IYAN
Aku ingat betul, kejadian waktu itu. Terjadinya memang sudah lama sekali, sekitar 30 tahun lalu. Namun masih kuat ingatanku tentang itu, seakan-akan baru terjadi kemarin. Mungkin benar kata-kata psikolog-psikolog kenamaan di TV itu, bahwa yang namanya ingatan masa kecil akan selalu terekam dalam memori otak dan terbawa sampai dewasa. Apalagi jika sebuah peristiwa sangat berkesan atau meninggalkan trauma mendalam pada anak, seperti perceraian orangtua, kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan sebagainya. Hal itu akan berpengaruh terhadap sifat dan karakter seorang anak. Begitu pula peristiwa yang kualami 30 tahun lalu yang menginspirasi masa depanku.
#Ceritahariini bermula saat aku akan masuk Sekolah Dasar. Walaupun kejadiannya sudah lama sekali, aku merasa masih bisa membaui, melihat, dan mengecap suasananya kala itu, seakan jiwaku kembali ke badanku yang kecil. Ibu menggandeng tanganku yang gemetar. Aku, si penakut dan pemalu, mencengkeram tangan dan rok ibuku kuat-kuat. Aku ingat, aku begitu penakut waktu itu. Apalagi saat melihat kerumunan anak-anak SD lain yang sepertinya pemberani dan galak. Aku berlindung di belakang rok ibuku yang lebar saat melewati halaman sekolah yang tanahnya keras dan tandus. Dan di hadapanku, ada gedung sekolah yang sangat besar bagi anak sekecilku. Padahal, bangunan sekolah tua dari kayu itu tidaklah besar. Namun, saat itu, sekolah dasar hanya ada satu di kampung kecil nan terpencil ini. Tidak ada pilihan lain daripada tidak sekolah. Taman Kanak-kanak saja belum ada. Namun jika dibanding sekarang kondisi kampung ini memang jauh lebih modern dan telah menjelma menjadi kota, terutama setelah pembukaan hutan untuk jalan raya dan jembatan yang otomatis membuka akses transportasi serta adanya otonomi daerah juga membuat pembangunan dilakukan jor-joran.
Saat aku akan masuk ke kelas, aku melihat pemandangan yang ganjil namun menarik di sudut sekolah. Aku melihat seorang anak yang tampak…beda. Aku melongo karena takjub. Bahkan langkahku sampai terhenti dan rok lebar ibuku itu sampai kulepas saking herannya. Ibuku langsung memaksaku terus berjalan.
“Ayo, Yan. Kenapa berhenti?! Ayo cepat masuk kelas!” ujar ibuku menarik tanganku.
“Ibu…kenapa anak itu aneh bu?! Kenapa tubuhnya putih?!” tanyaku.”Dia anak mister turis ya?” Aku menyebut orang-orang bule itu dengan sebutan ‘mister turis’ karena jika ada turis wisatawan asing yang melintas selalu dipanggil ‘mister!’ oleh anak-anak.
“Huss…kamu nggak boleh bilang macam-macam tentang anak itu. Nanti badanmu juga kena kutuk jadi putih!”
“Memangnya itu kutukan, Bu?!” tanyaku dengan polos.
“Itu buktinya! Anak itu dapat kutukan dari ibunya! Makanya dia terkena penyakit itu. Makanya kamu jangan nakal sama ibu. Dan ingat, jangan dekat-dekat sama anak itu! Nanti kamu ketularan! Kamu nggak mau kulitmu seperti itu, kan?” kata ibuku setengah menakutiku.
Aku mengangguk. Namun aku masih memperhatikannya melalui sudut mataku. Walaupun ia terlihat ajaib di mataku, namun ia ternyata sama penakutnya seperti aku. Ia sepertinya sebaya denganku dan juga digandeng oleh ibunya, namun ia masih memohon-mohon supaya tidak usah sekolah. Melihatnya yang hampir menangis membuatku iba. Takutku berangsur hilang. Aku takjub melihat kulit pucatnya yang justru tampak indah dimataku.
SURYA
Surya Priadi. Itulah namaku. Surya, berarti matahari. Priadi, berarti pria yang adi/ bagus/ utama. Nama Surya adalah nama yang sangat populer. Namun, makna nama itu sangat kontradiksi dengan kondisiku sekarang. Namaku memang Surya, namun matahari adalah musuh utamaku. Berlama-lama di bawah matahari sangat menyakitkan bagi mata dan kulitku yang ‘tembus pandang’. Aku seorang albino. Oleh karena itulah, aku sangat tidak ingin sekolah, hanya itu yang ada di benakku 30 tahun lalu, saat aku akan masuk SD. Jika saja ada sekolah khusus orang aneh, aku mau. Tapi sayang, satu-satunya sekolah dasar yang ada, hanyalah untuk mereka yang normal. Sementara aku tidak.
Aku tidak benci dengan sekolah. Aku suka sekali belajar, tapi tidak di sekolah.
