“Buku apa itu?”, itu pertama kali aku menyapaku, setelah beberapa
hari ini memperhatikanmu dalam diam. Sapaan itu keluar setelah aku
menunggumu selama 10 menit, menunggumu berpaling dari novel yang kamu
baca. Mata bulatmu di balik kacamata menatapku terkejut, tak lama kau
tersenyum sambil mengacungkan novel ke arahku. Kuambil dan kubuka cepat
halaman novel itu. Kuendus lembaran novel itu. Kau mengerutkan kening.
“Novel bagus itu bisa ketahuan dari baunya”, jelasku sambil
mengembalikan novelmu. Kau masih menatapku heran untuk berikutnya kau
mengikuti jejakku, mengendus halaman novel.
“Iya juga sih. Rata-rata novel favorit aku baunya kayak gini. Kayak
papyrus”, ujarmu. Aku terkejut. Itu adalah kalimat terpanjang yang
kudengar darimu, untuk menjawab pertanyaan seorang lelaki. Kursi di
bawah pohon rindang depan kelas tiba-tiba terasa bagai surga. Semilir
angin menggelitik bulu romaku. Tapi tidak sebanding dengan senyummu yang
memberikan sensasi kejut di aliran darahku.
Kursi di bawah pohon yang sama, di cuaca yang sama, sedikit berangin
dan cerah. Lagi-lagi aku duduk di sebelahmu. Kali ini kita tidak
bertukar pandangan soal novel, atau membahas novelmu. Kau menggosok
kedua tanganmu dan meniupnya. Akan sangat bodoh jika aku bertanya,
“Kedinginan ya?”, padamu sementara jaket menyelimuti rapat tubuhmu.
“Semester depan aku mau beli motor. Kan udah 17 tahun”, aku membuka
percakapan, mencairkan kebekuan. Meski kau hanya meresponku dengan
senyum tipis, itu membuatku ingin segera naik motor bersamamu. Apa yang
kupikirkan?
“Hey! Ngapain kalian berdua disitu? Wawancara mau dimulai”, dari
kejauhan, guru kami meneriaki kami sambil menunjuk jalan menuju aula
sekolah.
“Ngapain kita duduk disini?”, kau terdengar gusar.
“Ya ga ada yang ngasih tau kita”, aku bangkit mengikutimu berjalan menuju aula sekolah.
Kami berdiri di depan aula. Peserta seleksi sedang diwawancara di
dalam. Dan kami, dapat ditebak, menjadi peserta terakhir. Aku menunduk,
mencoba menutupi kegelisahanku. Setidaknya aku harus merasa tenang
karena bersamamu yang tenang, lebih tenang dan lebih berani daripadaku.
Karena bersamamu yang akan menenangkanku, menguatkanku. Maka aku yakin,
yang akan aku temukan saat menatap wajahmu adalah kekuatan bagiku.
Kuangkat wajahku. Mata kita bertemu, tapi tidak seperti yang kuharapkan.
Yang kutemukan adalah wajah piasmu, pancaran mata yang menyiratkan
ketakutan, dan bibirmu yang bergetar menyebut namaku tanpa suara.
Ternyata kau tak sekuat yang kuduga.
“Azarine”, tiba-tiba pintu aula terbuka dan seorang guru memanggilmu.
Kau menatapku lagi, panik. Alih-alih dikuatkan, kini aku mengangguk
menguatkanmu. Kau menutup pintu aula. Aku menghela nafas.
Entah mengapa aku harus kecewa. Aku terlanjur jatuh kagum pada
sosokmu yang tenang, yang seharusnya bisa mengisi kemanjaanku. Yang
kurasa kini malah aku yang harus memanjakanmu. Seperti sekarang ini.
“Jason!”, teriakmu. Kau berlari menghampiriku. Aku memasang senyum maaf yang kau balas dengan wajah cemberut.
“Darimana aja?”, tanyamu ketus. “Ninggalin aku kamu itu!”
“Ya keliling-keliling”, ujarku dingin. Ini acaraku kan?, batinku. Aku
yang mengajakmu ke pameran novel ini. Dan kau malah larut di salah satu
stand. Kamu terus bilang, “Tunggu bentar” saat aku ingin keliling lagi.
Kugigit bibirku saat melihat raut wajahmu yang berubah ketakutan.
Mungkin nadaku terlalu kentara. Dan siapa yang mau kehilangan teman
seperjalanan di pameran seluas ini.
“Kamu mau kemana sekarang?”, tanyaku.
“Mau ikut kamu aja”, jawabmu. Kita berjalan beriringan dalam diam.
Diam-diam, aku menoleh ke arahmu, melihatmu tengah mengedar pandang ke
sekeliling stand pameran. Mengajakmu kesini adalah impianku sejak
bertemu denganmu disini tahun lalu. Yang sama-sama larut dalam koleksi
novel di stand novel suspense. Tapi melihatmu tidak menghargaiku yang
sudah mengajakmu, malah larut sendiri seakan-akan lupa padaku dan manyun
saat kutinggal, bukan harapanku. Harusnya aku yang manyun saat kau
sibuk sendiri.
Aku sibuk menatap layar laptop sementara jariku lincah menari diatas
tuts keyboard. Naskah cerpen ini harus kukirim segera sebelum sore ini.
Bagian bening diatas layar laptop memantulkan bayangmu yang berdiri di
belakangku. Padahal bisa saja kau menyapaku. Padahal bisa saja aku
menyapamu, meminta saranmu atas cerpenku kali ini seperti yang biasa
kita lakukan.
“Liat cerpenmu”, ujarku hari itu, yang tengah tersenyum menatap halaman cerpenmu. Kau memasang wajah jual mahal cerpenmu.
“Punyamu dulu”, pintamu. Aku menghela nafas.
“Nih”, kau dan aku bertukar print-out cerpen masing-masing. Aku tidak
benar-benar membaca milikmu. Hanya ingin membuka percakapan setelah
jalan bareng di pameran buku. Tugas B.Indonesia membuat cerpen adalah
favorit kita. Aku cukup membaca cepat karyamu. Caramu menyusun kata, aku
suka. Tidak seperti aku yang to the point, cerita tiga halaman ini saja
seperti labirin. Narasi dan dialog dengan alur ‘suka-suka’. Deskriptif
dan atraktif dengan tema cinta yang dibawa sampai mati.
“Kok endingnya sama-sama mati?”, protesmu. Aku tersenyum.
“Punyamu alurnya kecepetan. Terus kurang logis bagian yang
tabrakannya”, kritikmu sambil terus mencermati cerpenku. Aku merasa
tersanjung. Bahkan untuk membaca cerpenku seutuhnya, tak ada satu pun
temanku yang mau. Yang kupaksa baca hanya bilang, “bagus” tapi sorot
matanya berkata, “Ceritamu aneh banget”.
“Selebihnya bagus kok”, kau mengembalikan cerpenku. “Gimana
cerpenku?”, tanyamu. Aku terdiam sesaat. Ternyata tidak hanya
teman-temanku, aku pun bukan pembaca yang baik.
“Bahasamu ketinggian”, jawabku. Sampai aku bingung, lanjutku dalam
hati. Tapi kau menganggapnya sebagai pujian dan senyummu merekah.
Senyummu redup seketika saat guru B.Indonesia menyatakan karyaku sebagai
favorit beliau. Mengucap selamat pun kamu bahkan tidak mau.
Kau berdiri di belakangku lama. Pasti kamu gatal untuk mengkritik
cerpenku lagi. Tapi kau terlalu gengsi. Kudengar langkahmu menjauh.
Kulihat kau duduk di barisan depan memegang pulpen, siap membuat cerpen.
Aku menggeleng. Kau cepat panas rupanya.
Kevin masuk kelas. Mata kami bertemu. Aku memberi isyarat mata. Dia mengangguk dan mendekatimu. Aku kembali dengan cerpenku.
“Nih. Kamu nyusahin aja”, Kevin menaruh sekeping CD di mejaku. Aku
mengulas senyum terimakasih padanya. Aku yakin kamu bakal menyemprotku
kalau minta CD panduan menulis ini secara langsung.
“Aku minta game ya!”, Kevin sudah duduk di sebelahku, memasang flashdisknya ke laptopku.
“Baru ya?”, tanyaku. Tidak ada respon. Tapi aku memang baru melihat
jenis itu. Berwarna perak dengan tutup yang bisa dibuka. Seperti lego.
“Gue tinggal ya”, Kevin menepuk bahuku, meninggalkanku begitu
temannya mengajak main bola di lapangan. Aku kembali dengan cerpenku.
Merevisi typo, dan mengirimkannya ke alamat email sayembara cerpen yang
kuikuti. Aku login twitter hanya untuk menstalkmu karena aku yakin kamu
sedang sibuk dengan handphone, sibuk dengan tweetmu. Apakah lagi-lagi
akan berhubungan denganku seperti tweetmu biasanya? Kadang-kadang
kupikir twitter menjadi jembatan pikiran kita. Mulut kita tidak
berfungsi lagi rupanya.
Ego
Apa lagi maksud tweetmu sekarang? Apa lagi maumu sekarang?, batinku.
Kenapa kamu ga mention aku aja sekarang? Ah, lupa. Aku kan memfollowmu
dengan nama ajaib. Tanpa avatar, tanpa follower, dan hanya memfollowmu.
Mana mungkin kamu mengenaliku?
Game yang diminta Kevin setelah selesai di-copy. Kueject
flashdisknya. Flashdisk yang kupikir seperti lego ternyata terbuat
dari…..bahan sejenis logam? Kuambil tutupnya. Kututup flashdisk
tapi….flashdisk ini tidak mau menyatu dengan tutupnya. Malah semakin
didekatkan semakin menolak untuk disatukan.
“Nutup gini aja ga bisa”, entah sejak kapan Kevin masuk, aku tidak
mendengarnya mendekat. Dia mengambil flashdisk dan tutupnya dari
tanganku, lalu menyatukannya. Terdengar bunyi klik yang lirih.
“Kok bisa?”, tanyaku bingung. Wajah Kevin sedikit mengernyit saat membuka flashdisknya lagi.
“Ini, ditutupnya pake magnet biar tutupnya ga ilang kemana-mana. Biar
kalau kena air ga langsung kena basah chipnya”, jelas Kevin.
“Tapi tadi aku coba ga masuk-masuk…”, Kevin mendekatkan tutup
flashdisk ke wajahku, membolak-balikkan kedua sisinya, yang ternyata
memang memiliki lubang untuk flashdisk dengan ukuran yang sama.
“Kalau gini”, Kevin mencontohkan cara menutup flashdisk, “Ga bakal
masuk karena satu kutub”, seperti itulah aku tadi. “Kalau gini”, ia
membalik sisi tutup flashdisk. Dan klik, flashdisk tertutup rapat.
“Dikira sama ya? Padahal kutub magnet kan berlawanan”, Kevin
memanggul tasnya. “Makasih ya! Aku pulang duluan”, pamit Kevin. Aku
terpaku memikirkan flashdisk-nya Kevin. Entah siapa pencipta flashdisk
macam itu, yang akan tertutup jika bertemu kutub magnet yang tepat, yang
berlawanan. Kutub yang sama pun tidak tampak salah tadi.
Kutub yang sama tak mungkin bersatu. Meski kelihatannya cocok,
mengapa saat didekatkan malah saling menolak? Mataku tak lepas
mengamatimu yang menggendong tas, menggamit lengan temanmu sambil keluar
kelas dengan tawa.
Sama belum tentu cocok. Siapa tahu banyak kesamaan itu, sebagai kutub
yang sama, akan saling menolak? Sama-sama keras kepala, manja, dan
gengsian? Aku tersenyum, menemukan jawaban keresahanku selama ini yang
ragu untuk bersamamu. Karena kita memang tidak saling mengisi, justru
berbenturan. Tak ada gunanya dipaksa karena sampai kapanpun, kita adalah
kutub yang sama, yang akan saling menolak.
No comments:
Post a Comment