Tuesday, May 1, 2012

INDAH PADA WAKTUNYA

“Ibu, saya pergi ke Kampung Rambutan ya…”
“Hati-hati ya, nak.”
“Ya, bu.”
Deden masih kecil, kira-kira berumur delapan tahun. Karena keterbatasan ekonomi orang tuanya, ia pun tidak bisa bersekolah sejak kecil. Ayahnya hanyalah seorang buruh bangunan dan ibunya adalah seorang kuli cuci bagi tetangga-tetangganya. Hasil jerih payah mereka hanya bisa untuk membeli makanan untuk penyambung hidup beberapa minggu atau bahkan beberapa hari. Mereka memang buta huruf, tapi kalau urusan uang, mereka masih dapat menghitung bilangannya.
Saat Deden berumur tujuh tahun ia menemani ayahnya saat menjadi buruh bangunan panggilan di dekat Kampung Rambutan. Karena ia jenuh hanya melihat-lihat saja, akhirnya ia pun berjalan-jalan ke arah terminal bus kota. Saat itu masih pagi hari, tapi sudah banyak orang yang hilir mudik menggunakan jasa bus kota di sini.
“Hey, Den! Sedang apa kau di sini?”
“Udin? Saya sedang menunggu ayah bekerja di sekitar sini, kamu sedang apa?”
“Saya mau bekerja.”
“Bekerja apa?”
“Kamu mau kerja juga, Den?”
Setelah berpikir sejenak, Deden pun menganggukkan kepalanya.
“Ayo, ikuti aku!”
Tempat Udin bekerja tidak terlalu dari situ, masih di terminal Kampung Rambutan, tepatnya di pinggir jalannya. Udin adalah teman sekampung Deden. Saat tiba di tempat yang dituju, ternyata di situ juga ada beberapa anak seumuran mereka juga dari kampung lain ditemani beberapa ember.
“Pak, saya ajak teman saya ya, hasilnya dilebihkan dikit boleh ya, Pak.”
Deden meminta dengan muka memelas. Pak Sukro yang awalnya ingin marah itu tidak jadi karena muka-muka anak ini yang minta dikasihani begitu menyentuh hati Pak Sukro. Ia hanya bisa menggeleng-geleng kepala dengan berkata, “Ya, ya… tapi hanya sedikit ya, sekarang kalian mulai mencuci.” Meskipun jawabannya seperti tidak peduli, tapi sebenarnya ia masih menyimpan rasa iba pada anak-anak ini.
“Terima kasih banyak, Pak,” kata Deden dan Udin hampir berbarengan dan mencium tangan Pak Sukro. Mereka dan anak-anak lain pun mulai mencuci bus kota yang dari tadi sudah nangkring minta untuk dimandikan. Ya, pekerjaan mereka adalah mencuci bus kota yang mampir maupun yang menginap di  terminal itu.
Yah, itulah asal mula pekerjaan Deden selama sekitar satu tahun itu. Orang tuanya tentu tidak memarahinya karena mereka merasa Deden telah meringankan beban hidup mereka meskipun tidak begitu seberapa menutupi kekurangan yang ada. Cukup makan. Dua kata itulah merupakan slogan hidup mereka.
Pagi ini ada kejutan besar sedang menanti Deden. Siapapun tak akan ada yang menduganya. Diawali dari Udin yang mengajaknya menjadi kenek bus kota setelah mencuci bus di pagi hari. Tentu saja Deden menerima ajakannya kembali.
Di dalam penuh sesak dengan orang dari berbagai jenis kelamin dan berbagai posisi pekerjaan. Ada yang duduk, ada juga yang berpegangan pada pegangan di bagian atas bus. Deden dan Udin harus berdesakan untuk melewati mereka dan mengambil ongkos para penumpang. Lembaran demi lembaran ribuan rupiah pun diterima Deden dan Udin untuk diberikan pada supir.
Mereka tak tahu ada sepasang mata yang menatap mereka sejak pemilik sepasang mata itu menaiki bus. Melalui jendela di sebelah tempat duduknya, sekali-sekali ia melihat ke arah luar bus, merenung tindakan selanjutnya terhadap kedua anak laki-laki itu.
Beberapa menit kemudian, tibalah sang pemilik sepasang mata itu tiba di tempat tujuan. Namun, tunggu. Dia tidak turun. Dia terus berada di dalam bus kota hingga bus itu kembali lagi ke terminal Kampung Rambutan, yang berarti hari sudah menjelang sore. Sebenarnya dia sendiri masih penasaran apakah tindakannya itu dapat berdampak baik bagi kedua anak tersebut.
“Mmm… De?” akhirnya saat turun di terminal Kampung Rambutan itu, sang pemilik sepasang mata itu pun membuka suaranya pada Deden.
“Ya, Pak? Ada apa?” telisik Deden saat berbalik dan seperti menyelidiki pemilik sepasang mata itu yang masih berpikir apakah langkah yang ia ambil itu akan tercapai.
“Apa kalian ada waktu? Saya ingin berbicara dengan kalian,” katanya sambil berjongkok di depan mereka tanda ingin menyejajarkan diri dengan Deden dan Udin.
Deden dan Udin saling bertatapan, berpikir sebentar, lalu mengangguk berbarengan meskipun pemikirannya masih berkecamuk beribu-ribu pertanyaan. Pria ini mengajak mereka ke warung terdekat untuk makan siang sekaligus mengobrol. Tentu saja Deden dan Udin menyantap makanannya dengan asyik.
“Kenalkan, saya Brendan, panggil saja saya om Brendan,” katanya sambil menjabat tangan Deden dan Udin. Om Brendan yang kira-kira berumur tiga puluhan ini berperawakan tinggi, tidak terlalu gemuk juga tidak terlalu kurus, berkulit agak coklat karena sering tertempa matahari saat menunggu bus kota.
“Apakah kalian bersekolah?”
Lagi-lagi Deden dan Udin tidak bersuara dan hanya menggelengkan kepala.
“Pernah bersekolah?”
Dijawab lagi dengan gelengan kepala.
“Apakah kalian mau bersekolah?”
Kali ini Deden dan Udin mengangguk dengan semangat dan senyuman menghiasi wajahnya. Om Brendan pun ikut tersenyum.
“Mau saya biayai kalian sekolah?”
“Hmmm… boleh saya tanya orang tua saya dulu, Om??” tanya Deden.
“Apa orang tua kalian ada di rumah? Sekalian saya juga ingin berbicara langsung dengan mereka,” om Brendan berharap banyak kerja sama dari orang tua mereka.
“Kalau ibu saya sudah pasti ada di rumah, Om. Ayah saya belum tentu ada di rumah,” jelas Deden.
“Saya hanya punya ibu di rumah, om,” kata Udin dengan sedih.
“Tidak apa-apa,” kata om Brendan sambil menepuk pundak Udin sambil tersenyum untuk menyemangati.
Akhirnya om Brendan bertemu ibu dari kedua anak tersebut. Awalnya tentu saja para ibu itu curiga dengan maksud kedatangannya. Namun, setelah dijelaskan bahwa ia merupakan anggota dari Gerakan Orang Tua Asuh dan diperlihatkan bukti keanggotaannya, maka para ibu pun mempercayakan semuanya kepada om Brendan.
Malam hari saat keluarga Deden makan malam bersama, ibu deden memulai percakapan tentang pertemuannya dengan om Brendan tadi siang. Ternyata perihal Deden sekolah memang keinginan ayahnya sejak dahulu, tentu saja beliau mengizinkan Deden bersekolah.
Setelah mengurus surat-suratnya, om Brendan memasukkan Deden dan Udin ke sekolah elit. Sekolah yang menjunjung tinggi tingkat kedisiplinan dan kemoralan yang baik itu membuat mereka betah bersekolah di sana. Meskipun mereka telat masuk sekolah yang menyebabkan mereka di kelas 1 SD berumur lebih tua dari teman sekelasnya, tapi tidak ada perlakuan diskriminasi dari berbagai pihak sekolah.
Hingga lulus kuliah, nilai-nilai yang dihasilkan mereka pun tergolong baik. Om Brendan menyerahkan sisanya pada Deden dan Udin yang sudah bisa bekerja di beberapa perusahaan mobil.
Suatu saat om Brendan yang sudah mulai uzur tidak kuat lagi menjalani anggotanya sebagai orang tua asuh, giliran Deden yang meneruskan keanggotaannya sebagai tanda terima kasih atas usahanya selama ini. Sedangkan Udin tetap berkonsentrasi pada perusahaan yang diminatinya.
Tidak disangka, Deden dan Udin yang saat ini sudah berumur 30 tahun ini sudah mempunyai rumah kecil dan sebuah kendaraan bermotor yang sederhana bagi keluarga kecilnya, orang tua dan mereka sendiri. Untuk urusan jodoh masih bisa menunggu sampai pada waktunya, kata mereka. Hanya kerja keras untuk membahagiakan orang tuanyalah di pikiran mereka saat ini.
Kerja keras mereka ini sampailah pada saat yang tidak diduga oleh penghuni terminal Kampung Rambutan termasuk Pak Sukro. Deden dan Udin bersepakat untuk mendedikasikan pada tempat kerja masa kecilnya dulu. Mereka membenahi terminal Kampung Rambutan dari tempat cuci hingga fasilitas bus-bus kota itu sendiri. Pak Sukro sangat berterima kasih pada mereka. Anak-anak kampung yang bertugas mencuci pun diangkat sebagai anak asuh oleh Deden. Mereka masih boleh bertugas mencuci bus kota saat siang hari setelah selesai sekolah.
Akhirnya suatu saat Deden harus berpisah dengan Udin yang dipindahtugaskan keluar pulau. Deden mengantarkan kepergian Udin di stasiun kereta api. Mereka berpelukan lama dan saling menyemangati satu sama lain.
“Jaga ibuku ya,” kata Udin dengan mata sendu.
“Pasti, Din,” kata Deden meyakinkan.
Tiba-tiba ponsel Deden berbunyi, ia mendapat kabar dari ibunya kalau om Brendan terserang penyakin jantung. Udin menunda kepergiannya, bersama Deden pergi ke Rumah Sakit di mana om Brendan dirujuk.
Setelah menunggu om Brendan siuman dari operasi seharian, Deden dan Udin dipersilakan masuk dan dibiarkan bertiga oleh keluarganya.
“Deden, Udin, selamat kalian telah menempuh perjalanan panjang dan menerima permohonanku sebagai anak asuh serta menjalankan pendidikan dan pekerjaan dengan sangat baik. Sekaranglah waktunya kalian ikut dalam menyebarkan kebaikan di sekitar kalian agar semakin banyak orang yang berhasil seperti kalian.”
“Baik, om. Terima kasih juga telah membimbing kami selama ini,” kata Deden sambil menahan tangisnya.
Om Brendan hanya tersenyum dan meninggalkan mereka selamanya.
Ya, sekaranglah giliran mereka menyebarkan berkat, berkat yang tidak hanya dititipkan om Brendan pada mereka, tetapi berkat dari Tuhan yang diturunkan pada mereka. Tidak ada yang tidak mungkin jika disertai niat yang baik dan tulus dan segalanya pasti indah pada waktunya.
Deden membuktikan bahwa bus kota bukanlah tempat ia bekerja sebagai kenek saja, tapi tempat awal mula keajaiban terjadi.

 @D3pzBelle | (via email)

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan