Monday, April 2, 2012

Bangku : Ceritaku

Oleh: @syareetah


Ini adalah tahun ketiga ku menjadi bangku sekolah di sebuah sekolah menengah atas. Aku tidak pernah tahu aku dimana, tapi yang aku tahu rumah tempatku berteduh tidaklah mewah, semuanya diatur dan ditata dengan sangat sederhana dan apa adanya. Aq bersama bangku sekolah yang lain, papan dan kapur-kapur tulis yang habis terkikis, serta lemari-lemari kayu adalah saksi bisu setiap momen yang terjadi di kelas ini. Sekilas adalah penggalan memori yang berkesan sepanjang tiga tahun hidupku.
***

            “Paijo, sebutkan 5 contoh tumbuhan yang bereproduksi dengan spora?” 
            Dan pria muda bernama Paijo yang sedari tadi sibuk ngobrol sendiri dengan teman sebangkunya itupun terkaget-kaget mendengar namanya disebut, “Hmm…” Sambil menoleh kanan kiri melihat bibir teman-temannya, siapa tahu ada yang berbaik hati mau membisikkan jawaban untuknya.
            “Iyaakkk, gak tahu kan!! Makanya jangan ngobrol sendiri kamu!” Sembari merapikan buku-buku yang terbuka di atas meja guru, “Ayo sebelahnya, 5 contoh tumbuhan spora, apa?” Dia menunjuk teman sebangku, yang tadi terlibat obrolan asyik dengan si Paijo.
            “Apa ya?” Garuk-garuk kepala.
            “Gak tahu, idem juga kaya Paijo.” Dia menarik napas dalam-dalam, “Yang lain, siapa yang tahu? Bonus nilai sepuluh nih, buat nambahin nilai ulangan nanti.”
            “Saya pak.”
            “Iya, Sutinem silahkan.”
            “Lumut, jamur, suplir, paku kawat, dan…” Sutinem mengalihkan pandangannya ke arah halaman sekolah, “Dan paku ekor kuda pak.”
            “Yak, sepuluh yah buat kamu Sutinem. Buat yang lain, belajar lagi di rumah. Jangan lupa selasa minggu depan kita ulangan bab ini!” Kemudian si Bapak guru mengemasi buku-bukunya dan beranjak pergi dari ruangan.
***
            Jam istirahat baru berdentang sekitar 5 menit yang lalu, seisi penghuni ruang kelas ini sudah berhamburan keluar. Ada yang berlari-lari pergi ke kantin, berjalan santai ke arah halaman dan lapangan sekolah yang ada ditengah-tengah gedung, sampai hanya duduk-duduk cantik sambil ngemil di depan  kelas. Tapi ada juga sebagian anak yang lebih memilih tetap di dalam kelas. Sundari salahsatunya, dia dan ketiga temannya  duduk asyik menikmati bekal mereka sembari mengobrol tentang apa saja.
            Ketika sedang melahap pisang goreng bikinan emaknya sendiri, tiba-tiba datanglah sesosok pria yang wajah dan perawakannya dia kenal dengan baik, Tarjo.
            “Hei Ndari, sori nih ganggu.” Tarjo agak gugup, “Hmm boleh ngobrol sebentar gak?”
            Sundari yang sedari tadi sejak Tarjo datang belum mengunyah pisang goreng yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulutnya kemudian buru-buru menelan secuil pisang goreng itu demi menjawab ajakan si Tarjo.
            Sundari menelan sambil melotot karena keseretan, “Hmm… I… Iya, boleh kok.” Sundari bahkan tidak berani menatap wajah Tarjo.
            “Kita ngobrol di sana yuk!” Tunjuk Tarjo ke salahsatu bangku urutan kedua dari depan, baris ketiga dari kanan, agak jauh dari tempat Sundari dan teman-temannya berkumpul.
            Sundari dengan sigap mengelap tangannya yang belepotan minyak dengan tisu makan berwarna pink yang dibawanya bersamaan dengan kotak makan berisi pisang goreng, kemudian berdiri, membenarkan rok abu, dan merapikan kemeja putihnya, lalu berjalan di belakang mengikuti langkah Tarjo. Sementara ketiga temannya saling berpandangan, tersenyum-senyum kecil sambil melirik ke arah Sundari dan Tarjo.
            Duduklah mereka bersebelahan, si Tarjo memelankan volume suaranya agar ketiga teman Sundari tidak dapat menguping pembicaraan mereka.
            “Hmm… Sun, aku… Eh… Aduh…” Tarjo gugup, dia menggaruk bagian belakang kepalanya.
            “Hah?? Apa?? Kamu gak sopan!”
            “Bukan. Maksudku Ndari, hmm…” Tarjo memainkan jemari tangannya untuk menghilangkan gugup, “Aku.. Aku…”
            “Aku apa Jo??” Sundari mulai kesal.
            “A… Aku Cuma mau bilang. Hmm…” Tarjo memandang ke wajah Sundari, “Selama ini aku suka… sama kamu.” Tarjo menunduk, mukanya merah malu. Demikian juga dengan Sundari yang mukanya berubah dari kesal menjadi malu. Mereka sama-sama tertunduk, “Kamu mau gak jadi… pacarku…. Ndari?”
“Cciiiiieeeeeee….!!!!” Sorakan dari ketiga teman Sundari dari sudut lain di ruangan itu, “Terima dong Ndari!!”
Sundari bahkan tak berani menengok ke asal suara sorakan itu saking malunya, dia juga tak berani mengangkat kepalanya. Hanya kode anggukanlah yang menjawab pertanyaan si Tarjo
***
            Pukul 7.30 pagi, gemuruh langit hitam menggantung rata bernaung di atap sekolah, keadaan gelap saat itu memaksa lampu-lampu penerangan seisi sekolah bekerja overtime sedari malam tadi. Angin sejuk pagi hari bercampur dengan angin dingin mendung berhembus masuk ke dalam kelas, meniupkan segala yang dilewatinya. Spontan para murid menindih kertas ulangan dan soal ujian tengah semester Geografi mereka beradu dengan meja, takut-takut kalau terbang berhamburan. Optimis, putus asa, gugup dan ngantuk adalah ekspresi-ekspresi yang bisa dibaca di wajah murid-murid kelas 1C pagi ini.
            “Kerjakan mulai sekarang!” Ibu Endang memberi perintah sambil terus keliling berpatroli seisi kelas. Ketukan suara hak sepatu Ibu Endang yang beradu dengan ubin lantai menyatu dengan suara gesekan pulpen di atas kertas terdengar berirama, yang kalau seandainya diberi sajak akan membentuk suatu lagu bersyair indah, tak, tuk, tak, tuk, tak tuk.
            “Hoammm….” Jono menguap selebar-lebarnya. Situasi cuaca di luar mendukung matanya untuk terpejam. Pandangannya mulai kabur oleh air mata yang menggenangi kedua bola matanya, membuat dia sulit untuk membaca seluruh kertas soal ujian geografi di meja yang ditindih dengan siku tangan kanannya. Dia mengucek kedua matanya, dan keadaan pun kembali normal.
            “Se… Sebut dan jelaskan beberapa jenis batuan yang ada di lapisan kerak bumi?” Baca Jono dalam pelan, “ Gambarkan penampang lapisan kerak bumi?” Jono menghela napas panjang, “ Alamak, ini apalagi?!” Gerutunya. Dia menggaruk kepalanya lagi untuk  kesekian kalinya.
            Sejenak kemudian Jono terdiam duduk manis di atas bangkunya, dengan pandangan lurus ke depan, dan kedua tangan terlipat di meja. Tak berapa lama dia lalu menyandarkan punggung bidangnya pada sandaran bangku yang keras. Tapi posisinya agak aneh, yang disandarkannya  hanya bagian atas punggungnya, dengan kedua lutut menempel pada tepian kolong meja, tangannya tidak lagi terlipat rapi di atas meja, melainkan sudah berada di kolong meja. Dengan sigap tangan kanannya menarik buku yang ada di sudut terdalam kolong ke atas paha, dan membukanya. Kini tangan kirinya memegang bagian sampul buku sebelah kiri sedangkan tangan yang lainnya sibuk membolak-balik halaman buku yang sekiranya di halaman itu terdapat jawaban dari salahsatu soal ujian yang dimaksud. Bola matanya bergerak cepat, bergantian melihat ke arah buku di atas pangkuannya dan gerak gerik Ibu Endang yang sedari tadi duduk manis di bangku depan sambil jemarinya memainkan tombol-tombol telepon selularnya.
            “Aman.” Ucap Jono pelan. Dia pun melanjutkan aksi curangnya, tangan kanannya dengan lancar menyalin kata demi kata dari buku Geografi ke dalam kertas jawaban sementara jemari telunjuk tangan kirinya menunjuk kalimat jawaban yang akan disalin. Singkat kata, Jono sedang asyik menyalin. Sudah empat soal dari total sepuluh soal sudah dilaluinya dengan mulus, sekarang giliran soal kelima yang akan dicari jawabannya.
            Jidatnya mengerutnya, kemudian dia menutup buku yang sedari tadi dibukanya dan menaruhnya jauh di posisi sudut terdalam kolong meja. Semuanya dia lakukan dengan halus dan perlahan, sehingga meminimalisir terjadinya suara-suara gedubrakan. Dadanya menempel tegak di ujung meja, sementara tangan kanannya merogoh bagian dalam kolong mencari buku yang lainnya. Raut mukanya berubah senang seketika. Dia mengulangi keadaan posisi badannya seperti tadi dia menjalankan rencananya.
            Rupanya Jono tidak sadar sedari tadi teman-teman sekitarnya memperhatikannya sedari tadi. Si Cepi, teman yang duduk sebangku dengannya juga turut asyik menyalin jawaban dari kertas jawaban Jono. Adi, Widodo, Tri, Seno, Budi, dan Sugeng, teman-teman se-geng Jono yang duduk di sekitaran Jono juga turut menginginkan jawaban dari kertas jawabannya.    
            “Cep… Cep…” Panggil Sugeng yang duduk di sebelah kanan paling dekat dengan Cepi, “Oper Cep, cepetan!!”
            “Jon nomer 3, Jon??” Tanya Widodo dengan muka yang terus menatap ke arah Jono.
            Ibu Endang kembali melakukan patroli menyusuri barisan-barisan bangku dan meja seisi kelas. Tanpa Jono sadari, teman-teman gengnya yang sedari tadi memanggil dan tidak dihiraukannya telah berhenti bersahut. Posisi duduk mereka mendadak manis dan rapi dengan kepala menunduk ke bawah seolah-olah sedang membaca soal ujian. Tetapi Jono dan Cepi yang sedang asyik dengan kegiatan masing-masing tidak mengetahui kalau Ibu Endang ternyata sudah tidak lagi duduk manis dan berkutat dengan telepon selularnya.
            Lalu mendadak…
            Sesosok tangan halus Ibu Endang sudah mendarat di kuping kirinya dan menjewernya, “Jono… Apa yang kamu lakukan?!!!” Tanyanya lantang. Spontan seisi kelas langsung menoleh ke arah Jono.
            Dia ketahuan berbuat ngebet alias curang.
***
           
             Berat tubuhku tidak lebih dari 5 kilogram,  berkulit coklat mengkilat, dan terekuk sempurna 90 derajat. Mulanya aku hanya potongan-potongan, namun kemudian disatukan sampai membentuk sebuah bangku yang terdiri dari empat kaki, sebuah dudukan dan sandaran. Bentuk ku memang jauh dari nyaman dan mewah bila dibandingkan dengan sebuah sofa dengan dudukan dan sandaran yang empuk terbuat dari busa. Aku dan pasanganku meja, serta bersama kawanan bangku sekolah yang lain, kami bersama-sama setiap pagi punya andil besar dalam program pemerintah dalam mencerdaskan anak negeri. Dan itu kami lakukan dengan ikhlas dan suka cita setia hari. :D
Wahai kalian anak negeri, jangan pernah bepikir dangkal tentang aku dan kawananku, karena tanpa kami kalian tidak akan nyaman menuntut ilmu.
*FIN*

| http://gingerose.tumblr.com/post/20159901333/bangku-ceritaku

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan