Langit gelap. Laut bergolak. Angin kencang mengangkat air laut menjadi gelombang setinggi bukit. Hujan semakin deras seakan tak ada yang mampu menahan kejatuhannya. Satu kapal perang bergerak lambat. Haluan kapal mengangguk-angguk diangkat ombak. Gelombang laut menghempas hingga ke geladak. Di atas anjungan yang terbuka, seorang perwira berusaha berdiri tegak. Tangan kiri memegang erat besi pagar, tangan kanan menggenggam teleskop yang menempel di matanya. Wajah basah kuyub tak dihiraukan. Di tengah badai yang kelabu, mata sang perwira berusaha menangkap bayangan di depan. Di dalam hati ia terus berdoa agar kapal tak tenggelam gara-gara lambung kapal bocor dirobek karang yang luput dari pandangannya.
Di dalam ruang kelas TK yang hangat, seorang guru memberikan pertanyaan ”Kalo udah gede, kalian mau jadi apa? Angkat tangan.”
”Tentara” jawab ku lantang.
”Angkat tangan dulu baru jawab, Aditya” balas guru.
”Iya bu guru” rupanya mulutku lebih cepat menjawab ketimbang gerakan tangan. Mungkin karena dorongan semangat yang meluap dan takut kalah keduluan dengan murid lain.
”Tentara apa?” lanjut guru.
”Angkatan laut.”
Sejak di TK, ketika ditanya apa cita-citaku, aku ingin jadi tentara angkatan laut. Kehebatan tentara angkatan laut aku dapatkan dari gambar kapal perang yang tengah berlayar membelah badai. Gambaran itu aku dapat ketika melihat siaran Dunia Dalam Berita. Entah isi berita tentang apa. Tapi seingatku, ada seorang pelaut yang berdiri tegak, berupaya mengemudikan kapal perang agar tak kandas diterjang gelombang.
Rupanya bu guru menceritakan cita-citaku itu kepada Mami yang menjemput setelah sekolah usai.
Beberapa minggu, selepas Mami terima gaji bulanan PNS, Mami membelikan aku seragam tentara angkatan laut. Waah gagah sekali rasanya. Aku berdiri mematut di depan cermin lemari besar. Seragam angkatan laut warna putih dengan tanda kepangkatan yang tak aku mengerti artinya. Ada peluit kecil yang talinya melingkar di pundak. Topi jenderal nangkring dengan sombongnya diatas kepalaku.
Seragam itu basah kuyub. Bukan karena aku kenakan saat berlayar diatas kapal perang. Namun seragam itu basah oleh keringat ketika aku berjalan diatas aspal panas dibawah terik matahari. Yaa aku berkeringat karena berjalan berkilo-kilo meter menyusuri jalan utama Kabupaten Klaten dalam rangka karnaval agustusan. Tradisi di Klaten, kota kecil diantara Solo-Jogja, memeriahkan hari kemerdekaan dengan mengadakan karnaval yang di tapi ikuti terutama sekolah dari TK sampai SMA. Tentara angkatan laut kecil itu tidak berlayar berjalan di aspal panas.
Mulai SMP, aku senang bergaul dengan alam. Naik gunung, berkemah, panjat dinding dan bermain di pantai. Gara-gara si Nur Muharram alias Mukro yang meracuni untuk naik gunung. Merbabu adalah gunung pertama yang kudaki. Selanjutnya jajaran gunung tinggi di Jawa Tengah yang kami jamah. Merapi, Lawu, Sindoro Sumbing. Hobi berpetualang berlanjut sampai kuliah. Walaupun agak berkurang karena di kampus Universitas Brawijaya aku bertemu dengan baru yang cukup mengasyikan digeluti, dunia aktivis pergerakan.
Alhamdulillah akuu bekerja di ranah yang aku senangi yaitu menjalani profesi jurnalis televisi. Sekarang aku bekerja di tvOne, televisi berita nomor satu di Indonesia. Cita-cita menjadi tentara kandas gara-gara di bangku SMA, penglihatan sudah berkurang karena mata minus dan wajib berkacamata kalo gak pengen nabrak bin nubruk. Menjadi jurnalis apalagi jurnalis televisi adalah salah satu pekerjaan terbaik di dunia. Aku menemukan tantangan yang berbeda setiap hari. Bertemu dengan orang baru. Menjelajahi dunia baru. Mempelajari ilmu baru. Kesenangan akan bergaul dengan alam juga tersalurkan.
Aku pernah bertugas sebagai produser di program Bumi & Manusia dan MutuManikam, program dokumenter yang banyak mengupas hubungan manusia dengan alam.
Meski sebagai produser, aku tak mau berpangku tangan. Hanya duduk manis di belakang meja dan sekadar tandatangan masalah adminitrasi. Aku turun ke lapangan. Memanggul kamera. Berpeluh dan menghadapi tantangan. Bagiku, jurnalis sejati berada di lapangan. Laiknya tentara sejati yang bertarung di medan perang. Tidak duduk jaga markas, menunggui meja kosong.
Meski sebagai produser, aku tak mau berpangku tangan. Hanya duduk manis di belakang meja dan sekadar tandatangan masalah adminitrasi. Aku turun ke lapangan. Memanggul kamera. Berpeluh dan menghadapi tantangan. Bagiku, jurnalis sejati berada di lapangan. Laiknya tentara sejati yang bertarung di medan perang. Tidak duduk jaga markas, menunggui meja kosong.
Sekitar bulan Juni 2010, aku bergabung dan meliput kegiatan Ekspedisi Layar Sabang-Merauke. Ekspedisi dipimpin kapten kapal yang sudah berumur 60 tahun yaitu Capt. Effendy Soleman. Memakai kapal katir kecil, panjang 8 meter, lebar body hanya 1.5 meter, lebar keseluruhan dengan cadik di kanan-kiri tak lebih 6 meter. Ini ekspedisi gila. Banyak orang yang berkomentar begitu setelah melihat kapal begitu kecil haya muat 5 orang dengan catatan berat badan tak boleh lebih 80 kg.
Setelah sebulan berlayar dari Jakarta, Katir Nusantara merapat di pelabuhan Sbang di Pulau Weh. Kami berkunjung ke tugu kilometer Nol. Di tugu ini, tekad mengarungi lautan Sabang-Merauke diperteguh.
Aku bergabung di kapal untuk etape Aceh – Medan yang diperkirakan butuh 6 hari pelayaran. Katir Nusantara mempunyai tiang layar dan dua mesin 15 pk. Bila tak ada angin maka mesin berdengung kelelahan mendorong kapal, membelah selat Malaka.
Aku bergabung di kapal untuk etape Aceh – Medan yang diperkirakan butuh 6 hari pelayaran. Katir Nusantara mempunyai tiang layar dan dua mesin 15 pk. Bila tak ada angin maka mesin berdengung kelelahan mendorong kapal, membelah selat Malaka.
Katir nusantara begitu mungil. Tak ada ruang. Kami harus rela duduk di atas kapal. Tak ada atap. Panas kepanasan, hujan kehujanan. Bayangkan sejak matahari terbenar sampai matahari tenggelam, sekujur badan disiram garang terik matahari. Tak ada secuil pun yang bisa di pakai untuk berteduh.
Tinggi kapal dari permukaan laut hanya 50 cm atau setengah meter. Kami pun selalu memakai jaket tahan air agar badan tak basah diguyur air laut yang bergelombang.
Tak banyak yang bisa dilakukan diatas kapal ketika sedang berlayar. Hanya duduk. Berusaha tidur. Ambil gambar shooting bila ada moment bagus. Selebihnya melamun. Pernah sekali aku coba membaca majalah Tempo yang sempat aku beli di Banda Aceh. Belum aku buka halaman, air laut sudah terlebih dahulu menjamah setiap helai kertas majalah Tempo. Percuma.
Tak banyak yang bisa dilakukan diatas kapal ketika sedang berlayar. Hanya duduk. Berusaha tidur. Ambil gambar shooting bila ada moment bagus. Selebihnya melamun. Pernah sekali aku coba membaca majalah Tempo yang sempat aku beli di Banda Aceh. Belum aku buka halaman, air laut sudah terlebih dahulu menjamah setiap helai kertas majalah Tempo. Percuma.
Melamun dibawah terik matahari membuahkan halusinasi tinggi. Aku teringat dengan cita-citaku. Menjadi tentara angkatan laut.
Ketika tengah menunggu kedatangan Cadik Nusantara di pulau Sabang, aku sempat berbincang dengan beberapa bintara TNI AL. Mereka rata-rata mendukung ketika mendengar ada orang yang ingin ekspedisi layar Sabang-Merauke. Beberapa orang diantaranya malah berkeinginan ikut serta bila ditugaskan. Tapi begitu melihat kapal Cadik Nusantara merapat, keinginan para tentara itu buyar. ”Waah iki gendheng” gumam seorang bintara TNI AL yang dari logatnya berasal dari Jawa Timur.
Hahaha.. apakah Tuhan mengabulkan cita-citaku? Berlayar dengan kapal menembus badai? Memang tidak menjadi tentara angkatan laut. Tapi esensi sama. Menguji nyali di lautan berlayar dengan kapal. Mengamalkan lagu ”nenek moyangku orang pelaut….” hayooo masih ingat gak dengan lagu itu?
Kini dibanding naik gunung, aku lebih menikmati bermain di laut, apalagi menyelam. Keindahan surga bawah laut benar-benar membuai. Bila para pendaki gunung punya obsesi mendaki Seven Summits alias 7 puncak tertinggi dunia, maka di dunia selam, Indonesia adalah surga bagi para penyelam.
Ketika meliput ekspedisi Sabang-Merauke, aku sempat menyelam untuk mengambil gambar bawah air di sekitar pantai Iboih. Laut Sabang menyimpan terumbu karang paling bagus diantara titik selam di sepanjang pulau Sumatera.
Sekali lagi Alhamdulillah, menjadi jurnalis televisi seakan membayar lunas cita-citaku sedari kecil.
Benar-benar pekerjaan impian.
Benar-benar pekerjaan impian.
Aku berharap suatu ketika, di dalam ruang kelas TK, ada murid yang berteriak ”jadi jurnalis” ketika ditanya cita-citanya oleh si guru.
No comments:
Post a Comment