Monday, April 16, 2012

Teh Manis

Matahari masih bersembunyi malu-malu di balik awan tebal berlatar langit biru. Segerombolan burung tampak menari-nari riang, berlarian ke satu arah seolah ingin turut serta menghiasi kanvas pemandangan di pagi hari yang cerah ini. Kicauannya terdengar bersahutan di kejauhan, seiring berhembusnya udara sejuk yang dingin. Di balik dinding balkon, Nira membentangkan tangannya lebar-lebar. Memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Senyum lebar mengembang di wajahnya. Perasaan damai kemudian turut menyeruak dalam hatinya.
Sudah hampir sepuluh tahun Nira menanti dirinya kembali berdiri di situ, di rumah tempat ia dibesarkan, tenggelam menikmati suasana pagi hari persis seperti kebiasaannya semasa kecil dulu. Hari ini akan berjalan sesuai harapannya. Pertemuan itu akan segera terjadi. Layaknya dua orang yang terpisah bertahun-tahun, pertemuan itu akan menjadi pertemuan yang mengharukan.
***
Ruangan ini memang tidak seperti café pada umumnya, namun lebih terlihat seperti rumah kecil lengkap dengan dapur modern masa kini. Di dalamnya terdapat satu meja panjang a la meja bar dan beberapa sofa di sisi kanan dan kiri pintu masuk. Nira terkagum, café ini rupanya masih konsisten dengan konsep pembentukan awalnya. Konsep homy inilah yang membuat Nira kecil betah berlama-lama di sana, hingga menjadi begitu akrab dengan Chef Hans. Terkadang ia juga ikut membantu Chef Hans menghidangkan makanan yang ia pesan sendiri.
Nira masih memandangi detail ruangan. Di balik meja dapur, dilihatnya bukan Chef Hans lagi yang berdiri di sana. Sosok berseragam putih itu terlihat lebih muda dari Chef Hans. Nira menyandarkan badan di punggung sofa, melirik jam tangannya. Tak biasanya Banyu terlambat, Nira mengernyitkan keningnya.
Sudah hampir satu jam Nira duduk di sofa itu, menatap kosong ke piring datar di hadapannya yang kini tinggal menyisakan remah roti dan sedikit mayonaise. Nira meraih lemon tea-nya, mengaduk-aduknya dengan sedotan, namun pikirannya masih tertuju pada Banyu yang tak kunjung datang.
Nira mencoba untuk bersabar lagi. Meredam emosinya, lantaran ia tak mau merusak hari itu. Mungkin jalanan macet, mungkin Banyu harus menyelesaikan sesuatu terlebih dahulu, mungkin Banyu lupa rute jalan ke sini atau mungkin Banyu tak menganggap pertemuan ini penting? Kemungkinan terakhir itu tak pernah ada dalam benak Nira. Suara Banyu di ujung telepon tadi pagi mengisyaratkan bahwa ia juga sangat antusias menanti pertemuannya dengan teman semasa kecilnya ini.
Dua jam berlalu, Nira tak cukup sabar lagi. Ia pun bangkit beranjak pergi. Wajahnya tampak sedih dan kecewa. Ia hanya berjalan tertunduk. Pintu masuk tiba-tiba terbuka sebelum ia sempat meraih pegangannya.
“Nira?” Seseorang tahu-tahu menyebut namanya. Nira mendongakkan kepala, menatap lurus-lurus mata itu. Dagunya mendadak bergetar. Ia hampir menangis begitu mengenali wajah itu. Wajah itu masih tampak seperti sepuluh tahun yang lalu, namun tulang rahang itu terlihat lebih keras. Nira masih bisa mengenalinya dengan jelas.
“Banyu?” Kata Nira pelan. Pria di hadapannya itu mengangguk. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Banyu menarik pipi Nira sementara Nira mengaduh kesakitan. “Hai pipi bakpao!”
Tawa keduanya pun menyembur. Rasa rindu Nira sekejap terobati. Kejengkelan menunggu selama dua jam tadi pun mendadak sirna. Namun kebahagiaan kecil Nira tiba-tiba hilang begitu disadarinya ada seorang perempuan cantik yang berdiri di belakang Banyu, memperhatikan mereka dengan seksama.
***
Sewaktu masih sama-sama duduk di bangku Sekolah Dasar, Banyu paling senang belajar pengetahuan alam. Buku Fisika kakaknya sering dipinjamnya diam-diam lalu dilahapnya habis. Nira masih teringat dengan lincahnya mulut kecil itu berbicara tentang magnet yang ada di buku, sesuatu yang tak dimengertinya ketika itu. Namun Banyu terus mengoceh, seolah ia sangat mendewakan kehebatan magnet.
“Magnet itu bisa menarik benda lain. Beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari pada yang lain, misalnya benda logam. Benda-benda itu tertarik karena terdapat perbedaan dua kutub.”
“Semua benda bisa ditarik ya sama dia?” Tanya Nira ketika itu, ikut berpikir keras. Banyu menggeleng. “Tentu tidak. Contohnya aku.”
“Kok kamu?”
Banyu terkekeh. “Iya. Banyu kan berarti air. Magnet tak mampu menarik air.”
“Kok bisa nggak bisa?”
“Karena air tak mempunyai kutub seperti magnet dan logam. Jadi dia tidak bisa menyatu dengan magnet, namun hebatnya dia bisa menyatu dengan nira.”
Nira melihat ke atas, berpikir sejenak dan kemudian tertawa kecil. “Menyatu jadi air gula kan? Kalau ditambah teh, jadi teh manis!”
Malam itu Nira masih memutar kenangannya kembali ke masa sepuluh tahun yang lalu. Andaikan kalimat-kalimat itu terucap di masa kini, tentu akan menjadi hal yang sangat membahagiakan untuknya.
Tiba-tiba saja bayangan perempuan yang tadi siang datang bersama Banyu juga ikut merasuk ke dalam benaknya, kontan membuatnya murung kembali. Perempuan itu tampak manja pada Banyu. Tangannya tak lepas dari lengan Banyu. Dia juga berusaha memonopoli pembicaraan. Nira bahkan hampir tak punya kesempatan untuk bernostalgia tentang masa kecilnya bersama Banyu.
Pertemuan itu harusnya menjadi pertemuan yang sempurna, tapi nyatanya berujung kegagalan total. Lana terlalu cantik untuk dijadikan saingan. Tanpa harus bertanya pada Banyu ditambah dengan bahasa tubuh Banyu yang tidak merasa risi dengan tingkah Lana, sudah dapat dipastikan kalau mereka kini sedang berpacaran. Banyu memang tak pernah bercerita sedikitpun mengenai Lana. Tapi hanya pria tolol yang tidak tertarik pada perempuan cantik macam Lana.
Nira menarik selimutnya. Akhirnya ia benar-benar telah menemukan dirinya hampir tenggelam dalam kolam kecemburuan. Seolah ia memang harus segera mundur dari medan pertempuran yang bahkan belum dimulainya.
***
Hari ini adalah hari ke tujuh Nira berada di kota hujan itu. Selama itulah, ia telah mengabaikan belasan telepon ditambah lima kali ajakan Banyu untuk berjalan-jalan keliling kota. Nira terlalu khawatir pertemuan nanti tak jauh berbeda dengan pertemuan seminggu yang lalu. Lebih-lebih jika Lana terus membuntuti Banyu. Nira merasa tak cukup hebat bersaing soal cinta. Perasaanya selama ini pun kini terpaksa harus tetap tersimpan rapat-rapat.
Minggu pagi begini, Nira hanya menghabiskan waktu dengan bersantai di kebun depan rumah, sambil menikmati biskuit coklat kesukaannya. Ia juga tengah disibukkan dengan obsesi untuk mengkhatamkan novel berhalaman tebal yang belum tuntas dibacanya semenjak beberapa hari yang lalu.
Bunyi knalpot mendadak membuyarkan penghayatan Nira yang tengah tenggelam melakoni nasib sang tokoh utama di novel itu. Beberapa saat kemudian, Banyu muncul menaiki undakan dan langsung mengambil posisi duduk di sebelah Nira. “Jadi, hari ini pun kamu hanya ingin berleha-leha di kebun?”
“Nggak lihat nih, aku lagi sibuk?” Nira menyunggingkan senyumnya cepat-cepat dan kembali pada sang tokoh utama.
“Ra, ayo doooong. Jalan yuk! Pertemuan kemarin kan sebentar banget.”
“Loh memangnya hari libur begini kamu nggak jalan sama Lana?” Kata Nira datar.
“Lana? Nggak.”
“Memangnya dia nggak bakalan marah kalau pacarnya jalan sama cewek lain?”
Banyu tertawa ringan. “Siapa bilang dia pacarku Ra?”
Nira menatap Banyu. “Tapi kamu pasti suka kan sama dia? Kemarin mesra gitu.”
Banyu berhenti tertawa, balik menatap Nira. Ia berusaha mencari tahu apa yang sedang dipikirkan Nira tentangnya dan Lana.
“Lana itu memang cantik dan pintar. Aku mengaguminya. Dia bagaikan magnet bagi setiap pria. Medan magnet yang dia punya kuat layaknya magnet sungguhan. Semua yang memiliki kutub berlawanan dengannya pasti akan tertarik. Mereka akan menghubungkan garis-garis medan magnet dari kutub yang mereka punya ke kutub berlawanan yang dimiliki Lana. Begitu pula sebaliknya.
Tapi si air ini tak punya kutub. Ia tak punya kemampuan untuk menarik si magnet ataupun sebaliknya. Ia hanya senang menjadi air walau tak berkutub. Ia hanya mudah menyatu dengan gula. Ia merasa memiliki kecocokan dengan si gula yang berasal dari cairan bernama nira yang disadap dari bunga jantan pohon aren. Ya, dengan nira itulah si air ini ingin menyatu.”
Banyu menatapnya dengan serius. Nira terkesiap sejenak. Bayangan sang tokoh utama menghilang terbang ketika napasnya tertahan untuk beberapa detik. Baru semalam ia memimpikan Banyu kembali menjabarkan soal magnet, lalu berharap  merembet ke cerita air dan gula. Bagian yang ingin didengarnya tiba-tiba saja pagi itu terkabul. Dengan nira itulah si air ingin menyatu. Pipi Nira merona merah. Si air memang mengagumi si magnet tapi rupanya si air jauh lebih menyukai si gula. Senyum Nira kembali mengembang. 
| http://akanboobaby.blogspot.com/2012/04/teh-manis.html

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan