“Hati-hati ya, nak.”
“Ya, bu.”
Deden masih kecil, kira-kira berumur delapan
tahun. Karena keterbatasan ekonomi orang tuanya, ia pun tidak bisa bersekolah
sejak kecil. Ayahnya hanyalah seorang buruh bangunan dan ibunya adalah seorang
kuli cuci bagi tetangga-tetangganya. Hasil jerih payah mereka hanya bisa untuk
membeli makanan untuk penyambung hidup beberapa minggu atau bahkan beberapa
hari. Mereka memang buta huruf, tapi kalau urusan uang, mereka masih dapat
menghitung bilangannya.
Saat Deden berumur tujuh tahun ia menemani
ayahnya saat menjadi buruh bangunan panggilan di dekat Kampung Rambutan. Karena
ia jenuh hanya melihat-lihat saja, akhirnya ia pun berjalan-jalan ke arah
terminal bus kota. Saat itu masih pagi hari, tapi sudah banyak orang yang hilir
mudik menggunakan jasa bus kota di sini.
“Hey, Den! Sedang apa kau di sini?”
“Udin? Saya sedang menunggu ayah bekerja di
sekitar sini, kamu sedang apa?”
“Saya mau bekerja.”
“Bekerja apa?”
“Kamu mau kerja juga, Den?”
Setelah berpikir sejenak, Deden pun
menganggukkan kepalanya.
“Ayo, ikuti aku!”
Tempat Udin bekerja tidak terlalu dari situ,
masih di terminal Kampung Rambutan, tepatnya di pinggir jalannya. Udin adalah
teman sekampung Deden. Saat tiba di tempat yang dituju, ternyata di situ juga
ada beberapa anak seumuran mereka juga dari kampung lain ditemani beberapa
ember.
“Pak, saya ajak teman saya ya, hasilnya
dilebihkan dikit boleh ya, Pak.”
Deden meminta dengan muka memelas. Pak Sukro
yang awalnya ingin marah itu tidak jadi karena muka-muka anak ini yang minta
dikasihani begitu menyentuh hati Pak Sukro. Ia hanya bisa menggeleng-geleng
kepala dengan berkata, “Ya, ya… tapi hanya sedikit ya, sekarang kalian mulai
mencuci.” Meskipun jawabannya seperti tidak peduli, tapi sebenarnya ia masih
menyimpan rasa iba pada anak-anak ini.
“Terima kasih banyak, Pak,” kata Deden dan
Udin hampir berbarengan dan mencium tangan Pak Sukro. Mereka dan anak-anak lain
pun mulai mencuci bus kota yang dari tadi sudah nangkring minta untuk dimandikan. Ya, pekerjaan mereka adalah
mencuci bus kota yang mampir maupun yang menginap di terminal itu.
Yah, itulah asal mula pekerjaan Deden selama
sekitar satu tahun itu. Orang tuanya tentu tidak memarahinya karena mereka
merasa Deden telah meringankan beban hidup mereka meskipun tidak begitu
seberapa menutupi kekurangan yang ada. Cukup makan. Dua kata itulah merupakan
slogan hidup mereka.
Pagi ini ada kejutan besar sedang menanti
Deden. Siapapun tak akan ada yang menduganya. Diawali dari Udin yang
mengajaknya menjadi kenek bus kota
setelah mencuci bus di pagi hari. Tentu saja Deden menerima ajakannya kembali.
Di dalam penuh sesak dengan orang dari
berbagai jenis kelamin dan berbagai posisi pekerjaan. Ada yang duduk, ada juga
yang berpegangan pada pegangan di bagian atas bus. Deden dan Udin harus
berdesakan untuk melewati mereka dan mengambil ongkos para penumpang. Lembaran
demi lembaran ribuan rupiah pun diterima Deden dan Udin untuk diberikan pada
supir.
Mereka tak tahu ada sepasang mata yang
menatap mereka sejak pemilik sepasang mata itu menaiki bus. Melalui jendela di
sebelah tempat duduknya, sekali-sekali ia melihat ke arah luar bus, merenung
tindakan selanjutnya terhadap kedua anak laki-laki itu.
Beberapa menit kemudian, tibalah sang pemilik
sepasang mata itu tiba di tempat tujuan. Namun, tunggu. Dia tidak turun. Dia
terus berada di dalam bus kota hingga bus itu kembali lagi ke terminal Kampung
Rambutan, yang berarti hari sudah menjelang sore. Sebenarnya dia sendiri masih
penasaran apakah tindakannya itu dapat berdampak baik bagi kedua anak tersebut.
“Mmm… De?” akhirnya saat turun di terminal
Kampung Rambutan itu, sang pemilik sepasang mata itu pun membuka suaranya pada
Deden.
“Ya, Pak? Ada apa?” telisik Deden saat
berbalik dan seperti menyelidiki pemilik sepasang mata itu yang masih berpikir
apakah langkah yang ia ambil itu akan tercapai.
“Apa kalian ada waktu? Saya ingin berbicara
dengan kalian,” katanya sambil berjongkok di depan mereka tanda ingin
menyejajarkan diri dengan Deden dan Udin.
Deden dan Udin saling bertatapan, berpikir
sebentar, lalu mengangguk berbarengan meskipun pemikirannya masih berkecamuk
beribu-ribu pertanyaan. Pria ini mengajak mereka ke warung terdekat untuk makan
siang sekaligus mengobrol. Tentu saja Deden dan Udin menyantap makanannya
dengan asyik.
“Kenalkan, saya Brendan, panggil saja saya om
Brendan,” katanya sambil menjabat tangan Deden dan Udin. Om Brendan yang
kira-kira berumur tiga puluhan ini berperawakan tinggi, tidak terlalu gemuk
juga tidak terlalu kurus, berkulit agak coklat karena sering tertempa matahari
saat menunggu bus kota.
“Apakah kalian bersekolah?”
Lagi-lagi Deden dan Udin tidak bersuara dan
hanya menggelengkan kepala.
“Pernah bersekolah?”
Dijawab lagi dengan gelengan kepala.
“Apakah kalian mau bersekolah?”
Kali ini Deden dan Udin mengangguk dengan
semangat dan senyuman menghiasi wajahnya. Om Brendan pun ikut tersenyum.
“Mau saya biayai kalian sekolah?”
“Hmmm… boleh saya tanya orang tua saya dulu, Om??”
tanya Deden.
“Apa orang tua kalian ada di rumah? Sekalian
saya juga ingin berbicara langsung dengan mereka,” om Brendan berharap banyak
kerja sama dari orang tua mereka.
“Kalau ibu saya sudah pasti ada di rumah, Om.
Ayah saya belum tentu ada di rumah,” jelas Deden.
“Saya hanya punya ibu di rumah, om,” kata
Udin dengan sedih.
“Tidak apa-apa,” kata om Brendan sambil
menepuk pundak Udin sambil tersenyum untuk menyemangati.
Akhirnya om Brendan bertemu ibu dari kedua
anak tersebut. Awalnya tentu saja para ibu itu curiga dengan maksud
kedatangannya. Namun, setelah dijelaskan bahwa ia merupakan anggota dari
Gerakan Orang Tua Asuh dan diperlihatkan bukti keanggotaannya, maka para ibu
pun mempercayakan semuanya kepada om Brendan.
Malam hari saat keluarga Deden makan malam
bersama, ibu deden memulai percakapan tentang pertemuannya dengan om Brendan
tadi siang. Ternyata perihal Deden sekolah memang keinginan ayahnya sejak
dahulu, tentu saja beliau mengizinkan Deden bersekolah.
