN, INC. karya Ishinomori Shotaro misalnya, boleh dibilang salah satu pengantar pelajaran manajemen yang sangat baik. #KamisKomik

34. Jepang dan Eropa sangat terbiasa gunakan komik untuk wahana bicara topik2 "serius" seperti filsafat, masalah sosial, sejarah, dll. #KamisKomik

35. Misalnya, Osamu Tezuka, si "Dewa Manga", memasukkan renungan filsafat ke komik-komiknya, sejak ASTRO BOY hingga BUDDHA. #KamisKomik

36. Hergé, sering banget memasukkan komentar-komentar sosial ke dalam cerita-cerita TINTIN-nya. #KamisKomik

37. TINTIN: LOTUS BIRU adalah kampanye anti-pendudukan Jepang di Shanghai, saat Eropa belum tahu ada pendudukan itu. #KamisKomik

38. Banyak pesan antiperang dalam TINTIN, seperti dalam NEGERI EMAS HITAM dan PENCULIKAN CALCULUS. #KamisKomik

39. Nah, komik-komik Indonesia yang bermuatan pendidikan, sastra, atau filsafat sebetulnya cukup banyak. Sayang, kurang dikenal di dunia. #KamisKomik

40. Komik-komik Indonesia sejak 1930-an hingga sekarang, banyak yang mutunya kelas dunia lho. Tapi, kurang dihargai di negeri sendiri. #KamisKomik

41.Tradisi sastra gambar novel grafis di Indonesia cukup kaya.

42. Kita banyak hasilkan novel grafis dengan cerita hingga lebih dari seribu halaman. #KamisKomik

43. Tapi, tak seperti di AS, Jepang atau Eropa, banyak karya hebat komik kita tidak dicetak ulang lagi, dan tak masuk sejarah secara layak. #KamisKomik

44. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma mengaku belajar politik dari seri PANJI TENGKORAK.

45. Dia bahkan jadi doktor filsafat gara2 komik itu. J #KamisKomik

46. Karya-karya komikus muda kita macam Eko Nugroho, Tita Larasati dan Beng Rahardian, mulai melanglang ke dunia internasional. #KamisKomik

47. Eko, Tita, dan Beng boleh dibilang menapaki "jalur seni" dalam menghasilkan komik-komik mereka. #KamisKomik

48. Banyak jalan untuk menghasilkan komik-komik yang layak masuk daftar "bacaan baik". #KamisKomik

49.Pada akhirnya, komik memang bisa jadi "bacaan baik" atau "bacaan buruk". Sama saja toh, novel juga ada yang "baik" dan "buruk".#KamisKomik

50. Jadi, tak perlu sapujagat menganggap semua komik "bacaan buruk". Kita sendiri yang akan rugi, kalau begitu. #KamisKomik

51. Menganggap semua komik adalah "bacaan buruk" menghilangkan kesempatan kita membaca komik-komik baik. #KamisKomik

Friday, May 25, 2012

Seputar #SkripRadio


Buat kamu yang ketinggalan kultwit PlotPoint soal #SkripRadio Jumat sore tadi, tenang... ini kami lampirkan juga recapnya :)

Enjoy! 



ilustrasi


Hallo tweeps, seperti yg kalian tau @bentangpustaka bikin kontes bikin #SkripRadio untuk sekuel #PerahuKertas sesuai imajinasi kamu. Ih, seru banget kan tuh bikin lanjutan kisah Keenan, Kugy, Remi dan Ludhe ;) Kisah sekuel yg paling oke akan dijadikan sandiwara radio di @mustang88fm pas bulan puasa.

Kamu harus bikin #SkripRadio #FFPK ini sebanyak 27 episode dengan durasi 10 menit per episode. Mau ikutan tapi bingung? Sini @_PlotPoint kasih tips :D

  1. Pertama, ingat! Medium is the message. Jadi apa yg bedain radio dengan TV/Film/Buku, dll? Apa? Yak pinter, radio itu mediumnya audio! #SkripRadio
  2. Nah, karena audio, tentu percuma kalau di #SkripRadio kamu tulis sesuatu yang VISUAL. Apakah pendengar bisa melihat di radio? Tentu nggak!
  3. Kuncinya adalah membangun theater of mind pendengar dengan SUARA. Saat bikin adegan di #SkripRadio bayangkan SUARA-nya.
  4. Contoh: kamu udah tau kan karakterisasi & deskripsi tubuh Kugy? Coba deh bayangin suara Kugy bagaimana. #SkripRadio
  5. Dialog dan narasi tuh kuncian banget di #SkripRadio. Jadi, karakter2 kamu harus beda dong cara & gaya ngomongnya. Jangan sama semua.
  6. Selain dialog/monolog/narasi; sound effect (SFX) dan pilihan scoring musik tentu berperan besar di #SkripRadio
  7. Makin detil dan nyata pilihan SFX kamu, tentu semakin hidup imajinasi para pendengarmu ;) #SkripRadio
  8. Bayangin deh saat Kugy melepas perahu kertas di sungai, kira2 kamu akan dengar apa aja? SFX-nya apa aja? Musiknya gimana? Narasinya apa? #SkripRadio
  9. Sekarang bayangin Kugy dan Keenan ketemu lagi di Jakarta yang hectic setelah bertahun2 ga ketemu? Apa yg kamu akan dengar? #SkripRadio
  10. Oya, drama radio itu biasanya plot driven. So keep ur episode plot simple tapi seru dan ceritanya bergerak. Dragging is a big no! #SkripRadio
  11. Apalagi nanti yang denger drama radio Perahu Kertas ini orang-orang yang kelaparan dan kehausan :p #SkripRadio
  12. Setelah bikin cerita utuhnya, silahkan kamu breakdown per episodenya. Bikin yang seru! Karakter ingin apa, ada hambatan apa, jd deh konflik.
  13. Jadi di tiap episode, mulai lah dengan apa yg karakter utama di episode inginkan. Lalu bikin deh yg seru di selama 10 menit. #SkripRadio
  14. Kasih tau pendengar kamu dimana scene itu berlokasi dengan narator, monolog, dialog, atau SFX. Pilih, combine, terserah. #SkripRadio
  15. Format #SkripRadio gimana? Pokoknya di awali dengan slugline (INT/EXT, tempat, waktu). Contoh: INT. RUMAH KUGY – MALAM
  16. Di bawahnya ada 2 kolom. 1 kolom isinya adlh keterangan: Nama karakter/SFX/Musik. #SkripRadio
  17. Lalu pada kolom lainnya di sebelah KIRI adalah utk isi dr dialog/monolog/narasi, dll. #SkripRadio
  18. Masih bingung, google aja atuh. Ini 1 contoh format #SkripRadio dari BBC http://downloads.bbc.co.uk/writersroom/scripts/radious.pdf
  19. Oya, 1 #tips #SkripRadio lg nih: ingat, dialog yg kamu mau bikin ini bukan utk dibaca, jadi didengar.
  20. Jadi coba deh kamu baca dialog2nya. Sudah enak/belum? :)
  21. Tips lagi deh: Hitung narasi kamu dengan membacakan seluruh #SkripRadio dengan menghitung pakai jam/stopwatch.
  22. Okeh, sekian dulu tweeps. Met ikut lomba #SkripRadio sekuel Perahu Kertas. Kalau menang jangan lupa beli buku & ikutan workshopnya @_PlotPoint hehe ;p



Tuesday, May 22, 2012

123 Kutipan Film OK

Halo!


Setelah bulan April yang lalu PlotPoint merilis 3 judul buku, bulan Mei ini ada lagi satu buku PlotPoint yang segera bisa kamu dapatkan di toko-toko buku. Masih bagian dari Seri 123, buku baru ini berjudul 123 Kutipan Film OK yang ditulis oleh @hikmatdarmawan. Buku ini berisi 123 pelajaran hidup yang bisa kamu dapat dari film-film yang kamu tonton.  



Yak. Jangan salah, guys. Film bisa mengajari kamu gimana menghadapi cinta, putus asa, gimana berbisnis, sampe gimana masak saus tomat Italia yang enak. Jadi, jangan biarkan orang bilang kalau menonton film itu nggak berguna. Bahkan jika sebuah film "hanya" untuk hiburan seperti buku ini... hehe...








Anyway.... buat yang tertarik baca buku ini, bisa mulai kamu beli di toko buku reguler dan toko buku online mulai minggu depan. Mau dapet gratisan? Pantengin terus twitternya @_PlotPoint untuk ikutan kuisnya :) 


C u soon!

Monday, May 21, 2012

Berlayar



Langit gelap. Laut bergolak. Angin kencang mengangkat air laut menjadi gelombang setinggi bukit. Hujan semakin deras seakan tak ada yang mampu menahan kejatuhannya. Satu kapal perang bergerak lambat. Haluan kapal mengangguk-angguk diangkat ombak. Gelombang laut menghempas hingga ke geladak. Di atas anjungan yang terbuka, seorang perwira berusaha berdiri tegak. Tangan kiri memegang erat besi pagar, tangan kanan menggenggam teleskop yang menempel di matanya. Wajah basah kuyub tak dihiraukan. Di tengah badai yang kelabu, mata sang perwira berusaha menangkap bayangan di depan. Di dalam hati ia terus berdoa agar kapal tak tenggelam gara-gara lambung kapal bocor dirobek karang yang luput dari pandangannya.


Di dalam ruang kelas TK yang hangat, seorang guru memberikan pertanyaan ”Kalo udah gede, kalian mau jadi apa? Angkat tangan.”
”Tentara” jawab ku lantang.
”Angkat tangan dulu baru jawab, Aditya” balas guru.
”Iya bu guru” rupanya mulutku lebih cepat menjawab ketimbang gerakan tangan. Mungkin karena dorongan semangat yang meluap dan takut kalah keduluan dengan murid lain.
”Tentara apa?” lanjut guru.
”Angkatan laut.”
Sejak di TK, ketika ditanya apa cita-citaku, aku ingin jadi tentara angkatan laut. Kehebatan tentara angkatan laut aku dapatkan dari gambar kapal perang yang tengah berlayar membelah badai. Gambaran itu aku dapat ketika melihat siaran Dunia Dalam Berita. Entah isi berita tentang apa. Tapi seingatku, ada seorang pelaut yang berdiri tegak, berupaya mengemudikan kapal perang agar tak kandas diterjang gelombang.

Rupanya bu guru menceritakan cita-citaku itu kepada Mami yang menjemput setelah sekolah usai.
Beberapa minggu, selepas Mami terima gaji bulanan PNS, Mami membelikan aku seragam tentara angkatan laut. Waah gagah sekali rasanya. Aku berdiri mematut di depan cermin lemari besar. Seragam angkatan laut warna putih dengan tanda kepangkatan yang tak aku mengerti artinya. Ada peluit kecil yang talinya melingkar di pundak. Topi jenderal nangkring dengan sombongnya diatas kepalaku.

Seragam itu basah kuyub. Bukan karena aku kenakan saat berlayar diatas kapal perang. Namun seragam itu basah oleh keringat ketika aku berjalan diatas aspal panas dibawah terik matahari. Yaa aku berkeringat karena berjalan berkilo-kilo meter menyusuri jalan utama Kabupaten Klaten dalam rangka karnaval agustusan. Tradisi di Klaten, kota kecil diantara Solo-Jogja, memeriahkan hari kemerdekaan dengan mengadakan karnaval yang di tapi ikuti terutama sekolah dari TK sampai SMA. Tentara angkatan laut kecil itu tidak berlayar berjalan di aspal panas.

Mulai SMP, aku senang bergaul dengan alam. Naik gunung, berkemah, panjat dinding dan bermain di pantai. Gara-gara si Nur Muharram alias Mukro yang meracuni untuk naik gunung. Merbabu adalah gunung pertama yang kudaki. Selanjutnya jajaran gunung tinggi di Jawa Tengah yang kami jamah. Merapi, Lawu, Sindoro Sumbing. Hobi berpetualang berlanjut sampai kuliah. Walaupun agak berkurang karena di kampus Universitas Brawijaya aku bertemu dengan baru yang cukup mengasyikan digeluti, dunia aktivis pergerakan.

Alhamdulillah akuu bekerja di ranah yang aku senangi yaitu menjalani profesi jurnalis televisi. Sekarang aku bekerja di tvOne, televisi berita nomor satu di Indonesia. Cita-cita menjadi tentara kandas gara-gara di bangku SMA, penglihatan sudah berkurang karena mata minus dan wajib berkacamata kalo gak pengen nabrak bin nubruk. Menjadi jurnalis apalagi jurnalis televisi adalah salah satu pekerjaan terbaik di dunia. Aku menemukan tantangan yang berbeda setiap hari. Bertemu dengan orang baru. Menjelajahi dunia baru. Mempelajari ilmu baru. Kesenangan akan bergaul dengan alam juga tersalurkan.

Aku pernah bertugas sebagai produser di program Bumi & Manusia dan MutuManikam, program dokumenter yang banyak mengupas hubungan manusia dengan alam.
Meski sebagai produser, aku tak mau berpangku tangan. Hanya duduk manis di belakang meja dan sekadar tandatangan masalah adminitrasi. Aku turun ke lapangan. Memanggul kamera. Berpeluh dan menghadapi tantangan. Bagiku, jurnalis sejati berada di lapangan. Laiknya tentara sejati yang bertarung di medan perang. Tidak duduk jaga markas, menunggui meja kosong.

Sekitar bulan Juni 2010, aku bergabung dan meliput kegiatan Ekspedisi Layar Sabang-Merauke. Ekspedisi dipimpin kapten kapal yang sudah berumur 60 tahun yaitu Capt. Effendy Soleman. Memakai kapal katir kecil, panjang 8 meter, lebar body hanya 1.5 meter, lebar keseluruhan dengan cadik di kanan-kiri tak lebih 6 meter. Ini ekspedisi gila. Banyak orang yang berkomentar begitu setelah melihat kapal begitu kecil haya muat 5 orang dengan catatan berat badan tak boleh lebih 80 kg.

Setelah sebulan berlayar dari Jakarta, Katir Nusantara merapat di pelabuhan Sbang di Pulau Weh. Kami berkunjung ke tugu kilometer Nol. Di tugu ini, tekad mengarungi lautan Sabang-Merauke diperteguh.
Aku bergabung di kapal untuk etape Aceh – Medan yang diperkirakan butuh 6 hari pelayaran. Katir Nusantara mempunyai tiang layar dan dua mesin 15 pk. Bila tak ada angin maka mesin berdengung kelelahan mendorong kapal, membelah selat Malaka.


Katir nusantara begitu mungil. Tak ada ruang. Kami harus rela duduk di atas kapal. Tak ada atap. Panas kepanasan, hujan kehujanan. Bayangkan sejak matahari terbenar sampai matahari tenggelam, sekujur badan disiram garang terik matahari. Tak ada secuil pun yang bisa di pakai untuk berteduh.

Tinggi kapal dari permukaan laut hanya 50 cm atau setengah meter. Kami pun selalu memakai jaket tahan air agar badan tak basah diguyur air laut yang bergelombang.
Tak banyak yang bisa dilakukan diatas kapal ketika sedang berlayar. Hanya duduk. Berusaha tidur. Ambil gambar shooting bila ada moment bagus. Selebihnya melamun. Pernah sekali aku coba membaca majalah Tempo yang sempat aku beli di Banda Aceh. Belum aku buka halaman, air laut sudah terlebih dahulu menjamah setiap helai kertas majalah Tempo. Percuma.

Melamun dibawah terik matahari membuahkan halusinasi tinggi. Aku teringat dengan cita-citaku. Menjadi tentara angkatan laut.

Ketika tengah menunggu kedatangan Cadik Nusantara di pulau Sabang, aku sempat berbincang dengan beberapa bintara TNI AL. Mereka rata-rata mendukung ketika mendengar ada orang yang ingin ekspedisi layar Sabang-Merauke. Beberapa orang diantaranya malah berkeinginan ikut serta bila ditugaskan. Tapi begitu melihat kapal Cadik Nusantara merapat, keinginan para tentara itu buyar. ”Waah iki gendheng” gumam seorang bintara TNI AL yang dari logatnya berasal dari Jawa Timur.
Hahaha.. apakah Tuhan mengabulkan cita-citaku? Berlayar dengan kapal menembus badai? Memang tidak menjadi tentara angkatan laut. Tapi esensi sama. Menguji nyali di lautan berlayar dengan kapal. Mengamalkan lagu ”nenek moyangku orang pelaut….” hayooo masih ingat gak dengan lagu itu?

Kini dibanding naik gunung, aku lebih menikmati bermain di laut, apalagi menyelam. Keindahan surga bawah laut benar-benar membuai. Bila para pendaki gunung punya obsesi mendaki Seven Summits alias 7 puncak tertinggi dunia, maka di dunia selam, Indonesia adalah surga bagi para penyelam.

Ketika meliput ekspedisi Sabang-Merauke, aku sempat menyelam untuk mengambil gambar bawah air di sekitar pantai Iboih. Laut Sabang menyimpan terumbu karang paling bagus diantara titik selam di sepanjang pulau Sumatera.

Sekali lagi Alhamdulillah, menjadi jurnalis televisi seakan membayar lunas cita-citaku sedari kecil.
Benar-benar pekerjaan impian.

Aku berharap suatu ketika, di dalam ruang kelas TK, ada murid yang berteriak ”jadi jurnalis” ketika ditanya cita-citanya oleh si guru.

My Life As “A Researcher”


#MyLifeAs #SpecialMention

Kenapa ada tanda kutip disana? Karena saya masih doctoral student yang melakukan riset, alias belum jadi researcher beneran. Kenapa juga saya tidak menulis “as a doctoral student”, karena nanti ceritanya bakal kemana-mana termasuk sesi jalan-jalan dan makan-makan dan menjadi seratus halaman. Hehe.

Oke. Sebagai mahasiswa doktoral, kegiatan utama sama memang riset. Riset di sini mulai dari membaca materi (ratusan paper yang abstraknya saja sudah membuat eneg), merencanakan dan melakukan eksperimen, berdiskusi dengan adviser dan kolega, memublikasikan hasil riset, lalu lulus (bila sudah direlakan lulus oleh adviser). Di sela-sela semua hal itu, tentu saja ada waktunya saya menangis sesenggukan tidak jelas karena mumet menyelesaikan persamaan yang tidak selesai-selesai, atau tertawa ngakak karena salah membuat larutan sewaktu eksperimen.

Oh ya, saya kuliah di jurusan teknik kimia, FYI. Topik penelitian saya: wastewater treatment. Tidak usah dibahas panjang, ntar pada males baca. Hihi.

Karena harus melakukan eksperimen, saya harus “tinggal” di lab. Lab saya ini memiliki 3 ruangan: kantor (office), ruang instrumen (isinya alat-alat mahal yang memakainya mesti ekstra hati-hati), dan lab sebenarnya (bingung kan). Lab sebenarnya adalah ruangan yang memang digunakan untuk eksperimen saja, tidak untuk menulis laporan, tidak untuk makan, tidak untuk main petak umpet. Setiap hari (itu termasuk Sabtu dan Minggu), saya ke lab. Membaca paper atau menulis laporan di office, mengerjakan eksperimen di lab sebenarnya, dan ya begitulah, hidup saya aslinya hanya mbulet di dua tempat: kamar (dorm) dan lab.

Pagi datang (jam 10), membuat kopi (oh yeah, kita punya coffee maker, kulkas, dan microwave), membaca paper sebentar atau mereview eksperimen kemarin, lalu mengerjakan eksperimen. Sepatu dan celana panjang wajib hukumnya, karena banyak bersentuhan dengan bahan kimia, jangan sampai kena kulit (I work with dangerous chemicals! Stay away!). Kalau summer, sungguh sangat dilematis soal baju. Paling enak menggunakan short pants, tapi tetap harus pake celana panjang supaya aman. Masker juga penting, apalagi kalau bermain dengan asam-asaman. Iya sih senyawa seperti ester ada yang baunya seperti buah-buahan, tapi bahan kimia yang saya gunakan baunya seperti ikan busuk. Hueh. Saluran pernapasan perlu dilindungi, man! Safety first, no matter what! (kok jadi kayak iklan kondom). Kacamata segede gambreng ini juga perlu, kalau berurusan dengan senyawa yang cepat menguap dan membahayakan mata, atau bekerja dengan kemungkinan ada cipratan. Sarung tangan juga harus dipakai, tapi hanya di lab sebenarnya, di kantor, sarung tangan harus dilepas. Dan beginilah penampilan Citraningrum, PhD Candidate saat memakai full armour. Yosh! Cantik kan? Kan? Kan?

me!
Yang namanya eksperimen, pastilah memakan waktu. Mesti sabar, teliti, dan kreatif. Mesti bertahan tidur di lab jika eksperimen belum selesai. Tidur di meja, kepala nunduk, dan bangun pegal-pegal semua. Mesti rela nambah minus karena harus banyak membaca paper yang tulisannya bukan Arial dengan ukuran 12. Sering pulang di atas jam 12 malam. Nggak apa-apa, yang penting jaga kesehatan dan tetap optimis untuk menyelesaikan studi dan beneran jadi researcher (jeng jeng! Perlu intro musik yang membangkitkan semangat nih!).
Nggak eksperimen pun (sekarang saya hanya sesekali eksperimen, kalau perlu), harus tetap datang ke lab dan menganalisa hasil eksperimen tadi. Lebih susah menganalisanya. Harus bisa menjelaskan kenapa hasilnya bisa begini, kok hasilnya bukan begitu, mana data pendukung dari paper sebelumnya, dan sebagainya dan sebagainya. Kalau sudah stuck di tengah malam biasanya saya keluyuran ke kampus sebelah, mencari udara segar. Taipei aman sih, jadi mau pergi dini hari sendiri juga saya cuek-cuek bebek. Balik ke lab, ya kerja lagi dong. Laporan harus diberikan mingguan ke adviser minimal seminggu sekali (padahal belum tentu ada data baru *huiks). Laporan tidak melulu data, melainkan juga apa maksudnya. Kalau tidak ada data baru, isi paper yang dibaca yang dilaporkan. Dan jangan sampai hanya satu atau dua paper. Minimal lima deh.

Kalau ditanya berat atau tidak, ya berat lah. Apalagi dengan gender saya yang wanita. Bukan apa-apa, selama ini bidang science/technology/math/engineering itu masih belum sepenuhnya gender-neutral. Di lab, mahasiswa doktoral yang cewek hanya dua (dari lima sih), tapi cewek yang satunya pun ber-background chemistry (bukan chemical engineering) dan masih gres (baru masuk satu semester), jadi kalau ada apa-apa, pasti saya yang dijadikan rujukan para junior atau kalau ada kesalahan, saya yang dimarahi adviser. Dan perlu waktu lama bagi saya untuk meyakinkan kolega-kolega cowok (sesama mahasiswa doktoral) bahwa saya memang mampu. Baru setelah tiga tahun kolega saya mengatakan “you are indeed smart”. Doeng. Tiga tahun, man.  

Tapi memang menjadi mahasiswa doktoral itu membuat saya senang. Passion saya ada dua: riset dan menulis. Menjadi mahasiswa doktoral itu menggabungkan keduanya, karena saya harus riset dan juga harus menuliskan hasilnya. Tapi adviser saya sering mengatakan tulisan saya terlalu “colloquial”, alias kurang konservatif ketika menyampaikan laporan (hasil keseringan ngeblog, kayaknya). Mesti nulis paper lebih sering nih (yuuukk!).

Jadi begitulah, kegiatan harian saya yang seems boring dan monoton untuk bisa menghilangkan kata ‘candidate’. Semoga cepat selesai risetnya dan menjadi Citraningrum, PhD ya. Doakan. Mohon dukungannya. Dikirimi makanan juga saya nggak nolak kok. Haish.
Sekian dan sampai jumpa di kesempatan curhat berikutnya. Daaaaa.


Sunday, May 20, 2012

#MyLifeAs


Halo!
Seperti yang sudah kita umumkan di akun twitter, setelah beberapa minggu sepi kegiatan di blog, mulai awal minggu lalu PlotPoint ngadain seru-seruan online lagi nih guys. Kali ini seru-seruannya berjudul #MyLifeAs.

Melalui #MyLifeAs, kamu bisa bercerita lewat tulisan di blog soal cita-cita. Cita-cita yang sudah tercapai maupun yang belum tercapai. Cerita kenapa sih kamu memiliki cita-cita tadi dan bagaimana perjalanan kamu untuk meraih cita-cita tersebut. Simple kan guys?
Buat kamu yang ingin ikut meramaikan #MyLifeAs, berikut aturan mainnya:
  • #MyLifeAs berlangsung setiap minggu mulai tanggal 14 Mei 2012 sampai dengan 11 Juni 2012 (kompetisi diperpanjang sampai tanggal 18 Juni 2012)
  • Dalam tulisan kamu cukup ceritakan SATU cita-cita yg sudah atau belum terwujud. Apapun cita-cita kamu, bebas. Tapi ingat: "Storytelling is everything."  ;) 
  • Cerita kamu ditulis dengan font Arial 12, spasi 1,5.
  • Cerita ditulis sebanyak 3 sampai 5 halaman(MS Word).
  • Post tulisan tadi di blog kamu, lalu tweet ke kami dg format: #MyLifeAs "Judul Tulisan / Cita-cita Kamu" di (link blog kamu) dr @akuntwitterkamu kpd @_PlotPoint
  • Contoh mention link kamu: #MyLifeAs "penulis oh penulis" di http://bit.ly/KCCQZn dari @blablabla kepada @_PlotPoint
  • #MyLifeAs ditutup tiap Sabtu malam.
  • Tim PlotPoint akan memilih tulisan yang dianggap menarik untuk ditampilkan di blog PlotPoint Kreatif
  • Satu tulisan terbaik akan mendapatkan hadiah dari PlotPoint
  • Pengumuman tulisan pilihan akan dilakukan melalui akun twitter @_PlotPoint setiap hari Senin 
Nah, begitulah aturan mainnya, Guys. Buat yang tertarik ikutan... Yuk mulai menulis!
Have fun guys!!

Ps: Jangan lupa buat nyimak Timeline Twitter @_PlotPoint buat info terkini seputar #MyLifeAs


Saturday, May 5, 2012

Halo!

Apa kabar?

Satu minggu ini tim PlotPoint sedang mempersiapkan beberapa buku baru yang akan segera beredar di pasaran  mulai awal bulan Juni. Apa-apa saja judul bukunya.. kami akan update untuk teman-teman melalui blog atau twitter @_PlotPoint. 

Sementara itu, sekarang ini kami juga sedang disibukkan dengan beberapa kegiatan penting seperti:



Tembok yang kamu lihat itu adalah salah satu sisi di kantor PlotPoint yang sebenarnya adalah ajang eksperimen kita untuk sedikit menambah estetika kantor. Tsaah ;). Idenya adalah supaya hasrat besar tim PlotPoint buat gambar-gambar (walaupun hasilnya jelek) terpenuhi. Hehehe... Tapi gak cuma tim PlotPoint aja yang bisa ikut meramaikan dinding hitam tadi.. temen-temen yang main ke kantor juga boleh kok ikut menunjukkan bakat menggambar di situ. 

Masih berhubungan dengan gambar, Minggu ini kantor PlotPoint juga diramaikan oleh satu artwork karya Diela Maharanie berjudul Woody Allen. 

Woody Allen by Diela Maharanie

Mungkin beberapa dari kamu ada yang sudah mengenal Diela Maharanie. Yak. Kalo kamu suka banget sama bonus tas sebuah majalah remaja terkenal *inisial GG* beberapa waktu yang lalu.. kamu pasti tau kalo si Diela ini yang bikin design tasnya.  Keren kan ;) Kalo mau lihat hasil karya Diela lainnya, kamu bisa main-main ke blognya Diela: http://dielamaharanie.blogspot.com/

Selain disibukkan dengan gambar-gambar, akhir Minggu ini PlotPoint juga mengadakan mini workshop soal Creative Writing untuk teman-teman pembeli buku seri 123 dan pemenang kompetisi #CeritaHariIni di kantor PlotPoint. Semoga dengan mini workshop ini teman-teman nanti bisa memiliki insight yang sedikit lebih dalam dari sebelumnya mengenai apa itu creative writing dan tips menulis yang efektif dan kreatif. 

Oya, buat kamu yang sebelumnya ikutan #CeritaHariIni dan belum terpilih, jangan sedih... hehe.. PlotPoint masih akan mengadakan kompetisi menulis secara online lainnya kok. Ditunggu aja ya programnya. Segera akan kami umumkan buat teman-teman.

Yak itu tadi sedikit cerita dari saya seputar kegiatan PlotPoint... c u soon guys.. and keep on writing!

Tuesday, May 1, 2012

Bayangan Sepanjang Jalan

Kemanapun aku pergi
Bayang bayangmu mengejar
Bersembunyi dimanapun
Selalu engkau temukan
Aku merasa letih dan ingin sendiri *)



Aku ingat pada senyuman itu. Senyum merekah menyambut pagi yang tak pernah ramah. Senyumnya selalu ada disitu, menunggu bus kota lewat dan berhenti di halte. Aku selalu ingat pada senyuman itu. Rupa berseri dalam balutan senyum itu mengingatkanku pada perempuan itu. Perempuan yang pernah ada mengisi hari-hari sepi. Perempuan yang selalu membuatku hilang dari sadarku. Perempuan yang tiba-tiba menghilang bagai mimpi-mimpi malam.

Pemilik senyum tadi rupanya naik bus kota setiap hari. Berdesakan dengan penumpang lainnya yang sama memburu mimpi di Jakarta. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia harus berlarian mengejar bis kota. Mereka berlomba dan saling berebutan hanya untuk sekedar mendapatkan bangku kosong yang ada.

Aku pun pernah mengalaminya. Betapa tidak menyenangkannya saat-saat itu. Saat peluh bercampur dengan berbagai macam aroma dan itu selalu membuat kepalaku pusing. Aku tidak bisa membayangkan bahwa ia harus hidup dengan kenyataan itu setiap hari. Aku tidak bisa membayangkan apa yang telah dialaminya dan tiba-tiba saja dalam sekejap ia sudah kembali menata penampilannya. Membereskan letak leher kamejanya, mengikat rambut serupa buntut kuda, tak lupa menambal perona wajah sekenanya. Dengan demikian, ia telah siap untuk menjalani hari-hari yang akan selalu seperti itu.
*
Ibu Guru Tati mengawali harinya dengan menyapa orang tua murid yang kebetulan bisa mengantar anak-anak mereka pergi sekolah satu persatu. Setiap pagi ia akan selalu menemuiku. Dengan wajah berseri sambil menyapa hangat "Selamat pagi..."  sembari ditemani dua murid kecilnya yang sudah menunggu. Tidak pernah nampak bekas keringatnya yang meleleh sewaktu di dalam bus. Tidak ada juga wajah lelah dan bosan.

Ibu Guru Tati selalu tersenyum manis setiap menghadapi murid-muridnya. Tidak jarang, mereka sudah menyambutnya sejak gerbang sekolah. Kemudian, ia akan selalu menggandeng tangan Prita. Membawanya masuk kelas dan meninggalkanku. Aku masih ingat wangi parfumnya. Aku perlahan tersenyum sendirian. Sialan. Memori itu masih ada dibenakku.

Sekali waktu, sengaja aku menunggunya. Usai dentang bel sekolah, aku menemuinya dan mulai berbasa-basi. Aku ingin mengantarkannya pulang. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena telah mau menjadi ‘teman’ untuk Prita. Prita selalu bercerita bahwa Ibu Guru Tati selalu mengajarinya membaca buku #Cerita Hari Ini dari seorang penulis tanpa nama. Buku cerita favorit muridnya. Buku itu tidak lebih dari sekumpulan cerita anak berjumlah tiga puluhan cerita pendek yang berisi pelajaran-pelajaran dasar kehidupan. Misalnya, budi pekerti.

Semenjak perceraianku dengan Anita, sudah jadi kewajibanku untuk mengantar-jemput Prita. Makanya, aku selalu punya kesempatan untuk bertemu dengan Ibu Guru Tati. Kesempatan yang tidak akan pernah aku lewatkan begitu saja. 

“Mari, saya antar pulang.”
“Maaf. Terima kasih. Saya naik bus saja.”

Begitu katanya, sambil pergi berlalu begitu saja bagai pesawat tempur.

Aku memang kehilangan kesempatan itu. Aku tidak tahu mengapa tetapi yang jelas ia punya seribu alasan untuk tidak menerima tawaranku. Aku bisa mengerti itu. Dengan statusku yang seperti ini tentu Ibu Guru Tati lebih cerdas dalam bertindak. Tentu ia tidak ingin menampakkan sesuatu yang sangat sulit untuk dijelaskan. Ibu Guru Tati tidak ingin pandangan orang lain merusak reputasinya. Apalagi, ia menjadi figur pengganti para orang tua di sekolah.

Aku melihatnya berlalu begitu saja. Berjalan cepat sambil sesekali menutupi wajahnya karena silau matahari siang. Aku bisa melihat butir keringat yang perlahan muncul di dahinya. Seketika pula ia akan menyekanya dengan sapu tangan berwarna merah jambu. Sapu tangan pemberian Anita, sebulan sebelum kami bercerai. Aku lihat Ibu Guru Tati melambaikan tangan. Bis kota yang sudah terlalu tua dan badannya dipenuhi iklan itu menepi. 

Tidak kulihat lagi Ibu Guru Tati. Ia kembali melebur jadi warga ibu kota yang selalu jadi korban kebijakan. Betapa kota ini tidak pernah ramah bagi warganya sendiri. Pengguna angkutan umum adalah contohnya. Pemerintah telah berkhianat pada mereka. Satu sisi, Pemerintah mengharapkan warganya untuk beralih menggunakan sarana transportasi publik. Namun, disisi lain Pemerintah tidak menyediakan sarana transportasi yang layak dan memadai. Ibu Guru Tati hanyalah bagian kecil dari siklus perkeliruan itu.
*
Aku kini sedang berada dalam bus malam yang akan membawaku ke Surabaya. Malam mulai meninggi. Jalanan sudah sepi. Hanya keremangan malam yang menemaniku. Aku lihat tidak banyak penumpang yang masih terjaga. Kecuali aku dan seorang yang duduk di dekat toilet. Kondektur dan sopir pun seakan khusyuk sekali memandang jalanan di depan.

Kepergianku ke Surabaya bukan untuk sekedar perjalanan biasa. Aku telah memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Aku terima tawaran pekerjaan disana. Aku butuh pengalaman dalam hidupku yang semakin terasa datar ini. Aku tidak pernah tahu kemana sungai kehidupan membawaku. Aku hanya tahu bahwa aku harus melanjutkan hidup, itu saja.

Aku terlalu banyak mengkhayal tentang Ibu Guru Tati. Semenjak kepindahanku ini, aku tentu tidak akan bisa menemuinya lagi. Menatapi senyum ramahnya dan merasakan aroma parfum yang dikenakannya. Tidak pula kutemui lagi sapaan hangat yang selalu membuat Prita begitu riang.

Sepanjang perjalanan aku hanya bisa tertegun bila mengingatnya. Entah darimana datangnya. Bayangan tentangnya masih saja menemuiku. Raungan mesin diesel Hino masih memecah kebisuan di sepanjang jalanan yang masih juga sepi. Aku masih melamun. Aku hanya memandangi jendela saja.

Dalam gelap malam yang semakin pekat. Bayangan itu nampak jelas dan seakan hidup. Aku hanya melihat bayangan wajahnya saja. Bukan Anita, sosok perempuan rendah hati yang telah kusakiti hatinya. Bukan pula Prita, buah cinta kesayanganku satu-satunya, yang selalu membuatku punya alasan untuk tetap hidup. Aku hanya melihat bayangan Ibu Guru Tati. Bayangannya saja.

Beginilah keadaannya. Aku tidak pernah merasa berat hati untuk meninggalkan apapun yang telah kulalui. Aku tidak pernah merasa menyesal atas apapun. Sejenak masih melamun. Bayangan Ibu Guru Tati datang lagi ketika aku mengingat kembali senyumannya. Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan? Aku memanggil namanya kembali. Dalam hati saja. Begitu lekatnya hingga tak ingin pergi.

Semuanya masih gelap. Hanya keremangan lampu jalanan saja yang menemani. Aku masih menatap jendela. Aku merasa sangat lelah. Perlahan bayangan tentangnya muncul kembali. Bagai hujan di musim badai seperti ini yang tak pernah berucap kapan waktunya tiba. Bagus. Sementara perjalanan masih lumayan jauh, aku hanya berkutat dengan bayangannya saja. Pegulatan dengan bayangan yang semakin menyiksaku. Kenapa hal seperti ini muncul pada saat-saat seperti ini? Aku sedang tidak melarikan diri tapi kenapa bayangnya masih selalu ada. Senyumnya selalu mengikuti. Bagaikan bus kota yang mengikuti kehendak sang supir.

Ia bukan siapa-siapa. Maksudku, ia hanya seorang guru, dan hanya itu saja. Kita dipertemukan oleh takdir yang sudah seharusnya terjadi. Aku mengenalnya karena sering bertemu saja. Lainnya, tidak ada. Tapi mengapa saat ini seakan aku merasa dekat sekali dengannya. Aku bisa rasakan hembusan nafasnya dibelakang tengkuk leher ini. Hmm, aku jadi merinding.

Lewat dini hari aku tidak tahu sudah sampai mana. Aku merasa ia sedang duduk di sebelahku. Sama-sama memandang sayu pada jendela yang bertuliskan Jakarta-Surabaya. Aku merasa ia disana dan sedang memegangi tanganku dengan dingin yang mengalir dari sela jari-jarinya.

Aku segera tersadar bahwa aku hanya tertidur sesaat. Itu pun kalau bukan karena klakson bus malam lainnya yang berpapasan. Aku menghela nafas panjang. Aku lihat disekelilingku hanya aku saja yang masih terjaga. Ada sesuatu menganggu. Aku ingin terus terjaga.
*
Aku bersandar pada jok. Mengambil nafas panjang dan keluarkan perlahan sambil memejamkan mata. Aku merasa lebih tenang sekarang. Aku merasa sendirian. Sendirian saja di dalam bus malam yang penumpangnya penuh. Aku melihat titik-titik berwarna putih. Perlahan semakin banyak dan menutupiku.
Paninggilan, 26 April 2012.

*) dari lirik lagu “Aku Ingin Pulang” dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade
| http://selendangwarna.blogspot.com/2012/04/bayangan-sepanjang-jalan.html

Dalam Bus Kota Kenangan

Aku ingin mengatakan hidup ini indah. Seandainya saat ini aku berada di tempat yang berbeda. Bukan disini. Di dalam sebuah bus kota. Sendiri. Udara lembab yang sebentar lagi menghantarkan hujan menambah sendu suasana hatiku. Mungkinkah tetesan hujan yang akan turun sebentar lagi berniat mengejekku? Sudahlah, semua yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Aku akan memulai langkah baru. Disertai doa semoga tubuh ini tidak keburu melapuk diterjang air. Awan hitam makin berat menggantung di langit. Aku menanti hujan sambil menghitung mundur mulai dari dua puluh hingga nol, berharap tiap angka yang terucap dari bibirku mengantarku menuju hari-hari yang telah berlalu. Dan segera merangkainya menjadi Cerita Hari Ini.
*
“Buruan, Om. Nanti kita kesiangan sampai Stasiun Kota,” teriakan salah satu keponakanku terdengar nyaring dari teras.
“Iya, iya, sabar sedikit kenapa? Memang yang lain sudah siap?” jawabku sekenanya. Sebagai lelaki yang belum menikah di awal usia 40, aku lebih banyak, bahkan terlalu banyak meluangkan waktu untuk ‘me time’. Bergelut dengan pekerjaan kantor yang kerap aku bawa ke rumah, hang out dengan teman-teman kerja di waktu luang, dan membaca buku sambil tiduran di hari libur. Libur agak panjang biasanya aku gunakan untuk kegiatan traveling. Lebih sering sendiri ketimbang bersama rombongan. Mengatur urutan tempat-tempat yang ingin kukunjungi sendiri sangat berbeda dengan mengandalkan jasa biro. Meski demikian, hari-hari yang semula terasa istimewa bagiku itu tak urung lambat laun membuatku bosan. Pertanyaan klise seperti ‘kapan menikah’ mulai kuberi porsi perhatian sekian persen. Tidak banyak, tapi setidaknya tidak lagi berlalu dari telinga kanan ke telinga kiri dan akhirnya keluar dari kepala tanpa permisi.
Aku juga mencoba untuk membuka lebih banyak peluang atas hadirnya orang lain dalam jadwal hidupku sehari-hari. Seperti misalnya, mengajak tiga orang keponakanku untuk berkeliling kota Jakarta dengan bus TransJakarta. Riuhnya persiapan bepergian dengan tiga orang keponakan yang semuanya masih sekolah dasar tidak lagi kujadikan beban. Meski kadang telinga ini masih saja terganggu mendengar celoteh mereka yang belum mampu memahami kesendirian pamannya.
“Om, mau nggak aku kenalin sama guru Bahasa Indonesiaku. Namanya Bu Wati. Cakep deh orangnya. Baik hati lagi…” keponakanku yang paling sulung memulai percakapan selagi kami berempat menempatkan dirinya masing-masing di kursi bus TransJakarta.
Aku hanya tersenyum sambil menjawab,”Boleh aja, om suka kok kenalan.”
“Guruku juga ada yang cakep, Om, tapi kemarin aku lihat ke sekolah udah gandeng anak kecil. Aku tanyain dulu ya, Om, siapa tau bukan anaknya…,” adiknya menimpali.
Penumpang di kanan kiri mulai tersenyum-senyum mendengar percakapan kami. Aku jengah dengan senyum yang tertangkap oleh mataku sebagai kebahagiaan dalam iba. Untuk menutupi rasa canggung yang menyergap, aku segera mengeluarkan sunglasses dari saku dan mulai memakainya. Beruntung siang itu cahaya matahari begitu terik.
Mencoba menikmati traveling dalam kota kali ini, aku memasang headset ke telingaku sambil perlahan merebahkan kepala pada sandaran kursi. Aku berharap kiranya apa yang kulakukan ini dapat mengurangi tingkat keberisikan ketiga keponakanku. Setidaknya sebagai pengganti kalimat, ”Tolong simpan dulu pertanyaan kalian untuk di rumah nanti ya.”
Bila kemudian istirahatku menjadi terganggu setelahnya, itu bukanlah disebabkan oleh celoteh tiga makhluk kecil di sebelahku. Itu adalah akibat dari sudut mata lelaki yang telah berkompromi dengan hatinya untuk meninggalkan masa lajangnya di usia yang tidak muda lagi ini bertemu dengan sosok lembut namun bercahaya. Feminin tapi tegas. Tangguh, tapi tak kehilangan senyum manisnya.
Marni namanya, sebagaimana yang tertulis pada seragam yang dikenakannya. Sopir bus TransJakarta yang aku tumpangi bersama ketiga keponakanku. Beruntung aku menyadari keberadaannya saat bus belum lagi menyentuh halte Bundaran Hotel Indonesia. Masih tersisa sekitar 30 hingga 40 menit bagiku untuk menatap wajahnya, mungkin memasang senyum sepantasnya, kemudian mengajaknya berkenalan.
Takdir berpihak padaku dengan caranya sendiri. Beberapa penumpang yang duduk di kursi paling dekat dengan supir turun satu per satu. Dengan gaya menyediakan tempat duduk agar mudah dijangkau oleh penumpang baru, aku menggeser dudukku hingga ke kursi yang paling ujung. Tepat di belakang supir wanita bernama Marni ini. Kini, kaca spion memantulkan bayangan wajahnya lebih jelas. Sejelas gundahnya perasaanku yang datang kali ini.
“Halte Stasiun Kota masih jauh ya?” pertanyaan bodohku mengalun perlahan. Tak ada jawaban. Aku melongokkan kepala melampaui pembatas fiber glass yang memisahkan kursi penumpang dengan supir dan mengulang pertanyaanku. Beruntung ketiga keponakanku kelelahan dan tak lagi menghiraukan tingkah aneh pamannya.
“Eh, iya, Pak, masih enam pemberhentian lagi. Maaf tadi tidak dengar,” sahutnya memperlihatkan senyum manisnya yang lagi-lagi tertangkap oleh kaca spion. Tubuhku serasa diguyur air es di tengah padang pasir demi memandangnya. Tak kusia-siakan waktu yang tersisa sebelum perjalanan ini berakhir dan aku harus berpisah dengannya. Lama Marni bekerja sebagai supir, usia, latar belakang pendidikan, dan keinginan-keinginannya aku rekam dengan baik dalam ingatanku. Tak ketinggalan jadwal kerjanya yang diawali dari Stasiun Blok M.
