Aku ingin mengatakan hidup ini indah. Seandainya saat ini aku berada
di tempat yang berbeda. Bukan disini. Di dalam sebuah bus kota. Sendiri.
Udara lembab yang sebentar lagi menghantarkan hujan menambah sendu
suasana hatiku. Mungkinkah tetesan hujan yang akan turun sebentar lagi
berniat mengejekku? Sudahlah, semua yang terjadi memang sudah seharusnya
terjadi. Aku akan memulai langkah baru. Disertai doa semoga tubuh ini
tidak keburu melapuk diterjang air. Awan hitam makin berat menggantung
di langit. Aku menanti hujan sambil menghitung mundur mulai dari dua
puluh hingga nol, berharap tiap angka yang terucap dari bibirku
mengantarku menuju hari-hari yang telah berlalu. Dan segera merangkainya
menjadi Cerita Hari Ini.
*
“Buruan, Om. Nanti kita kesiangan sampai Stasiun Kota,” teriakan salah satu keponakanku terdengar nyaring dari teras.
“Iya, iya, sabar sedikit kenapa? Memang yang lain sudah siap?” jawabku sekenanya. Sebagai lelaki yang belum menikah di awal usia 40, aku lebih banyak, bahkan terlalu banyak meluangkan waktu untuk ‘me time’. Bergelut dengan pekerjaan kantor yang kerap aku bawa ke rumah, hang out dengan teman-teman kerja di waktu luang, dan membaca buku sambil tiduran di hari libur. Libur agak panjang biasanya aku gunakan untuk kegiatan traveling. Lebih sering sendiri ketimbang bersama rombongan. Mengatur urutan tempat-tempat yang ingin kukunjungi sendiri sangat berbeda dengan mengandalkan jasa biro. Meski demikian, hari-hari yang semula terasa istimewa bagiku itu tak urung lambat laun membuatku bosan. Pertanyaan klise seperti ‘kapan menikah’ mulai kuberi porsi perhatian sekian persen. Tidak banyak, tapi setidaknya tidak lagi berlalu dari telinga kanan ke telinga kiri dan akhirnya keluar dari kepala tanpa permisi.
“Iya, iya, sabar sedikit kenapa? Memang yang lain sudah siap?” jawabku sekenanya. Sebagai lelaki yang belum menikah di awal usia 40, aku lebih banyak, bahkan terlalu banyak meluangkan waktu untuk ‘me time’. Bergelut dengan pekerjaan kantor yang kerap aku bawa ke rumah, hang out dengan teman-teman kerja di waktu luang, dan membaca buku sambil tiduran di hari libur. Libur agak panjang biasanya aku gunakan untuk kegiatan traveling. Lebih sering sendiri ketimbang bersama rombongan. Mengatur urutan tempat-tempat yang ingin kukunjungi sendiri sangat berbeda dengan mengandalkan jasa biro. Meski demikian, hari-hari yang semula terasa istimewa bagiku itu tak urung lambat laun membuatku bosan. Pertanyaan klise seperti ‘kapan menikah’ mulai kuberi porsi perhatian sekian persen. Tidak banyak, tapi setidaknya tidak lagi berlalu dari telinga kanan ke telinga kiri dan akhirnya keluar dari kepala tanpa permisi.
Aku juga mencoba untuk membuka lebih banyak peluang atas hadirnya
orang lain dalam jadwal hidupku sehari-hari. Seperti misalnya, mengajak
tiga orang keponakanku untuk berkeliling kota Jakarta dengan bus
TransJakarta. Riuhnya persiapan bepergian dengan tiga orang keponakan
yang semuanya masih sekolah dasar tidak lagi kujadikan beban. Meski
kadang telinga ini masih saja terganggu mendengar celoteh mereka yang
belum mampu memahami kesendirian pamannya.
“Om, mau nggak aku kenalin sama guru Bahasa Indonesiaku. Namanya Bu
Wati. Cakep deh orangnya. Baik hati lagi…” keponakanku yang paling
sulung memulai percakapan selagi kami berempat menempatkan dirinya
masing-masing di kursi bus TransJakarta.
Aku hanya tersenyum sambil menjawab,”Boleh aja, om suka kok kenalan.”
“Guruku juga ada yang cakep, Om, tapi kemarin aku lihat ke sekolah
udah gandeng anak kecil. Aku tanyain dulu ya, Om, siapa tau bukan
anaknya…,” adiknya menimpali.
Penumpang di kanan kiri mulai tersenyum-senyum mendengar percakapan
kami. Aku jengah dengan senyum yang tertangkap oleh mataku sebagai
kebahagiaan dalam iba. Untuk menutupi rasa canggung yang menyergap, aku
segera mengeluarkan sunglasses dari saku dan mulai memakainya. Beruntung siang itu cahaya matahari begitu terik.
Mencoba menikmati traveling dalam kota kali ini, aku memasang headset
ke telingaku sambil perlahan merebahkan kepala pada sandaran kursi. Aku
berharap kiranya apa yang kulakukan ini dapat mengurangi tingkat
keberisikan ketiga keponakanku. Setidaknya sebagai pengganti kalimat,
”Tolong simpan dulu pertanyaan kalian untuk di rumah nanti ya.”
Bila kemudian istirahatku menjadi terganggu setelahnya, itu bukanlah
disebabkan oleh celoteh tiga makhluk kecil di sebelahku. Itu adalah
akibat dari sudut mata lelaki yang telah berkompromi dengan hatinya
untuk meninggalkan masa lajangnya di usia yang tidak muda lagi ini
bertemu dengan sosok lembut namun bercahaya. Feminin tapi tegas.
Tangguh, tapi tak kehilangan senyum manisnya.
Marni namanya, sebagaimana yang tertulis pada seragam yang
dikenakannya. Sopir bus TransJakarta yang aku tumpangi bersama ketiga
keponakanku. Beruntung aku menyadari keberadaannya saat bus belum lagi
menyentuh halte Bundaran Hotel Indonesia. Masih tersisa sekitar 30
hingga 40 menit bagiku untuk menatap wajahnya, mungkin memasang senyum
sepantasnya, kemudian mengajaknya berkenalan.
Takdir berpihak padaku dengan caranya sendiri. Beberapa penumpang
yang duduk di kursi paling dekat dengan supir turun satu per satu.
Dengan gaya menyediakan tempat duduk agar mudah dijangkau oleh penumpang
baru, aku menggeser dudukku hingga ke kursi yang paling ujung. Tepat di
belakang supir wanita bernama Marni ini. Kini, kaca spion memantulkan
bayangan wajahnya lebih jelas. Sejelas gundahnya perasaanku yang datang
kali ini.
“Halte Stasiun Kota masih jauh ya?” pertanyaan bodohku mengalun
perlahan. Tak ada jawaban. Aku melongokkan kepala melampaui pembatas
fiber glass yang memisahkan kursi penumpang dengan supir dan mengulang
pertanyaanku. Beruntung ketiga keponakanku kelelahan dan tak lagi
menghiraukan tingkah aneh pamannya.
“Eh, iya, Pak, masih enam pemberhentian lagi. Maaf tadi tidak
dengar,” sahutnya memperlihatkan senyum manisnya yang lagi-lagi
tertangkap oleh kaca spion. Tubuhku serasa diguyur air es di tengah
padang pasir demi memandangnya. Tak kusia-siakan waktu yang tersisa
sebelum perjalanan ini berakhir dan aku harus berpisah dengannya. Lama
Marni bekerja sebagai supir, usia, latar belakang pendidikan, dan
keinginan-keinginannya aku rekam dengan baik dalam ingatanku. Tak
ketinggalan jadwal kerjanya yang diawali dari Stasiun Blok M.
*
“Pak Bowo, berkas tentang pencabutan izin bus kota yang dirapatkan kemarin sudah ditandatangani?”
“Sudah, Sur. Ambil aja di atas meja, dalam map kuning,” jawabku singkat.
“Bapak cuti sampai kapan?”
“Cuma tiga hari. Jumat pagi aku sudah di kantor lagi”
“Baik, Pak”
Aku menutup pembicaraan telpon dengan bagian tata usaha kantor
tempatku bekerja. Mengambil cuti tiga hari saja untuk melepas lelah
ternyata hampir tidak ada bedanya dengan masuk kerja seperti biasa.
Telpon genggam berdering-dering menanyakan ini itu. Ada baiknya aku
matikan sejenak agar hidup ini sedikit seimbang. Desas desus pencabutan
izin beberapa jalur bus kota yang dikeluarkan kantor memang cukup
meresahkan. Tak pelak demonstrasi kerap terjadi. Tapi yang akan
kulakukan tiga hari kedepan ini tidak kalah pentingnya. Jatuh cinta
tidak pernah tidak penting. Terutama bagi sebagian kecil yang sedikit
terlambat merasakannya.
Aku dan Marni menghabiskan waktu hampir seharian penuh dengan
berjalan menyusuri pertokoan di wilayah Blok M. Marni yang sedang
mendapat giliran libur memang ada keperluan untuk membeli pakaian
anak-anak titipan kakaknya. Dan aku tentunya juga mempunyai keperluan
yang tak kalah pentingnya. Mengenal Marni lebih jauh.
Sejak hari itu, aku lebih sering tersenyum. Di rumah, di kamar, di
tempat kerja. Meski yang menjadi penyebab senyumanku itu tidak nampak
oleh orang di sekitarku. Namun gejala yang terjadi pada diriku sudah
langsung diindikasikan sebagai penyakit umum pria lajang yang sudah
mapan oleh orang-orang disekitarku.
“Kayaknya sebentar lagi ada yang sebar undangan nih,” Arman, teman
sekantorku, berkata sambil berjalan melewatiku. Aku pura-pura tak
mendengar. Sudah lebih dari lima orang yang melontarkan pernyataan
serupa sambil cengar-cengir semenjak aku masuk kerja lagi dua hari yang
lalu.
*
Aku memperbaiki dudukku di dalam bus kota yang bentuknya sudah lebih
mirip rongsokan besi tua itu. Mengusir semut-semut yang berbaris di
pinggiran jendela. Mereka mengganggu pandanganku. Meski sejujurnya
merekalah yang lebih dulu ada di sana. Bukan aku. Aku hanyalah sosok
yang terpaku pada kenangan akan perasaan. Perasaan yang pernah ada, yang
begitu indah dan seolah minta dipupuk setiap hari.
*
“Mas Bowo, Marni mau pamit,” ucapnya malam itu.
“Pamit?” aku tersedak selagi menghirup teh panas yang disediakan Marni untukku.
“Iya, Mas, mau menemani bapak pindah ke Palembang…”
Aku merasa kehilangan akal waktu itu. Tak tahu pertanyaan apa yang
sebaiknya kulontarkan padanya. Mana yang lebih dulu harus kuketahui.
Segalanya terasa begitu cepat. Tidak! Tidak mungkin aku melepaskannya!
“Kamu bercanda, kan?” aku mulai dikuasai halusinasiku sendiri.
“Nggak bercanda, Mas. Kami berangkat Senin depan, tiga hari lagi. Bapak ditawari pekerjaan di lahan sawit adiknya”
“Kok… kamu… baru bilang…” aku gugup. Sangat gugup.
“Marni nggak mengira bapak sedemikian kecewa dengan pencabutan izin
bus kota yang biasa disupirinya, Mas. Sementara bapak sudah tua dan
sakit-sakitan, Marni harus menemani bapak pindah ke mana bapak mau.
Tidak mungkin Marni membiarkan bapak sendiri. Kakak Marni kan sudah
berkeluarga semua. Marni-lah satu-satunya harapan keluarga untuk
menemani bapak semenjak ibu meninggal. Di tempat baru nanti, Marni akan
mengikuti tes masuk pegawai administrasi Pupuk Sriwijaya. Doakan ya,
Mas, Marni betah tinggal di sana dan dapat pekerjaan yang baik”
Lidahku makin kelu.
Tanpa menunggu pertanyaan lanjutan dariku, Marni melanjutkan
ceritanya,”Jadi, bapak dan teman-temannya itu sudah berkali-kali demo di
depan kantor Departemen Perhubungan, Mas…”
Deg! Kantorku. Aku memang belum pernah bercerita pada Marni kantor
tempatku bekerja. Tidak penting bagiku. Toh, jabatan dan tanggung jawab
yang aku emban bukanlah sesuatu yang penting untuk dibanggakan. Aku
ingin Marni mengenalku sebagai Bowo saja. Bukan kepala bagian perizinan
jalur bus kota.
“Tetapi tidak diperhatikan. Bapak tahu kalau bus kota jalur tersebut
dikurangi dengan tujuan untuk membuat lalu lintas Jakarta lebih teratur.
Tapi tidak bisa begitu saja kan, Mas. Bagaimana nasib supir dan
keluarganya? Itu alasan bapak berdemo pada awalnya. Tetapi kemudian
bapak dan teman-temannya juga mendengar kalau jalur tersebut ternyata
akan diisi dengan bus kota lain. Lebih bagus dan baru busnya. Bapak jadi
curiga, pencabutan izin ini hanya akal-akalan sebagian pihak yang
memenangkan tender pengadaan bus kota baru…”
Kepalaku berdenyut makin kencang.
“Bapak muak, Mas, tinggal di sini. Udah habis badan, habis pula hati…”
*
Akhirnya aku membiarkan deretan semut yang semula mengganggu
pandanganku itu tetap dengan aktivitasnya. Mereka hanya kubelokkan untuk
menempuh arah yang berbeda. Yang semula beriringan melintas di jendela,
kini mereka ku arahkan sedikit ke bawah. Aku meletakkan jariku di jalur
awal yang mereka tempuh. Mereka mengerti, kemudian berbelok sedikit dan
terus membentuk deretan dengan arah sejajar jalur awal tadi. Sebuah
lubang kecil menjadi tujuan mereka. Tempat sisa-sisa makanan mereka
timbun.
Setahun telah berlalu semenjak kepergian Marni. Sejak itu pula hampir
setiap bulan aku rutin menyambangi sebuah lapangan tempat di mana
sebagian bus kota yang telah dicabut izinnya teronggok tidak berdaya.
Kemudian duduk di salah satu kursinya yang mulai dimakan rayap. Mencoba
merasakan kembali makna keadilan di dalamnya.
@nastiti_ds | http://wordsondesert.wordpress.com/2012/04/26/dalam-bus-kota-kenangan/
No comments:
Post a Comment