Monday, April 9, 2012

Buku Baru Yiyi



Oleh: @siskalimanto


Juli 1839, Guangdong tidak pernah sepanas ini sebelumnya. Panas yang menyengat hingga setiap tetes keringat beradu keluar dari kulit putih nan rentan Yiyi kecil. Namun, ia tidak begitu mempedulikan panasnya hari ini, karena ia begitu semangat mencoret-coret buku barunya yang ia temukan di kolong lemari bajunya tadi pagi. Buku dengan sampul hitam yang berisikan tulisan-tulisan yang masih belum bisa ia baca. Ia buka lembar demi lembar, namun tak menemukan satu pun gambar atau halaman kosong yang tersisa. Tak kehilangan akal, yiyi mulai menggambar di bagian tepi-tepi buku yang tidak ada coretan apapun disepanjang 2,5 cm itu. Setiap halamannya ia gambar dengan gambar yang berbeda-beda. Ada lingkaran, ada segitiga, ada bujur sangkar, bahkan dia menggambar orang tuanya diantara aksara-aksara kanji. Dia gambar lingkaran, kemudian tarik garis lurus vertikal, menggoreskan dua garis hingga membentuk sudut segitiga atas di bagian bawahnya, tak lupa dia menambahkan garis horizontal yang bersilangan dengan garis vertikal di bagian tengah, kemudian membentuk mata, mulut dan rambut. Selesai. Jadilah sebuah gambar berisi tiga orang yang dituliskan masing-masing dibawahnya “papa, mama, yiyi”. Sebuah keluarga harmonis yang terlukis indah di buku barunya.

Ma, khan. Wo hua mama he papa chai che ben xin xu. Ma, lihat. Aku menggambar mama dan papa di buku baru ini”

Hau, teng sia mama lai khan. Mama cen chai cu u chan fan. Ya, nanti mama lihat. Mama sedang memasak untuk makan siang”

Jawab ibunya melemparkan senyum kepada Yiyi dan Yiyi melanjutkan aktifitas serunya kembali.

“Ma... Mama...”

Teriak seorang lelaki berkulit sawo matang sambil membuka pintu rumah dengan tergesa-gesa kemudian berlari menuju dapur untuk mencari istrinya

“Ada apa?”

“Dimana buku itu?”

“Buku apa?”

Bola mata lelaki itu langsung bergerak kesana-kemari mencari sesuatu yang berharga baginya dan pandangannya tertahan pada yiyi kecil yang masih asik menggambar. Lelaki itu berjalan cepat menghampiri yiyi dan menengok apa yang sedang ia lakukan

“Yiyi, kamu sedang apa?”

“Papa, aku menggambar papa, mama, dan aku di buku ini”

Lelaki itu terkejut bukan kepalang melihat buku yang sedang di coret-coret yiyi

“Yiyi, papa pinjam sebentar bukunya ya”

Tanpa mendengar jawaban anak semata wayangnya terlebih dahulu, lelaki itu langsung mengambil buku baru Yiyi dan menyembunyikan buku itu ke dalam celana kainnya.

“Buk... Buk... Buk... Buk... Mao Chun Yang... Mao Chun Yang...”

Suara besar di balik pintu seketika mengagetkan Mei Hua dan suaminya.

“Pa, siapa itu?”

“Tenang, Ma. Bukan siapa-siapa”

Sedikit gugup bercampur rasa takut, Chun Yang menghampiri pintu yang sudah digedor berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya yang dingin bergetar tak bisa diam. Perlahan-lahan Chun Yang membuka pintu rumahnya yang hampir usang, dan menemui sesosok pria tegap setinggi 185 cm sedang menatap tajam ke arahnya dengan wajah yang kaku. Di belakangnya terdapat dua pria lainnya berkemeja putih dibalut jas hitam panjang yang mengapit pria tegap itu.

“A... a... ada yang bisa saya bantu tuan-tuan?”

“Kami kemari untuk membeli sebuah buku”

“Bu... buku apa yang sedang anda cari?”

“Buku yang berisi daftar nama-nama pedagang gelap itu. Kami tahu buku itu ada bersama mu”

“Maaf tuan-tuan, saya tidak mengerti maksud kalian. Dan sepertinya buku yang seperti itu tidak ada disini”

Chun Yang melempar senyum meringisnya dengan harapan pria-pria itu segera pergi dari sini dan tidak mencari buku yang mereka maksud.

“Ini tawaran terakhir kami, jika kau tidak mau menjual buku itu kepada kami. Terpaksa kami harus mengambilnya dengan cara kasar”

“Su... sungguh tuan, saya tidak mengerti buku apa yang kalian maksud”

Tubuh Chun Yang bergetar hebat, keringat dingin mulai membanjiri kening dan lehernya. Namun tentu saja jawaban Chun Yang tidak memuaskan pria-pria berjas itu, mereka masuk dengan paksa ke dalam rumah, menghambur-hamburkan barang-barang disekitar kamar dan ruang tamu. Yiyi yang kaget kamarnya dihampiri pria-pria asing, segera menghampiri dan memeluk ibunya. 10 menit cukup untuk memberantaki seisi rumah, namun mereka masih tidak juga menemukan buku itu. 

Kesal karena barang yang dicari tidak ditemukan, pria besar itu mengambil sebuah Pistol Flintlock buatan Perancis sepanjang 45 cm dan mengarahkan kepada Chun Yang.

“Dimana buku itu?”

Chun Yang yang sangat ketakutan bersujud di hadapan mereka sambil memohon untuk tidak ditembak tanpa menjawab pertanyaan.

“Aku punya buku”

Suara Yiyi tiba-tiba mengheningkan suasana sejenak. Sang pria bertubuh besar menghampiri Yiyi untuk bertanya lebih dekat

“Yiyi” Ibunya mendekap Yiyi erat dan memegang mulutnya

“Dimana buku itu, nak?”

“Itu hanya buku gambar” langsung saja mulut Chun Yang melemparkan jawaban asal supaya anaknya selamat

“Diam!!! Aku sedang berbicara dengan anak mu.” bentaknya kesal “Dimana buku itu?”

Yiyi kecil berjalan menuju kamarnya, mengambil sesuatu untuk diberikan kepada pria itu dengan harapan mereka tidak memarahi ayahnya lagi. Yiyi keluar dari kamar sambil memegang sebuah buku bersampul hitam dan menyerahkannya kepada pria itu.

Wajah pria itu sumringah saat melihat buku yang dibawa Yiyi, perlahan namun pasti pria itu membuka halaman pertama dan menemukan tulisan “Tu hua xu. Buku gambar”. Pria itu kembali kecewa dan membanting bukunya.

“Jangan main-main dengan ku! Dimana buku itu?”

“Yang aku punya buku itu tuan”

Jawab Yiyi sambil terisak-isak menangis ketakutan. Ibunya kembali memeluk Yiyi untuk menjauhkannya dari pria itu. Habis sudah kesabarannya, ia kembali mengarahkan pistolnya ke arah Chun Yang.

“Bukuuu… Dimana buku itu?” bentaknya lagi

“Sungguh tuan, saya tidak mempunyai buku yang tuan maksud. Kalian juga sudah menggeledah tempat ini dan tidak menemukan apa-apa”

Jawaban Chun Yang tak dapat meredam kemarahan pria itu. Pitam yang sudah naik sampai di ubun kepala menggerakan tangannya itu untuk menarik pelatuknya. Percikan api yang menjalar menuju sumbu pistol, melayangkan peluru-peluru bulat ke dada Chun Yang. Tiga letupan senjata api mengakhiri urusan Chun Yang dengan pria-pria berjas itu. Mereka pergi meninggalkan Chun Yang yang bersimbah darah.

Setelah pria-pria itu menghilang dari hadapan keluarga Mao, Chun Yang mengambil buku yang tersimpan dibalik celananya dan memberikan kepada istrinya sebagai warisan terakhir.

“Tolong serahkan buku ini kepada komisaris Lin Ze Xu, pedagang-pedagang gelap itu harus segera di penjarakan, opium harus musnah dari negeri Cina”

Kalimat terakhir Chun Yang menjadi penutup hidupnya. Mei Hua mengambil buku itu dari tangan suaminya sambil terus-menerus menangis dan memeluk Yiyi yang sedang ketakutan. Ketakutan karena melihat ayahnya berlumuran darah dan tak bergerak dengan mata terbelalak. Yiyi tak mengerti apa maksud dari ucapan ayahnya tadi dan mengapa buku baru yang dipegang sang ibu harus membuat ayahnya diam tak bersuara. Yiyi juga mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa cerita hari ini akan membuat buku barunya menjadi sebuah sejarah yang membawa Cina kepada Perang Opium I.

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan