Matahari masih bersembunyi
malu-malu di balik awan tebal berlatar langit biru. Segerombolan burung tampak
menari-nari riang, berlarian ke satu arah seolah ingin turut serta menghiasi
kanvas pemandangan di pagi hari yang cerah ini. Kicauannya terdengar bersahutan
di kejauhan, seiring berhembusnya udara sejuk yang dingin. Di balik dinding
balkon, Nira membentangkan tangannya lebar-lebar. Memejamkan mata sambil
menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Senyum lebar mengembang
di wajahnya. Perasaan damai kemudian turut menyeruak dalam hatinya.
Sudah hampir sepuluh tahun
Nira menanti dirinya kembali berdiri di situ, di rumah tempat ia dibesarkan,
tenggelam menikmati suasana pagi hari persis seperti kebiasaannya semasa kecil
dulu. Hari ini akan berjalan sesuai harapannya. Pertemuan itu akan segera
terjadi. Layaknya dua orang yang terpisah bertahun-tahun, pertemuan itu akan
menjadi pertemuan yang mengharukan.
***
Ruangan ini memang tidak
seperti café pada umumnya, namun
lebih terlihat seperti rumah kecil lengkap dengan dapur modern masa kini. Di dalamnya
terdapat satu meja panjang a la meja bar dan beberapa sofa di sisi kanan dan
kiri pintu masuk. Nira terkagum, café
ini rupanya masih konsisten dengan konsep pembentukan awalnya. Konsep homy inilah yang membuat Nira kecil
betah berlama-lama di sana, hingga menjadi begitu akrab dengan Chef Hans.
Terkadang ia juga ikut membantu Chef Hans menghidangkan makanan yang ia pesan
sendiri.
Nira masih memandangi detail
ruangan. Di balik meja dapur, dilihatnya bukan Chef Hans lagi yang berdiri di
sana. Sosok berseragam putih itu terlihat lebih muda dari Chef Hans. Nira
menyandarkan badan di punggung sofa, melirik jam tangannya. Tak biasanya Banyu
terlambat, Nira mengernyitkan keningnya.
Sudah hampir satu jam Nira
duduk di sofa itu, menatap kosong ke piring datar di hadapannya yang kini
tinggal menyisakan remah roti dan sedikit mayonaise.
Nira meraih lemon tea-nya, mengaduk-aduknya dengan
sedotan, namun pikirannya masih tertuju pada Banyu yang tak kunjung datang.
Nira mencoba untuk bersabar
lagi. Meredam emosinya, lantaran ia tak mau merusak hari itu. Mungkin jalanan macet, mungkin Banyu harus
menyelesaikan sesuatu terlebih dahulu, mungkin Banyu lupa rute jalan ke sini
atau mungkin Banyu tak menganggap pertemuan ini penting? Kemungkinan
terakhir itu tak pernah ada dalam benak Nira. Suara Banyu di ujung telepon tadi
pagi mengisyaratkan bahwa ia juga sangat antusias menanti pertemuannya dengan
teman semasa kecilnya ini.
Dua jam berlalu, Nira tak
cukup sabar lagi. Ia pun bangkit beranjak pergi. Wajahnya tampak sedih dan
kecewa. Ia hanya berjalan tertunduk. Pintu masuk tiba-tiba terbuka sebelum ia
sempat meraih pegangannya.
“Nira?” Seseorang tahu-tahu
menyebut namanya. Nira mendongakkan kepala, menatap lurus-lurus mata itu.
Dagunya mendadak bergetar. Ia hampir menangis begitu mengenali wajah itu. Wajah
itu masih tampak seperti sepuluh tahun yang lalu, namun tulang rahang itu
terlihat lebih keras. Nira masih bisa mengenalinya dengan jelas.
“Banyu?” Kata Nira pelan.
Pria di hadapannya itu mengangguk. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Banyu
menarik pipi Nira sementara Nira mengaduh kesakitan. “Hai pipi bakpao!”
Tawa keduanya pun menyembur.
Rasa rindu Nira sekejap terobati. Kejengkelan menunggu selama dua jam tadi pun
mendadak sirna. Namun kebahagiaan kecil Nira tiba-tiba hilang begitu
disadarinya ada seorang perempuan cantik yang berdiri di belakang Banyu,
memperhatikan mereka dengan seksama.
***
Sewaktu masih sama-sama
duduk di bangku Sekolah Dasar, Banyu paling senang belajar pengetahuan alam.
Buku Fisika kakaknya sering dipinjamnya diam-diam lalu dilahapnya habis. Nira
masih teringat dengan lincahnya mulut kecil itu berbicara tentang magnet yang
ada di buku, sesuatu yang tak dimengertinya ketika itu. Namun Banyu terus
mengoceh, seolah ia sangat mendewakan kehebatan magnet.
“Magnet itu bisa menarik
benda lain. Beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari pada yang lain,
misalnya benda logam. Benda-benda itu tertarik karena terdapat perbedaan dua
kutub.”
“Semua benda bisa ditarik ya
sama dia?” Tanya Nira ketika itu, ikut berpikir keras. Banyu menggeleng. “Tentu
tidak. Contohnya aku.”
“Kok kamu?”
Banyu terkekeh. “Iya. Banyu
kan berarti air. Magnet tak mampu menarik air.”
“Kok bisa nggak bisa?”
“Karena air tak mempunyai
kutub seperti magnet dan logam. Jadi dia tidak bisa menyatu dengan magnet,
namun hebatnya dia bisa menyatu dengan nira.”
Nira melihat ke atas,
berpikir sejenak dan kemudian tertawa kecil. “Menyatu jadi air gula kan? Kalau
ditambah teh, jadi teh manis!”
Malam itu Nira masih memutar
kenangannya kembali ke masa sepuluh tahun yang lalu. Andaikan kalimat-kalimat
itu terucap di masa kini, tentu akan menjadi hal yang sangat membahagiakan
untuknya.
Tiba-tiba saja bayangan
perempuan yang tadi siang datang bersama Banyu juga ikut merasuk ke dalam
benaknya, kontan membuatnya murung kembali. Perempuan itu tampak manja pada
Banyu. Tangannya tak lepas dari lengan Banyu. Dia juga berusaha memonopoli
pembicaraan. Nira bahkan hampir tak punya kesempatan untuk bernostalgia tentang
masa kecilnya bersama Banyu.
Pertemuan itu harusnya
menjadi pertemuan yang sempurna, tapi nyatanya berujung kegagalan total. Lana
terlalu cantik untuk dijadikan saingan. Tanpa harus bertanya pada Banyu
ditambah dengan bahasa tubuh Banyu yang tidak merasa risi dengan tingkah Lana,
sudah dapat dipastikan kalau mereka kini sedang berpacaran. Banyu memang tak
pernah bercerita sedikitpun mengenai Lana. Tapi hanya pria tolol yang tidak
tertarik pada perempuan cantik macam Lana.
Nira menarik selimutnya.
Akhirnya ia benar-benar telah menemukan dirinya hampir tenggelam dalam kolam kecemburuan.
Seolah ia memang harus segera mundur dari medan pertempuran yang bahkan belum
dimulainya.
***
Hari ini adalah hari ke
tujuh Nira berada di kota hujan itu. Selama itulah, ia telah mengabaikan
belasan telepon ditambah lima kali ajakan Banyu untuk berjalan-jalan keliling
kota. Nira terlalu khawatir pertemuan nanti tak jauh berbeda dengan pertemuan
seminggu yang lalu. Lebih-lebih jika Lana terus membuntuti Banyu. Nira merasa
tak cukup hebat bersaing soal cinta. Perasaanya selama ini pun kini terpaksa
harus tetap tersimpan rapat-rapat.
Minggu pagi begini, Nira
hanya menghabiskan waktu dengan bersantai di kebun depan rumah, sambil
menikmati biskuit coklat kesukaannya. Ia juga tengah disibukkan dengan obsesi
untuk mengkhatamkan novel berhalaman tebal yang belum tuntas dibacanya semenjak
beberapa hari yang lalu.
Bunyi knalpot mendadak membuyarkan
penghayatan Nira yang tengah tenggelam melakoni nasib sang tokoh utama di novel
itu. Beberapa saat kemudian, Banyu muncul menaiki undakan dan langsung mengambil
posisi duduk di sebelah Nira. “Jadi, hari ini pun kamu hanya ingin berleha-leha
di kebun?”
“Nggak lihat nih, aku lagi
sibuk?” Nira menyunggingkan senyumnya cepat-cepat dan kembali pada sang tokoh
utama.
“Ra, ayo doooong. Jalan yuk!
Pertemuan kemarin kan sebentar banget.”
“Loh memangnya hari libur
begini kamu nggak jalan sama Lana?” Kata Nira datar.
“Lana? Nggak.”
“Memangnya dia nggak bakalan
marah kalau pacarnya jalan sama cewek lain?”
Banyu tertawa ringan. “Siapa
bilang dia pacarku Ra?”
Nira menatap Banyu. “Tapi
kamu pasti suka kan sama dia? Kemarin mesra gitu.”
Banyu berhenti tertawa,
balik menatap Nira. Ia berusaha mencari tahu apa yang sedang dipikirkan Nira
tentangnya dan Lana.
“Lana itu memang cantik dan
pintar. Aku mengaguminya. Dia bagaikan magnet bagi setiap pria. Medan magnet
yang dia punya kuat layaknya magnet sungguhan. Semua yang memiliki kutub
berlawanan dengannya pasti akan tertarik. Mereka akan menghubungkan garis-garis
medan magnet dari kutub yang mereka punya ke kutub berlawanan yang dimiliki
Lana. Begitu pula sebaliknya.
Tapi si air ini tak punya
kutub. Ia tak punya kemampuan untuk menarik si magnet ataupun sebaliknya. Ia
hanya senang menjadi air walau tak berkutub. Ia hanya mudah menyatu dengan
gula. Ia merasa memiliki kecocokan dengan si gula yang berasal dari cairan
bernama nira yang disadap dari bunga jantan pohon aren. Ya, dengan nira itulah
si air ini ingin menyatu.”
Banyu menatapnya dengan
serius. Nira terkesiap sejenak. Bayangan sang tokoh utama menghilang terbang
ketika napasnya tertahan untuk beberapa detik. Baru semalam ia memimpikan Banyu
kembali menjabarkan soal magnet, lalu berharap merembet ke cerita air dan gula. Bagian yang
ingin didengarnya tiba-tiba saja pagi itu terkabul. Dengan nira itulah si air ingin menyatu. Pipi Nira merona merah. Si
air memang mengagumi si magnet tapi rupanya si air jauh lebih menyukai si gula.
Senyum Nira kembali mengembang.
@BabyMandella | http://akanboobaby.blogspot.com/2012/04/teh-manis.html
No comments:
Post a Comment