Dimulai dengan petikan dawai gitar dari
harmoni seventh chord yang akan segera mengingatkan kita pada suatu pagi cerah dengan
secangkir kopi atau teh manis hangat. Jemari menari dari akord C mayor 7
berjalan ke D minor 7 berpindah ke E minor 7 lalu melompat tiba-tiba ke F mayor
7 tanpa kehilangan tempo. Tanpa kehilangan poros. Berulang empat kali. Mengantar
semua orang untuk memulai hari, perpindahannya halus sekali, seolah tiada
lagi yang lebih halus. Halus namun tak lemah, terdengar begitu tajam dan kuat.
Sementara
yang lain pasrah saja hendak dijadikan kertas atau gagang sapu, rangka sofa
mahal atau tisu toilet murahan, seolah mereka tak memiliki pilihan lain selain
pasrah. Ia justru sudah memilih jauh hari sebelum hari eksekusi. Jika Sang Eksekutor
bertanya, “Mau jadi apa kamu?” ia sudah memiliki jawaban pasti, “Menjadi
bangku, bangku sekolah, Sekolah Menengah Atas!”
Aneh
memang, namun bukan tanpa alasan ia memilih menjadi bangku sekolah. Ada ratusan
juta alasan tercipta untuk merasionalisasikan pilihannya yang irasional,
setidaknya untuk bangsanya. Sebenaranya, ia hanya ingin. Lebih tepatnya ingin
tahu. Hanya ingin tahu saja. Kisah aneh macam apa yang terjadi di sekolah?
Seaneh apa kisah itu? Siapa? Apa? Dimana? Kapan? Mengapa? Bagaimana? Pastilah
sangat aneh hingga Obbie Mesakh mengabadikannya dalam lirik lagu, lagu yang
sering dilantunkan Sang Eksekutor ketika sedang bekerja. Ia hanya ingin tahu,
sialnya, rasa ingin tahu tak semurah rasa ingin es krim. Ia tahu, ia harus
membayar mahal untuk itu. Dan, ya, meski lebih mahal, tak semua jawaban dari
rasa ingin tahu itu semanis es krim. Beberapa malah lebih pahit dari jamu
brotowali. Tapi rasa ingin tahunya mengalahkan pikiran-pikiran itu, ia sudah
tak peduli lagi dengan rumor tentang siswa-siswa berandal yang suka
mencorat-coret, menempelkan permen karet, menendang, menginjak dan hal tak
berperi-kebendamatian lainnya.
Ah,
nyaris segala hal diawali dengan rasa ingin tahu bukan? Meski kenyataannya,
beberapa hal lebih baik tidak perlu diketahui. Keingin-tahuan yang kerap berawal
dari pertanyaan-pertanyaan yang malah kadang melahirkan pertanyaan baru. Seolah
membentuk siklus. Siapa? Apa? Dimana? Kapan? Mengapa? Bagaimana?
*Syair
pertama:
Empat
ekor burung gereja bertengger di pohon kenari. Mereka bernyanyi menimpali
dentingan gitar dengan suara sopran merdu nan enerjik,
“I keep six honest serving-men, I keep
six honest serving-men….”
6
ekor anak parkit di dalam sarang menjerit seperti sekumpulan pemandu sorak, “They thaught me all I knew! They thaught
me all I knew!”
Seekor
gajah yang sedang menyirami semak-semak menyahut dengan suara rendah lagi
berat, “Their names are….”
Anak-anak
parkit itu menjawab satu persatu,
“What!”
“And Where!”
“And When!”
“And How!”
“And Why!” Belum sempat dilanjutkan, seekor kucing yang sedang mengincar anak parkit melengkapi.
“And Whoooo!” Suaranya serak-serak basah dan tangannya bersiap mencengkram. Ibu
parkit datang dan mematuk kepalanya, ia kaget kemudian terjatuh.
“Meow!”
Prosesnya
lumayan panjang. Tubuhnya digergaji, diukur, ditandai, digergaji lagi, ditetesi
keringat Sang Eksekutor, dipaku. Paling menyakitkan itu pada proses mengamplas,
dan yang paling menyenangkan adalah proses mengecat. Hingga ia berwujud bangku.
Bangku sekolah. Kemudian ia dikirim ke gudang bersama teman-teman bangku
sekolah yang lain. Segala keluhan didengarnya. Hampir serupa, mereka terpaksa
menjadi bangku sekolah. Namun tidak baginya, ia memang bercita-cita menjadi
bangku sekolah. Akhirnya aku menjadi
menjadi bangku sekolah, ujarnya dalam hati.
Hari
pertama selalu berkesan, dan kesan pertama yang diterimanya adalah negatif. Ia
tak langsung diletakkan di ruang kelas, ia harus menunggu satu sampai dua
minggu lagi dan selama itu ia harus menetap di ruang guru. Namun, bukan itu
kesan negatifnya. Pagi masih terlalu muda untuk sebuah kebohongan tua. Terlalu
pagi untuk berbohong.
“Sudahlah,
berikan saja mereka kunci jawaban…. Apa kata sekolah lain bila ada siswa tak
lulus ujian di sekolah kita?!” Suara lelaki dewasa mengisi ruang.
“Tapi,
Pak…” belum sempat perempuan itu melanjutkan, lelaki itu langsung memotong
kalimatnya.
“Tidak
ada tapi-tapi! Ini masalah reputasi sekolah, Bu, re-pu-ta-si!” Mata lelaki
dewasa itu membesar seperti ingin menyaingi mata burung hantu, “jangan terlalu
naif, bu…, sekolah lain pasti juga melakukan hal yang sama. Ini sudah bukan
rahasia umum lagi.”
Hari
pertama, pula terlalu pagi. Ia sudah diberikan kisah yang sungguh aneh tapi
nyata. Persis lirik lagu yang dulu sering dinyanyikan Sang Eksekutor. Ia
bersedih. Bukan kisah seperti ini yang ku
cari. Entah bersedih untuk [si]apa.
Hari
berlalu. Kini ia sudah berada di dalam ruang kelas. Lantainya cantik, putih,
persegi dan lurus pula wangi cemara. Temboknya putih tanpa noda, masih tercium
bau cat. Ia berkenalan dengan bangku di sebelahnya. Pasangan yang
akan menemaninya untuk waktu tak ditentukan.
“Hey,
siapa namamu?” tanya bangku di sebelahnya.
“Nama?”
itu satu hal yang belum sempat terpikir olehnya, “Bangku, namaku Bangku….”
Jawabnya meragu.
“Hi-hi,
kamu lucu…, perkenalkan, namaku Anna.”
“Hey
Anna, senang berkenalan denganmu!” Bangku tersenyum lebar.
Kita
semua tahu, cinta tak perlu diperdebatkan lagi keberadaannya. Kita juga tahu,
entah pada pandangan pertama, kedua, ketiga, ke sejuta sekalipun ia tetap
bernama cinta. Keduanya sudah memutuskan untuk jatuh cinta bahkan sebelum
sempat bersentuhan. Aneh? Kan memang begitu cara kerjanya. Mereka segera tahu,
obrolan singkat tadi akan menjadi kenangan. Melahirkan obrolan lain, di waktu
lain. Berkembang menjadi oh ya?
Menikahi Wah! Beranak tawa-tawa
kecil, cemberut kecil dan rasa kesal. Lantas bercucu rindu. Dan cicit-cicit
perasaan lain yang belum sempat diberi nama.
**Syair
kedua:
Petikan
gitar kini diiringi sentuhan piano.
Kelinci
oranye bernyanyi,
“Jangan pernah pergi jauh, meski hanya
untuk sehari…,” sambil
mengejar kelinci merah muda. Mereka berkejaran mengitari pohon jati.
Pohon
jati ikut bernyanyi mengikuti nada kelinci, “Jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari….”
Kelinci
oranye bernyanyi lagi,
“karena, karena aku tak tahu bagaimana
mengucapkannya…sehari adalah waktu yang begitu lama!” Sekelompok lebah mengitari kepalanya,
mereka turut bernyanyi.
“Begitu lama, begitu lama, begitu
lamaaa….” Harmonisasi
vokal yang akan langsung mengingatkan kita pada gerombolan The Beatles.
Kelinci
oranye kelelahan, beristirahat di padang rumput.
“Dan aku akan menunggumu di stasiun
yang melompong ini,”
dari suaranya yang melemah dan sedikit sumbang, pastilah ia kelelahan. Kelinci
merah muda mendekatinya, memegang tangannya, dan dengan suara centil ia
melengkapi syair di lagu ini,
“Ketika kereta-kereta tak lagi singgah
disini, tertidur…” keduanya
berbaring di atas rumput, menatap langit seraya mengakhiri syair kedua, “tertiduuur…”
Denting
piano semakin meninggi…
Bangku
semakin akrab dengan Anna. Bulan demi
bulan berlalu. Penghuni mereka adalah dua siswa nakal yang suka menginjak
mereka kala jam istirahat, mereka suka duduk di atas meja sambil mengobrol.
Tidak hanya itu, waktu juga membiarkan mereka menyaksikan segala kisah aneh
yang terjadi di dalam ruang kelas. Guru yang baik dan menyenangkan, guru yang
dingin dan jarang tertawa, hingga guru yang suka memukul siswanya. Mereka
pernah sekali menyaksikan seorang murid ditampar oleh gurunya, cukup sekali
saja untuk terus mereka simpan kenangan memilukan itu. Seumur hidup mereka.
Seumur hidup Bangku dan Anna, juga seumur hidup siswa yang ditampar.
Dan
betapa mencontek adalah bagian paling menyenangkan. Ada yang mengintip buku
yang sengaja diletakkan di kolong meja, ada yang menutupi wajah mereka,
mengeluarkan suara berdesis untuk memanggil teman, bersiul sebagai kode, bahkan
tak jarang melempar kertas kosong yang
biasanya jatuh di kaki Bangku atau Anna, dan tangan kecil mereka
bersusah payah mengambilnya. Mengendap-endap agar tak dilihat guru. Semua juga
tahu, guru bukan Tuhan yang maha melihat. Semua juga tahu guru adalah manusia
biasa. Pula, bukankah setiap manusia adalah pemimpin sekaligus pemberontak?
Bukankah menjadi Setan atau Malaikat adalah pilihan-pilihan satir? Aku kira itu
bukan hal yang perlu diperdebatkan lagi.
Ini
telah tahun kelima, bermacam siswa telah Bangku lihat. Semua jenis manusia,
yang nakal, yang super nakal, yang pintar, yang ini, yang itu. Semua pernah ia
izinkan duduk diatasnya. Memang itulah tugasnya, diduduki. Simbiosis mutualisme
telah terjadi antara yang menduduki dan yang diduduki. Bangku memberi fasilitas
untuk duduk dan siswa memberi Bangku kisah-kisah baru setiap hari. Tanpa
pandang, ras, suku, agama atau apapun sekat yang mungkin sengaja dibuat manusia
untuk membuat dunia luas ini menjadi seperti kotak-kotak sabun membosankan.
Selama lima tahun itu pula Bangku belum melihat kejadian super-aneh. Meski
selalu ada kisah baru, namun semuanya terlihat biasa saja selain hubungannya
dengan Anna yang kian mendekat. Mereka saling berbagi dan saling mengisi.
Foto
presiden di depan kelas diganti dan tahun ajaran baru dimulai. Penghuni baru
mereka pun tiba. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya , kali ini yang
menduduki mereka adalah sepasang manusia berlainan jenis kelamin. Si perempuan
bernama Gadis, ia menduduki Bangku. Si pria bernama Rasyid, ia menduduki Anna.
Mungkin ini sebuah kebetulan. Kebetulan hanya mereka sajalah yang masih belum
berpenghuni hingga Gadis dan Rasyid tak lagi punya pilihan. Atau sebenarnya,
ini pilihan mereka? Guruku yang gila pernah berkata bahwa alam sadar dan tak
sadar itu seperti gunung es yang terapung di mana bagian yang muncul di
permukaan air (alam sadar) jauh lebih kecil daripada bagian yang tenggelam (tak
sadar). Bisa saja ini adalah pilihan alam tak sadar Gadis dan Rasyid? Karena
memang terlalu sederhana untuk dibilang sebuah kebetulan, namun juga terlalu berbelit untuk dibilang bukan suatu kebetulan.
Ah, sama saja.
Kebetulan
dan ah, iya…aku gunakan saja kata itu untuk mempersingkat cerita, sebab ini
sudah 1.441 kata. Empat lembar. Mendekati batas maksimum. Awalnya, kebetulan
jika Gadis adalah Amerika maka Rasyid adalah Soviet, saling berbagi sunyi.
Kemudian, kebetulan jika Gadis adalah Surga maka Rasyid adalah Neraka, saling
memunggungi. Kebetulan jika Gadis adalah Negara maka Rasyid adalah Si Miskin,
saling tak peduli. Mendengar adalah jembatan mereka. Ketika Rasyid bertanya,
“Punya pulpen dua?” maka Gadis tak menjawab, hanya memberi. Begitu pula
sebaliknya. Mereka hanya saling dengar. Bertahan seperti itu hingga mereka
menyadari, ya Amerika-Soviet, Surga-Neraka, Negara-Si Miskin, mereka saling
membutuhkan. Hanya saja dibutuhkan sedikit kejujuran. Dan kejujuran dimulai
dari Rasyid yang berkata, “Saya suka kamu, itu urusan saya, kalau kamu tak suka
saya, biar itu jadi urusanmu….” Dan Gadis perlu benar-benar menjadi tuli untuk
tidak mendengar teman sebangkunya, yang jarak sepatunya tak lebih dari satu
jengkal. Pula, Gadis pastilah seorang penipu ulung jika ia tak jujur bahwa wangi
parfum Rasyid dibawanya sampai rumah, dibawanya sampai mimpi. Dihidupkan di
sana, seolah tiada tempat paling nyata selain mimpi. Dan begitulah, kebetulan
mereka mau saling jujur, meski keringat dingin mengucur. Nothing is worst than lie. Mereka percaya.
***Syair ketiga:
Dibuka oleh suara Theremin yang membuatmu seketika
menjadi balon udara dipermainkan angin pada ketinggian yang tak lagi ditentukan
ukuran jarak. Bersiap dijatuhkan oleh suara Cello nan berat, untuk kemudian di
tangkap lagi oleh petikan gitar yang kini bermain di wilayah F mayor 7 menuju
akord-akord elegan dari kawanan seventh chord, sedikit Jazz, sedikit Blues,
sedikit kegilaan Psikedelia 70-an. Serupa labirin musik sederhana yang pintu
masuknya adalah pintu keluar itu sendiri dan kamu tak tahu hingga tersesat jauh
sekali ke dalam. Tersesat yang bahagia. Berpusing.
Para hewan berkumpul di depan seekor orang utan tua berkostum
badut warna warni yang menuturkan sebuah sajak lama, sebuah sajak yang
dinyanyikan dengan suara tenor dan sedikit falsetto di beberapa bagian.
“Antara, daun-daun
hijau…anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa berlari. Burung-burung merdu,
hujan segar menyebar. Bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ‘aku’,” orang
utan bernyanyi riang. Disekelilingnya, peri-peri hutan tak bersayap melakukan gerakan
pirouette mengikuti nada gitar.
“Dan, angin tajam
kering, tanah semata gersang…pasir bangkit mentanduskan, daerah di kosongi”
ia mengambil satu peri hutan, diletakkan di telapak tangannya,
“Kita terapit, cintaku….” Peri hutan tersipu.
“Kita terapit, cintaku….” Peri hutan tersipu.
“Terbang Mengenali
gurun, sonder ketemu, sonder mendarat. The only possible non-stop flight, tidak
mendapat!”
Orang utan mengangkat kedua tangannya dan seolah mengerti, seluruh hewan jadi bernyanyi bersama,
“Tidaaak mendapaaat….”
Semua bertepuk tangan.
Orang utan mengangkat kedua tangannya dan seolah mengerti, seluruh hewan jadi bernyanyi bersama,
“Tidaaak mendapaaat….”
Semua bertepuk tangan.
Gadis
dan Rasyid tidak pernah tahu bahwa Bangku dan Anna merekam setiap degup jantung
mereka ketika jemari kecil mereka saling bersentuhan, di mulai dari telunjuk,
jari manis hingga tergenggam sepenuhnya. Seperti simpul mati yang membentuk
pola universal. Gadis dan Rasyid juga tidak pernah tahu, Bangku dan Anna
bergeser perlahan. Membuat mereka semakin dekat. Mereka terlalu bahagia untuk
menyadarinya. Dan, keempatnya tidak menyadari, mereka bernafas bersama, saling
menjaga agar tak terengah. Namun jam dinding dan Garuda Pancasila melihat
kejadian itu. Ingatlah, ketika guru serius menerangkan materi pelajaran dan
semua murid sibuk dengan urusannya masing-masing, udara dan benda mati di
sekeliling mereka merekamnya. Mungkin mereka lupa, dulu sekali di masa
kanak-kanak, yang perempuan suka berbicara dengan boneka sementara yang lelakii
sibuk main perang-perangan dengan bayangannya sendiri. Mereka hanya lupa.
Dipaksa lupa. Kadang aku berpikir, hidup ini hanya mimpi dan aku adalah
imajinasiku sendiri. Yang membentuk dan menjadi. Sebab hal aneh tapi nyata
seperti cinta, terlalu fiksi untuk disebut nyata dan sebaliknya. Sama saja.
Jika
kamu suka, pepatkan saja semesta agar cukup untuk masuk dalam partitur
lagu cinta
kita. Lagu cinta tentang sekolah, tentang hidup, tentang mati dan
kematian lainnya atau tentang apa saja, benda mati yang kehidup-hidupan
atau benda hidup yang kemati-matian. Sama saja. Begitu pula lagu cinta
tentang Gadis Rasyid.
Outro:
Setelah semua instrumen
telah berada dalam satu cangkir, minuman itu masih memerlukan penghias, penyempurna sekaligus penutup. E minor 7 di pilih untuk
menutup kegilaan pada lagu ini. Hanya sekali petik saja, sudah cukup. Semua
hewan bertepuk tangan, tertawa, beberapa bersiul.
“Hey
kecil, ayo mandi! Sudah hampir magrib lhooo…” Suara perempuan yang sudah
kukenal sejak SMA itu mengaburkan pengelihatan hutan dan hewan-hewan yang
bernyanyi. Perempuan yang menutup karnaval senja kami adalah Gadis. Ibu dari
anak perempuanku. Ia bangkit dari bangku sekolah yang sengaja ku bawa dari
bekas sekolahku dulu. Bangku kayu yang sudah tua memang sudah tak berguna untuk
sebuah sekolah yang konon kini diberi julukan Sekolah Standar Internasional. Ku
bawa pulang saja. Bukan tanpa alasan, ada cinta yang sama tua dengan kedua bangku
itu, tertulis malu-malu…
Ini bangku Gadis, namanya Bangku.
Ini bangku Rasyid, namanya Anna.
Ku
letakkan gitar akustik di atas Bangku sembari memandangi Gadis yang menuntun
anak perempuan kami masuk ke dalam rumah. Anak kecil itu…selalu saja memaksaku mendongeng
sambil bernyanyi setiap sore di halaman belakang rumah kami, untuk kemudian menyeret
aku dan istriku ke dalam imajinasinya tentang sekumpulan hewan yang suka
bernyanyi. Selalu saja berhasil mengingatkan aku dan istriku tentang kisah kami
yang aneh tapi nyata. Bagaimana tidak aneh? Setiap hari di dalam kelas, kami sering
mengajak kedua bangku ini dalam percakapan kami, seolah keduanya mendengar dan
menyimpan cerita itu. Dan tak berubah sampai kami sudah beranak satu. Rumusnya
selalu sama: Siapkan dua bangku ini dan makanan ringan, boleh juga di tambah
kopi atau teh, maka aku siap mendengarkan segala celotehannya, sebagaimana ia
mendengar celotahanku. Meski kadang kami tak mengerti. Sama saja.
Semua
cerita kami ada di dalam dua bangku sekolah ini. Sudah pasti terjaga
keamanannya. Karena bangku tak perlu kunci kombinasi; kecuali kamu
memiliki
tingkat khayal luar biasa seperti…ya, seperti anak perempuan kami. Anak
kecil yang
setiap sore kami beri secangkir musik akustik manis untuk diminumnya
bagian demi bagian. Musik manis tak akan membuatnya diabetes. Anak
perempuan kami yang centil dan berpipi semerah apel. Sebelum aku akhiri
cerita hari ini, izinkan aku untuk memperkenalkan buah hati kami,
namanya Gadis Rasyid.
*Syair pertama yang
bercetak tebal: The Elephant’s
Child (1902) karya Rudyard Kipling
**Syair kedua yang bercetak tebal: Kucandui Mulutmu, Suaramu, Rambutmu
karya Pablo Neruda
***Syair ketiga yang bercetak tebal: Buat Gadis Rasyid karya Chairil Anwar
Dibentuk dari Chairil Anwar,
Sjuman Djaya, Sigmund Freud, Syd Barrett, James Doughlas Morrison, dan
Anak-anak. Dan mimpi saya kemarin malam.
@sbdrmnd | http://manuskriphujan.blogspot.com/2012/03/secangkir-musik-untuk-gadis-rasyid.html
No comments:
Post a Comment