Tubuh tua itu membungkuk berusaha membuka jendela yang engselnya
terlalu lama tak terlumas minyak. Bunyi derit beriring dengan tiupan
angin malam yang dingin menerobos masuk kedalam kamarnya yang sempit.
Penulis tua itu terbatuk sebentar kaget oleh serbuan dingin yang berebut
menyiumi pipinya yang keriput. Ia tersenyum kecil melongokkan kepalanya
keluar jendela. Menatap serius pada ujung jalan dikejauhan, lalu
menghela nafas. Berat.
Perlahan ia menghampiri meja kerjanya. Menyalakan komputer tua
miliknya. Kekasihnya yang setia. Tentu saja selain gadis manis berambut
ikal yang dulu pernah bersamanya selama nyaris tujuh tahun. Gadis yang
pernah dicintainya dengan sepenuh seluruh namun pergi begitu saja demi
lelaki pilihan ayahnya. Kebersamaan yang manis dan kepergian yang
pahit. Keduanya kemudian menghambur menjadi kumpulan kata membius yang
diketiknya dari komputer tuanya.
–
Cerita hari ini dimulai ketika gadisnya pada suatu sore yang hangat
memaksanya meninggalkan meja tulis dan tumpukan buku referensi yang
tengah dibacanya dengan asyik.
“Keluarlah sebentar, cuaca sangat bersahabat hari ini,”bujuk
gadisnya. Ia menggeleng. Buku-buku di depannya terlalu menggoda untuk
ditinggalkan.
Gadisnya cemberut. Merajuk.
Gadisnya itu sangat manis. Mungkin yang termanis di kota mereka.
Pipinya bulat kemerahan di kulitnya yang seputih susu. Bibirnya yang
ranum mengerucut mungil. Menggemaskan. Akhirnya ia mengalah. Berdiri
beranjak meninggalkan meja tulisnya lalu membiarkan lengan gadisnya itu
melingkar manja di pinggangnya .
Gadisnya benar. Senja itu sangat cantik.
Ia tak pernah melihat cakrawala begitu merona saat matahari
mengecupnya seperti sore ini. Dan gadisnya begitu bersemangat
menceritakan banyak hal. Tentang toko topi baru di ujung jalan, tentang
kue jahe buatan tukang masak tuanya, Dorothy yang tak lagi garing bahkan
juga tentang kucing siam milik tetangganya yang mendadak hilang siang
tadi. Sesekali ia menimpali cerita kekasihnya. Hanya untuk basa-basi.
Karena sebenarnya ia lebih suka menikmati sepasang biru jernih yang
menari lincah mengikuti liukan intonasi suara pemiliknya. Hingga cerita
terakhir dari gadisnya yang membuatnya sungguh-sungguh terdiam.
Cerita tentang bus kota.
“Bus kota itu berwarna keperakan. Kau tahu, perak yang berkilauan.
Yang meninggalkan semburat cahaya setiap kali bus itu melaju,” Jemari
gadisnya yang gemuk dan lembut itu bergerak melukiskan kecepatan.
“Bus itu akan muncul di ujung jalan. Mereka akan menjemput ruh-ruh
untuk pulang. Itu sebabnya bus kota ini sangat ditakuti. Mereka
menyebutnya, Bus Hantu. “ Mata biru gadisnya membola. Ia mengerinyitkan
kening. Tentu saja ia pernah mendengar kisah Bus Hantu dari ibu dan
neneknya sebelumnya.
Tiba-tiba gadisnya tertawa. Tergelak-gelak sembari memegangi perutnya.
“Kau tampak ketakutan, Sayang. Sudahlah itu cuma omong kosong.”
“Orang-orang dewasa tak pernah sungguh-sungguh melihatnya. Tapi aku
pernah. Yah tentu saja saat aku masih kanak-kanak. Bus itu berhenti di
depan rumah akan menjemput nenek yang berminggu-minggu sakit keras. Isi
bus itu sangat penuh.”
“Apakah penumpangnya sangat mengerikan?” tanyanya ingin tahu. Gadisnya menggelengkan kepala dengan cepat.
“Tidak sama sekali. Mereka semua sangat cantik dan tampan. Beberapa
tampak seperti peri dan orang kerdil. Tapi kesemuanya ramah dan
menyenangkan. Mereka bilang mereka hanya ingin mengajak nenek untuk
pulang dan kembali bermain bersama mereka.” Gadisnya meletakkan cangkir
teh ditangannya dengan hati-hati ke meja. Mengambil nafas sejenak
sebelum berkata,”Untuk bisa melihat yang tak terlihat kita harus bermain
seperti kanak-kanak.”
Ia tercengang.
Gadisnya bukan seorang yang cerdas jika tak ingin disebut bodoh.
Lebih suka melompat-lompat di padang rumput daridapada menghabiskan
waktu berjam-jam bersama sebuah buku. Namun hari ini dengan keluguan
pikirannya gadisnya melahirkan sebuah kebijaksanaan.
Seperti kanak-kanak. Bermain. Melihat yang tak terlihat.
Bertahun kemudian setelah gadisnya memilih menikahi pria pilihan
ayahnya, penulis itu menghasilkan beratus puisi dan puluhan roman yang
mengharu biru. Pembaca fanatiknya berkata ia adalah contoh keberhasilan
sastrawan yang mampu mengubah energi patah hati. Penulis itu hanya
tertawa. Gadis itu memang meninggalkan luka yang bertahun-tahun tak
kunjung sembuh. Namun cintanya terlalu besar untuk bisa membencinya.
Terlebih lagi gadis itu telah meninggalkan sesuatu yang terus
dikenangnya sepanjang hidup. Kisah tentang bus kota yang berwarna
keperakan.
–
Lelaki tua itu membaca kembali semua tulisan miliknya yang tersimpan
di komputer tua. Sesekali ia menoleh ke arah jendela. Dadanya berdegup
riang. Tak sabar menanti petualangan yang akan menghampirinya.
Jam berdentang pukul 3 pagi, ketika angin malam bergerak sejurus
begitu cepat. Diiringi keriuhan dari halaman depan rumahnya. Lelaki tua
bergerak bergegas ke arah jendela. Senyumnya terkembang lebar. Sebuah
bis berwarna perak berkilauan berhenti tepat di depan rumah.
Ia melambai dari loteng kamar kerjanya. Semua penumpang membalas
lambaiannya. Ia melihat wajah manis yang sangat dikenalnya berada
diantara mereka.
“Kemari dan bermainlah, Sayang,” Angin mengantarkan panggilan kekasihnya.
Lelaki tua itu mengangguk penuh semangat.
–
Pukul 8.00 pagi
Gadis muda pengurus rumah tangga yang bernama Anne itu terisak pelan.
Di dekatnya dua polisi dan petugas medis sibuk melakukan tugasnya.
“Kalian lihat senyumnya? Dia mati dengan bahagia,”ujarnya setengah terisak.
Polisi yang membuat catatan mengangkat wajah dari notes kecil yang dipegangnya.
“Kau benar. Ia mati seorang diri namun sepertinya ia cukup puas melihat karya-karya yang ditulisnya sepanjang hidupnya.”
Semua orang di ruangan itu menganggukkan kepala menyetujuinya.
Di sebuah tempat tak bernama, ruh penulis tua itu sibuk bermain.
Dunia Lirang, 25/4/2012
@tantri_shu | http://akusanglirang.wordpress.com/2012/04/25/kisah-penulis-tua/
No comments:
Post a Comment