Monday, April 23, 2012

Hancur


Dia pun pergi...

Sagan terbang semakin tinggi, meninggalkan rumahnya, saudara-saudaranya, dan terutama sekali, ayah yang dibencinya. Melewati atmosfer dan antariksa yang terbentang di hadapannya, tujuannya hanya satu. Matahari.

*

Pada suatu ketika, di atas langit sana, tersebutlah Dewa Matahari, Sol. Dia memiliki tiga orang anak. Primus, Sagan, dan Tersius. Jika kekuatan Sol berasal dari matahari, ketiga anaknya memperoleh kekuatan dengan caranya masing-masing.

Dari ketiga anaknya, Sol paling suka dengan anak sulungnya, Primus, karena dia yang paling kuat dan patuh padanya. Dia juga sayang pada anak bungsunya, Tersius yang baik hati dan periang.

Sagan, si anak kedua, merasa terasingkan, karena berbeda dengan kedua saudaranya, dia kurang mendapat perhatian yang serupa dari ayahnya. Iri pun lambat laun memuncak menjadi benci. Dia benci ayahnya, juga kedua saudaranya.

Sagan pun meminta penjelasan dari ayahnya.
"Ayah, kenapa kau tidak menyayangiku seperti halnya kau menyayangi Primus dan Tersius?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu, Sagan? Aku menyayangi kalian bertiga, termasuk dirimu wahai putraku."
"Lalu kenapa kau jarang sekali berbicara denganku? Kau bahkan tidak pernah memandang wajahku."

Sol terdiam. Bukannya dia tidak mau memandang wajah anaknya itu, tapi dia tak berani. Ketika Sagan lahir, Sol melihat matanya dalam-dalam, dan menemukan sinar jahat di sana, berbeda dengan yang dilihatnya pada Primus, dan juga kemudian Tersius. Hal itu membuatnya waspada, karena setiap kali dia memandang Sagan, hawa jahat itu selalu terbayang di benaknya. Dia takut bahwa Sagan akan tumbuh menjadi dewa yang jahat.

Tanda-tanda itu pun tampaknya mulai terlihat, ketika Sagan seringkali melawan perintahnya. Selain itu, anak itu sulit diatur, dan kurang begitu akur dengan kakak-adiknya.

Sol meneguhkan hati dan menatap Sagan.

Mata merah itu, kembali memancarkan hawa jahat. Sol melihat pemandangan yang mengerikan. Dunia hancur, dan kematian di mana-mana.

"Pergi kau, iblis!" Sol berteriak dan memalingkan wajahnya, kemudian pergi meninggalkan Sagan.

Sagan remuk redam. Ayahnya mengusirnya dan menyebutnya iblis. Kepalanya serasa mendidih. Dia pun langsung melesat terbang meninggalkan kediaman Dewa Matahari.

*

Sol menenangkan diri di ruangannya. Gambaran akan kehancuran dunia membuatnya kehilangan kendali. Bukan anaknya yang tadi diusirnya, tapi pemandangan mengerikan itu.

Tapi tentu saja, Sagan yang sudah dikuasai amarah tidak memahami hal itu. Kebenciannya sudah semakin memuncak. Meski begitu, dia terikat oleh pantangan yang diberlakukan padanya dan saudara-saudaranya: Mereka tidak boleh menyakiti siapapun, manusia atau dewa.

Pantangan itu tidak memungkinkannya untuk melawan ayahnya secara langsung. Hal yang sama juga berlaku terhadap saudara-saudaranya, dan dia juga tidak diperbolehkan untuk mencelakai kaum manusia yang hidup di bawah mereka. Hanya ada satu hal tersisa yang terpikirkan olehnya. Matahari.

*

Sagan pun tiba di tempat tujuannya. Bola matahari yang luar biasa panas itu berada di hadapannya. Matahari adalah sumber kekuatan ayahnya, sekaligus sumber energi untuk seluruh kehidupan di tata surya.

Dia bertekad untuk menghancurkannya.

Kemarahannya tak dapat dibendung. Dengan memusatkan seluruh kebenciannya, Sagan mengerahkan segenap kekuatannya.

Primus boleh saja menjadi yang terkuat, tapi saat ini amarah Sagan telah membuatnya menjadi berkali lipat lebih kuat dari dia yang biasanya. Diarahkannya gelombang energi yang dimilikinya ke arah bola raksasa itu.

Matahari mulai bergolak. Gelombang yang dikerahkan Sagan sudah mencapai intinya. Bola raksasa itu kemudian menggembung,

dan kemudian meledak.

*

Ledakannya menimbulkan gelombang cahaya yang luar biasa, menyebar ke seluruh tata surya, dan menyebabkan suara yang bergemuruh, terdengar hingga ke telinga para penduduk bumi.

Kemudian semuanya menjadi gelap.

Bersamaan dengan hancurnya matahari, Sol sang Dewa Matahari pun kehilangan kekuatannya. Badannya roboh, dan dia pun mati.

Primus dan Tersius yang menyaksikan semua rentetan peristiwa menggemparkan ini mendatangi ayahnya, berniat untuk menanyakan penyebabnya. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati ayah mereka sudah mati.

"Ini pasti ulah Sagan. Ayo, Tersius, kita cari dia! Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," ucap Primus.

Mereka berdua pun terbang menyusul Sagan, ke tempat dimana matahari tadinya berada. Lagi-lagi mereka dibuat terkejut.

Tidak ada siapa-siapa di sana.

Yang ada hanyalah serpihan-serpihan cahaya, hasil dari ledakan maha dahsyat barusan.

Mata Primus menangkap sesuatu. Serpihan-serpihan lain yang tidak bercahaya. Dia menyentuh salah satunya, kemudian menoleh ke Tersius dengan pandangan prihatin.

"Sagan."

Rupanya ketika matahari meledak, Sagan ikut hancur bersamanya.

*

Primus dan Tersius pun kembali, mendapati dunia yang gelap gulita. Situasi yang mereka hadapi sungguh berat. Matahari lenyap, ayah mereka sang Dewa Matahari pun tiada, dan seluruh tata surya diambang kehancuran akibat tiadanya cahaya.

Mereka bisa mendengar suara-suara di bawah sana. Panik, takut, putus asa.

Tanpa Sagan, hanya mereka berdua yang tersisa untuk melanjutkan tugas Sol sang Dewa Matahari. Bagaimana mereka akan melakukannya?

Tersius perlahan berkata, "Kita harus membuat matahari yang baru."
Primus mengangguk.

Bersama-sama, mereka membangun kembali matahari, yang bisa menjadi cahaya bagi dunia. Biarpun membutuhkan waktu yang lama, ditambah lagi dengan suasana yang tak menentu karena kegelapan ini, mereka yakin bisa melakukannya, dan menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Demi ayah mereka, dan demi saudara mereka yang mati dalam kebencian.


-END-



*ditulis untuk #CeritaHariIni,
dikembangkan dari postingan lama berjudul anak dewa matahari.*

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan