Oleh: @syareetah
Ini adalah tahun ketiga ku menjadi bangku sekolah di sebuah sekolah menengah atas. Aku tidak pernah tahu aku dimana, tapi yang aku tahu rumah tempatku berteduh tidaklah mewah, semuanya diatur dan ditata dengan sangat sederhana dan apa adanya. Aq bersama bangku sekolah yang lain, papan dan kapur-kapur tulis yang habis terkikis, serta lemari-lemari kayu adalah saksi bisu setiap momen yang terjadi di kelas ini. Sekilas adalah penggalan memori yang berkesan sepanjang tiga tahun hidupku.
Ini adalah tahun ketiga ku menjadi bangku sekolah di sebuah sekolah menengah atas. Aku tidak pernah tahu aku dimana, tapi yang aku tahu rumah tempatku berteduh tidaklah mewah, semuanya diatur dan ditata dengan sangat sederhana dan apa adanya. Aq bersama bangku sekolah yang lain, papan dan kapur-kapur tulis yang habis terkikis, serta lemari-lemari kayu adalah saksi bisu setiap momen yang terjadi di kelas ini. Sekilas adalah penggalan memori yang berkesan sepanjang tiga tahun hidupku.
***
“Paijo, sebutkan 5 contoh tumbuhan yang bereproduksi dengan spora?”
Dan pria muda
bernama Paijo yang sedari tadi sibuk ngobrol sendiri dengan teman
sebangkunya itupun terkaget-kaget mendengar namanya disebut, “Hmm…”
Sambil menoleh kanan kiri melihat bibir teman-temannya, siapa tahu ada
yang berbaik hati mau membisikkan jawaban untuknya.
“Iyaakkk, gak tahu
kan!! Makanya jangan ngobrol sendiri kamu!” Sembari merapikan buku-buku
yang terbuka di atas meja guru, “Ayo sebelahnya, 5 contoh tumbuhan
spora, apa?” Dia menunjuk teman sebangku, yang tadi terlibat obrolan
asyik dengan si Paijo.
“Apa ya?” Garuk-garuk kepala.
“Gak tahu, idem juga
kaya Paijo.” Dia menarik napas dalam-dalam, “Yang lain, siapa yang
tahu? Bonus nilai sepuluh nih, buat nambahin nilai ulangan nanti.”
“Saya pak.”
“Iya, Sutinem silahkan.”
“Lumut, jamur, suplir, paku kawat, dan…” Sutinem mengalihkan pandangannya ke arah halaman sekolah, “Dan paku ekor kuda pak.”
“Yak, sepuluh yah
buat kamu Sutinem. Buat yang lain, belajar lagi di rumah. Jangan lupa
selasa minggu depan kita ulangan bab ini!” Kemudian si Bapak guru
mengemasi buku-bukunya dan beranjak pergi dari ruangan.
***
Jam istirahat baru
berdentang sekitar 5 menit yang lalu, seisi penghuni ruang kelas ini
sudah berhamburan keluar. Ada yang berlari-lari pergi ke kantin,
berjalan santai ke arah halaman dan lapangan sekolah yang ada
ditengah-tengah gedung, sampai hanya duduk-duduk cantik sambil ngemil di
depan kelas. Tapi ada juga sebagian anak yang lebih memilih tetap di dalam kelas. Sundari salahsatunya, dia dan ketiga temannya duduk asyik menikmati bekal mereka sembari mengobrol tentang apa saja.
Ketika sedang
melahap pisang goreng bikinan emaknya sendiri, tiba-tiba datanglah
sesosok pria yang wajah dan perawakannya dia kenal dengan baik, Tarjo.
“Hei Ndari, sori nih ganggu.” Tarjo agak gugup, “Hmm boleh ngobrol sebentar gak?”
Sundari yang sedari
tadi sejak Tarjo datang belum mengunyah pisang goreng yang sudah
terlanjur masuk ke dalam mulutnya kemudian buru-buru menelan secuil
pisang goreng itu demi menjawab ajakan si Tarjo.
Sundari menelan sambil melotot karena keseretan, “Hmm… I… Iya, boleh kok.” Sundari bahkan tidak berani menatap wajah Tarjo.
“Kita ngobrol di
sana yuk!” Tunjuk Tarjo ke salahsatu bangku urutan kedua dari depan,
baris ketiga dari kanan, agak jauh dari tempat Sundari dan
teman-temannya berkumpul.
Sundari dengan sigap
mengelap tangannya yang belepotan minyak dengan tisu makan berwarna
pink yang dibawanya bersamaan dengan kotak makan berisi pisang goreng,
kemudian berdiri, membenarkan rok abu, dan merapikan kemeja putihnya,
lalu berjalan di belakang mengikuti langkah Tarjo. Sementara ketiga
temannya saling berpandangan, tersenyum-senyum kecil sambil melirik ke
arah Sundari dan Tarjo.
Duduklah mereka
bersebelahan, si Tarjo memelankan volume suaranya agar ketiga teman
Sundari tidak dapat menguping pembicaraan mereka.
“Hmm… Sun, aku… Eh… Aduh…” Tarjo gugup, dia menggaruk bagian belakang kepalanya.
“Hah?? Apa?? Kamu gak sopan!”
“Bukan. Maksudku Ndari, hmm…” Tarjo memainkan jemari tangannya untuk menghilangkan gugup, “Aku.. Aku…”
“Aku apa Jo??” Sundari mulai kesal.
“A… Aku Cuma mau
bilang. Hmm…” Tarjo memandang ke wajah Sundari, “Selama ini aku suka…
sama kamu.” Tarjo menunduk, mukanya merah malu. Demikian juga dengan
Sundari yang mukanya berubah dari kesal menjadi malu. Mereka sama-sama
tertunduk, “Kamu mau gak jadi… pacarku…. Ndari?”
“Cciiiiieeeeeee….!!!!” Sorakan dari ketiga teman Sundari dari sudut lain di ruangan itu, “Terima dong Ndari!!”
Sundari bahkan tak berani menengok ke asal
suara sorakan itu saking malunya, dia juga tak berani mengangkat
kepalanya. Hanya kode anggukanlah yang menjawab pertanyaan si Tarjo
***
Pukul 7.30 pagi,
gemuruh langit hitam menggantung rata bernaung di atap sekolah, keadaan
gelap saat itu memaksa lampu-lampu penerangan seisi sekolah bekerja
overtime sedari malam tadi. Angin sejuk pagi hari bercampur dengan angin
dingin mendung berhembus masuk ke dalam kelas, meniupkan segala yang
dilewatinya. Spontan para murid menindih kertas ulangan dan soal ujian
tengah semester Geografi mereka beradu dengan meja, takut-takut kalau
terbang berhamburan. Optimis, putus asa, gugup dan ngantuk adalah
ekspresi-ekspresi yang bisa dibaca di wajah murid-murid kelas 1C pagi
ini.
“Kerjakan mulai
sekarang!” Ibu Endang memberi perintah sambil terus keliling berpatroli
seisi kelas. Ketukan suara hak sepatu Ibu Endang yang beradu dengan ubin
lantai menyatu dengan suara gesekan pulpen di atas kertas terdengar
berirama, yang kalau seandainya diberi sajak akan membentuk suatu lagu
bersyair indah, tak, tuk, tak, tuk, tak tuk.
“Hoammm….” Jono
menguap selebar-lebarnya. Situasi cuaca di luar mendukung matanya untuk
terpejam. Pandangannya mulai kabur oleh air mata yang menggenangi kedua
bola matanya, membuat dia sulit untuk membaca seluruh kertas soal ujian
geografi di meja yang ditindih dengan siku tangan kanannya. Dia mengucek
kedua matanya, dan keadaan pun kembali normal.
“Se… Sebut dan
jelaskan beberapa jenis batuan yang ada di lapisan kerak bumi?” Baca
Jono dalam pelan, “ Gambarkan penampang lapisan kerak bumi?” Jono
menghela napas panjang, “ Alamak, ini apalagi?!” Gerutunya. Dia
menggaruk kepalanya lagi untuk kesekian kalinya.
Sejenak kemudian
Jono terdiam duduk manis di atas bangkunya, dengan pandangan lurus ke
depan, dan kedua tangan terlipat di meja. Tak berapa lama dia lalu
menyandarkan punggung bidangnya pada sandaran bangku yang keras. Tapi
posisinya agak aneh, yang disandarkannya hanya bagian atas
punggungnya, dengan kedua lutut menempel pada tepian kolong meja,
tangannya tidak lagi terlipat rapi di atas meja, melainkan sudah berada
di kolong meja. Dengan sigap tangan kanannya menarik buku yang ada di
sudut terdalam kolong ke atas paha, dan membukanya. Kini tangan kirinya
memegang bagian sampul buku sebelah kiri sedangkan tangan yang lainnya
sibuk membolak-balik halaman buku yang sekiranya di halaman itu terdapat
jawaban dari salahsatu soal ujian yang dimaksud. Bola matanya bergerak
cepat, bergantian melihat ke arah buku di atas pangkuannya dan gerak
gerik Ibu Endang yang sedari tadi duduk manis di bangku depan sambil
jemarinya memainkan tombol-tombol telepon selularnya.
“Aman.” Ucap Jono
pelan. Dia pun melanjutkan aksi curangnya, tangan kanannya dengan lancar
menyalin kata demi kata dari buku Geografi ke dalam kertas jawaban
sementara jemari telunjuk tangan kirinya menunjuk kalimat jawaban yang
akan disalin. Singkat kata, Jono sedang asyik menyalin. Sudah empat soal
dari total sepuluh soal sudah dilaluinya dengan mulus, sekarang giliran
soal kelima yang akan dicari jawabannya.
Jidatnya
mengerutnya, kemudian dia menutup buku yang sedari tadi dibukanya dan
menaruhnya jauh di posisi sudut terdalam kolong meja. Semuanya dia
lakukan dengan halus dan perlahan, sehingga meminimalisir terjadinya
suara-suara gedubrakan. Dadanya menempel tegak di ujung meja, sementara
tangan kanannya merogoh bagian dalam kolong mencari buku yang lainnya.
Raut mukanya berubah senang seketika. Dia mengulangi keadaan posisi
badannya seperti tadi dia menjalankan rencananya.
Rupanya Jono tidak
sadar sedari tadi teman-teman sekitarnya memperhatikannya sedari tadi.
Si Cepi, teman yang duduk sebangku dengannya juga turut asyik menyalin
jawaban dari kertas jawaban Jono. Adi, Widodo, Tri, Seno, Budi, dan
Sugeng, teman-teman se-geng Jono yang duduk di sekitaran Jono juga turut
menginginkan jawaban dari kertas jawabannya.
“Cep… Cep…” Panggil Sugeng yang duduk di sebelah kanan paling dekat dengan Cepi, “Oper Cep, cepetan!!”
“Jon nomer 3, Jon??” Tanya Widodo dengan muka yang terus menatap ke arah Jono.
Ibu Endang kembali
melakukan patroli menyusuri barisan-barisan bangku dan meja seisi kelas.
Tanpa Jono sadari, teman-teman gengnya yang sedari tadi memanggil dan
tidak dihiraukannya telah berhenti bersahut. Posisi duduk mereka
mendadak manis dan rapi dengan kepala menunduk ke bawah seolah-olah
sedang membaca soal ujian. Tetapi Jono dan Cepi yang sedang asyik dengan
kegiatan masing-masing tidak mengetahui kalau Ibu Endang ternyata sudah
tidak lagi duduk manis dan berkutat dengan telepon selularnya.
Lalu mendadak…
Sesosok tangan halus
Ibu Endang sudah mendarat di kuping kirinya dan menjewernya, “Jono… Apa
yang kamu lakukan?!!!” Tanyanya lantang. Spontan seisi kelas langsung
menoleh ke arah Jono.
Dia ketahuan berbuat ngebet alias curang.
***
Berat tubuhku tidak lebih dari 5 kilogram, berkulit
coklat mengkilat, dan terekuk sempurna 90 derajat. Mulanya aku hanya
potongan-potongan, namun kemudian disatukan sampai membentuk sebuah
bangku yang terdiri dari empat kaki, sebuah dudukan dan sandaran. Bentuk
ku memang jauh dari nyaman dan mewah bila dibandingkan dengan sebuah
sofa dengan dudukan dan sandaran yang empuk terbuat dari busa. Aku dan
pasanganku meja, serta bersama kawanan bangku sekolah yang lain, kami
bersama-sama setiap pagi punya andil besar dalam program pemerintah
dalam mencerdaskan anak negeri. Dan itu kami lakukan dengan ikhlas dan
suka cita setia hari. :D
Wahai kalian anak negeri, jangan pernah
bepikir dangkal tentang aku dan kawananku, karena tanpa kami kalian
tidak akan nyaman menuntut ilmu.
*FIN*
@syareetah | http://gingerose.tumblr.com/post/20159901333/bangku-ceritaku
No comments:
Post a Comment