Oleh: @WahyuSN
Entah siapa yang memulai. Tapi ide ini sungguh jenius. Juga para pelaksana di lapangan. Reuni. Mengumpulkan teman lama. Silaturahmi. Semoga mereka berlimpah pahala.
Entah siapa yang memulai. Tapi ide ini sungguh jenius. Juga para pelaksana di lapangan. Reuni. Mengumpulkan teman lama. Silaturahmi. Semoga mereka berlimpah pahala.
Aku sengaja datang sebelum waktu yang ditetapkan. Sekolah ini sudah
banyak berubah. Bahkan aula tempat berlangsungnya acara adalah gedung
baru yang tak terbayang akan berdiri disana. Menyusuri setiap
jengkalnya. Mengais kenangan yang masih tersisa di kepala. Juga di hati.
Kakiku berhenti. Senyum mengembang. Senyum malu. Ruang BP. Entah
berapa kali aku sudah keluar masuk ruang ini dulu. Aku tak pernah
bersahabat dengan bel masuk sekolah. Dengan beberapa orang teman menjadi
pelanggan setia ruang ini. Ah…ternyata, hal yang dulu begitu dibenci,
bisa juga menjadi kenangan indah.
Aku kembali melangkah. Kali ini menyusuri koridor panjang. Dengan
deretan ruang kelas satu di sisi kiri dan taman-taman mungil di sisi
kanan. Tak terlalu banyak yang beda. Hanya lantai yang sekarang berganti
keramik. Cantik dan bersih. Dengan memori akan anak baru yang malu-malu
dan takut. Itu kesan yang tertinggal dari koridor Utara.
Aku sampai di ujung jalan. Tetiba terkikik sendiri. Kantin. Siapa
yang tak kenal tempat ini? Tempat idola semua murid di muka bumi. Tempat
yang pasti paling berkesan untuk semua alumni. Tempat melepas penat,
lapar dan dahaga. Tempat melarikan diri dari guru dan pelajaran
terkutuk. Tempat melirik sang pencuri hati. Pun tempat janji temu dengan
pujaan jiwa. Hanya tempat ini yang tak akan pernah dibenci oleh
siapapun. Aku meninggalkannya dengan bertumpuk kenangan manis dan lucu.
Aku berbelok ke Selatan. Barisan ruangan yang lebih kecil dari ruang
kelas ada di sisi Timur, berhadapan dengan lapangan basket. Dulu tak
ada. Berurutan, di pintu-pintunya tertulis ‘OSIS’, ‘UKS’, ‘KOPERASI’,
dan seterusnya. Ah…, disini sekarang tempatnya. Ruang ekstrakurikuler
berkumpul rapi. Andai sudah seperti ini sejak dulu. Sudahlah…
Aku menoleh. Namun kali ini terasa sendu. Ruangan di sudut Tenggara
sekolah ini. Ruang kelas tigaku. Perlahan aku menyeberang ke koridornya.
Menyentuh dinding luarnya. Terkelupas di sana sini. Jendelanya pun
berdebu. Khas saat ditinggal penghuninya libur kenaikan kelas. Pintu
kayunya pun tampak kusam. Entah kapan terakhir tersentuh cat dan
pelitur.
Kucoba buka. Berhasil. Tak dikunci rupanya. Mengedarkan pandangan.
Hanya gambar presiden dan wakilnya yang tak sama. Selebihnya, masih
sesuai dengan rekaman otakku.
Berusaha mengingat kembali, siapa saja pemilik bangku-bangku ini.
Satu per satu. Dimana mereka sekarang? Apa kabarnya saat ini? Akankah
mereka datang reuni nanti? Tak sabar rasanya, ingin memanggil kembali
semua kenangan bersama-sama.
Aku menghampiri deret bangku paling Selatan. Lalu berhenti di bangku
nomor tiga, di depan meja guru. Ini milikku. Ini bangkuku. Dulu. Masih
sama. Tak berubah. Aku tersenyum senang.
Duduk di bangku ini seperti terseret ke masa lalu. Anak sekolah
dengan segenap cerita tentang dunianya. Manis, pahit, senang, sedih,
hitam, putih. Semuanya. Lengkap.
Aku menoleh ke belakang. Sama seperti yang lain. Bangku kosong.
Sekosong hatiku saat melihatnya. Bangku milik seseorang. Orang yang aku
kenal baik. Salah satu orang luar biasa yang pernah aku temui.
Itu bangkumu. Teman baik yang dianugerahi kecerdasan luar biasa. Tak
satu pun penghuni kelas ini bisa menandingi. Pun seisi sekolah. Teman
yang juga murah dan rendah hati. Sempurna. Terlalu sempurna, rasanya.
Aku tersenyum. Banyak kenangan tentangmu, teman. Saat kita masih
menuntut ilmu disini. Juga saat kita sudah harus menantang kerasnya
hidup. Tapi hidupmu tak sesempurna yang aku kira. Perjuanganmu lebih
dari luar biasa. Menghidupi lima adik tanpa seorang ayah. Membayangkan
hari-harimu saja aku tak berani.
Tapi Tuhan maha adil, pemurah dan penyayang, teman. Entah apa rencana
Beliau atas umat Nya, tapi kamu bisa bertahan dan berhasil. Pun semua
adik-adikmu.
“Aku hanya ingin membahagiakan ibu…” begitu katamu, selalu.
Aku ikut senang melihat dan mendengarnya, teman. Sampai tiba-tiba aku
kehilangan jejakmu. Tak terlacak. Sama sekali. Sudah kucari kesana dan
kemari, tapi tak kunjung ditemukan. Dunia maya dan nyata telah ku
telusuri. Kamu seperti lenyap ditelan bumi. Kamu dimana, teman?
Entah angin mana yang telah membawa kabarmu suatu ketika. Tentangmu
yang menyerah pada takdir. Kamu, seorang pejuang hidup yang tangguh,
harus kalah melawan kanker yang menggerogoti hati. Hatimu. Hati yang
sudah bekerja keras untuk banyak nyawa yang lain. Kamu berhenti. Saat
itu. Begitu saja.
Aku merasa sendu. Semua tak sama lagi tanpamu, teman. Kalaupun semua
berkumpul lagi. Akan ada sudut kosong dalam hatiku. Dalam hati kami.
Teman-temanmu. Kamu, orang yang tak tergantikan. Tak terlupakan. Teman
berhati dan berotak berlian.
Aku berdiri. Sudah waktunya bergabung dengan yang lain. Dan untuk
yang terakhir, kutatap lagi bangkumu. Teman, doa kami tak putus untukmu.
Terima kasih sudah berkenan jadi teman kami. Aku yakin, Tuhan memberi
tempat terbaik bagimu.
@WahyuSN | http://wahyusiswaningrum.wordpress.com/2012/03/27/reuni/
No comments:
Post a Comment