Oleh: @tiaraahere
Sekolah adalah poros dari segala rasa yang hinggap dalam hidupku. Paling tidak untuk saat ini. Aku menyebutnya: Dunia Kecil. Dunia yang selalu berwarna dan melahirkan banyak cerita untuk kita yang berada didalamnya nikmati. Seolah semua cerita sudah terangkai rapi seperti bunga di Toko Bunga, hanya tinggal memberikan pada siapa saja yang datang. Ya, siapa saja yang datang tanpa harus membawa lembaran uang ataupun kepingan berarti.
Dunia
Kecil yang siap menyedotmu kedalamnya untuk kau nikmati segala sesuatu
yang ada disana. Disana kau hanya diberi waktu seadanya, sesuai yang
dirumuskan. Jika saatnya tiba, seperti nafas yang tak selamanya menemani
rongga hidungmu, kau akan keluar. Keluar dari dunia kecil yang selalu
melahirkan cerita Indah yang nantinya akan kau sebut mereka kenangan
karena waktu yang tak bisa kau tahan gerakannya. Dan saat itu telah tiba
untukku. Aku berharap semoga tidak ada tambahan waktu untukku untuk
lebih lama lagi disini. Memang indah ceritanya, tapi aku benar-benar
harus bergegas menyambut dunia yang lainnya yang juga sedang menungguku.
Aku tahu itu.
#CeritaHariIni. Simaklah.
Hari
ini semua akan berbeda. Ya, semuanya. Hari ini sudah kami tunggu
datangnya. Hari berarti dimana kepergian kami akan ditentukan oleh
secarik kertas. Bukan. Bukan kertas itu yang akan mengubah kami, tapi
sebuah kata yang tertera didalamnya yang akan mengizinkan kami pergi
dari dunia kecil ini. Ya. Sebuah kata yang tersusun rapi oleh lima huruf
yang tegak berdiri. Dua huruf berulang dan satu huruf mengakhiri.
Kalian pasti tahu maksudku.
Kata itu yang kami semua harapkan tertera didalamnya. Hanya kata itu, tidak perlu ada kata lain yang menemani. Cukup itu saja.
Dunia
kecil ini sedang diselimuti hening. Hening yang menyimpan segala cerita
masing-masing dari kami. Hening yang penuh doa orang-orang tua juga
para pahlawan tanpa tanda jasa. Hening yang dikelilingi harapan atas
perjuangan. Hening yang berarti.
Masih
ada 10 menit lagi pengumuman akan dilaksanakan. Tapi semua sudah rapi.
Lantai aula yang juga kecil hari ini terlihat lebih bersih dari
biasanya. Diatasnya, tertata dengan begitu rapi, sebaris dengan warna
selaras, bangku-bangku itu, bangku sekolah. kemudian meja panjang
didepan. Juga sound system yang akan membantu suara apapun agar
terdengar lebih keras dari biasanya. Hari ini memang penting. Hanya
terjadi setiap beberapa tahun sekali.
Masih
ada 10 menit. Ku ajak kakiku untuk sekedar mengelilingi Dunia Kecil
kami. Dalam perjalanan singkat ini, ku lemparkan pandanganku ke segala
penjuru, menerobos masuk ke dalam ruangan-ruangan kecil, juga setiap
sudut dimana ada kenangan menari disana, bernyanyi mengibur setiap orang
yang melihatnya. Pandanganku tiba-tiba terhenti oleh sebuah pandangan
menarik, kulihat ada sebuah bangku yang menyendiri dari kerumunan
sesamanya. Hanya ada dia sendiri di belakang sini. Perlahan kudekati
dirinya, mendudukinya, lalu kemudian memandang langit siang hari, juga
dunia kecil ini sepanjang yang terjangkau oleh mataku. Kutarik napasku
perlahan dengan hikmat, lalu mengeluarkannya juga perlahan. Aroma dunia
ini, aku ingin menghirupnya sebelum akhirnya benar-benar pergi. Sudah
waktunya. Aku berjalan kembali ke aula tempat semua bersarang
memanjatkan doa didalam hati.
Kali
ini aula lebih hening dari yang tadi. Lalu akhirnya, kepala sekolah
selaku presiden dari Dunia kecil ini memulai pembicaraan, kemudian juga
guru disebelahnya, lalu yang disebelahnya lagi. Tak ada yang membuat
gaduh kali ini, tak seorangpun dari kami. Tak seperti biasanya. Ya,
memang hari ini berbeda.
Acara talk-show
sudah selesai. Kini tiba pada saat yang sangat dinanti. Dibagikannya
orang tua dari kami sebuah amplop yang didalamnya bersembunyi secarik
kertas kecil yang diatasnya tertera sebuah kata yang paling berarti dari
kata apapun saat ini.
“Dalam hitungan ketiga, Bukalah!”
Kepala
sekolah memimpin, dalam hitungan ketiga, kami membuka amplop itu,
membuka perlahan karena sebenarnya rasa takut itu tetap bersemayam
disamping rasa bahagia kami. Berdampingan.
“LULUS”
Kurasakan
pelukan hangat dari ibuku, benar-benar hangat, tangisnya benar-benar
melumpuhkanku. Aku pun hanya bisa menangis dalam dekapnya. Kulihat hal
yang sama terjadi di aula ini. Segala bentuk ekspresi haru ada disini.
Aku tidak bisa menjelaskan lagi. Kucari semua temanku, dan berpelukanlah
kami. Dalam tangis bahagia. Kucari seluruh guru yang mengajariku selama
tiga tahun ini, ku peluk mereka, dalam haru tak terjelaskan. Aula yang
tadinya hening tanpa hingar itu, kini gaduh oleh suara-suara bahagia
dari semua yang berada disini.
Semua
sedang sibuk melukis seragamnya masing-masing. Kami semua. Setelah
mendapati segala bentuk coretan di seragamku. Ku ajak kembali kakiku
berjalan menyusuri dunia kecil ini. Kali ini dengan tatapan lebih
bahagia dari yang tadi. Aku akan merindukan segalanya. Lantai ini,
halaman ini, kelas ini, seragam ini, orang-orang didalam sini, semua
yang terjadi disini, kenangan ini. Benar-benar menakjubkan. 3 tahun yang
kupikir akan sangat lama itu kini terasa sangat singkat. Aku baru saja
menerima izin untuk segera meninggalkan dunia kecil ini. Masih berjalan
menyusurinya, kudapati bangku itu lagi. Masih berada disitu. Belum
berpindah sedikitpun.
“Kamu benar-benar sangat berjasa.”
Ucapku
pada bangku itu. Aku tahu ia mendengar, hanya tidak bisa untuk
berbicara. Oh tidak. Ia bisa berbicara, hanya saja aku yang tak akan
mendengarnya apalagi untuk paham.
Sebenarnya
ada yang lebih berjasa dari ini, tapi aku selalu menghargai Benda mati
yang satu ini. Ia sungguh sangat penolong dalam segala hal, dengan
ikhlas dia terima saja diduduki kami semua, ditimpah oleh organ tubuh
kami yang... yang... ah sudahlah. Ha ha ha. Bayangkan jika tidak ada dia
di dalam dunia kecil ini, aku bisa apa? Penduduk di dalam dunia ini
bisa apa? Tentu kami tidak bisa duduk dilantai yang bahkan bukan lantai
marmer itu. Meski tua tubuhnya, ia tetap bertahan menahan beban berat
tubuh kami yang jika saat duduk bertumpu pada satu yang menempel
padanya. Tidak peduli ada berapa nakal atau hanya iseng saja murid-murid
itu mencorat-coret tubuhnya, ia tetap selalu menjadi penopang kami.
Selalu menjadi tempat yang selalu membawa “Ah-Akhirnya” saat kami lelah
selesai bekerja bakti atau sekedar berjalan-jalan mengelilingi sekolah.
Ia selalu menjadi tempat tujuan. Meski kadang ia ditendang, diinjak
dengan telapak sepatu kotor penuh debu, ia selalu ada disana. Belum lagi
kalau ada murid yang tak tahu sopan, buang angin diam-diam. Hanya dia,
bangku itu, juga Tuhan yang tahu. Tidak peduli apa yang menimpanya
setiap hari. Ia tetap seperti itu setipa hari. Patuh. Meski kutahu ia
tak benar-benar mati. Aku percaya mereka berbicara. Dengan bahasa yang
sudah pasti takan pernah kami dengar atau bahkan kami mengerti.
“Aku akan merindukanmu. Sebab diluar sana tidak akan ada yang sepertimu. Bangku Sekolah.”
@tiaraahere | http://pintukecil.blogspot.com/2012/03/dunia-kecil.html?spref=tw
No comments:
Post a Comment