Author’s note : Ini adalah cerpen partisipasi #CeritaHariIni minggu ke-3 dengan tema “BUKU BARU”. Merupakan hak milik dari penulis/pemilik blog ini, no plagiarisme ya! Selamat membaca semuanya :)
Aku penuhi janjiku yang berusia sepuluh tahun lamanya.
Kata mereka, buku barumu sudah terbit. Maka, aku jejaki lorong lorong buku yang saling lurus berjajar. Namun tak aku temukan jua letaknya berada. Aku sebutkan namamu kepada seorang pustakawan sebelum ia mengisyaratkan dengan telunjuknya.
“Disana.”
Ditengah toko buku aku dapati bukumu, yang kira kira 400 halaman tebalnya bertumpuk. Apa memang sebegitu pentingnya untuk dipajang, aku pun tak tahu.
Aku tidak bohong, kali itu aku mendengus iri—cih boleh juga.
Langsung aku telaah buku itu dari sampul hingga ke halaman abu abu yang nampak membosankan. Mungkin karena aku mempunyai short attention span atau yang mereka sebut, rentang perhatian yang singkat, aku tidak bisa menikmati segala bentuk karya yang berstruktur monoton. Aku harap suara dan fisikmu akan serta merta membantuku untuk membacanya.
Aku jadi ingat malam itu, aku sempat mampir ke rumahmu. Bertandang dengan sepetak kue ulang tahun yang aku timang diam diam. Aku hanya terkesiap saat menemukanmu duduk sendiri di dalam ruang tamu. Membelakangiku dan mengedepani layar monitor komputer.
Lantas aku hanya tegak di ambang pintu, yang kemudian cepat cepat aku tutup.
“Yang lain mana?” protesku.
“Kamu datang terlalu awal,” jawabmu.
Dan, kamu selalu memanggilku dengan ‘kamu’ bukan ‘lo’, dan merujuk dirimu sebagai ‘aku’ bukan ‘gue’. Sebab katanya, kamu menghormati pelajar perantauan yang lari ke Jakarta, dari sistem pendidikan kampung halaman yang kebanyakan masih udik dan main suap—aku masih bertaruh di kota ini pun akan sama nasib kita.
“Anak anak masih mancing Yanti biar cepet datang kesini, tapi mereka engga mau sampai dia curiga. It will take a while.” imbuhmu.
Aku ingat bagaimana Bahasa Inggrismu terlantun di kupingku. Apik. Coba dari dulu kau ajari aku juga—gerutuku.
Kemudian kau mempersilahkanku menunggu. Saat itu kita hendak memberikan pesta kejutan ulang tahun bagi teman satu kos-anmu yang juga teman sepermainan kita. Kamu bilang kamu yang bertugas ‘jaga kandang’, maka selebihnya kita hanya perlu menunggu, menunggu dan menunggu. Hanya kita berdua yang menempati ruang tamu dengan lampu kuning teduh yang sering kau nyalakan begitu malam tiba. Aku tidak mengerti betapa menariknya lampu remang itu bagimu.
Aku jadi bosan, terus aku sambari kau dengan perlahan.
“Lagi ngapain?”
Teguran kasualku membuat kau bergidik terkejut. “Main The Sims 3.” balasmu setelah kembali tenang. Aku membundarkan mulutku dan melafalkan abjad “O”.
“Bukan mainan mahasiswa hukum, nih.” sindirmu.
“Siapa bilang? Aku juga sering main kok.”
Kamu tidak mengindahkanku dan kemudian menunjuk ke layar monitor. “See? Sims-ku bakal jadi penulis terkenal. Sudah level 9!” katamu bangga, dan aku menyambutnya dengan tawa.
Beberapa saat kemudian yang terdengar hanyalah suara klik-klik dari mouse yang kamu asyik gerakkan. Aku duduk di sampingmu, tanpa kau hiraukan. Sampai akhirnya kamu bertanya,
“Habis wisuda, kau mau jadi apa?”
Pertamanya, aku agak tertegun dan aku angkat bahuku. “Mungkin, aku bakal ambil beasiswa S2 atau ambil sekolah notaris.”
“Amin…” kita berdua saling menimpali seperti habis membaca doa.
“Kamu?” aku balas bertanya.
Aku bisa mendengarkan desahmu yang nampak meragu. “Masa, Sims-ku lebih punya masa depan dari pada pemainnya sendiri.” tutupmu dengan tawa satir.
Ku tatapi monitor lekat lekat dan begitu saja tercetus dari bibirku.
“Mungkin enak ya, kalau kita hidup seperti Sims. Bisa punya penampilan yang bisa diatur. Kalau habis uang tinggal pakai cheat…”
“Bisa punya ambisi yang bisa diatur dari awal… dan ambisi itu akan selalu kekal.” sambungmu, terus tertunduk lesu.
Aku kira, kau akan terhibur setelah aku mengalihkan perhatian dengan menanyakan begini. “Skripsimu, sudah sampai mana?”
Ketukan mouse itu makin melambat. Lesu bunyinya, sama dengan wajahmu. “Persetan dengan skripsi. Kalau ujung ujungnya setelah wisuda belum tahu mau jadi apa.”
Yang baru saja aku dengar adalah kata kata dari mahasiswi yang IPKnya tidak pernah dibawah dari 3,5. Mereka juga bisa pesimis—pikirku. Setelah itu kau tidak menghiraukan gambar yang terus bergerak dari monitor, begitu pula audio permainan yang terus terlantun ceria dari pengeras suara. Kau menatapku lekat lekat.
“Katanya kau mau jadi penulis, kenapa kau ambil jurusan hukum?” tanyamu serius.
Jadi aku terima tantanganmu untuk berdebat. “Jangan salah, menulis itu adalah hobiku. Cuma aku ga bisa nyebayangin hidup dari menulis. Mana jelas bayarannya, kadang dapat, kadang engga—kadang ga ada ide, kadang kerjaanmu dicontek. Aku sih ambil yang pasti pasti aja. Selagi aku bisa punya tangan untuk menulis, aku akan tetap menulis.”
Kedua matamu menatapku nanar. Seakan kecewa. Aku merasa terhakimi. Jadi aku menambahi kembali—dan melawan. “Adakalanya kita boleh bermimpi, tapi setiap saat kita harus realistis.”
Pandanganmu masih tidak beralih dariku. Nampak menantikan sesuatu. Satu-dua patah kata yang menenangkan hatimu. Mungkin salah ketika aku jawab lagi, “Aku engga tahu ya. Mungkin, karena aku laki laki yang jadi calon penafkah keluarga, jadi pola pikirku harus seperti ini…”
“Lamaran beasiswa-ku ke Inggris di tolak!” kau menyeru, dan air mata menyeruak jatuh di pipimu. Mungkin sisanya, berjatuhan di balik bola matamu. Bisa kulihat kau menahannya dari mukamu yang memerah.
Sebagaimana sosok yang sudah empat tahun lebih aku kenal saat itu, kau menyambung dengan getir.
“Kita ini dua sudut koin yang berbeda, bukan? Mungkin orangtuaku akan bangga punya anak sepertimu, ketimbang aku yang mereka nilai menyia-nyiakan bakat karena terlalu naïf dan banyak maunya.”
Aku sempat bertaruh dengan mereka sebelum datang ke Jakarta. Aku akan pulang dengan gelar—bukan sarjana—tapi gelar master sastra Inggris dari London di belakang namaku. Alasanku bertaruh, karena, aku mau jadi penulis dan menjelajahi Inggris. Bukan jadi dokter, insinyur—atau maaf, pengacara…”
“Iya, engga apa apa…” potongku setengah tersinggung.
“Dan, aku kalah bertaruh. Sebagai gantinya, aku harus kembali pulang dan bertemu dengan—entahlah—tiga empat kenalan baru yang bakal menjadi,” engkau lanjutkan setelah berdeham. “calon suamiku.” kau menutup dengan tenang.
Terus kau mengusap-usap kedua matamu sambil tertawa tawa. Memang seorang wanita yang naïf—batinku.
“Kalo mau main judi, kok main sama orangtua. Ya jelas kalah, lah.” candaku. Kali ini aku lega, karena kau ikut terpingkal. Kemudian, aku tidak bisa melawan lagi. Aku rentangkan tanganku, mengisyaratkan kau agar kemari di sebelahku. Kita saling merangkul.
“Kamu kan realistis nih, ada ga sih kira kira yang mau sama aku, yang jelek, item, badannya gempal, pendek lagi…” celetukmu.
“Kamu kan suka orang inggris. Biasanyakan orang inggris suka yang cewek yang eksotis, kayak mbak-mbak, nah kamu bisa tuh…”
Pukulan itu aku terima di lengan kananku. “Asem!” kali ini benar benar kau katakan sepenuh hati, sungguh realistis. Saat itu kau bergelantung dengan kemanjaan seorang teman di pinggangku. Segenap senyum dan garis pipimu saat kau nampak bahagia.
“Aku mau kok sama kamu.” saking gemasnya, begitu kata kata tergelincir lagi dari lidahku yang selalu sulit aku kendalikan—yang dulu sering membuatku berkelahi dengan kakak tingkat maupun dosen muda. Namun, kali ini aku tidak menyangkal, dan aku teruskan saja dengan bahasa yang lebih mudah kau mengerti.
“I love you.”
Kata mereka sudah tiga tahun kau memendam rasa itu. Bagiku, butuh waktu yang sama ditambah seorang kekasih untuk memberanikan diri mengatakan hal yang sama. Wajahmu tak bergeming, terletak sangat dekat dengan wajahku. Bisa aku hampiri bibirmu dengan sekejap saja. Engkau menyebut nama kekasihku dengan ragu.
“Tapi, Yanti?” ujarmu lirih.
Aku tidak ambil perduli. Sedikit lagi akan aku hampiri sekejap saja.
Hanya saja segerombolan anak muda menerobos pintu ruang tamu dan menyerukan, “Yanti, sudah datang! Siap siap!”
Syukur , kejadian itu tidak disaksikan satu orang pun. Yanti mulai datang dan meniup lilinnya.
Selepas pesta, aku hendak beranjak dari kos-kosan mu. Sebelum, kau memanggilku diam diam dan menyuapkanku sepotong kue di dapur. Terus kau berbisik, “Sepuluh tahun lagi, tunggu buku baruku di tengah toko buku. Kalau benar benar ada, giliran kau yang bertaruh. Tulis juga bukumu.”
Setelah itu, kau mengharap aku memaklumi emosimu yang sempat meledak-ledak, karena petang tadi kau tidak sengaja memakan brownies coklat buatan si Rasta, teman kita yang suka sekali bakar ganja.
Harusnya kau tahu aku. Aku tidak bisa dibodohi—lagi lagi kau malu dan berlalu mangkir. Dari detik aku keluar rumah hingga sepuluh tahun lamanya. Aku rindu kau, bodoh.
Kini, aku menimang-nimang bukumu. Buku ini memang bukan tentangku. Tapi, tentang taruhan pertama yang kau menangkan sepuluh tahun susahnya. Biografi mengatakan kau telah memperdalam ilmu strata dua komunikasi di Leeds Metropolitan University di Britania sana. Bagus lagi kalau kau masih melajang.
“Hai,” sapa suara yang aku kenali dari belakang. Aku serta merta menoleh.
Perempuan itu hanya berdiri setinggi daguku dengan badan yang mungil dan padat. Pipi bundarnya yang cerah bersemu kemerahan.
“Sekarang giliranmu.” ucapannya terdengar seperti tantangan yang familiar
“Ada syaratnya,” aku mencoba menyanggupi
“Apa?”
Aku menyimpulkan senyum. “Gak pake makan brownies lagi ya…”
Aku harap engkau tahu maksudku, saat aku usapkan tanganku dan mengacaukan rambut pendek yang masih engkau biarkan menghitam.
No comments:
Post a Comment