Oleh: @CathPuz
Cinta dan masa SMA sepertinya sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Bisa dipastikan siapaun pernah merasakan. Dan untuk cerita hari ini, saya coba menuliskan sepenggal pengalamantentang cinta pertama.
Umurku lima belas tahun saat itu. Tahun pertama memakai seram putih biru muda. Setidaknya seperti itulah seragamku, bukan putih abu-abu. Bagiku, sejak hari pertama masuk SMA, dia sudah memiliki kesan yang kuat. Tubuhnya tinggi dan putih. Wajahnya tidak bisa dibilang tampan tapi aku suka caranya berbicara, gerak-geriknya, otaknya yang cerdas dan terutama senyumnya.
Selama setengah tahun duduk di kelas satu, tidak sekalipun kami memiliki kesempatan menjalin hubungan lebih dekat. Aku juga tidak tertarik mendekatinya, hanya sebatas menganguminya tidak ada benih-benih cinta. Kurasa dia juga begitu, mengingat aku bukan seorang siswi yang menonjol di kelas.
Tapi takdir punya rencana lain. Karena suatu sebab, tempat duduk yang selama ini ku tempati selama satu cawu, tiba-tiba harus dipindah. Dan bangku baruku berada tepat di depannya. Kebetulan yang aneh menurutku.
Mengingat dekatnya jarak diantara kita, kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Aku coba mendekatinya. Mengajaknya berbicara, beramah-tamah, yang mana semua itu dibalas dengan sikap dingin dan penolakan. Pada intinya dia tidak ingin mendekatkan dirinya denganku. Sakit hati? Jelas lah! Semua bayanganku tentang dirinya runtuh sudah. Dia sama sekali berbeda dengan bayanganku dulu. Cowok yang duduk di belakangku hanya cowok sombong menyebalkan. Pelit. Merasa dirinya paling pintar. Dan yang paling menyebalkan, dia bersikap lebih ramah pada teman sebangkuku! Memang apa salahku? Tapi ya sudahlah. Apa peduliku. Toh perasaanku hanya sebatas mengagumi dan begitu mengetahui orang yang kukagumi tidak sesempurna bayanganku, aku tidka perlu mengakrabkan diriku padanya.
Tapi lagi-lagi takdir bercerita lain. Seiring berjalannya waktu kita mulai dekat. Sifatnya mulai melunak. Dia bukan cowok menyebalkan yang selalu mengusirku ketika aku mengajaknya berbicara, terkadang malah dia duluan yang mengajakku bicara. Kami mulai berbagi dalam banyak hal. Terutama saat ulangan. Terserah apa kata orang tentang mencontek itu dosa. Menurutku mencontek itu seni, butuh intrik dan keahlian tersendiri, bener loh tidak semua orang sanggup melakukannya. Perlahan dia mulai memperlakukanku dengan baik. Malahan kadang aku merasa dia terlalu baik terhadapku dibandingkan teman sekelasku yang lain.
Aku masih ingat, suatu kali ketika aku bertanya padanya tentang soal fisika yang tidak kumengerti. Dia mengijinkanku meminjam bukunya bahkan bersedia mengajariku. Melihat sikapnya yang ramah, dua orang teman sekelasku melakukan hal yang sama. Meminjam bukunya. Mungkin dia berharap akan diperlakukan sama seperti dia memperlakukan dirku. Tapi yang mereka dapat justru penolakan. Jangankan diajari, dia justru menolak meminjamkan bukunya dengan dalih dia sendiri nggak bisa mengerjakan soal itu. Bayangkan bagaimana mungkin hatiku tidak melambung tinggi. Aku merasa cukup puas, tidak bisa dikatakan terlalu puas mengingat dia juga bersikap ramah pada teman sebangkuku.
Setiap hari bertemu, setiap hari bertukar sapa, saat itu aku merasa semuanya normal. Tidak ada yang salah dalam diriku. Dalam artian, aku memang ingin dekat dengannya. Selalu mencarinya ketika sosoknya menghilang dari pandanganku, tapi aku yakin seratus persen, aku tidak sedang jatuh cinta padanya. Aku pernah menyukai seseorang waktu SD dulu. Dan rasanya tidak begini. Tapi aku juga tidak sudi mengatakan cinta SD ku itu cinta pertama. Aku hanya sebatas menyukainya. Dan antara suka dan cinta ada batasan yang sangat besar. Perasaanku hanya sebatas tahap itu.
Aku bodoh, ya aku bodoh. Aku terlalu naif mengakui kalau semua tanda-tanda yang ada selama ini menunjukkan bahwa aku sudah jatuh cinta padanya. Aku senang caranya memperlakukanku. Aku senang caranya menggangguku ketika aku sedang sibuk menyimak pelajaran. Aku suka perhatiannya yang lebih padaku. Tapi semua itu hanya aku artikan sebatas persahabatan. AKu bodoh!
Kalau ada pepatah yang mengatakan bahwa manusia baru sadar apa yang mereka peroleh setelah kehilangan, itulah yang terjadi padaku. Aku benci diriku sendiri, aku benci kebodohanku dan aku baru menyadari semua itu pada suatu pagi, ketika sosoknya yang tinggi putih tidak berada di bangkunya.
Pagi itu aku melangkah memasuki pintu kelas menuju bangkuku, sama seperti pagi-pagi biasanya. Meletakkan tasku lalu sibuk mengobrol atau menyelesaikan tugas yang malas kukerjakan di rumah. Seharusnya pagi itu sama seperti pagi-pagi biasanya. Tapi aku tahu dalam diriku ada sesuatu yang hilang. Dia tidak duduk di belakangku. Bangkunya kosong. Tidak ada sapaan 'selamat pagi' yang selalu kuterima darinya. Hanya ada bangku kosong.
“Dia sakit?” tanyaku pada siswa cowok yang duduk di depanku dan teman dekatnya.
“Pindak ke Australi to? Bukannya dia sudah bilang sama kamu?” dia malah balik bertanya.
“Katanya baru pindah setelah kenaikan kelas,” bantahku.
Cowok itu tersenyum cuek sambil meletakkan tasnya, “Dia bohong sama kamu. Rencana keberangkatannya sudah ditetapkan sejak awal tahun. Nggak mungkinlah berubah segampang itu. Memangnya kenapa sih?” dan dia tersenyum jahil.
“Tanya aja,” jawabku.
Hatiku serasa teriris. Dia bodohong aku benci itu, hatiku terus berteriak seperti itu. Padahal masih ada waktu sebelum sebelum kenaikan kelas. Aku berharap masih bisa menghabiskan masa-masa indah selama sebulan sebelum dia pergi. Harapan itu tidak tertinggal sediktipun, aku hanya mendapati kekecewaan. Ya aku tahu dia tidak berbohong. Kenanganku mencoba mengigatkanku. Dia sudah mengatakan berulang kali akan pergi sebelum tahun ajaran ini berakhir. Tapi aku yang selalu menahannya hingga tahun ajaran ini berakhir. Aku terus mendesaknya, aku terus memaksanya untuk tetap tinggal. Mungkin karena tidak tega melihat rengekkanku dia berbohong padaku akan tetap tinggal sampai akhir tahun ajaran.
Hari-hari tanpanya ternyata jauh lebih berat dari apa yang aku bayangkan. Kupikir aku bisa melupakannya dalam hitungan hari seperti aku melupakan cowok yang kusukai waktu SD dulu. Kupikir aku akan baik-baik saja dan tidak akan menangis. Kupikir, kupikir dan kupikir. Pada kenyataanya semua yang kupikir tidak pernah terjadi. Aku tidak baik-baik saja. Aku menangis seperti bayi setiap malam. Aku tidak bisa melepaskan mataku dari bangku tempatnya duduk setiap kali kaki ini melangkan masuk ke dalam kelas. Aku tidak bisa menahan kepalaku untuk tidak menoleh ke belakang hanya untuk melihat sosoknya meski tahu dia tidak ada di sana. Aku merindukan tawanya, merindukan caranya memanjakan diriku, merindukan sosoknya yang tinggi menjulang di balik punggungku. Aku merindukannya. Merindukan semua tentang dirinya. Dia benar-benar membuatku kacau. Mungkin bukan dia, lebih tepatnya cintaku padanya. cinta yang baru kusadari setelah kepergiannya
Kalau kata orang first love never die dengan berat hati aku akui itu benar. Bahkan berbulan-bulan setelah kepergiannya, tanpa sadar aku masih suka menatap bangku yang berdiri di ujung kelas tersebut. kebiasaan itu terus berlangsung selama dua tahun. aku tidak pernah bisa melepaskan mataku dari tempat itu setiap kali melewati kelasku dulu.
Dulu dia ada di sana. Menyapaku setiap pagi ketika kaki ini melangkah ke arahnya. Menyapaku di lorong-lorong sekolah. Memperhatikan setiap hal kecil yang kulakukan dan mengomentarinya. Aku suka menoleh ke belakang mencuri-curi kesempatan di tengah jam pelajaran hanya untuk mengobrol dengannya. Aku merindukan semua itu.
Meski pemilik bangku itu bukan dirinya lagi. Tapi kenangan indah saat itu masih tergambar jelas dalam benakku hingga saat ini. Meksi hati ini berubah, meski waktu berlalu dengan cepat. Meski sekarang aku tidak tahu keberadaannya dan meski kerinduan yang dulu kurasakan benar-benar menyiksaku. Aku bersyukur mengenalnya dan cinta pertamaku adalah dia dan saat-saat indah itu mungkin tidak pernah terlupa. Satu yang kusesali, aku tidak pernah mengatakan perasaanku padanya.
@CathPuz | http://novelku-bluebird.blogspot.com/2012/03/rindu.html
Sedih, keren banget! :')
ReplyDelete