Aku hanya memintanya untuk membeli magnet. Tugas yang sangat ringan,
menurutku. Entah menurutnya. Rambut hitam panjangnya yang semula
dibiarkan tergerai kini terikat dengan karet gelang yang diambil dari
dalam tasnya. Dari kejauhan kulihat beberapa hasil karya yang sudah siap
untuk dipajang. Beragam artikel dengan tema Cerita Hari Ini.
Aku memandang matanya sambil menerima sejumlah magnet berbentuk bulat
dari telapak tangannya. “Lama sekali,” ujarku spontan. Aku tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa aku kecewa dengan caranya membantuku.
Sama sekali tidak. Tapi rupanya ia salah sangka.”Maaf, Kak, angkot yang
biasa mangkal di depan tidak ada. Saya tadi jalan kaki ke toko buku
terdekat. Juga tidak ada. Penjaga toko memberi tahu saya kalau magnet
semacam ini bisa dibeli di pasar. Ada toko aksesoris yang menjualnya di
sana. Jadi…” Kisahnya panjang dan detil. Sampai-sampai ia ceritakan juga
ekspresi wajah penjaga toko-toko yang disebutnya. Kesalku berubah jadi
tawa. Tawa kami berdua.
Lama kuperhatikan gerak tubuhnya tiap kali ia berusaha membantuku
menuntaskan pekerjaan menyusun artikel yang akan menghias majalah
dinding sekolah kami. Wajahnya yang begitu sederhana dan kulit coklatnya
yang dibiarkan terpanggang sinar matahari setiap hari. Tas sekolah yang
terlihat ketinggalan zaman itu juga hanya berisi barang-barang
sederhana. Ia pernah memperlihatkan padaku. Tanpa ada maksud apapun
kecuali memenuhi persyaratan sebagai anggota tim penyusun majalah
sekolah. Perpeloncoan kecil memintanya untuk menuliskan apa saja yang
mengisi tas sekolahnya dan untuk apa benda-benda tersebut dibawa ke
sekolah. Ia bercerita sedikit tentang buku paket yang tidak lengkap,
pensil dan bolpoin murah pemberian tetangga di hari ulang tahunnya dan
tak ketinggalan majalah bekas yang dibelinya di toko loak. “Tidak bisa
beli yang baru,” katanya. “Yang penting ada bacaan,” lanjutnya.
Aku tahu sepulang sekolah ia selalu membantu ibunya berkeliling
kampung menjajakan gorengan hangat dari rumah ke rumah. Sementara pagi
hari sebelum berangkat sekolah, tugas berbelanja ke pasar menanti untuk
dikerjakan. Mungkinkah ia ikhlas melakukan itu semua? Tidakkah ia
menginginkan kehidupan glamor nan santai teman-teman satu sekolahnya?
Aku sering dibuatnya bertanya dalam hati. Aku tahu seandainya tugas
membeli magnet itu aku serahkan ke Ratri, gadis populer di kelasku yang
hanya mengikuti kegiatan ini agar bisa terlihat rajin menulis di mata
Rendra, kakak kelas yang dipujanya, pasti lain ceritanya. Mana mau Ratri
berlari-lari ke toko buku yang terdekat sekalipun. Atau juga seandainya
tugas tadi aku serahkan ke…ah, sebenarnya aku tak ingin
membandingkannya dengan Nina, kekasihku. Kami telah berpacaran selama 2
tahun. Segala kekurangan yang ada pada Nina telah mampu aku terima
sebagaimana ia menerima kekurangan pada diriku.
“Siapa sih namanya?”
“Murti…Murtiningsih lengkapnya”
“Udah, segitu aja?”
“Iya, emang kenapa?”
“Ya nggak kenapa-kenapa sih… Bener ya dia jualan gorengan kalau sore?”
“Katanya begitu. Bantuin ibunya”
“Hebat juga ya dengan jualan gorengan bisa sekolahin anaknya sampai SMU”
“Namanya juga buat anak, Nin. Apa sih yang nggak dilakukan orang tua?”
Nina kerap mengajakku membicarakan Murti. Semula aku pikir ia merasa
tersaingi dengan kehadiran Murti di sisiku. Semenjak Murti bergabung
dengan tim redaksi majalah sekolah, ia kerap mengunjungi kelasku untuk
berbagai hal. Ketangkasannya mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus
mulai dari menulis artikel hingga pekerjaan kasar yang dihindari banyak
teman membuat ia menjadi daya tarik tersendiri di sekolah. ‘Coba kalau
tidak ada Murti waktu itu’,’Untung deh Murti cepet bikinnya’ atau ‘Murti
lagi dimana ya enak tuh kalo dibantuin dia’ adalah sederetan kalimat
yang sangat lazim terdengar di telingaku terhitung enam bulan ia
bergabung di tim yang aku pimpin. Meski berbagai cemooh juga singgah
dalam waktu bersamaan seperti ‘Gimana nggak rajin wong kalau malas nggak
bisa makan’ dan lain sebagainya. Aku tahu Murti tak pernah menanggapi,
meski ia sempat menggoreskan pedih hatinya lewat puisi-puisinya. Puisi
yang justru makin mendongkrak eksistensinya di komunitas majalah
sekolah.
Murti telah menjelma menjadi magnet yang dapat menarik sekian banyak
kekaguman yang berakhir pada tumbuhnya inspirasi-inspirasi kami dalam
menulis. Magnet bukan sekedar benda yang harus ia dapatkan pada hari
pertama dirinya bergabung. Magnet adalah eksistensi dirinya sendiri.
“Kamu kenapa, Andre? Kok pucat?” Nina memperhatikan wajahku yang kurang tidur dengan cemas.
“Nggak apa-apa, nanti kalau udah istirahat cukup juga biasa lagi. Semalam…”
“Semalam begadang susun artikel yang mau dimuat buat majalah bulan
ini ya? Sama siapa? Murti lagi? Kan dia andalanmu, andalan semua orang!”
Nina memotong kalimatku dan menyerocos tanpa mau disela. Pada akhirnya
dugaanku benar. Magnet yang dimiliki Murti berhasil menumbuhsuburkan
rasa iri pada beberapa orang, tak terkecuali Nina. Nina yang awalnya
menerima Murti sebagai perpanjangan tangan dalam membantu semua
kegiatanku sekarang merasakan kehadiran Murti sebagai benalu yang
menghambat pertumbuhan hubunganku dengannya.
“Aku cuma kurang istirahat Nina. Biasa kok begini. Lagian semalam
udah sempat dibuatin wedang jahe anget,” sengaja kucukupkan kalimatku.
Melanjutkannya sedikit saja dengan menyebutkan nama pembuat wedang jahe
itu berarti memukul genderang perang dengan Nina.
Sudah lebih dari seminggu Nina menolak aku ajak pulang sama-sama.
Saat pulang sekolah tanpa Nina terasa janggal bagiku. Celotehnya mengisi
kekosongan waktuku. Namun, menanyakan sebab keengganannya pulang
bersamaku terasa begitu ironis. Nina dengan protes-protesnya tentang
kehadiran Murti di kehidupanku tak pernah aku tanggapi. Aku mencintai
Nina dengan caraku sendiri.
“Mau aku traktir makan siang?” kataku suatu hari pada Nina yang entah
bagaimana berada tepat di depanku di sebuah siang yang terik di kantin
sekolah yang hampir kosong. Seolah ada yang mengatur kehadirannya di
dekatku, aku memupuk rasa percaya diri untuk memulai pembicaraan.
Kebekuan antara aku dan Nina harus segera kuakhiri. Tekadku sudah bulat.
Nina belum ingin bicara denganku rupanya. Ia berlalu dari hadapanku
sebelum akhirnya langkahnya terhenti karena sentuhan tanganku di
bahunya.
“Sebentar saja. Aku mau bicara,” ucapku lirih.
Nina masih saja membisu meski tubuhnya kini menghadap padaku. Matanya
enggan menatapku. Aku mulai merasakan hawa dingin merasuki tubuh. Meski
pada kenyataannya telapak tanganku begitu berkeringat. Aku menggeser
sebuah bangku untuk Nina dan mematut bangku yang lain lagi di dekatnya
untuk kududuki. Suhu udara yang kian tinggi mengalirkan peluh di
keningku.
“Mau bicara apa sih? Buruan, aku udah ditunggu jemputan nih!” kalimat
yang keluar dari mulutnya begitu singkat dan tidak bersahabat.
“Aku mau…minta maaf”
“Minta maaf untuk apa?” pertanyaannya begitu menusuk perasaanku. Nina
rupanya meminta aku membunuh ego seorang laki-laki yang hampir tidak
pernah mengakui kesalahannya ini. Mungkin yang ingin dikatakan
sesungguhnya adalah,”Akhirnya kamu bisa melihat kesalahan di pelupuk
matamu, Andre.”
“Oke. Begini. Maaf untuk tidak mengejarmu dan memohon-mohon padamu
untuk pulang bersamaku dua minggu terakhir ini,” ucapku tegas dengan
mengandalkan ego yang masih tersisa.”Kalau kedekatanku dengan Murti
selama ini mengganggumu, aku punya alasan untuk itu. Ibu Murti, Nin.
Ia-lah alasan utamanya.”
Nina memperlihatkan gesture tubuh yang berbeda. Ia terlihat melepas urat kaku di wajahnya.
“Ibu Murti menitipkan anaknya padaku untuk dijaga…”
Tanpa dapat kuduga sebelumnya, Nina bukannya makin menginginkan
kelanjutan kata-kataku tapi malah berbalik memunggungiku dan berlari
menjauh.
“Nina! Aku belum selesai bicara!”
Tak ada pilihan kecuali berlari mencoba menggapainya kembali. Sebelum
sempat meraihnya, aku melihatnya menutup hidung dengan sapu tangan.
Nina menahan tangis. Aku seolah lebur dalam kesedihan yang dirasakannya.
Aku tidak ingin meninggalkanmu, Nina. Sungguh. Tugasku menjaga Murti
bukan berarti menyisihkanmu dari hidupku. Sampai kapan hatimu mampu
menerima kelemahan seorang Andre yang keras hati, yang hidupnya terlalu
jauh dari sempurna? Yang memiliki ayah yang tega meninggalkan istri
sirinya hidup dari berjualan gorengan? Ibu Murti memintaku untuk menjaga
adikku sendiri. Darah daging ayahku juga. Ia adalah magnet yang
mendekatkanku pada kewajiban yang telah sekian lama ditinggalkan oleh
ayahku, Nin.
Ah, seandainya…
(Ditulis untuk #CeritaHariIni yang diselenggarakan oleh @_PlotPoint)
@nastiti_ds | http://wordsondesert.wordpress.com/2012/04/12/ah-seandainya/
Keren sekaliiiiiii
ReplyDelete