Setelah mengurus surat-suratnya, om Brendan
memasukkan Deden dan Udin ke sekolah elit. Sekolah yang menjunjung tinggi
tingkat kedisiplinan dan kemoralan yang baik itu membuat mereka betah
bersekolah di sana. Meskipun mereka telat masuk sekolah yang menyebabkan mereka
di kelas 1 SD berumur lebih tua dari teman sekelasnya, tapi tidak ada perlakuan
diskriminasi dari berbagai pihak sekolah.
Hingga lulus kuliah, nilai-nilai yang
dihasilkan mereka pun tergolong baik. Om Brendan menyerahkan sisanya pada Deden
dan Udin yang sudah bisa bekerja di beberapa perusahaan mobil.
Suatu saat om Brendan yang sudah mulai uzur
tidak kuat lagi menjalani anggotanya sebagai orang tua asuh, giliran Deden yang
meneruskan keanggotaannya sebagai tanda terima kasih atas usahanya selama ini.
Sedangkan Udin tetap berkonsentrasi pada perusahaan yang diminatinya.
Tidak disangka, Deden dan Udin yang saat ini
sudah berumur 30 tahun ini sudah mempunyai rumah kecil dan sebuah kendaraan
bermotor yang sederhana bagi keluarga kecilnya, orang tua dan mereka sendiri.
Untuk urusan jodoh masih bisa menunggu sampai pada waktunya, kata mereka. Hanya
kerja keras untuk membahagiakan orang tuanyalah di pikiran mereka saat ini.
Kerja keras mereka ini sampailah pada saat
yang tidak diduga oleh penghuni terminal Kampung Rambutan termasuk Pak Sukro.
Deden dan Udin bersepakat untuk mendedikasikan pada tempat kerja masa kecilnya
dulu. Mereka membenahi terminal Kampung Rambutan dari tempat cuci hingga
fasilitas bus-bus kota itu sendiri. Pak Sukro sangat berterima kasih pada
mereka. Anak-anak kampung yang bertugas mencuci pun diangkat sebagai anak asuh
oleh Deden. Mereka masih boleh bertugas mencuci bus kota saat siang hari
setelah selesai sekolah.
Akhirnya suatu saat Deden harus berpisah dengan
Udin yang dipindahtugaskan keluar pulau. Deden mengantarkan kepergian Udin di
stasiun kereta api. Mereka berpelukan lama dan saling menyemangati satu sama
lain.
“Jaga ibuku ya,” kata Udin dengan mata sendu.
“Pasti, Din,” kata Deden meyakinkan.
Tiba-tiba ponsel Deden berbunyi, ia mendapat
kabar dari ibunya kalau om Brendan terserang penyakin jantung. Udin menunda
kepergiannya, bersama Deden pergi ke Rumah Sakit di mana om Brendan dirujuk.
Setelah menunggu om Brendan siuman dari
operasi seharian, Deden dan Udin dipersilakan masuk dan dibiarkan bertiga oleh
keluarganya.
“Deden, Udin, selamat kalian telah menempuh
perjalanan panjang dan menerima permohonanku sebagai anak asuh serta
menjalankan pendidikan dan pekerjaan dengan sangat baik. Sekaranglah waktunya
kalian ikut dalam menyebarkan kebaikan di sekitar kalian agar semakin banyak
orang yang berhasil seperti kalian.”
“Baik, om. Terima kasih juga telah membimbing
kami selama ini,” kata Deden sambil menahan tangisnya.
Om Brendan hanya tersenyum dan meninggalkan
mereka selamanya.
Ya, sekaranglah giliran mereka menyebarkan
berkat, berkat yang tidak hanya dititipkan om Brendan pada mereka, tetapi
berkat dari Tuhan yang diturunkan pada mereka. Tidak ada yang tidak mungkin
jika disertai niat yang baik dan tulus dan segalanya pasti indah pada waktunya.
Deden membuktikan bahwa bus kota bukanlah
tempat ia bekerja sebagai kenek saja,
tapi tempat awal mula keajaiban terjadi.
@D3pzBelle | (via email)
No comments:
Post a Comment