Monday, April 16, 2012

Ah, Seandainya…

Aku hanya memintanya untuk membeli magnet. Tugas yang sangat ringan, menurutku. Entah menurutnya. Rambut hitam panjangnya yang semula dibiarkan tergerai kini terikat dengan karet gelang yang diambil dari dalam tasnya. Dari kejauhan kulihat beberapa hasil karya yang sudah siap untuk dipajang. Beragam artikel dengan tema Cerita Hari Ini.
Aku memandang matanya sambil menerima sejumlah magnet berbentuk bulat dari telapak tangannya. “Lama sekali,” ujarku spontan. Aku tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa aku kecewa dengan caranya membantuku. Sama sekali tidak. Tapi rupanya ia salah sangka.”Maaf, Kak, angkot yang biasa mangkal di depan tidak ada. Saya tadi jalan kaki ke toko buku terdekat. Juga tidak ada. Penjaga toko memberi tahu saya kalau magnet semacam ini bisa dibeli di pasar. Ada toko aksesoris yang menjualnya di sana. Jadi…” Kisahnya panjang dan detil. Sampai-sampai ia ceritakan juga ekspresi wajah penjaga toko-toko yang disebutnya. Kesalku berubah jadi tawa. Tawa kami berdua.
Lama kuperhatikan gerak tubuhnya tiap kali ia berusaha membantuku menuntaskan pekerjaan menyusun artikel yang akan menghias majalah dinding sekolah kami. Wajahnya yang begitu sederhana dan kulit coklatnya yang dibiarkan terpanggang sinar matahari setiap hari. Tas sekolah yang terlihat ketinggalan zaman itu juga hanya berisi barang-barang sederhana. Ia pernah memperlihatkan padaku. Tanpa ada maksud apapun kecuali memenuhi persyaratan sebagai anggota tim penyusun majalah sekolah. Perpeloncoan kecil memintanya untuk menuliskan apa saja yang mengisi tas sekolahnya dan untuk apa benda-benda tersebut dibawa ke sekolah. Ia bercerita sedikit tentang buku paket yang tidak lengkap, pensil dan bolpoin murah pemberian tetangga di hari ulang tahunnya dan tak ketinggalan majalah bekas yang dibelinya di toko loak. “Tidak bisa beli yang baru,” katanya. “Yang penting ada bacaan,” lanjutnya.
Aku tahu sepulang sekolah ia selalu membantu ibunya berkeliling kampung menjajakan gorengan hangat dari rumah ke rumah. Sementara pagi hari sebelum berangkat sekolah, tugas berbelanja ke pasar menanti untuk dikerjakan. Mungkinkah ia ikhlas melakukan itu semua? Tidakkah ia menginginkan kehidupan glamor nan santai teman-teman satu sekolahnya? Aku sering dibuatnya bertanya dalam hati. Aku tahu seandainya tugas membeli magnet itu aku serahkan ke Ratri, gadis populer di kelasku yang hanya mengikuti kegiatan ini agar bisa terlihat rajin menulis di mata Rendra, kakak kelas yang dipujanya, pasti lain ceritanya. Mana mau Ratri berlari-lari ke toko buku yang terdekat sekalipun. Atau juga seandainya tugas tadi aku serahkan ke…ah, sebenarnya aku tak ingin membandingkannya dengan Nina, kekasihku. Kami telah berpacaran selama 2 tahun. Segala kekurangan yang ada pada Nina telah mampu aku terima sebagaimana ia menerima kekurangan pada diriku.
“Siapa sih namanya?”
“Murti…Murtiningsih lengkapnya”
“Udah, segitu aja?”
“Iya, emang kenapa?”
“Ya nggak kenapa-kenapa sih… Bener ya dia jualan gorengan kalau sore?”
“Katanya begitu. Bantuin ibunya”
“Hebat juga ya dengan jualan gorengan bisa sekolahin anaknya sampai SMU”
“Namanya juga buat anak, Nin. Apa sih yang nggak dilakukan orang tua?”
Nina kerap mengajakku membicarakan Murti. Semula aku pikir ia merasa tersaingi dengan kehadiran Murti di sisiku. Semenjak Murti bergabung dengan tim redaksi majalah sekolah, ia kerap mengunjungi kelasku untuk berbagai hal. Ketangkasannya mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus mulai dari menulis artikel hingga pekerjaan kasar yang dihindari banyak teman membuat ia menjadi daya tarik tersendiri di sekolah. ‘Coba kalau tidak ada Murti waktu itu’,’Untung deh Murti cepet bikinnya’ atau ‘Murti lagi dimana ya enak tuh kalo dibantuin dia’ adalah sederetan kalimat yang sangat lazim terdengar di telingaku terhitung enam bulan ia bergabung di tim yang aku pimpin. Meski berbagai cemooh juga singgah dalam waktu bersamaan seperti ‘Gimana nggak rajin wong kalau malas nggak bisa makan’ dan lain sebagainya. Aku tahu Murti tak pernah menanggapi, meski ia sempat menggoreskan pedih hatinya lewat puisi-puisinya. Puisi yang justru makin mendongkrak eksistensinya di komunitas majalah sekolah.
Murti telah menjelma menjadi magnet yang dapat menarik sekian banyak kekaguman yang berakhir pada tumbuhnya inspirasi-inspirasi kami dalam menulis. Magnet bukan sekedar benda yang harus ia dapatkan pada hari pertama dirinya bergabung. Magnet adalah eksistensi dirinya sendiri.
“Kamu kenapa, Andre? Kok pucat?” Nina memperhatikan wajahku yang kurang tidur dengan cemas.
“Nggak apa-apa, nanti kalau udah istirahat cukup juga biasa lagi. Semalam…”
“Semalam begadang susun artikel yang mau dimuat buat majalah bulan ini ya? Sama siapa? Murti lagi? Kan dia andalanmu, andalan semua orang!” Nina memotong kalimatku dan menyerocos tanpa mau disela. Pada akhirnya dugaanku benar. Magnet yang dimiliki Murti berhasil menumbuhsuburkan rasa iri pada beberapa orang, tak terkecuali Nina. Nina yang awalnya menerima Murti sebagai perpanjangan tangan dalam membantu semua kegiatanku sekarang merasakan kehadiran Murti sebagai benalu yang menghambat pertumbuhan hubunganku dengannya.
“Aku cuma kurang istirahat Nina. Biasa kok begini. Lagian semalam udah sempat dibuatin wedang jahe anget,” sengaja kucukupkan kalimatku. Melanjutkannya sedikit saja dengan menyebutkan nama pembuat wedang jahe itu berarti memukul genderang perang dengan Nina.
Sudah lebih dari seminggu Nina menolak aku ajak pulang sama-sama. Saat pulang sekolah tanpa Nina terasa janggal bagiku. Celotehnya mengisi kekosongan waktuku. Namun, menanyakan sebab keengganannya pulang bersamaku terasa begitu ironis. Nina dengan protes-protesnya tentang kehadiran Murti di kehidupanku tak pernah aku tanggapi. Aku mencintai Nina dengan caraku sendiri.
“Mau aku traktir makan siang?” kataku suatu hari pada Nina yang entah bagaimana berada tepat di depanku di sebuah siang yang terik di kantin sekolah yang hampir kosong. Seolah ada yang mengatur kehadirannya di dekatku, aku memupuk rasa percaya diri untuk memulai pembicaraan. Kebekuan antara aku dan Nina harus segera kuakhiri. Tekadku sudah bulat.
Nina belum ingin bicara denganku rupanya. Ia berlalu dari hadapanku sebelum akhirnya langkahnya terhenti karena sentuhan tanganku di bahunya.
“Sebentar saja. Aku mau bicara,” ucapku lirih.
Nina masih saja membisu meski tubuhnya kini menghadap padaku. Matanya enggan menatapku. Aku mulai merasakan hawa dingin merasuki tubuh. Meski pada kenyataannya telapak tanganku begitu berkeringat. Aku menggeser sebuah bangku untuk Nina dan mematut bangku yang lain lagi di dekatnya untuk kududuki. Suhu udara yang kian tinggi mengalirkan peluh di keningku.
“Mau bicara apa sih? Buruan, aku udah ditunggu jemputan nih!” kalimat yang keluar dari mulutnya begitu singkat dan tidak bersahabat.
“Aku mau…minta maaf”
“Minta maaf untuk apa?” pertanyaannya begitu menusuk perasaanku. Nina rupanya meminta aku membunuh ego seorang laki-laki yang hampir tidak pernah mengakui kesalahannya ini. Mungkin yang ingin dikatakan sesungguhnya adalah,”Akhirnya kamu bisa melihat kesalahan di pelupuk matamu, Andre.”
“Oke. Begini. Maaf untuk tidak mengejarmu dan memohon-mohon padamu untuk pulang bersamaku dua minggu terakhir ini,” ucapku tegas dengan mengandalkan ego yang masih tersisa.”Kalau kedekatanku dengan Murti selama ini mengganggumu, aku punya alasan untuk itu. Ibu Murti, Nin. Ia-lah alasan utamanya.”
Nina memperlihatkan gesture tubuh yang berbeda. Ia terlihat melepas urat kaku di wajahnya.
“Ibu Murti menitipkan anaknya padaku untuk dijaga…”
Tanpa dapat kuduga sebelumnya, Nina bukannya makin menginginkan kelanjutan kata-kataku tapi malah berbalik memunggungiku dan berlari menjauh.
“Nina! Aku belum selesai bicara!”
Tak ada pilihan kecuali berlari mencoba menggapainya kembali. Sebelum sempat meraihnya, aku melihatnya menutup hidung dengan sapu tangan. Nina menahan tangis. Aku seolah lebur dalam kesedihan yang dirasakannya.
Aku tidak ingin meninggalkanmu, Nina. Sungguh. Tugasku menjaga Murti bukan berarti menyisihkanmu dari hidupku. Sampai kapan hatimu mampu menerima kelemahan seorang Andre yang keras hati, yang hidupnya terlalu jauh dari sempurna? Yang memiliki ayah yang tega meninggalkan istri sirinya hidup dari berjualan gorengan? Ibu Murti memintaku untuk menjaga adikku sendiri. Darah daging ayahku juga. Ia adalah magnet yang mendekatkanku pada kewajiban yang telah sekian lama ditinggalkan oleh ayahku, Nin.
Ah, seandainya…
(Ditulis untuk #CeritaHariIni yang diselenggarakan oleh @_PlotPoint) 

| http://wordsondesert.wordpress.com/2012/04/12/ah-seandainya/

1 comment:

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan