Tak ada yang lebih oke dibandingkan
dengan ini; duduk membaca di beranda atas dengan bir, kopi atau apa saja yang
bisa bikin tetap terjaga. Membaca.
Kalau iya ada yang lebih indah, pasti
tak ada yang lebih indah dari ini; duduk bersila sambil menulis di beranda atas
dengan bir, kopi atau apa saja yang bisa bikin tetap terjaga. Kalaupun ada yang
lebih indah dari itu, abaikan. Menulis, dan abaikan komentar dari luar.
Seandainya ada seorang perempuan,
duduk di beranda atas ditemani bir murahan dan makanan ringan juga asap rokok
terlihat menyelimuti cahaya dari laptop yang terus saja menyanyikan lagu
sementara perempuan itu sibuk memainkan pena di jarinya sambil matanya tak
lepas dari layar komputer jinjing. Membaca apa-apa yang telah diketiknya beberapa
menit lalu sambil sesekali melirik buku kecilnya, kemudian mengetik lagi,
membaca lagi, dan seterusnya. Dan seterusnya. Dan kamu, ya, kamu adalah satpam
komplek yang hobi memainkan alat musik pukul setinggi lebih dari dua meter dan
hanya mengenal satu nada tak jelas dasarnya apa ‘teng, teng, teng…’ begitu .
tepat ketika jam di tanganmu menunjukkan pukul tiga dini hari. Entah bagaimana
otakmu mengirimkan perintah untuk melihat beranda atas tempat di mana perempuan
sinting itu masih bertengger dengan kaki melipat persis seperti dukun merapal
mantra santet. Apapun yang kamu pikirkan, abaikan. Sebab matamu belum rabun;
dia perempuan dan memang dia sinting tiada tara. Coba sisipkan sebuah pemikiran
di kepalamu; resistensi terbaik adalah mengabaikan. Maka, abaikan saja lah.
“Belum tidur, neng Kiri?!” Itu kamu
bertanya, ada tanda seru di belakang tanda tanya. Artinya di baca agak berseru.
Setuju saja lah, meski itu bukan kamu.
“Belum, Bang! Lagi tanggung nih,
sebentar lagi.” Itu suara perempuan, menjawab dengan di akhiri tanda titik.
Artinya, tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Itu artinya tak ada lagi harapan
akan ada obrolan panjangmu bersama gadis cantik itu. Tak ada. Kamu harus merasa
puas dengan jawaban yang ia berikan meski kamu masih ingin berkomentar macam
nenek-nenek bawel yang tinggal bersama perempuan itu. Nek Juni. Namanya Juni.
Mendapat gelar ‘Nek’ setelah usianya mencapai lebih dari enampuluh. Dan Nek
Juni dilahirkan di bulan November, tetapi, sebab di dukun beranak tempatnya
dilahirkan kalender masehi hanya sebatas Juni (Itu pun kalender tiga tahun
lewat) diberilah beliau nama Juni oleh ibu bapaknya yang sudah di perut bumi.
Begitu cerita Nek Juni pada suatu hari kepada cucu perempuannya, Kiri.
***
“Bangun, nduk! sudah sore!” Haruskah
ku bilang itu seruan Nek Juni? Tentu saja harus, agar kamu tahu. Dan seruan itu
terus berulang sampai terdengar suara kecibak-kecibuk di kamar mandi. Sore yang
majas hiperbola, sebenarnya ini baru pukul tiga, lagipula Kiri sudah bangun.
Tepatnya, ia belum tidur. Mengurung diri di dalam kamar supaya Nek Juni kira ia
tidur. Ini sudah hari ke enam ia tidak tidur. Seperti Tuhan, ia berencana untuk
istirahat di hari ke tujuh setelah mencipta. Jika Tuhan mencipta semesta, maka
ia mencipta apa? Entah. Tiada yang tahu kecuali Tuhan dan kamu barangkali.
Terdengar suara dentingan gelas di
dapur. Nek Juni mungkin tak mendengarnya meski beliaulah yang sedang mengaduk
segelas kopi untuk cucunya, namun Kiri dianugerahi pendengaran yang lebih baik
dari neneknya. Ia bisa mendengar dentingan gelas. Sendok. Bau kopi tak mampu
menyaingi bau shampo yang memang dia tak pakai, lagipula ia tak benar-benar
mandi sedari tadi ia hanya mengguyurkan
air ke kakinya. Dibuatnya berisik dan lama. Hanya untuk meyakinkan Nek Juni.
Ya. Cucu kesayangannya sedang mandi.
Selesai mandi, seperti biasa, keduanya
duduk di balai bambu depan rumah. Nek Juni dengan teh pahitnya, dan Kiri dengan
kopi tidak manisnya. Nek Juni dengan ceritanya dan Kiri dengan telinganya.
Cerita lama yang terus diulang. Kiri tidak bosan. Bukan karena ceritanya.
Melainkan karenan Nek Juni masih begitu semangat menceritakannya. Bayangkan,
seorang nenek usia di atas enampuluh dengan KTP tertulis unlimited seperti iklan provider
alias seumur hidup (Mungkin maksudnya jika aku sudah tak hidup, maka sudah tak
berlaku lagi, ujar Nek Juni sambil terkekeh ketika mengomentari KTP-nya) masih
lihai memanjat pohon kelapa untuk mengambil kelapa tua. Diparutnya sendiri.
Dijadikan beraneka macam makanan. Untuk dimakannya sendiri. Kadang Kiri iri dengan
nenek satu ini. Sementara dirinya, yang mengenal emansipasi, masih saja senang
makan di McD dan bahkan tak pandai meracik kopi.
Keduanya duduk di balai bambu, Kiri
sudah bisa menebak dari awal. Akan ada obrolan sinting lagi. Jika sinting
adalah penyakit, mungkin ia adalah sejenis penyakit keturunan.
“Nenek tahu, nduk. Pasti kamu pikir
nenek ini cerewet…” Ujar Nek Juni, membuka percakapan. Tepat sekali, nek. Jawab Kiri, cukup di hati, “itu karena nenek
ndak punya warisan apa-apa yang bisa nenek wariskan selain cerita.”
Deg. Sesuatu
mengganjal, lebih padat dari batu. Merayap malu. Tak cukup lah kopi seteguk
untuk mengusirnya dari kerongkongan. Abaikan.
“Kamu lihat, nduk?” telunjuknya
mengarah ke sebuah mobil pick up merah
marun terparkir di sebelah masjid depan rumah, di mana terdapat sekumpulan
orang-orang berbaju putih. Sorban. Beberapa memelihara jenggot. Bendera dengan
simbol dan tulisan bahasa asing, “dulu, orang-orang seperti itu ndak banyak
jumlahnya. Wajahnya berseri, tuturnya halus, santun dan suka bantu warga
kampung. Ya bersihin selokan, bagi sembako atau ngajar ngaji anak-anak….
Walaupun sedikit jumlahnya, tapi bermakna.”
Mata Kiri mengerjap. Ia belum tahu,
akan dibawa kemana obrolan sinting ini.
“Sekarang aku justru takut ketemu
orang seperti mereka, jumlahnya banyak tapi, ya…. Memang ndak baik ngomongin
keburukan orang. Aku tahu, nduk, niat mereka baik dan ya… setiap orang berhak
membela apa yang mereka yakini, tho? Tapi, ku pikir mengayomi warga akan lebih
bermakna, iya tho?” bibir tuanya mengecup tepi gelas teh, Nek Juni membakar
rokok kreteknya. Menyita sepersekian detik untuk Kiri merenungi setiap kalimat
sintingnya. Tajam. Masih sama tajam sejak kali pertama mereka bertemu.
“Dulu sekali, nduk. Menjelang magrib
kayak gini, anak-anak main uler naga panjangnya, main lompat tali, petak umpet
atau nyanyi-nyanyi di pelataran masjid sambil nunggu adzan magrib. Sekarang? Si
Itok kemarin cerita, anaknya di warnet lagi nonton film porno. Edan!”
Kiri takjub. Tanpa disadarinya, ia
memutar kembali pita memori perjumpaannya dengan Nek Juni. Hari itu usianya
delapan. Kiri dan kedua orang tuanya sedang di dalam bus kota. Tiba-tiba saja
nenek itu muncul. Dulu, Nek Juni belum setua ini. Ia mengangkat kopernya
sendiri. Ibu Kiri bertanya, mau kemana?
Nek Juni menjawab, tidak tahu. Ayah
dan Ibu saling bertatapan. Heran. Daripada
aku tinggal di Panti Jompo, lebih baik aku pergi saja, apa bedanya tho?
Sama-sama dibuang, kutuknya. Tak jelas untuk dirinya sendiri atau untuk
ayah dan ibu Kiri. Ibu memegang tangan ayah erat sekali. Ayah mengerti. Entah
obrolan apa yang terjadi saat itu, tiba-tiba ayah menawarkan tempat tinggal
untuk Nek Juni dan Nek Juni setuju. Sejak saat itu, Nek Juni lah yang mengasuh
Kiri, Nek Juni sangat menyayangi Kiri seperti cucunya sendiri. Hingga hari itu
tiba. Di usia Kiri yang baru limabelas. Suatu sore, sebuah bus kota yang akan
mengantarkan ayah dan ibunya dari kantor untuk pulang ke rumah, benar-benar
mengantarkan keduanya pulang ke rumah. Rumah Tuhan. Sebuah kalimat dari Nek
Juni masih terngiang di telinga Kiri, “Ayah dan ibu Cuma mampir sebentar ke
surga, Nduk. Nanti mereka pasti kembali.”
Bagaimanapun hidup tetap berjalan, Nek
Juni mulai berjualan nasi uduk, segala macam gorengan, dan segala rupa kue dari
kelapa. Sebab, uang warisan ayah dan ibu Kiri dikhususkan untuk pendidikan
Kiri, kalau bisa sampai sarjana. Dan memang ia kini sudah sarjana. Ia seorang
sarjana yang banyak bertemu dengan orang pintar namun tak ada yang menandingi
kepintaran Nek Juni mengolah kelapa menjadi makanan super enak. Kiri juga
banyak bertemu orang bijak, namun juga tak ada yang menandingi kearifan Nek
Juni yang meski cerewet, Nek Juni adalah perempuan yang luar biasa kuat,
cerdas, cekatan dan rendah hati. Entah mukjizat atau apapun kamu menyebutnya
jika ada seorang nenek mampu menghidupi cucu tirinya dengan hanya bermodalkan
warung yang lebih banyak jadi lahan hutang. Entah memang benar mukjizat, di
usia senjanya, ia masih mampu memanjat pohon kelapa setinggi lima meter lebih.
Air mata Kiri berhasil mengembalikan
fokusnya ke masa kini, di mana Nek Juni masih meracau di sisinya. Asap mengepul
dari mulut dan hidungnya, dan kaki yang dibiarkan tanpa alas menapak tanah
basah.
“Aku tahu, Nduk… banyak orang
berpikir, kamu ini sarjana apa? Kerja ndak jelas, keluyuran malam, begadang.
Tapi aku tahu, Nduk. Kamu sedang berusaha menjadi dirimu sendiri. Aku sering
bilang sama mbak Ratmi kalau dia menyinggung pekerjaanmu, sanadyan setri
piyambake wantun dewean….” Ujar Nek Juni, yang artinya kira-kira kalau
diterjemahkan ke bahasamu: Walaupun dia perempuan, dia berani melakukannya
seorang diri. Dari mulutnya mengepulkan asap, seperti kereta api. Kamu
seharusnya bergidik mendengar kalimat tadi, sebagaimana Kiri juga bergidik
mendengarnya. Kalimat yang seolah menamparnya, yang bukan untuk menyadarkannya
bahwa ia harus menyudahi mimpi-mimpinya, melainkan semakin yakin untuk
memberinya nyawa; menulis.
“Kamu
wis waleh ngrungokne critaku, Nduk?” tanya Nek Juni, artinya mungkin ‘kamu
sudah bosan mendengarkan ceritaku, nak?’ Berujar begitu sambil matanya menatap
langit seolah ada sesuatu yang lebih menarik di sana dibanding gelengan
kepalanya Kiri.
“Kamu mau jadi
penulis, ya, itu cita-citamu. Orang mau ngomong apa, ya biar saja. Selama yang
kamu lakukan menjadikanmu manusia, bukan budak. Lakukan saja, Nduk. Orang
komentar ini itu, abaikan. Apa yang lebih hebat selain menjadi manusia, Nduk?”
lanjutnya, seolah ia tahu apa yang ada di dalam kepala Kiri; tetap menulis atau
memilih bekerja apa saja agar Nek Juni tak perlu lagi berjualan, tak perlu lagi
memanjat pohon kelapa.
“Hobiku ya naik
pohon, Nduk, jangan dipikirkan. Aku ndak akan berhenti naik pohon sekalipun
kamu jadi kaya raya.” Sekali lagi, Kiri merasa ditampar tanpa mau balas
menampar, “orang-orang bersorban tadi, anak-anak yang dewasa sebelum waktunya,
mbak Ratmi… ya, mereka kan Cuma kehilangan tempat bermain, jadi berhenti
tumbuh. Membosankan, tho? Dewasa itu sikap, Nduk, bukan jabatan.”
Kamu, kini adalah hujan yang jatuh di
pundak Nek Juni. Hujan yang mengingatkan Nek Juni tentang jemuran yang masih
bertengger di beranda atas. Atau, kamu mau jadi daun teh yang kini
melayang-layang di dalam gelas dan sedang diperhatikan Kiri. Entah ia menunggu
kapan daun itu jatuh atau ia sedang berusaha menangkap inti dari percakapan
sintingnya sore ini. Percakapan sepihak. Sekaligus mengingatkannya tentang masa
depan. Tiga empatpuluh tahun lagi, ia melihat dirinya sendiri masih dibiarkan
menggendong cucunya, melihat cucunya tumbuh besar. Dan, muncul ingatan baru tentang
masa depan, tiga empatpuluh tahun lagi, ia berada di Panti Jompo lalu mati sambil merajut kain kafan sambil berpikir, apakah
anaknya sendiri akan datang atau tidak untuk memandikan jasadnya? Di panti
jompo rumahnya nanti. Paling sial, Kiri bisa memilih mati di pasar, atau di
mana saja asal tidak sepi. Kenangan dari masa depan itu memburam secepat air
memenuhi kelopak matanya.
“Nulis itu kan kayak bus
kota, Nduk. Kamu supirnya, dan tulisanmu
itu penumpangnya. Kamu tahu, setelah melakukan perjalanan panjang. Kamu punya
kewajiban untuk membawa penumpangmu ke tempat tujuan mereka. Selesaikanlah
tugasmu. Mungkin ada beberapa yang ikut kamu ke terminal terakhir, Nduk… bawa
juga mereka itu ikut serta ke pembaringanmu,” Nek Juni menepuk bahu Kiri,
“kalau mau nulis ya jangan setengah-setengah tho, selesaikan. Tapi jangan lupa
terus bermain, karena dengan bermain kamu bisa jadi sepintar sekarang. Bermain
lho, Nduk. Bukan main-main.”
Ia bangkit. Ada pakaian
kering menunggu, harus diangkat sebelum basah lagi. Meninggalkan Kiri yang
masih sibuk mengatur file memori
otaknya. Lagi-lagi ia ingin menyimpan obrolan sinting dari nenek sinting itu.
Nenek yang lebih kuat dari seluruh karakter Marvel dijadikan satu. Tak ada arah
yang jelas dari racauan Nek Juni, namun bagi Kiri, ketidak-jelasan justru
mengantarnya pada kejelasan; ya, saya ini mau jadi penulis. Lantas kamu mau jadi
apa? Apapun mau kamu, saya ini tidak mau jadi apa yang kamu mau. Abaikan.
Dan kamu, kamu adalah
hujan yang menempel di bahu Nek Juni. Dekat dengan mulut tuanya yang berbicara:
Hyang, ing kahyangan
Ingsun ing dunyo... kedah damai
(Tuhan, di nirwana. Kami di dunia… seharusnya damai/tenteram)
Ingsun ing dunyo... kedah damai
(Tuhan, di nirwana. Kami di dunia… seharusnya damai/tenteram)
***
Demi
bau karat dan titik-titik hujan yang menetes dari atasku, tubuh renta yang ku
kenali ini, tak lelah bermain di wahana pusing sekaligus kelak ku rindukan
bernama ibu kota. Aku bersumpah atas bau keringat orang-orang kantoran,
pengamen, dan seorang remaja tersesat di dalamku. Remaja lelaki yang sedari
tadi menceritakan tentang Kiri dan Nek Juni sambil matanya tak lepas dari
fenomena sekitarnya; seorang nenek dengan tas besar yang menangis di kanannya,
lelaki bertubuh tegap mengenakan seragam satpam yang berdiri mematung di depan
pintu. Juga tak melepas matanya dari seorang gadis yang memegang buku kecil di
tangan kirinya,yang tadi sibuk menulis kemudian berhenti ketika nenek menangis
itu masuk dan tidak mendapatkan kursi kosong. Aku bersaksi atas kisah 5 menit yang
terjadi dalam kepala remaja lelaki itu, kisah tentang Nek Juni dan Kiri, yang
terlintas begitu saja di kepalanya. Mengaitkan semua cerita yang dibacanya di
koran yang dibelinya di terminal tadi. Berita dengan lagu dan lirik yang sama
dengan kemarin. Ia begitu hafal; penyerangan, kejahatan, perampokan, kemerosotan
moral, apa lagi? Cinta. Ya, hujan mengantarkan gadis dengan buku kecil di
tangan kirinya bersama semangkuk cinta hangat ke dalamku. Aku ini apa? Hanya
bus tua yang nanti pun akan dilupakan.
Remaja
lelaki itu tertegun memandangi gadis yang berdiri di sebelahnya, gadis yang
tadi masuk dalam cerita hasil lamunannya. Gadis yang suka menulis. Tak kuasa ia
menahan bokongnya untuk segera minggat dari kursiku. Lelaki itu berdiri.
Memberikan kursinya pada gadis itu. Gadis tak menolak. Duduk seraya mengembangkan
senyuman, juga memberikan tangan kanannya,
“Halo,
namaku Kiri…..”
***
Ah, cerita
hari ini sederhana. Hambar nampaknya. Mungkin kamu biasa melihatnya di sinetron
televisi. Tentang cinta yang tak habis-habis. Ah, aku ini apa? Hanya bus kota
yang mungkin hanya kebetulan mengantarkan kebetulan-kebetulan, mempertemukan dua
manusia untuk kemudian melakoni kisah mereka tentang cinta yang takkan juga
habis-habis. Biarkan saja tak berbentuk. Kenapa harus dipertanyakan bentuknya?
Seperti udara. Kamu hanya perlu merasakannya. Seperti menulis, kamu hanya perlu
menuliskannya. Lalu, abaikan. Kamu, iya kamu, ku pikir kamu hanya supir yang
berhak menentukan mau di bawa kemana bus bernama ‘hidup’ yang penumpangnya
bernama cita-cita, doa, dan apapun kamu menyebut hal yang menjadi alasan kamu
hidup. Mau di akhiri di mana kisahmu sendiri, sampai ke tempat tujuan atau kamu
ceburkan saja bus kamu ke jurang? Biar mati, dan kalau beruntung kamu masih
hidup, kamu hanya perlu mencari alasan-alasan untuk merasionalkan kegagalan,
bukan?
Serigala
dan Bus Kota Pencerita
@sbdrmnd | http://manuskriphujan.blogspot.com/2012/04/abaikan-cerita-hari-ini.html
No comments:
Post a Comment