Aku memandangi foto berbingkai kayu bercat hitam. Tersenyum. Selalu
ada rindu yang membuncah setiap kali menatapnya. Foto kami. Keluarga
kami. Di depan rumah. Terlihat memburam. Seharusnya ku tursir, lalu
hapus bercaknya yang kekuningan, menajamkan warnanya sedikit, sehingga
tampak seperti baru.
Tapi tak ku lakukan. Biarlah seperti ini. Seperti adanya. Jujur.
Seketika aku merasa terseret oleh mesin waktu, kembali ke masa lalu.
Saat riangnya anak-anak mewarnai hari-hari. Ayah. Bunda. Aku. Dan adik.
Keluarga kami. Hanya matahari cerah yang menaunginya. Tanpa mendung, pun
badai. Hangat menyelimuti hati.
Kadang semua terasa terlalu sempurna. Seolah tak ada cacat yang
menaungi atap rumah. Walau harus aku akui, tak semua pinta terkabul.
Ya. Kami tak berlimpah harta. Rumah kami tak serupa istana, tapi
istimewa. Halaman kami tak berisi tanaman langka nan rupawan. Hanya
pohon mangga dan jambu yang setia menyehatkan dengan buah-buahnya. Tak
ada kicauan burung yang selalu merajai setiap lomba. Hanya ayam-ayam
betina yang rajin mempersembahkan telurnya. Pun terkadang harus rela
mengorbankan raganya.
Kami tak pernah terpisahkan. Hingga tiba sepucuk surat yang mengharuskan semua ini jadi berbeda.
“Kamu yakin, Nak?”
Entah untuk yang ke berapa ayah menanyakan ini. Aku hanya mengangguk.
Ku lihat bunda sendu tanpa kata. Tak lama, aku yakin pipinya akan
kuyub.
Ayah masih saja memegang surat. Dibacanya sekali lagi. Tak ada yang
salah. Tak ada yang berubah. Namaku tercetak dengan sempurna disana.
Tanpa cacat.
“Kalau memang ini yang kamu inginkan dan kamu yakin,…pergilah.”
Lirih kalimat ayah. Tertutup isakan bunda. Adikku hanya termangu di
kursinya. Membayangkan tak ada lagi teman berbagi hari dan beradu kata.
Aku tahu. Ini keputusan besar. Untukku. Untuk keluarga kami. Tapi aku melakukannya untuk sesuatu yang baik.
Dengan restu mereka, disinilah aku sekarang. Menuntut ilmu ratusan ribu kilometer dari rumah.
*
Kejadian bertahun lalu serasa baru kemarin. Tak mudah terhapus begitu
saja. Dan setelah sekian lama, tiba waktunya aku pulang. Ke rumah kami.
Rumah yang fotonya ada di tanganku sedari tadi. Yang selalu teraliri
rindu tiap kali memandangnya. Walau tak akan seperti yang terakhir kali
aku lihat.
Itu pasti. Demikian pula penghuninya.
Tiba-tiba hatiku mencelos. Ya. Penghuninya sudah tak lagi sama. Adik
mengikuti jejakku. Menuntut ilmu, walau hanya beberapa ratus kilometer
dari rumah. Pasti senyap rumah itu tanpa kami berdua.
Aku yakin ayah dan bunda tak akan mempermasalahkan kepergian kami.
Kami pergi dengan niat dan tujuan mulia. Tapi ketiadaan kami secara
wujud sedikit banyak pasti akan terasa kosong.
Sampai sesuatu terjadi.
Sebuah pesan singkat tertuju padaku. Benar-benar singkat. Namun sangat dahsyat.
Kakak, bunda meninggal.
Dunia senyap seketika. Tak seperti tersambar petir atau disapu
tsunami. Hanya Sepi. Diam. Tak ada suara. Seakan waktu terhenti
seketika. Yang terjadi kemudian adalah kilasan-kilasan kenangan bersama
bunda muncul di depan mata, laksana memutar film layar tancap. Sejurus
kemudian aku tenggelam dalam sedu sedan.
Tak bisa pulang saat pemakaman bunda, membayangkan adik berduka dan
ayah yang kini sendiri, aku merasa layaknya malin kundang masa kini.
Tapi ayah sungguh bijaksana. Membesarkan hati anak sulungnya ini.
Mengajak tabah, ikhlas dan selalu mendoakan bunda.
Ah, ayah. Betapa inginku ada di sampingmu sekarang. Tanpa perlu berbincang. Hanya duduk bersama dalam diam.
Dan sepertinya itu tak kan lama lagi. Ku tatap tumpukan kotak kardus besar yang akan aku kirim ke rumah.
Rumah kami. Yang selalu jadi magnet yang ku rindukan
Ya. Benar. Aku akan pulang. Dengan semua ilmu dan gelar yang sudah dalam genggaman.
Tunggu aku, ayah. Tak akan lama lagi.
@WahyuSN | http://wahyusiswaningrum.wordpress.com/2012/04/11/rumah-kami/
sangat menarik
ReplyDeleteal-fatihah