Oleh: @juzzyoke
Iyak pusing tujuh keliling. Dahinya mengerenyit dalam-dalam. Bibirnya mengerecut. Pandangannya kosong lurus memandang ujung kakinya yang kotor dan pecah-pecah. Lampu merah sudah menyala sedari tadi, membuat seluruh pengguna jalan, tak peduli siapapun, apapun, dan bagaimanapun ia, berhenti sebelum persimpangan empat di hadapan. Sudah hampir 30 detik waktu yang tertera di lampu merah itu berdetak, namun Iyak tak bergeming. Persis seperti patung merenung di trotoar namun bernapas dan berpikir.
Kawannya Yan, jengkel bukan buatan melihat tingkah kawannya itu. “Hei, Yak! Ngapain kamu bengong di situ? Kerja!” Iyak kaget dengan teriakan Yan, apalagi Yan memasang wajah mengancam yang bisa dibaca sebagai ‘Cepat kerja atau kulaporkan bos!’. Dengan terpaksa, Iyak menyeret kakinya, mendatangi mobil-mobil yang masih berhenti itu dan menggendong tumpukan koran-koran ditangannya seperti menggendong bayi dalam pelukan.
*
Siapapun yang ada di posisi Iyak sekarang, sudah pasti tau benar kegalauan yang dialaminya. Untuk masyarakat ‘kasta rendah’ sepertinya, masalah-masalah dalam hidup mereka biasanya tak lain tak bukan adalah: uang. Cerita hari ini dari adiknya, Radiq, yang baru masuk SD inilah yang membuat Iyak resah tak keruan.
“Kak, minta uang 250ribu…beli buku baru kak…” Radiq merengek-rengek pada kakaknya.
“Lho, katanya sekolahmu gratis?” tanya Iyak dengan nada terkejut. Walaupun pertanyaan itu sebenarnya sudah bisa ia jawab sendiri. Biaya sekolah memang digratiskan pada siswa yang kurang mampu. Namun, hanya terbatas pada biaya pendaftaran atau istilahnya ‘uang bangku’. Syaratnya cukup menunjukkan surat miskin itu. Sebenarnya miskin benar atau tidaknya, tanpa surat keterangan miskin itupun, Radiq sudah terbukti ‘kelihatan’ miskinnya. Seragam SD lusuh bekas pakai Iyak dulu, berpadu dengan sepatu dan tas murahan yang dibeli sang kakak di pasar loak. Namun, hanya itu, batas kemampuan yang bisa diberikan seorang kakak pada sang adik yang sangat ingin bersekolah. Iyak juga sebetulnya sangat mendukung. Ia tidak mau adik kecilnya itu ikut menentang matahari dan hujan, menggendong koran, mengelap sepatu, menyanyi sumbang, meminta-minta dan mengais nafkah di jalan seperti dirinya. Iyak mau adiknya punya gelar dokter, sarjana, insinyur, apapun itu. Iyak mau adiknya bisa membawa mereka tinggal di rumah bak istana bernama apartemen di atas sana. Bukan di bawah sini, dimana mereka sekeluarga harus berolahraga jantung karena takut rumah mereka yang hanya dari rangkaian koran, kardus, dan plywood itu akan hancur diseruduk kereta api nyasar yang selalu lewat di sebelah mereka.
Radiq sudah terlanjur memegang keyakinan bahwa sang adik adalah pemutus lingkaran setan kemiskinan ini. Biarlah, Radiq yang melanjutkan cita-citanya meraih pendidikan. Perjuangannya dulu terhenti saat tiba-tiba ayah mereka, tukang becak yang jujur dan baik hati itu, tiba-tiba menghadap Yang Maha Kuasa. Ibunya hamil tua, mengandung Radiq. Iyak padahal baru 11 tahun. Kasihan dia, lulus SD pun ia ta sempat. Anak sekecil itu tiba-tiba beralih profesi, dari pelajar menjadi tulang punggung keluarga. Sungguh kejam nasibnya.
Tapi kali ini, Iyak tidak mau nasib mempecundanginya lagi. Ia tak akan menyerah sekarang. Namun jujur ia mati akal saat Radiq meminta jumlah uang yang besar baginya. Sementara buku-buku cetak itu penting sekali. Zaman dulu dan sekarang beda. Kurikulum mudah berganti. Buku sekarang wajib dibeli jika ingin pintar. Buku-buku zaman dulu di pasar loak tentu takupdate lagi. Bagaimana ia bisa menjadikan adiknya dokter, insinyur, atau sarjana, jika buku saja tak punya?
“Baiklah. Kakak akan cari uangnya, kamu tenang aja, ya?!” kata Iyak menenangkan adiknya.
“Mau dapat uang dari mana Yak?! Mencuri??” Suara ketus dan tajam emaknya menyeruak. Wanita itu baru datang dari pekerjaan serabutannya.
Iyak memberi isyarat pada Radiq untuk meninggalkan rumah. Ia tidak mau pertengkaran mereka didengar olehnya.
“Mak, jangan di hadapan Radiq. Tolong.”
“Apa? Ini kenyataan! Kamu mau dapat uang dari mana buat beli buku?! Kita ini gembel!”
“Memang betul, Mak. Kita ini gembel. Tapi Radiq belum! Ia belum jadi gembel, ia masih punya masa depan.” Iyak tetap berusaha menjaga suaranya agar tidak tinggi, ia tetap berusaha menghormati sang ibu.
“Sekolah itu hanya buat orang-orang kaya! Kita ini miskin! Masa depan macam apa yang mau kau jejalkan pada adikmu? Jangan menjadi pungguk yang merindukan bulan! Kenyataannya, sekolah perlu biaya! Tidak ada yang gratis di dunia ini! Dari dulu aku sudah bilang, tidak usahlah mikirin sekolah lagi! Mending kerja, dapat duit!” Emaknya meradang.
Iyak sudah membuka mulutnya, ingin sekali ia menyanggah. Namun mendadak kereta api lewat. Suara bisingnya saat melewati rumah membuat ia menutup mulutnya. Percuma, kata-katanya tak akan terdengar. Ia hanya memandangi sang ibu dengan belas kasihan. Ia kasihan karena emak telah menyerah. Bahkan untuk bermimpi sekalipun.
*
Sepahit-pahitnya cibiran emaknya, Iyak harus mengakui mencari uang seperempat juta dalam waktu cepat dengan cara yang halal itu seakan jauh panggang dari api. Beberapa hari ini ia kerja serabutan di jalan mati-matian, dan ia hanya bisa menyisihkan tujuh puluh ribu rupiah. Sahabatnya, Yan, juga tidak banyak membantu. Mereka sama-sama miskin. Namun, Yan berusaha memberikan ‘jalan keluar’. “Dunia jalanan ini keras, Yak! Kalo perlu lakukan apa saja. Apa saja!”
Iyak tercengang. Ia tak pernah mencuri. Ia terlalu takut, dan terlalu malu pada almarhum ayah dan adiknya. Namun Yan, membisikkan pertanyaan yang menggoyahkan keyakinannya, membuat Iyak kalah sampai pertahanannya remuk. “Lalu, mau dapat duit dari mana?”
*
Tangan Iyak bergetar hebat. Ia paham sensasinya sekarang. Bergetar. Takut ketahuan. Adrenalin yang terpompa begitu kuat sebelum melakukannya, perasaan lega yang hebat ketika berhasil melakukannya, dan rasa sesal luar biasa ketika sudah melakukannya. Entah keberanian atau dorongan setan, ia merampas dompet wanita yang akan membeli korannya. Faktor-faktor keberhasilan pencurian itu semua tersedia: Saat wanita itu membuka dompet mencari uang, sementara kaca jendela mobilnya terbuka lebar, dan ia sedang perlu dana cepat. Benar-benar suatu kesempatan.
*
“Beli buku cetaknya, ya? Kalo ada sisanya, pakai aja, buat uang jajanmu,” kata Iyak sambil menyerahkan beberapa uang lembaran lima puluh ribu pagi itu, sebelum adiknya berangkat sekolah. Mata Radiq melebar. Ia benar-benar senang, akhirnya sang kakak mampu menepati janjinya. “Makasih kakak,” ujar Radiq sambil memeluk kakaknya erat dengan sayang. Iyak justru merasa tambah bersalah. Mungkin karena uang yang diberikannya tadi bukan uang halal.
*
Hari masih siang, panas terik menyengat, namun awan mendung. Cuaca yang aneh. Yan datang tergopoh-gopoh menarik tangan Iyak yang sedang kerja mencuci motor di pencucian. Iyak bertanya-tanya,”Apa? Kenapa?” Namun Yan tetap diam. Wajah Yan ketakutan. Namun, diamnya Yan itu yang justru menakutkan bagi Iyak. Namun, ia tau, bertanya itu percuma. Maka Iyak membiarkan dirinya ditarik oleh Yan. Mereka terus berjalan, padahal hujan mulai rintik-rintik. Yan ternyata membawanya ke dekat rumah Iyak, karena mereka kini berada di jalur rel kereta api. Namun ada pemandangan ganjil di sana, tak jauh dari rumahnya, orang-orang berkerumun. Entah apa yang terjadi. Iyak pun mendekat. Dan ia menyaksikan pemandangan paling mengerikan seumur hidupnya. Ada daging. Berceceran. Namun daging itu memakai pakaian sekolah SD lusuh dan sepatu lusuh yang dibelikan oleh Iyak di pasar loak. Iyak menggeleng, tak percaya. Itu pasti anak kecil lain yang terlindas kereta, bukan Radiq. Sementara semua mata tertuju pada tubuh mungil yang terkoyak, tidak ada yang memperhatikan tas sekolah yang terlempar agak jauh dari tubuh itu. Tas itu pun tercabik-cabik. Dan ada robekan-robekan kertas, yang sepertinya tadinya adalah buku. Buku-buku baru yang Radiq beli tadi pagi. Namun buku-buku itu telah rusak dan robek terlindas kereta, basah oleh hujan, dan bercampur warna merah darah dan tanah yang cokelat. Dan buku baru itu tak lagi tampak baru........
No comments:
Post a Comment