Monday, April 2, 2012

Secangkir Musik Untuk Gadis Rasyid



Oleh: @sbdrmnd 


Intro:
Dimulai dengan petikan dawai gitar dari harmoni seventh chord yang akan segera mengingatkan kita pada suatu pagi cerah dengan secangkir kopi atau teh manis hangat. Jemari menari dari akord C mayor 7 berjalan ke D minor 7 berpindah ke E minor 7 lalu melompat tiba-tiba ke F mayor 7 tanpa kehilangan tempo. Tanpa kehilangan poros. Berulang empat kali. Mengantar semua orang untuk memulai hari, perpindahannya halus sekali, seolah tiada lagi yang lebih halus. Halus namun tak lemah, terdengar begitu tajam dan kuat.



Sementara yang lain pasrah saja hendak dijadikan kertas atau gagang sapu, rangka sofa mahal atau tisu toilet murahan, seolah mereka tak memiliki pilihan lain selain pasrah. Ia justru sudah memilih jauh hari sebelum hari eksekusi. Jika Sang Eksekutor bertanya, “Mau jadi apa kamu?” ia sudah memiliki jawaban pasti, “Menjadi bangku, bangku sekolah, Sekolah Menengah Atas!”
Aneh memang, namun bukan tanpa alasan ia memilih menjadi bangku sekolah. Ada ratusan juta alasan tercipta untuk merasionalisasikan pilihannya yang irasional, setidaknya untuk bangsanya. Sebenaranya, ia hanya ingin. Lebih tepatnya ingin tahu. Hanya ingin tahu saja. Kisah aneh macam apa yang terjadi di sekolah? Seaneh apa kisah itu? Siapa? Apa? Dimana? Kapan? Mengapa? Bagaimana? Pastilah sangat aneh hingga Obbie Mesakh mengabadikannya dalam lirik lagu, lagu yang sering dilantunkan Sang Eksekutor ketika sedang bekerja. Ia hanya ingin tahu, sialnya, rasa ingin tahu tak semurah rasa ingin es krim. Ia tahu, ia harus membayar mahal untuk itu. Dan, ya, meski lebih mahal, tak semua jawaban dari rasa ingin tahu itu semanis es krim. Beberapa malah lebih pahit dari jamu brotowali. Tapi rasa ingin tahunya mengalahkan pikiran-pikiran itu, ia sudah tak peduli lagi dengan rumor tentang siswa-siswa berandal yang suka mencorat-coret, menempelkan permen karet, menendang, menginjak dan hal tak berperi-kebendamatian lainnya.
Ah, nyaris segala hal diawali dengan rasa ingin tahu bukan? Meski kenyataannya, beberapa hal lebih baik tidak perlu diketahui. Keingin-tahuan yang kerap berawal dari pertanyaan-pertanyaan yang malah kadang melahirkan pertanyaan baru. Seolah membentuk siklus. Siapa? Apa? Dimana? Kapan? Mengapa? Bagaimana?


*Syair pertama:
Empat ekor burung gereja bertengger di pohon kenari. Mereka bernyanyi menimpali dentingan gitar dengan suara sopran merdu nan enerjik,
“I keep six honest serving-men, I keep six honest serving-men….”
6 ekor anak parkit di dalam sarang menjerit seperti sekumpulan pemandu sorak, “They thaught me all I knew! They thaught me all I knew!”
Seekor gajah yang sedang menyirami semak-semak menyahut dengan suara rendah lagi berat, “Their names are….”
Anak-anak parkit itu menjawab satu persatu,
“What!”
“And Where!”
“And When!”
“And How!”

“And Why!”
Belum sempat dilanjutkan, seekor kucing yang sedang mengincar anak parkit melengkapi.
“And Whoooo!” Suaranya serak-serak basah dan tangannya bersiap mencengkram. Ibu parkit datang dan mematuk kepalanya, ia kaget kemudian terjatuh.
“Meow!”

Prosesnya lumayan panjang. Tubuhnya digergaji, diukur, ditandai, digergaji lagi, ditetesi keringat Sang Eksekutor, dipaku. Paling menyakitkan itu pada proses mengamplas, dan yang paling menyenangkan adalah proses mengecat. Hingga ia berwujud bangku. Bangku sekolah. Kemudian ia dikirim ke gudang bersama teman-teman bangku sekolah yang lain. Segala keluhan didengarnya. Hampir serupa, mereka terpaksa menjadi bangku sekolah. Namun tidak baginya, ia memang bercita-cita menjadi bangku sekolah. Akhirnya aku menjadi menjadi bangku sekolah, ujarnya dalam hati.
Hari pertama selalu berkesan, dan kesan pertama yang diterimanya adalah negatif. Ia tak langsung diletakkan di ruang kelas, ia harus menunggu satu sampai dua minggu lagi dan selama itu ia harus menetap di ruang guru. Namun, bukan itu kesan negatifnya. Pagi masih terlalu muda untuk sebuah kebohongan tua. Terlalu pagi untuk berbohong.
“Sudahlah, berikan saja mereka kunci jawaban…. Apa kata sekolah lain bila ada siswa tak lulus ujian di sekolah kita?!” Suara lelaki dewasa mengisi ruang.
“Tapi, Pak…” belum sempat perempuan itu melanjutkan, lelaki itu langsung memotong kalimatnya.
“Tidak ada tapi-tapi! Ini masalah reputasi sekolah, Bu, re-pu-ta-si!” Mata lelaki dewasa itu membesar seperti ingin menyaingi mata burung hantu, “jangan terlalu naif, bu…, sekolah lain pasti juga melakukan hal yang sama. Ini sudah bukan rahasia umum lagi.”
Hari pertama, pula terlalu pagi. Ia sudah diberikan kisah yang sungguh aneh tapi nyata. Persis lirik lagu yang dulu sering dinyanyikan Sang Eksekutor. Ia bersedih. Bukan kisah seperti ini yang ku cari. Entah bersedih untuk [si]apa.
Hari berlalu. Kini ia sudah berada di dalam ruang kelas. Lantainya cantik, putih, persegi dan lurus pula wangi cemara. Temboknya putih tanpa noda, masih tercium bau cat. Ia berkenalan dengan bangku di sebelahnya. Pasangan yang akan menemaninya untuk waktu tak ditentukan.
“Hey, siapa namamu?” tanya bangku di sebelahnya.
“Nama?” itu satu hal yang belum sempat terpikir olehnya, “Bangku, namaku Bangku….” Jawabnya meragu.
“Hi-hi, kamu lucu…, perkenalkan, namaku Anna.”
“Hey Anna, senang berkenalan denganmu!” Bangku tersenyum lebar.
Kita semua tahu, cinta tak perlu diperdebatkan lagi keberadaannya. Kita juga tahu, entah pada pandangan pertama, kedua, ketiga, ke sejuta sekalipun ia tetap bernama cinta. Keduanya sudah memutuskan untuk jatuh cinta bahkan sebelum sempat bersentuhan. Aneh? Kan memang begitu cara kerjanya. Mereka segera tahu, obrolan singkat tadi akan menjadi kenangan. Melahirkan obrolan lain, di waktu lain. Berkembang menjadi oh ya? Menikahi Wah! Beranak tawa-tawa kecil, cemberut kecil dan rasa kesal. Lantas bercucu rindu. Dan cicit-cicit perasaan lain yang belum sempat diberi nama.
**Syair kedua:
Petikan gitar kini diiringi sentuhan piano.
Kelinci oranye  bernyanyi,
“Jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari…,” sambil mengejar kelinci merah muda. Mereka berkejaran mengitari pohon jati.
Pohon jati ikut bernyanyi mengikuti nada kelinci, “Jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari….”
Kelinci oranye bernyanyi lagi,
“karena, karena aku tak tahu bagaimana mengucapkannya…sehari adalah waktu yang begitu lama!” Sekelompok lebah mengitari kepalanya, mereka turut bernyanyi.
“Begitu lama, begitu lama, begitu lamaaa….” Harmonisasi vokal yang akan langsung mengingatkan kita pada gerombolan The Beatles.
Kelinci oranye kelelahan, beristirahat di padang rumput.
“Dan aku akan menunggumu di stasiun yang melompong ini,” dari suaranya yang melemah dan sedikit sumbang, pastilah ia kelelahan. Kelinci merah muda mendekatinya, memegang tangannya, dan dengan suara centil ia melengkapi syair di lagu ini,
“Ketika kereta-kereta tak lagi singgah disini, tertidur…” keduanya berbaring di atas rumput, menatap langit seraya mengakhiri syair kedua, “tertiduuur…”
Denting piano semakin meninggi…

Bangku semakin akrab dengan Anna.  Bulan demi bulan berlalu. Penghuni mereka adalah dua siswa nakal yang suka menginjak mereka kala jam istirahat, mereka suka duduk di atas meja sambil mengobrol. Tidak hanya itu, waktu juga membiarkan mereka menyaksikan segala kisah aneh yang terjadi di dalam ruang kelas. Guru yang baik dan menyenangkan, guru yang dingin dan jarang tertawa, hingga guru yang suka memukul siswanya. Mereka pernah sekali menyaksikan seorang murid ditampar oleh gurunya, cukup sekali saja untuk terus mereka simpan kenangan memilukan itu. Seumur hidup mereka. Seumur hidup Bangku dan Anna, juga seumur hidup siswa yang ditampar.
Dan betapa mencontek adalah bagian paling menyenangkan. Ada yang mengintip buku yang sengaja diletakkan di kolong meja, ada yang menutupi wajah mereka, mengeluarkan suara berdesis untuk memanggil teman, bersiul sebagai kode, bahkan tak jarang melempar kertas kosong yang  biasanya jatuh di kaki Bangku atau Anna, dan tangan kecil mereka bersusah payah mengambilnya. Mengendap-endap agar tak dilihat guru. Semua juga tahu, guru bukan Tuhan yang maha melihat. Semua juga tahu guru adalah manusia biasa. Pula, bukankah setiap manusia adalah pemimpin sekaligus pemberontak? Bukankah menjadi Setan atau Malaikat adalah pilihan-pilihan satir? Aku kira itu bukan hal yang perlu diperdebatkan lagi.
Ini telah tahun kelima, bermacam siswa telah Bangku lihat. Semua jenis manusia, yang nakal, yang super nakal, yang pintar, yang ini, yang itu. Semua pernah ia izinkan duduk diatasnya. Memang itulah tugasnya, diduduki. Simbiosis mutualisme telah terjadi antara yang menduduki dan yang diduduki. Bangku memberi fasilitas untuk duduk dan siswa memberi Bangku kisah-kisah baru setiap hari. Tanpa pandang, ras, suku, agama atau apapun sekat yang mungkin sengaja dibuat manusia untuk membuat dunia luas ini menjadi seperti kotak-kotak sabun membosankan. Selama lima tahun itu pula Bangku belum melihat kejadian super-aneh. Meski selalu ada kisah baru, namun semuanya terlihat biasa saja selain hubungannya dengan Anna yang kian mendekat. Mereka saling berbagi dan saling mengisi.
Foto presiden di depan kelas diganti dan tahun ajaran baru dimulai. Penghuni baru mereka pun tiba. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya , kali ini yang menduduki mereka adalah sepasang manusia berlainan jenis kelamin. Si perempuan bernama Gadis, ia menduduki Bangku. Si pria bernama Rasyid, ia menduduki Anna. Mungkin ini sebuah kebetulan. Kebetulan hanya mereka sajalah yang masih belum berpenghuni hingga Gadis dan Rasyid tak lagi punya pilihan. Atau sebenarnya, ini pilihan mereka? Guruku yang gila pernah berkata bahwa alam sadar dan tak sadar itu seperti gunung es yang terapung di mana bagian yang muncul di permukaan air (alam sadar) jauh lebih kecil daripada bagian yang tenggelam (tak sadar). Bisa saja ini adalah pilihan alam tak sadar Gadis dan Rasyid? Karena memang terlalu sederhana untuk dibilang sebuah kebetulan, namun juga terlalu berbelit untuk dibilang bukan suatu kebetulan. Ah, sama saja.
Kebetulan dan ah, iya…aku gunakan saja kata itu untuk mempersingkat cerita, sebab ini sudah 1.441 kata. Empat lembar. Mendekati batas maksimum. Awalnya, kebetulan jika Gadis adalah Amerika maka Rasyid adalah Soviet, saling berbagi sunyi. Kemudian, kebetulan jika Gadis adalah Surga maka Rasyid adalah Neraka, saling memunggungi. Kebetulan jika Gadis adalah Negara maka Rasyid adalah Si Miskin, saling tak peduli. Mendengar adalah jembatan mereka. Ketika Rasyid bertanya, “Punya pulpen dua?” maka Gadis tak menjawab, hanya memberi. Begitu pula sebaliknya. Mereka hanya saling dengar. Bertahan seperti itu hingga mereka menyadari, ya Amerika-Soviet, Surga-Neraka, Negara-Si Miskin, mereka saling membutuhkan. Hanya saja dibutuhkan sedikit kejujuran. Dan kejujuran dimulai dari Rasyid yang berkata, “Saya suka kamu, itu urusan saya, kalau kamu tak suka saya, biar itu jadi urusanmu….” Dan Gadis perlu benar-benar menjadi tuli untuk tidak mendengar teman sebangkunya, yang jarak sepatunya tak lebih dari satu jengkal. Pula, Gadis pastilah seorang penipu ulung jika ia tak jujur bahwa wangi parfum Rasyid dibawanya sampai rumah, dibawanya sampai mimpi. Dihidupkan di sana, seolah tiada tempat paling nyata selain mimpi. Dan begitulah, kebetulan mereka mau saling jujur, meski keringat dingin mengucur. Nothing is worst than lie. Mereka percaya.

***Syair ketiga:
Dibuka oleh suara Theremin yang membuatmu seketika menjadi balon udara dipermainkan angin pada ketinggian yang tak lagi ditentukan ukuran jarak. Bersiap dijatuhkan oleh suara Cello nan berat, untuk kemudian di tangkap lagi oleh petikan gitar yang kini bermain di wilayah F mayor 7 menuju akord-akord elegan dari kawanan seventh chord, sedikit Jazz, sedikit Blues, sedikit kegilaan Psikedelia 70-an. Serupa labirin musik sederhana yang pintu masuknya adalah pintu keluar itu sendiri dan kamu tak tahu hingga tersesat jauh sekali ke dalam. Tersesat yang bahagia. Berpusing.
Para hewan berkumpul di depan seekor orang utan tua berkostum badut warna warni yang menuturkan sebuah sajak lama, sebuah sajak yang dinyanyikan dengan suara tenor dan sedikit falsetto di beberapa bagian.
“Antara, daun-daun hijau…anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa berlari. Burung-burung merdu, hujan segar menyebar. Bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ‘aku’,” orang utan bernyanyi riang. Disekelilingnya, peri-peri hutan tak bersayap melakukan gerakan pirouette mengikuti nada gitar.
“Dan, angin tajam kering, tanah semata gersang…pasir bangkit mentanduskan, daerah di kosongi” ia mengambil satu peri hutan, diletakkan di telapak tangannya, 
“Kita terapit, cintaku….” Peri hutan tersipu.
“Terbang Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat. The only possible non-stop flight, tidak mendapat!” 
Orang utan mengangkat kedua tangannya dan seolah mengerti, seluruh hewan jadi bernyanyi bersama, 
“Tidaaak mendapaaat….” 
Semua bertepuk tangan.
Gadis dan Rasyid tidak pernah tahu bahwa Bangku dan Anna merekam setiap degup jantung mereka ketika jemari kecil mereka saling bersentuhan, di mulai dari telunjuk, jari manis hingga tergenggam sepenuhnya. Seperti simpul mati yang membentuk pola universal. Gadis dan Rasyid juga tidak pernah tahu, Bangku dan Anna bergeser perlahan. Membuat mereka semakin dekat. Mereka terlalu bahagia untuk menyadarinya. Dan, keempatnya tidak menyadari, mereka bernafas bersama, saling menjaga agar tak terengah. Namun jam dinding dan Garuda Pancasila melihat kejadian itu. Ingatlah, ketika guru serius menerangkan materi pelajaran dan semua murid sibuk dengan urusannya masing-masing, udara dan benda mati di sekeliling mereka merekamnya. Mungkin mereka lupa, dulu sekali di masa kanak-kanak, yang perempuan suka berbicara dengan boneka sementara yang lelakii sibuk main perang-perangan dengan bayangannya sendiri. Mereka hanya lupa. Dipaksa lupa. Kadang aku berpikir, hidup ini hanya mimpi dan aku adalah imajinasiku sendiri. Yang membentuk dan menjadi. Sebab hal aneh tapi nyata seperti cinta, terlalu fiksi untuk disebut nyata dan sebaliknya. Sama saja.
Jika kamu suka, pepatkan saja semesta agar cukup untuk masuk dalam partitur lagu cinta kita. Lagu cinta tentang sekolah, tentang hidup, tentang mati dan kematian lainnya atau tentang apa saja, benda mati yang kehidup-hidupan atau benda hidup yang kemati-matian. Sama saja. Begitu pula lagu cinta tentang Gadis Rasyid.

Outro:
Setelah semua instrumen telah berada dalam satu cangkir, minuman itu masih memerlukan penghias, penyempurna  sekaligus penutup. E minor 7 di pilih untuk menutup kegilaan pada lagu ini. Hanya sekali petik saja, sudah cukup. Semua hewan bertepuk tangan, tertawa, beberapa bersiul.

“Hey kecil, ayo mandi! Sudah hampir magrib lhooo…” Suara perempuan yang sudah kukenal sejak SMA itu mengaburkan pengelihatan hutan dan hewan-hewan yang bernyanyi. Perempuan yang menutup karnaval senja kami adalah Gadis. Ibu dari anak perempuanku. Ia bangkit dari bangku sekolah yang sengaja ku bawa dari bekas sekolahku dulu. Bangku kayu yang sudah tua memang sudah tak berguna untuk sebuah sekolah yang konon kini diberi julukan Sekolah Standar Internasional. Ku bawa pulang saja. Bukan tanpa alasan, ada cinta yang sama tua dengan kedua bangku itu, tertulis malu-malu…

Ini bangku Gadis, namanya Bangku.
Ini bangku Rasyid, namanya Anna.

Ku letakkan gitar akustik di atas Bangku sembari memandangi Gadis yang menuntun anak perempuan kami masuk ke dalam rumah. Anak kecil itu…selalu saja memaksaku mendongeng sambil bernyanyi setiap sore di halaman belakang rumah kami, untuk kemudian menyeret aku dan istriku ke dalam imajinasinya tentang sekumpulan hewan yang suka bernyanyi. Selalu saja berhasil mengingatkan aku dan istriku tentang kisah kami yang aneh tapi nyata. Bagaimana tidak aneh? Setiap hari di dalam kelas, kami sering mengajak kedua bangku ini dalam percakapan kami, seolah keduanya mendengar dan menyimpan cerita itu. Dan tak berubah sampai kami sudah beranak satu. Rumusnya selalu sama: Siapkan dua bangku ini dan makanan ringan, boleh juga di tambah kopi atau teh, maka aku siap mendengarkan segala celotehannya, sebagaimana ia mendengar celotahanku. Meski kadang kami tak mengerti. Sama saja.
Semua cerita kami ada di dalam dua bangku sekolah ini. Sudah pasti terjaga keamanannya. Karena bangku tak perlu kunci kombinasi; kecuali kamu memiliki tingkat khayal luar biasa seperti…ya, seperti anak perempuan kami. Anak kecil yang setiap sore kami beri secangkir musik akustik manis untuk diminumnya bagian demi bagian. Musik manis tak akan membuatnya diabetes. Anak perempuan kami yang centil dan berpipi semerah apel. Sebelum aku akhiri cerita hari ini, izinkan aku untuk memperkenalkan buah hati kami, namanya Gadis Rasyid.
*Syair pertama yang bercetak tebal: The Elephant’s Child (1902) karya Rudyard Kipling
**Syair kedua yang bercetak tebal: Kucandui Mulutmu, Suaramu, Rambutmu karya Pablo Neruda
***Syair ketiga yang bercetak tebal: Buat Gadis Rasyid karya Chairil Anwar
Dibentuk dari Chairil Anwar, Sjuman Djaya, Sigmund Freud, Syd Barrett, James Doughlas Morrison, dan Anak-anak. Dan mimpi saya kemarin malam.
| http://manuskriphujan.blogspot.com/2012/03/secangkir-musik-untuk-gadis-rasyid.html

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan