Bila tidak bermasalah , aku pasti di cintai mereka. Namun, ketika
tubuhku sakit, mereka akan mencaciku. Akupun tidak urung dari
pendustaan para petugas yang menjaga kedatangan dan keberangkatan aku. Namun, aku sering dengar doa dari mereka yang setia mengawali hari bersamaku.
Matahari terbit dari sudutnya. Ya, aku selalu menyukai sudut dia terbit, sangat pas dengan sudut aku berdiri. Aku bangun pagi ini dengan hari yang berbeda nama dari kemarin. Waktu di jamku menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit, saatnya aku bercermin beberapa detik, berjalan ke pintu, dan melangkahkan kaki mengawali hari baru.
Berhenti sejenak di depan gang rumahku, menunggu biru pertama menghampiriku. Ya, dia mobil langgananku yang mengantarkan aku ke biru yang paling utama dalam cerita hari ini. Biru pagiku, tidak pernah bermasalah. Namun, biru yang satu lagi, tidak bisa aku tebak moodnya.
*****
“ Pagi Neng, mau kemana?” tanya salah seorang petugas, ketika aku berdiri di pinggir pintu halte yang tertutup rapat.
“ Mau ke Senayan,” jawabku seperti biasa. Terkadang aku berpikir, aku perlu merekam suaraku supaya aku tidak perlu terlalu sering menjawab.
“ Masih lama neng, setengah delapan baru sampai!” ujarnya sembari mengusir aku dari antrian yang kosong. Aku hanya tersenyum, dan menanggukkan kepalaku ringan, lalu mengeluarkan buku dan mulai membaca.
Detik terus berputar. Aku terhanyut dalam cerita yang aku baca. Kisah cinta seorang wanita dan laki-laki, yang bertemu dalam satu waktu dan akhirnya harus terpisahkan karena banyak perbedaan, dan di akhiri dengan satu adegan, pengejaran di bus kota. Klasik pikirku.
Aku tutup bukuku, lalu berdiri agak kedepan. Aku lihat sekitarku, ternyata antrian sudah panjang, dan waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Matahari semakin terang menyinari pintu halte. Aku lanjutkan lamunanku menatap birunya langit. Ah, aku mulai bosan, semoga aku bisa bertemu dengannya meski aku tidak tahu dimana dia sekarang, kan katanya hari baru itu seperti harapan baru, pikirku. Setengah jam berlalu, si biru belum juga tiba.
Tidak lama, datanglah biru dengan nomor jurusan yang aku tunggu. Aku persiapkan diriku, lalu dia berhenti di depanku. Aku masuk, dan duduk di pojok belakang, sudut kesukaanku.
*****
Inilah cerita pertamaku. Sejenak aku ingin pejamkan mata, aku dengar suara berbisik padaku. Aku diam sejenak. Mencari sumber suara, rasa panas tiba-tiba merasuk tubuhku. “ Hei, ini aku!” ternyata si biru yang aku tumpangi, berbisik padaku. “ Sudah sakit-sakitan, aku terus saja harus membawa mereka ke tempat tujuan. Lalu, mereka mengeluh padaku, karena aku tidak bisa memberikan udara dingin padanya. Aku bisa apa? Aku hanya dioperasi dengan alat tua, tanpa mengantinya dengan yang baru. Bila aku manusia, mungkin ibarat seperti sepatuku sudah rusak, dan dibiarkan saja sampai melukai tumitku.”
Aku tatap sekitarku. Mereka yang duduk, mereka yang berdiri, mengipas dirinya, berusaha mencari udara di tengah sumpeknya bus yang bergerak ini. Lalu, aku dengar dia melanjutkan bisikannya padaku,” tidak perlu yang sering menaiki yang mengeluh, mereka yang mengendaraiku juga suka mengeluh. Bahkan mencaciku lebih keras. Namun, mereka hanya mendengar dari kanan dan mengeluarkannya di kiri. Akhirnya kosongkan?” Aku diam sejenak. Entah mengapa aku merasa dia membaca pikiranku.
Ya, benar, aku sudah hampir bosan dengan kejadian ini. “ Aku harus berhenti. Tidak kuat aku mengaiskan roda kakiku. Aku lebih kepanasan,” lanjutnya. Kebingungan mulai melandaku. Bisikan itu terus berlanjut, tanpa berhenti. “ Maafkan aku, maafkan aku…” Dan buspun berhenti. Lalu, kamipun menarik nafas bersamaan dan mulai mencaci tiada berhenti.
Aku biru, aku melayani perjalanan mereka. Terkadang mereka lebih sering mengeluhkan aku ketimbang bersyukur padaku. Lalu, aku harus bagaimana? Tuanku seakan tidak peduli pada jalanku. Dan aku harus peduli pada jalan mereka. Bila saja, aku biru, aku didengar mereka.
*****
Biru, seragamku. Aku bangun pada saat mereka masih tertidur, karena perjalananku akan dimulai pada pukul 4 pagi. Mengantarkan mereka ke setiap pemberhentian. Ada yang bekerja, ada yang sekolah, atau ada yang sedang janjian dengan orang lain. Apapun yang mereka ingin kerjakan, mereka selalu mengunakan busku.
“ Bapak berangkat dulu ya!” ujarku pada isteri dan anakku.
“ Hati-hati ya pak. Jangan lupa berdoa dulu!” balas isteriku sambil mencium keningku.
Pekerjaan yang biasa, terasa istimewa. Seperti pegawai kantor, aku diharuskan memakai jas. Bedanya, seharian aku akan berada dijalan. Biru adalah kawanku, sahabatku. Dia selalu aku kemudikan hampir setiap hari. Jurusan yang paling jarang untuk di kendarai.
Sesampainya di tempat kerjaku, dan sebelum memulai perjalanan, aku ucapkan doa sejenak di dalam hati. “ Hai bung Biru! Janganlah kau mogok ya! Kasihan mereka yang akan aku bawa hingga sampai tujuan. Mereka punya kerjaan masing-masing yang harus tepat waktu.”
Putaran pertama sudah berlalu. Aku lihat para penumpang dengan wajah yang hampir sama. Menunggu aku tiba di depan pintu halte. Dan merekapun akan memasukki busku. Ada yang setengah memaki , ada yan biasa saja.
Di tengah perjalanan, hatiku mulai resah. Oh tidak, tidak jangan berhenti. Jangan berhenti. Ujarku dalam hati, sambil mengelus bus yang aku kendarai, namun apa daya, dia berhenti. Mungkin dia sudah kelelahan.
*****
Yap , aku telat sampai kantor! Karena biruku berhenti di tengah jalan. Kami semua harus berpindah ke biru yang biasa. Dua bus pertama sudah mengangkut hampir seluruh penumpang. Yang tersisa hanyalah aku, 6 penumpang lainnya, supir dan si penjaga pintu.
Di sela menunggu, aku berkata pada sang supir ,” pak, mungkin dia
butuh mesin baru. Karena keliatannya dia sangat sakit.” Sang supir hanya
tersenyum dan mengangguk, lalu berkata, “ benar, dia sudah rewel sekali
neng. Tapi apa daya. Maaf ya, jadi telat deh neng. Padahal tadi pagi
aku sudah berdoa semoga perjalanan lancar.”
“ Iya pak. Jadi biasa,” balasku sambil tersenyum
“ Laras?” tanya seorang penumpang disampingku. Aku palingkan wajahku, mencari arah suara tersebut. Aku tatap seorang pria berkemeja biru, berdiri di samping sang supir. Dia. Oh tidak! Itu dia!
“ Sudah lama tidak bertemu! Aku Ario. Teman masa kecilmu. Masih ingat?”
Meski begitu, ternyata bisikan si biru membawa aku pada cerita lain yang istimewa. Ah, kau selalu menggoreskan cerita di setiap pagiku biru! Cerita klasik seperti buku yang aku baca. Aku dikelilingi oleh biru-biru, pikirku sambil tersenyum dalam hati.
“ Iya pak. Jadi biasa,” balasku sambil tersenyum
“ Laras?” tanya seorang penumpang disampingku. Aku palingkan wajahku, mencari arah suara tersebut. Aku tatap seorang pria berkemeja biru, berdiri di samping sang supir. Dia. Oh tidak! Itu dia!
“ Sudah lama tidak bertemu! Aku Ario. Teman masa kecilmu. Masih ingat?”
Meski begitu, ternyata bisikan si biru membawa aku pada cerita lain yang istimewa. Ah, kau selalu menggoreskan cerita di setiap pagiku biru! Cerita klasik seperti buku yang aku baca. Aku dikelilingi oleh biru-biru, pikirku sambil tersenyum dalam hati.
“ Setidaknya kamu berhenti dengan orang yang kamu rindukan sejak masih kecil. Dia tampan. Aku dengar doamu pagi ini!” bisik si biru.
“ Setidaknya penumpangku menemukan cerita lain di sela menunggu bus lainnya,” pikir si supir berkemeja biru sambil tersenyum menatap pelanggan setianya.
@sihijau | http://sihijau.wordpress.com/2012/04/24/biru-3/
No comments:
Post a Comment