*
“Pak Bowo, berkas tentang pencabutan izin bus kota yang dirapatkan kemarin sudah ditandatangani?”
“Sudah, Sur. Ambil aja di atas meja, dalam map kuning,” jawabku singkat.
“Bapak cuti sampai kapan?”
“Cuma tiga hari. Jumat pagi aku sudah di kantor lagi”
“Baik, Pak”
Aku menutup pembicaraan telpon dengan bagian tata usaha kantor tempatku bekerja. Mengambil cuti tiga hari saja untuk melepas lelah ternyata hampir tidak ada bedanya dengan masuk kerja seperti biasa. Telpon genggam berdering-dering menanyakan ini itu. Ada baiknya aku matikan sejenak agar hidup ini sedikit seimbang. Desas desus pencabutan izin beberapa jalur bus kota yang dikeluarkan kantor memang cukup meresahkan. Tak pelak demonstrasi kerap terjadi. Tapi yang akan kulakukan tiga hari kedepan ini tidak kalah pentingnya. Jatuh cinta tidak pernah tidak penting. Terutama bagi sebagian kecil yang sedikit terlambat merasakannya.
Aku dan Marni menghabiskan waktu hampir seharian penuh dengan berjalan menyusuri pertokoan di wilayah Blok M. Marni yang sedang mendapat giliran libur memang ada keperluan untuk membeli pakaian anak-anak titipan kakaknya. Dan aku tentunya juga mempunyai keperluan yang tak kalah pentingnya. Mengenal Marni lebih jauh.
Sejak hari itu, aku lebih sering tersenyum. Di rumah, di kamar, di tempat kerja. Meski yang menjadi penyebab senyumanku itu tidak nampak oleh orang di sekitarku. Namun gejala yang terjadi pada diriku sudah langsung diindikasikan sebagai penyakit umum pria lajang yang sudah mapan oleh orang-orang disekitarku.
“Kayaknya sebentar lagi ada yang sebar undangan nih,” Arman, teman sekantorku, berkata sambil berjalan melewatiku. Aku pura-pura tak mendengar. Sudah lebih dari lima orang yang melontarkan pernyataan serupa sambil cengar-cengir semenjak aku masuk kerja lagi dua hari yang lalu.
*
Aku memperbaiki dudukku di dalam bus kota yang bentuknya sudah lebih mirip rongsokan besi tua itu. Mengusir semut-semut yang berbaris di pinggiran jendela. Mereka mengganggu pandanganku. Meski sejujurnya merekalah yang lebih dulu ada di sana. Bukan aku. Aku hanyalah sosok yang terpaku pada kenangan akan perasaan. Perasaan yang pernah ada, yang begitu indah dan seolah minta dipupuk setiap hari.
*
“Mas Bowo, Marni mau pamit,” ucapnya malam itu.
“Pamit?” aku tersedak selagi menghirup teh panas yang disediakan Marni untukku.
“Iya, Mas, mau menemani bapak pindah ke Palembang…”
Aku merasa kehilangan akal waktu itu. Tak tahu pertanyaan apa yang sebaiknya kulontarkan padanya. Mana yang lebih dulu harus kuketahui. Segalanya terasa begitu cepat. Tidak! Tidak mungkin aku melepaskannya!
“Kamu bercanda, kan?” aku mulai dikuasai halusinasiku sendiri.
“Nggak bercanda, Mas. Kami berangkat Senin depan, tiga hari lagi. Bapak ditawari pekerjaan di lahan sawit adiknya”
“Kok… kamu… baru bilang…” aku gugup. Sangat gugup.
“Marni nggak mengira bapak sedemikian kecewa dengan pencabutan izin bus kota yang biasa disupirinya, Mas. Sementara bapak sudah tua dan sakit-sakitan, Marni harus menemani bapak pindah ke mana bapak mau. Tidak mungkin Marni membiarkan bapak sendiri. Kakak Marni kan sudah berkeluarga semua. Marni-lah satu-satunya harapan keluarga untuk menemani bapak semenjak ibu meninggal. Di tempat baru nanti, Marni akan mengikuti tes masuk pegawai administrasi Pupuk Sriwijaya. Doakan ya, Mas, Marni betah tinggal di sana dan dapat pekerjaan yang baik”
Lidahku makin kelu.
Tanpa menunggu pertanyaan lanjutan dariku, Marni melanjutkan ceritanya,”Jadi, bapak dan teman-temannya itu sudah berkali-kali demo di depan kantor Departemen Perhubungan, Mas…”
Deg! Kantorku. Aku memang belum pernah bercerita pada Marni kantor tempatku bekerja. Tidak penting bagiku. Toh, jabatan dan tanggung jawab yang aku emban bukanlah sesuatu yang penting untuk dibanggakan. Aku ingin Marni mengenalku sebagai Bowo saja. Bukan kepala bagian perizinan jalur bus kota.
“Tetapi tidak diperhatikan. Bapak tahu kalau bus kota jalur tersebut dikurangi dengan tujuan untuk membuat lalu lintas Jakarta lebih teratur. Tapi tidak bisa begitu saja kan, Mas. Bagaimana nasib supir dan keluarganya? Itu alasan bapak berdemo pada awalnya. Tetapi kemudian bapak dan teman-temannya juga mendengar kalau jalur tersebut ternyata akan diisi dengan bus kota lain. Lebih bagus dan baru busnya. Bapak jadi curiga, pencabutan izin ini hanya akal-akalan sebagian pihak yang memenangkan tender pengadaan bus kota baru…”
Kepalaku berdenyut makin kencang.
“Bapak muak, Mas, tinggal di sini. Udah habis badan, habis pula hati…”
*
Akhirnya aku membiarkan deretan semut yang semula mengganggu pandanganku itu tetap dengan aktivitasnya. Mereka hanya kubelokkan untuk menempuh arah yang berbeda. Yang semula beriringan melintas di jendela, kini mereka ku arahkan sedikit ke bawah. Aku meletakkan jariku di jalur awal yang mereka tempuh. Mereka mengerti, kemudian berbelok sedikit dan terus membentuk deretan dengan arah sejajar jalur awal tadi. Sebuah lubang kecil menjadi tujuan mereka. Tempat sisa-sisa makanan mereka timbun.
Setahun telah berlalu semenjak kepergian Marni. Sejak itu pula hampir setiap bulan aku rutin menyambangi sebuah lapangan tempat di mana sebagian bus kota yang telah dicabut izinnya teronggok tidak berdaya. Kemudian duduk di salah satu kursinya yang mulai dimakan rayap. Mencoba merasakan kembali makna keadilan di dalamnya.

| http://wordsondesert.wordpress.com/2012/04/26/dalam-bus-kota-kenangan/

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan