Oleh: @nastiti_ds
Setiap yang hidup menyimpan luka. Sebagian membiarkannya terbuka dengan kemungkinan terinfeksi atau sembuh dengan sendirinya. Sebagian yang lain menutup luka itu rapat-rapat. Menghindari segala kemungkinan ditemukannya luka itu oleh orang lain. Sayangnya aku bukan satu diantaranya. Aku takut pada infeksi. Namun di lain hal menutup dengan sempurna terasa seperti pilihan seorang pecundang. Aku biarkan tangan dan jariku saja menghadapinya. Kupaksa mereka bergelut dengan kata-kata yang mengisi tiap lembar hidupku untuk kujadikan Cerita Hari Ini.
*
Kusempatkan barang 5 menit untuk mengelus permukaan sampul buku baru di hadapanku. Tidak rata. Tepat, seperti yang kukehendaki. Permukaan yang berelief menurutku dapat memberikan kesan lebih natural. Aku suka menilai-nilai sebuah buku berdasarkan sampulnya. Menurut beberapa teman, kebiasaanku yang satu ini agak berlebihan. Setiap orang memilih buku karena menghendaki isinya, bukan sampulnya. Aku biarkan mereka dengan pendapatnya. Mungkin sensasi yang kurasakan tiap kali menikmati permukaan sampul buku belum pernah mereka rasakan. Tidak apa. Hidup ini terlalu indah untuk sekedar diisi dengan perdebatan panjang tanpa ujung. Bertahan pada pendapat masing-masing. Mencari-cari pembenaran.
Kubuka lembar pertama buku baruku. Wangi kertas menguar dari dalamnya. Terkurung dalam aroma yang mulai menyihir raga, aku menutup buku baruku segera. Mencoba merasakan ketebalannya dengan memainkan ibu jariku padanya. ‘Sreeettt…sreettt’. Tiap lembarnya terkibas dengan cepat dan menimbulkan bunyi. Aroma kertas kini lebih menusuk hidung. Aku menikmatinya dengan perasaan lega bercampur bahagia. Entah kegilaan apa lagi yang akan kulakukan setelahnya.
Dinda pernah merasa tak yakin akan adanya hari esok. Itu terjadi kala dirinya meraba dalam gelap jiwanya. Suwung. Hanya ada warna hitam dimana-mana. Ia sendirian setelah Ananta memutuskan untuk meninggalkannya beberapa hari. Hanya beberapa hari, bukan selamanya. Membiarkan amarah bergemuruh di dada pasangan yang tinggal serumah berbahaya, kata Ananta. Dinda diam. Tak ada kata terucap dari bibirnya kala Ananta melangkahkan kakinya meninggalkan rumah yang telah didiaminya selama lebih dari 5 tahun. Kini Dinda terkurung sepi. Malam semakin larut kala kelebatan percakapan terakhirnya dengan Ananta bergema di telinganya.
“Mengapa kau setuju waktu itu?” Ananta membuka percakapan.
“Kau tahu orang tuaku meminta…,” Dinda memberi jeda pada kalimatnya sebelum akhirnya melanjutkan,”juga karena pandangan orang tentang wanita yang sudah matang secara usia untuk menikah. Aku tak punya alasan yang dapat diterima untuk mengatakan tidak. Pada orang tuaku, juga pada keadaan.”
Ananta menyetujui pendapat istrinya dalam diam. Mencoba mengingat-ingat keputusannya sendiri waktu itu.
“Aku percaya cinta dapat tumbuh perlahan. Asalkan masing-masing mampu memberikan ruang di hidupnya untuk orang yang telah dinikahinya,”ujar Ananta kemudian. Kata ‘telah dinikahinya’ terdengar ditelinga Dinda sebagai ‘terlanjur dinikahinya’.
Ada kau di sana. Itu sebabnya buku baru di tanganku ini terasa lembab. Bukan tanpa alasan aku mengatasi kegugupan ini dengan meminum kopi. Pagi hari, ditemani embun yang menggelayut pada helai daun, biasanya aku hanya meminum teh hangat. Kehangatannya kubutuhkan untuk menetralisir pagi yang dingin. Yang dinginnya persis seperti saat ini. Yang tidak akan kuhadapi dengan gelegak adrenalin yang terpacu oleh kafein dalam kopi. Tapi kali ini aku sedang tak ingin seperti biasa.
“Sudahkah kau menemukannya, Dinda?”
Suara hati Dinda mempertanyakan keberadaannya.
“Aku menemukannya pada diri suamiku. Ananta,” Dinda menjawab dalam hati. Memutuskan untuk berdamai dengan keadaan adalah pilihannya. Karena Dinda tahu, Ananta akan memilih keputusan yang sama. Mereka dilahirkan untuk patuh pada kebahagiaan yang dibentuk oleh pandangan orang lain. Orang-orang terdekatnya, teman bermain, tetangga yang menyayangi dan memperhatikan mereka.
Untuk cinta yang dapat ditumbuhkan perlahan, Dinda dan Ananta kembali bersatu. Melupakan hari-hari dimana mereka mempertanyakan keputusan masing-masing akan pernikahan mereka. Ananta memiliki Santi. Dinda memiliki Anto. Tapi itu dulu, waktu keduanya belum menjadi seperti kehendak orang lain.
Aku membelai bagian depan dan belakang buku baruku. Tak ingin terburu-buru meluangkan waktu untuk membacanya. Nanti akan tercipta banyak waktu untuknya. Buku baru yang benar-benar baru keluar dari percetakan. Cetakan pertama. Entah yang lain sudah tiba di toko buku atau belum.
Semenjak Ananta kembali, Dinda lebih sering melamun. Tak banyak yang dapat dikerjakannya di rumah. Pembantu ada untuk menyelesaikan hampir semua pekerjaan rumah mulai dari mencuci pakaian hingga memasak. Ia hanya menyisakan kamar tidur Dinda dan Ananta untuk dibenahi setiap harinya oleh Dinda. Membersihkan ruangan berukuran 4×5 meter hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 15 menit. Dinda terbiasa meluangkan waktu dari pagi hingga malam di kantornya. Namun Dinda ingin membiarkan cintanya pada Ananta tumbuh perlahan dengan meninggalkan pekerjaannya. Hatinya ada di sana. Di pekerjaannya. Tapi Dinda yakin akan terbentuk hati yang lain di sini, di rumahnya.
Dan benar adanya. Perlahan tapi pasti hatinya menjadi bentuk yang berbeda. Tidak sepenuhnya tunduk pada kehendak ‘menjadi ibu rumah tangga’, tidak juga patuh pada dogma ‘wanita karir’. Ia mencari bentuknya sendiri. Melalui metamorphosis yang sulit dijelaskan, Dinda mendapati hatinya dengan bentuk yang baru. Ia mulai meraih segala peralatan yang dapat digunakan untuk menulis. Apa saja. Pensil, bolpoin itu awalnya. Merasakan kenikmatan tersendiri saat menorehkan kata demi kata diatas kertas adalah tahapan yang dirasakan olehnya sebelum akhirnya bentuk yang lebih utuh didapatnya. Bentuk itu adalah sebuah dunia baru. Yang tanpa sadar Dinda ciptakan lewat untaian kata. Rumah baru. Perabotan baru. Tetangga baru. Lingkungan baru. Suami baru.
“Apa arti ideal bagimu?” seorang teman pernah menanyakannya padaku. Aku mengangkat bahu. Sejak memutuskan untuk menulis novel aku lebih banyak diam. Terkadang merenung, terkadang membiarkan kehampaan menguasaiku.
“Hati-hati dengan dunia sepimu. Aku bukan orang yang percaya takhayul, Din, aku hanya…” kututup mulut temanku itu dengan telunjuk. Aku tak ingin mendengar apa pun kelanjutan kalimatnya. Cukup batinku mencoba meraih kekhawatirannya. Merangkulnya perlahan, menenangkan pikirannya. Kemudian mengajaknya memasuki duniaku yang baru. Dunia yang kuciptakan di buku baruku. Buku dimana ia ada di dalamnya. Kekasih yang hanya ada di hati itu kini dapat kuhadirkan dalam hidupku. Kekasih yang dengannya hanya ada sikap dan pendirianku sendiri. Bukan keinginan orang lain. Bukan pula keputusan yang didasarkan pada norma yang dipegang teguh oleh lingkungan di sekitarku. Ia ada dan berjiwa tanpa sedikitpun mengganggu ikatan pernikahanku dengan Ananta.
Untukmu yang hidup di alam pikiranku, kupersembahkan sebuah rumah padamu. Buku baruku…
(Ditulis untuk #CeritaHariIni yang diselenggarakan oleh @_PlotPoint)
No comments:
Post a Comment