Yang kubenci dari sekolah adalah manusianya. Teman-teman di kelas, guru-guru, orangtua murid, dan staf sekolah. Aku benci dengan pandangan ingin tahu mereka, bisik-bisik mereka dibelakangku, bahkan kata-kata mereka yang mengejekku. Aku benci menjadi pusat perhatian. Aku benci karena aku terlalu berbeda. Aku benci kondisiku yang membuatku tidak punya teman. Aku ingin sekali punya teman, tapi sepertinya anak-anak di kampung ini takut padaku. Aku ingin sesekali berlari bersama mereka, berenang di kali, bermain layangan, petak umpet, apa saja. Namun, terlepas dari ketakutan mereka terhadapku, walaupun aku ingin pun, aku toh tetap tidak bisa bermain bersama di bawah sinar matahari. Sinar matahari menyakitkan bagiku, mata dan kulitku tidak tahan, rasanya seperti terbakar. Sinarnya menjadi musuh bagiku. Tak heran jika aku hanya beraktivitas di dalam ruangan. Itu mungkin yang membuatku hobi membaca. Aku selalu ingin tahu, dan rasa ingin tahu itu selalu terpuaskan saat aku membaca. Untunglah ayah ibuku cukup kaya untuk membelikanku berbagai buku yang kusuka. Namun, jika aku bisa membayarnya, aku ingin sekali bisa bermain dengan teman. Sayang, aku tidak punya pilihan itu, dan menjadi seperti ini juga bukan pilihanku.
IYAN
Aku sekelas dengan anak ‘mister turis’ itu. Jelas saja dia mengundang kehebohan. Kami, anak-anak kampung ini, baru pertama kali melihat ada anak dengan penampilan seperti turis itu di kelas kami. Namun, ia beda dengan turis-turis yang pernah kulihat. Yang jelas, warna rambutnya putih sekali, bukan kuning emas atau cokelat seperti bule. Matanya juga bukan berwarna biru atau hijau, tapi sedikit merah. Sementara itu kulitnya sangat pucat. Bule sekalipun masih ada warna kecokelatan seperti terbakar matahari, namun anak ini tidak. Kulit putihnya tidak wajar, bahan bisa dibilang tak berwarna. Bahkan, kulit putih temanku yang keturunan Tionghoa, Acong, tidak seputih itu. Selain itu, yang paling membuatku yakin dia bukan anak bule adalah hidungnya yang pesek dan tidak mancung. Kalau rambut dan kulitnya berwarna seperti aku, aku yakin ia layaknya pribumi biasa.
SURYA
Aku sudah bilang, sekolah adalah mimpi burukku. Walaupun ibu guru menjelaskan di sekolah bahwa aku hanya mengalami kelainan bernama albino, dan sama sekali tidak menular, tetap saja saat itu satu sekolah takut padaku. Kultur masyarakat 30 tahun yang lalu memang belum mengenal albino. Mereka bahkan mengarang cerita bahwa aku ini anak yang terkena kutukan orangtua. Mereka bilang ibuku pernah menghina turis atau anak turis, sehingga aku pun dilahirkan seperti turis. Ah, benar-benar roman picisan yang tidak benar.
Namun, walaupun sepertinya semua orang menjauhi aku, aku tahu, ada satu anak, yang diam-diam memperhatikanku. Aku kadang memergokinya sedang melihat ke arahku, tetapi aku melihat tatapan yang bersahabat, bukan jijik atau ketakutan. Dari absensi, aku tahu namanya Adi Sofhian. Namun, rendahnya kepercayaan diriku membuat aku tidak berani berharap banyak, karena aku terlalu yakin tidak ada anak yang mau berteman denganku. Kalaupun mau, pastilah ia cukup gila karena ia tak lama akan dijauhi pula. Tak tega rasanya jika orang lain mengalami kesepian seperti yang kurasakan.
IYAN
Dari absensi aku baru tahu, namanya Surya Priadi. Nama yang sangat khas Indonesia, bukan George, Jack, Colin, atau Peter. Setidaknya aku jadi 100 persen yakin bahwa ia anak kampung ini juga, seperti aku. Aku mengamatinya diam-diam, sesekali aku ingin sekali mendekatinya, namun aku masih takut. Apalagi, semua anak di sekolah sudah terlanjur menyebarkan gosip-gosip yang tidak benar. Aku ingat, saat itu ia dijauhi oleh murid lain. Anak-anak begitu takut, kelainan kulitnya itu akan menular. Kemanapun ia pergi, ia pasti menjadi pusat perhatian. Ahhh…aku jadi kasian melihatnya. Aku beruntung sekali punya banyak teman. Sementara anak itu? Tidak ada yang mau menjadi temannya. Pantas saja ia menjadi penyendiri.
Setelah berminggu-minggu hanya menjadi pengintai, aku memberanikan diri untuk menyapa Surya, yang seperti biasa, duduk sendirian menunggu ibunya menjemput dengan sepeda motor. Sekolah sudah hampir sepi. Rata-rata semua anak pergi pulang jalan kaki, atau bersepeda. Sepeda motor saat itu adalah barang mewah. Orangtua Surya sepertinya memang cukup berada di masa itu.
Dengan sedikit gugup, aku menyapanya, “Hai.” Ia melongo sebentar, kemudian ia menggeser badannya ke samping, memberi tempat untukku agar duduk di kursi panjang itu. “Ibumu belum datang ya? Ibumu memang lama ya, kalau jemput kamu?” tanyaku basa basi.
“Hari ini ibuku memasak untuk kantor ayahku. Jadi mungkin aku dijemput setengah jam lagi,” jawabnya.
“Oh, kalau gitu, kita pulang sama-sama, yuk! Rumahmu nggak jauh dari sini, kan? Kita jalan kaki!” Aku menawarkan dengan bersemangat.
Ekspresinya terlihat sedih saat aku mengatakan itu. “Maaf, Yan. Aku nggak bisa jalan kaki sekarang. Cuacanya terlalu panas.”
“Lalu kenapa?” aku terus bertanya, karena memang tak paham.
“Aku nggak pakai celana panjang, aku juga nggak bawa kacamata hitam. Kalo naik motor sih, nggak masalah. Tapi kalau jalan kaki, aku nggak bisa.”
Aku menampakkan wajah bengong. Aku betul-betul tak paham.
“Kamu nggak tahu maksudku?” katanya dengan wajah keheranan. Ia pun menjelaskan tentang penderitannya sebagai albino selama ini, bahwa ia tidak bisa berlama-lama di bawah sinar matahari. Aku semakin takjub dengan hal-hal di luar akalku ini.
“Oh…makanya aku nggak pernah liat kamu sebelum masuk sekolah.”
“Aku memang hampir nggak pernah keluar rumah, kecuali sekolah. Sinar matahari menyakitkan mata dan kulitku. Aku juga takut diejek.”
Ah, ibunya datang. Jika ibunya terlambat sedikit lagi, aku yakin aku pasti akan bertanya terus padanya.
SURYA
Selama beberapa minggu, aku dan Iyan menjadi teman baik. Ia sering kuundang kerumahku, dan kupinjamkan buku-bukuku. Sebaliknya, ia megajariku bermain layang-layang, bermain petak umpet, bola, dan semacamnya. Tentu kami tidak bisa melakukannya lama-lama di luar ruangan. Aku pun berpakaian lengkap, dengan topi serta kacamata hitam. Walaupun begitu ia mengajariku untuk tetap menikmati permainan itu. "Nggak masalah kan, mainnya cuma sebentar. Yang penting kita senang." Namun, ia diam-diam bertemu denganku di rumah. Di sekolah pun, teman-temannya yang normal menjauhinya sedikit demi sedikit karena takut ia sudah membawa 'kuman albino' itu. Ia bilang, ayah ibunya pun sebenarnya melarangnya berteman denganku. Mereka takut kelainanku ini menular. “Terus, kamu tidak takut padaku?” tanyaku padanya suatu hari. Ia menggeleng. “Ibu guru sudah bilang kalo albino-mu nggak menular. Aku juga udah baca bukumu, dan albino itu keturunan dari orangtua. Aku nggak takut. Kita sama. Cuma kamu putih, aku hitam.” Dia kemudian tertawa. Aku pun ikut tertawa bersamanya sambil bercanda membandingkan warna kulit kami yang kontras. “Aku ingin jadi dokter,” katanya. “Semenjak lihat kamu pertama kalinya, Aku ingin tahu kenapa ada yang putih sepertimu, atau normal sepertiku.” Aku tersenyum. Aku senang karena telah menginspirasi sahabat pertama dalam hidupku.
IYAN
Aku tidak menyangka kebersamaan kami begitu singkat. Ia hanya tiga bulan di sekolah ini. Penyebabnya sangat tragis. Orangtua murid protes pada sekolah. Ketidaktahuan dan kebodohan membuat mereka yakin bahwa albino adalah kutukan dan bisa menular. Mereka tidak ingin membahayakan keamanan dan kesehatan anak-anak mereka. Orangtuaku, sayangnya, adalah salah satu orangtua yang sangat mendukung dikeluarkannya Surya. Sekolah setuju, karena percuma menjelaskan hal-hal yng bersifat ilmiah, sementara orang-orang di kampung ini hanya percaya pada klenik. Daripada anak-anak satu kampung tidak sekolah, orangtua Surya yang bijaksana setuju untuk mengeluarkannya. Kudengar dari ibunya, Surya dipindahkan ke tempat keluarganya di Surabaya. Di sana, ia bisa melanjutkan sekolah tanpa takut dianggap kutukan karena warga di sana sudah lebih maju pola pikirnya, tidak tradisional lagi. Dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan Surya. Aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal.
“Dok, pasien terakhir hari ini baru saja datang,” kata Santi, asistenku. Ia mengagetkanku tentang lamunanku di masa kecil dulu. Pasien itu pun mengetuk pintu saat aku mempersilakan. Aku tercengang. Sungguh. Tubuh dan rambutnya yang putih pucat tampak sama dengan warna putih di tempat praktikku. “Dr. Iyan?” tanyanya sambil tersenyum.
"Surya!"
No comments:
Post a Comment