Oleh: @WiwitNovSusanti
Joana bulan ini genap berusia 8 tahun. Ia tidak sabar menanti kue ulang tahun raksasa yang dijanjikan orang tuanya. Baginya perubahan usia hanyalah moment kumpul keluarga dan banjir hadiah. Namun ulang tahun Joana sekarang akan jadi ulang tahun paling berkesan. Selain kue ulang tahun, orang tua Joana sudah menyiapkan kado istimewa yang akan merubah hidupnya.
Joana bulan ini genap berusia 8 tahun. Ia tidak sabar menanti kue ulang tahun raksasa yang dijanjikan orang tuanya. Baginya perubahan usia hanyalah moment kumpul keluarga dan banjir hadiah. Namun ulang tahun Joana sekarang akan jadi ulang tahun paling berkesan. Selain kue ulang tahun, orang tua Joana sudah menyiapkan kado istimewa yang akan merubah hidupnya.
Hari itupun datang, setelah prosesi tiup lilin dan potong
kue, Joana sibuk kesana kemari menemui satu persatu sepupu. Tampak beberapa
sepupu Joana sedang asyik bermain di pinggir kolam renang. Mereka sedang
membicarakan sekolah masing-masing.
“Aku biasanya kalo istirahat main sepak bola. Sekolahku
lapangannya guedhe banget.” Sepupu paling besar membanggakan sekolahnya.
“Aku ndak suka main bola. Panas, kringetan, mending
nyemil di kantin.”
Sepupu perempuan tak sabar berkomentar, “Huuu…dasar
gembul, hobinya makan mulu ni.”
Mereka tertawa bersama-sama. Joana menghampiri mereka,
penasaran.
“Kalian lagi ngomongin apa sih?”
“Ini lho kita lagi ngomongin sekolah sama ngetawain si
gembul yang kerjaannya makan terus.” Sepupu tertua menjawab sambil tertawa.
Respon Joana datar, “Ohh….”
“Kak Joan suka ngapain kalo jam istirahat sekolah?” si
Gembul bertanya polos.
“Joan kan nggak sekolah gembul…” Sepupu perempuan
membantu Joan untuk menjawab pertanyaan tadi.
“Kenapa ndak sekolah? Kan di sekolah seru. Bisa main,
belajar trus jajan di kantin. Hehehe….”
“Joan…Joan nggak suka sekolah. Joan suka main, belajar,
sama makan di rumah aja.”
Joana lalu pergi. Para sepupu saling pandang,
kebingungan. Sepupu perempuan tampak menyalahkan si gembul. Mama Joana
memanggilnya untuk sesi buka kado. Wajah Joana tidak seceria tadi. Kado pertama,
kedua sampai ke 10 telah dibuka. Ketika mama akan menyerahkan kado istimewa
darinya, papa membisikkan sesuatu.
“Nanti aja ya Ma….” Istrinya pun mengangguk
Semua tamu sudah pulang, terlihat para pembantu sibuk berbenah. Mama dan papa Joana mendatangi
kamarnya. Joana sedang duduk di kursi santai, pojok kamar bermainnya.
“Joan…mama papa punya hadiah buat Joan.” Mama menyerahkan
kado itu.
“Hah…hadiah lagi Ma? Joan buka ya.”
Papa dan Mama saling pandang. Ada raut cemas di wajah
mama.
“Baju seragam? Buat Joan?”
Papa menjawab ragu-ragu. “Iya…buat Joan. Besok Joan pergi
ke sekolah ya. Papa sama mama udah daftarin Joan ke sekolah favorit. Ini kan
tahun ajaran baru.”
“Iya, besok mama sama papa anter Joan ke sekolah.” Mata mama
berbinar.
“Joan nggak mau sekolah. Joan lebih suka di rumah aja.
Joan udah bisa baca, nulis jadi untuk apa Joan sekolah lagi Ma. Joan bisa
belajar sendiri dari buku-buku yang mama papa beliin.” Seragam itu dijatuhkan ke lantai dan Joana berbalik menghadap
tembok, masih di kursi santainya.
“Joan sayang…sekolah itu bukan sekedar belajar aja sayang.
Di sana kamu bisa dapet pengalaman baru, temen baru dan suasana baru. Pasti seru….percaya
sama mama.” Mama memandang papa, Joana masih diam, cemberut.
“Joan mau apa biar papa beliin. Asal Joan besok mau papa
anter ke sekolah ya.”
Joana adalah satu-satunya putri yang mereka miliki namun
tidak bisa mereka beri perhatian sepenuhnya, papa Joan seorang pengusaha yang menghabiskan
tiga per empat harinya dengan tumpukan pekerjaan. Sedangkan mamanya yang aktivis
perempuan kini disibukkan dengan kewajiban menjaga nenek Joana. Sudah 1,5 tahun
belakangan nenek Joana sering masuk rumah sakit karena kompilkasi jantung yang
dideritanya. Waktu-waktu Joana dihabiskan di satu sudut rumahnya. Kamar bermain
Joana yang lengkap dengan buku-buku ensiklopedia, buku cerita dan mainan-mainan
lainnya.
“Joan…Joan mau…sekolah di sini aja. Joan nggak mau
belajar selain di sini.”
“Kalau Joan sekolah di sini, Joan nggak akan pernah tahu
dunia di luar sana. Banyak hal menarik yang belum Joan tahu.”
“Ya udah ya udah…sekarang Joan tidur dulu aja ya…biar
besok bisa bangun pagi. Besok kita liat, apa Joan masih nggak mau sekolah. Main
bareng temen-temen, belajar bareng, upacara di sekolah. Itu lho, Ma kayak yang biasa kita lihat di TV setiap 17
Agustus. Joana kan kepingin jadi pembawa bendera ya, Ma. Tapi Joana harus
sekolah dong kalo mau jadi pengibar bendera.” Papa coba mengiming-imingi Joana lewat
sindiran halus.
Papa mengangkat Joana yang masih cemberut dari kursi
santainya menuju kamar tidur. Joana hanya diam dalam gendongan papanya. Ia sedang
memikirkan cara agar tak perlu ke sekolah.
Pagi pagi sekali Joana sudah bangun, mandi dan langsung
menempatkan diri di kursi santainya, kamar bermain. Mama mencari Joana ke
kamar, mendapati kamar kosong dan langsung tahu keberadaan Joana. Mama dan papa
pergi ke kamar bermain dengan kotak seragam semalam. Mereka berusaha sekuat
tenaga untuk membujuk putrinya agar mau sekolah. Hingga akhirnya papa kehabisan
ide.
“Joan nggak bisa kemana-mana Papa. Pantat Joan nempel di
kursi ini.” Lem melekatkan roknya dengan kursi tersebut.
“Joan…Joan…” Mama melepaskan rok itu, menarik Joan dari
kursi lalu memasangkan baju seragam lengkap.
Sesekali Joan memberontak. Melepas kembali bajunya,
sambil menangis. Mama berusaha sabar. Memasangkan lagi, memelototi Joana dan
kembali melembut.
Joana sesegukan, “Mama…Joan mau sekolah asal bawa kursi
itu. Joan mau duduk di kursi itu aja, Mama…” nadanya memohon
Mama memandang papa. Tidak tega melihat anak
kesayangannya menangis. Papa mengernyitkan kening sambil menghela nafas panjang
lalu mengangguk lemas.
Pembantu membersihkan bekas
lem di kursi Joana kemudian beserta pembantu lainnya mengangkat kursi tersebut
ke dalam mobil. Mobil pun membawa keluarga kecil itu menuju sekolah baru Joana.
Bu Herman memohon kepada kepala sekolah untuk membiarkan
putrinya menggunakan kursinya sendiri di sekolah. Kepala sekolah mendengarkan
dengan seksama cerita tentang Joana dari kedua orang tuanya tersebut. Beliau
memberikan izin untuk beberapa hari saja serta meminta keduanya untuk membantu
Joana membiasakan diri dengan suasana barunya.
Seluruh kelas gaduh ketika petugas kebersihan sekolah
menggotong kursi sofa kecil masuk ke dalam kelas. Warna merah cerah membuatnya
jadi primadona. Joana masuk ditemani ibu kepala sekolah dan langsung duduk di
kursi tersebut. Mama dan papa masih berdiri di depan kelas. Mereka tersenyum
pada Joana yang menunduk sedari tadi.
Semua anak saling berbisik, teman sebangku Joana hanya
bisa bengong memandangi kursi merah di sebelahnya itu. Hari itu hanya diisi
dengan perkenalan. Saat bel istirahat berbunyi Joana dikerubungi teman sekelas.
Mereka bertanya-tanya, ribut sekali. Joana menutup kuping dan memejamkan erat
matanya. Teman-temannya pun berjalan keluar kelas sambil mengomel.
Hari berikutnya seisi kelas tidak lagi meributkan
keberadan kursi itu sampai seorang murid laki-laki di belakang Joana yang dari
tadi gusar memandangi papan tulis akhirnya berteriak.
“Bu tulisan yang di bawah tidak kelihatan. Kehalang sama
kursi merah di depan saya Bu.”
Seluruh pandangan seketika tertuju pada kursi tersebut.
Joana sibuk sendiri dengan buku gambarnya. Ia tidak memperhatikan pelajaran.
Ibu Guru memperhatikan Joana sambil mengernyitkan kening, berpikir sebuah
solusi. Ia pun memanggil Joana, satu, dua hingga tiga kali, Joana baru
mengangkat dagunya memandang sang guru. Seperti biasa, Joana seakan-akan punya
dunia sendiri ketika berada di kursinya. Hal itulah yang bisa membuatnya tenang
dalam dua hari ini berada di lingkungan yang benar-benar asing.
“Joana…kamu pindah ke belakang ya.”
Joana diam sejenak, kemudian mengangguk. Ia tidak pernah mengucapkan
sepatah kata pun. Bu guru membantunya mengangkat kursi itu. Ia kembali duduk di
singgasana dunianya, sendiri. Sepanjang pelajaran guru Joana terus
memperhatikan tingkahnya. Bel istirahat berbunyi, beliau menghampiri Joana.
“Joana…tidak main sama teman-teman?”
Joana
menggeleng.
“Joana
kenapa bawa bangku sendiri ke sekolah? Joana cerita saja sama ibu kalau memang
ada yang mau Joana ceritakan.”
“Joan…suka
Bu duduk di sini.” Ia kembali menunduk seusai menjawab.
“Kalau
Joan tetep pakai bangku ini Joan akan duduk di belakang terus. Joan mau? Kan nggak
enak sayang. Jauh dari papan tulis. Nanti Joan kesulitan baca tulisan ibu,
suara ibu juga nanti nggak kedengaran sama Joan. Besok Joan duduk di depan ya, di
bangku itu.” Ibu menunjuk bangku kayu yang berada di barisan paling depan.
Lagi
lagi Joana menggelengkan kepalanya.
“Coba
lihat itu Rina sama Santi, mereka duduk
sebelahan di bangku sekolah yang tidak ada sandaran tinggi seperti punya
Joana. Itu sebabnya mereka bisa mengobrol. Sekarang coba Joan lihat bangkunya
Joana. Ada sandaran tingginya. Kalau Joana senderan, udah deh jadi nggak kelihatan. Padahal dari tadi Ibu liat
Desi kepingin ngajak Joana ngobrol tapi nggak bisa sayang… Gara-gara ini” Ibu
menunjuk sandaran tinggi bangku Joana yang membuatnya seolah-oleh tertutupi
dari dunia di sekitarnya.
Sisa
pelajaran diisi Joana dengan memperhatikan teman-teman sekelasnya. Ada yang
asyik mengobrol, saling melihat catatan kerena tertinggal saat bu guru
mendiktekan materi bahkan bermain hompimpa di bawah meja. Mereka terlihat
senang sekali. Joana memajukan sedikit tubuhnya lalu melihat Desi yang sedang
mencatat di bangku sebelah. Desi lalu tersenyum lebar kepadanya. Joana membalas
senyuman itu.
Esok
harinya, setelah mangantarkan Joana ke sekolah supirnya pulang tidak dengan
tangan hampa. Sebuah kursi merah ia angkat masuk ke kamar bermain Joana. Hari
ini Joana duduk di bangku sekolah kayu yang sama saperti teman-temannya. Joana
mulai membuka diri dan mencoba terbiasa dengan suasana barunya. Pulang sekolah
ia langsung menuju kamar bermain. Mama mendatanginya di sana.
“Sayang…ada
cerita apa hari ini?” Mama mengajukan lagi pertanyaan yang kemarin-kemarin
belum dijawab Joana.
Joana
tersenyum ceria sekali, Mama membalas senyuman anaknya sembari menghela napas
lega.
“Cerita
Hari ini, Ma….” Kata demi kata mengalir deras dari bibir mungil Joana.
@WiwitNovSusanti | http://passionofdream.blogspot.com/2012/03/bangkusekolah-joana-joana-bulan-ini.html
No comments:
Post a Comment