Ini, sesuatu yang konon. Anggap
saja ini dongeng. Dongeng tak memiliki kedudukan yang jelas benar atau tidaknya, ia hanya ada saja. Dengarkan. Jangan
terlalu dipikirkan, bukan tugasmu. Dengarkan sajalah.
Nanas. Na-nas. N-a-nas. Nas. Na-na-s.
Ada satu jam aku duduk, dan
selama itu aku yakin, aku duduk di tempat yang benar. Aku lapar. Bukan lapar
yang ingin makan, ini lapar sebab tak sabar menunggu diisi informasi. Sebuah
kabar. Kabar besar, lebih besar dari perhelatan akbar, aku yakin tidak sehambar
berita surat kabar yang seolah ingin
menyaingi rasa teh tawar. Politis memang selalu magis. Selalu ada motif di dalam
kata politis, motif-motif eksotis yang membuatnya jadi begitu menhipnotis.
Hingga membuat semua pelakunya tak sadar jika mereka sedang membawakan lawakan yang
satire, miris, ironis, sakastis dalam satu wacana yang tak terlalu bombastis.
Magis. Sekutu terdekat politik adalah kepentingan. Apa lagi?
Sudahlah, bukan soal itu yang ku
tunggu. Surat kabar di atas meja sengaja ku letakkan di situ. Biar terkesan
berilmu. Meski sebenarnya kepalaku sekosong perut bambu. Aku sedang menunggu
agen rahasiaku. Pastilah ia bekerja ekstra, sudah satu jam, dan aku belum
mendapat kabar darinya. Sialan. Aku mengutuk. Entah mengutuk suntuk, atau hanya
untuk mengusir rasa kantuk. Padahal ini masih sore. Sore bersama rindu yang
membusuk.
Agen rahasiaku yang pertama
datang. Namanya Gaia. Datang bersama deru angin, duduk di kursi kosong di
hadapanku. Seperti hari sebelumnya, ia selalu datang dan duduk di situ.
“Sore, Bos! Maaf agak lama,
tempatnya lumayan jauh dan foto yang dikasih juga tidak jelas. Gua jadi
repot cari dia di antara orang banyak.” Ia mengelap dahinya, meski tak ada
keringat di sana. Dibuat seolah ada, agar terkesan dramatis saja.
“Jadi, sudah lo tanam?” Tanyaku
sambil membakar rokok, lagi-lagi agar kesan dramatis cerita ini keluar. Sama
saja.
“Sudah, Bos! Di tempat yang
tepat,” Ujarnya, matanya menatapku tajam, “dan tak seorang pun tahu, bahkan dia
sendiri gak akan tahu.”
“Oke, gua percaya, terima kasih, Gai!”
Aku bersiul, bukan sembarang
siul. Ini siulan untuk memanggil. Aku mempelajari teknik ini sejak kecil, sejak aku
sering bermain layang-layang bersama ayah. Dulu ayah bilang, bila aku ingin
menerbangkan layang-layang, aku membutuhkan angin yang cukup kuat. Lantas aku
bertanya, bagaimana jika angin tak terlalu kuat? Ayah menjawab, bersiul saja
lah. Aku pun bersiul. Gali pun datang. Gali Agen keduaku.
“Gali, siap bertugas?!” Aku
bertanya sambil menghembuskan asap rokok, membiarkannya melayang-layang di
depan wajahku. Seketika wajahku seperti hutan kebakaran.
“Siap, Bos!” Gali menjawab tegas,
lantas pergi lekas-lekas.
Nanas. Na-nas. N-a-nas. Nas. Na-na-s.
Perempuan itu lelah, wajahnya
dicumbui debu. Rambutnya pendek, liar, sepertinya ia tak pernah mengenal
teknologi kecantikan bernama sisir. Kaca mata yang ia gunakan gagal
menutupi
mata lelahnya, gagal sama sekali. hanya sesekali dering telepon genggam
yang
mampu membuka matanya lebar-lebar. Semringah. Padahal, itu hanya pesan
singkat
dari seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Matanya menatap layar
telepon
selular sementara ibu jarinya menari lincah di atas tombol alfabet.
Membalas pesan
singkat menjadi begitu penting. Pesan singkat dariku, yang kini sedang
menyaksikannya melalui sebuah televisi ajaib di depan mataku. Televisi
yang sama sekali berbeda dengan televisi di rumahmu. Ini televisi super,
sulit lah di jelaskan dengan kata-kata. bayangkan saja semaumu.
Televisi ini berguna melaporkan hasil liputan Gali di sana.
Perempuan itu tak sadar. Ada yang
memperhatikan.
Ia menaiki salah satu bus,
tujuannya adalah Bekasi. Ia yakin tidak salah naik, dilihatnya ke arah kaca
depan. Terbaca. …si. Akhirannya –si. Ya, Bekasi. Huruf di belakangnya tidak
terbaca. Terhalang kepala-kepala.
“Hi hi hi, dia gak tahu bos!”
Gaia terkekeh senang, sejauh ini tugasnya berjalanlancar.
“Ssst…jangan berisik!”
“Sorry bos.”
Aku sibuk membalas pesan singkat
yang dikirim olehnya. Pesan singkat yang sebenarnya panjang sekali. kemudian,
mataku tertuju lagi pada layar di hadapanku. Melihat keadaan perempuan yang
baru ku kenali beberapa hari yang lalu.
Sambil menunggu pesan balasan,
perempuan itu menerawang ke sekitar bus. Dari raut wajahnya, ia merasa ada yang
tidak beres. Dilihatnya sekali lagi tulisan di kaca depan bus. Terbaca. …si.
Akhirannya –si. Ya, Bekasi. Huruf di belakangnya tidak terbaca. Masih terhalang
kepala-kepala. Tak lama pesan singkat dariku masuk, telepon selularnya
bergetar. Perempuan itu tersenyum kecil dan mulai mengetik pesan balasan.
“Bos…” Gaia menegurku ragu
“Hemm?” Itu aku menjawab
malas-malasan. Masih ingin memperhatikan layar di depan.
“Bos?”
“Apa sih?!”
“Enggak deh, gak jadi…”
“Labil lo, ah… lo kan udah tua,
Gai. Sadar umur lah!”
Dan Bogor, hari ini dingin. Percayalah.
Atau, kalau kamu tidak percaya silakan duduk di sini bersamaku. Di sini, di
hari ke empat di bulan April tahun 2012.
Perempuan dalam bus itu menerima
telepon dari seseorang, entah dari siapa. Matanya sibuk mengamati jalanan. Mulai
menampakkan wajah cemas. Tapi, ya begitu lagunya. Masih sok tidak terjadi
apa-apa. Matanya kembali memastikan ke kaca depan bus. Terbaca. …si. Akhirannya
–si. Ya, Bekasi. Huruf di belakangnya tidak terbaca. Lagi-lagi terhalang kepala-kepala.
Besok, perempuan ini lah yang akan ku jumpai. Berkenalan secara formal
danselanjutnya, dan selanjutnya.
“Bos, Gali melapor!” Gaia
berseru. Secarik kertas muncul begitu saja dari dalam televisi ajaib ini.
Lapor Bos! Nenek pengendali hujan
sudah bersiap menurunkan hujan nih, gawatnya si Krip Krip juga mau main petir.
Terpaksa, gambar agak terganggu deh. Maaf ya, Bos.
Jleb!
Televisi mati.
“Ah!”
“Santai, Bos… kopi dulu, kopi.”
“Lo yakin, Gai udah diletakkan di
tempat strategis?”
“Yakin lah, Bos! Kalau enggak,
mana mungkin dia…hi hi hi….”
“Jantung gua kok deg-degan ya,
Gai?”
“Efek samping, Bos.”
Tak lama, ada pesan masuk ke
telepon selularku. Pesan dari perempuan itu.
Kamu tahu Cileungsi di mana?
Aku membalsa singkat.
Tahu, itu kan di Bogor. Kenapa? Kamu
mau ke rumahku?
Aku tersenyum kecil, Gai
terkekeh.
“Tuh kan, Bos! Gua berhasil…”
“Iya, iya… kerja bagus, Gai!”
“Tapi, Bos…”
“Tapi apa?”
“Tuan Takdir, Bos… dari tadi gua
mau bilangin, lo udah hubungi dia atau belum. tapi gua takut, muka lo serem sih Bos,”
“ASTAGA!” Aku jadi memukul
keningku sendiri, “lupa…”
“Yaaah…”
Dari dalam televisi, secarik
kertas muncul lagi.
Lapor Bos! Nenek
hujan membatalkan penyerangan di kawasan ini, dia bergerak ke arah rumah Bos.
Siaran sudah bisa di nikmati lagi.
Klik! Televisi menyala.
Perempuan itu kini ada di… TEPI
JALAN TOL! Gila! Aku sudah mengantisipasi kejadian ini, menurut prediksiku
ketika ia sadar salah naik bus. Ia akan meneruskan perjalanan ke Cileungsi. Bukannya
berhenti di tengah tol begini. Aku jadi merasa bersalah.
“Kerjaan Tuan Takdir nih, Bos….”
Gaia berbicara dengan pose yang mengingatkan kita pada pemikir-pemikir Yunani.
“Sialan!” Kutukku, “lo kesana
Gai, pastikan dia selamat!”
“Mana bisa? Lo kan tahu sendiri
Tuan Takdir gimana.”
“Ah!”
“Sudahlah… berdoa saja, Bos!”
Perempuan itu memutuskan berjalan
kaki, Tamini malam hari memang ramai, tetapi di pinggir tol, mana ada manusia? Kecuali,
ya, kecuali perempuan nekat itu. Gila!
Huh,
saya salah naik bus. Harusnya ke Bekasi malah ke Cileungsi. Akibat senang
bermain rima, skrg malah dipermainkan rima jurusan bus.
Begitu bunyi pesan darinya. Aku
agak heran juga, perempuan ini, sudah tahu salah jalan masih saja kegirangan.
Saya balas pesannya, lalu, ia membalas lagi.
Pesan
terakhir dari pak kondektur “tanya aja orang ke kampung rambutan lewat mana!”
Iya, mudah. Kalau ada orang. Sayang, disini semua mobil berlalu lalang dengan
cepat! Aaa, salam metal untuk pecel lele Bogornya. Kabarin, saya gak jadi
nyasar sampe sana. \m/
Aku memperhatikannya dari
televisi, rasa cemas menjalari. Tapi aku isa apa? Ah, andai saja perempuan itu
tidak nekat berhenti di tengah tol. Tentu semua misiku akan berjalan dengan lancar.
Tanpa perlu ia berjalan sendiri dengan pemandangan semak belukar di sebelah
kiri. Tak lama kemudian, terlihat mobil polisi dari kejauhan. Aku agak lega
melihatnya. Meski aku tak terlalu percaya pada polisi. Sama saja. Kita serahkan
pada Tuan Takdir.
Saya
ketemu orang! Yeah :D *sujud sukur di pinggir jalan tol* Terima kasih, saya
jagoan kok. Otak dan mulut masih bisa jadi senjata.
Perempuan itu naik mobil polisi.
Aku sedikit lega. Aku sedang berusaha
memberi polisi itu percaya. Televisi ku padamkan. Aku masih berusaha mengusir
rasa bersalahku. Jika saja…
Saya
sedang dalam perjalanan menuju kampung rambutan diantar pak polisi! Hahaha ini pertama kalinya, dan WOW! Mobil polisi tuh
memang aslinya keren ya! :D
Aku bingung, antara mau tertawa
dan kesal sulit ditemukan garis batasnya. Akhirnya ku balas saja seadanya, tak
lama ia membalas lagi.
Kalau
malam ini tidak salah naik bus dan diturunkan di depan tamini, saya jg gak
akanpernah punya pengalaman naik mobil polisi. Hahaha.
Perempuan itu gila. Sudah tahu
salah jalan, masih saja kegirangan.
Gali tiba.
“Liputan yang bagus, Gal!” Aku
memberi selamat.
“Ah, padahal gua mau ngeliput dia
sampai rumah, Bos….” Gali membanting kameranya, mau dibanting sekeras apapun
kamera itu tak akan rusak. Sebab kameranya terbuat dari lapisan udara.
“Brengsek ya si Tuan Takdir, gak
bisaaa gitu liat orang senang! Huh!” Ujar Gaia sebal.
“Biarin deh. Lebih dari itu
semua, kerja kalian bagus, teman-teman!”
“terima kasih, Bos. Senang bisa
membantu…” Gaia tersenyum. Keduanya berpamitan. Aku meraih telepon selular. Ya.
Aku akan menelepon perempuan itu.
“Halo?”
“Ya, nanasnya sudah dicuci bersih…mau
disajikan dalam bentuk apa?” Jawab perempuan itu, baru selesai mandi rupanya.
Dan aku mendengarkan segala
ceritanya hari ini, petualangan tersesat –yang merupaka hasil pekerjaanku.
Hingga cerita lain yang tak kalah seru. Meski aku tak mengerti apa yang
diceritakannya. Aku juga tak kenal siapa tokoh-tokoh dalam ceritanya. Itu bukan
masalah besar, karena yang perlu ku lakukan hanya mendengar. Set a chair, set a table. Set a good
conversation. Set my eyes, set my ears to hear you now, set yourself out to
believe. It’s my feeling for you now, complete. Lebih dari
seratusduapuluhmenit, tak terasa sudah pukul dua dini hari. Saatnya tidur.
Kalimat terakhirnya masih
terngiang.
“Aku kayak ditarik kamu
deh, sampai gak sadar salah naik bus yang justru menuju ke kotamu, kebetulankah? Ha ha ha…”
Ah andai ia tahu, itu bukan kebetulan.
Sebab Gaia tadi kuberi tugas untuk menanamkan bongkahan magnet di tempat paling
strategis di tubuh perempuan itu. Tak akan terjangkau oleh siapapun. Kecuali
Tuan Takdir. Ia pun tak akan menyadarinya. Magnet itu tertanam di jantungnya. Sementara
magnet pasangannya tertanam di jantungku. Itulah kenapa ia ‘ditarik’ ke kotaku
malam ini. Itulah kenapa beberapa kali ia bilang ‘deg-degan’ dalam percakapan
kami tadi. Aku. Perempuan itu, Nanas. Kita terhubung. Love is a magnet. It will pull to it and hold only material nature has
designed it to attract.
Nanas. Na-nas. N-a-nas. Nas. Na-na-s.
Pesan terakhir dari perempuan
itu, sebelum aku berpetualang ke alam mimpi:
Tolong
jangan jadikan cerita saya malam ini untuk cerpenmu. Memalukan!
Tenang, tentu saja tidak. Itulah kenapa aku akhiri cerita hari ini dengan sebuah pesan:
Cerita ini, sesuatu yang konon. Anggap
saja ini dongeng. Dongeng tak memiliki kedudukan yang jelas benar atau
tidaknya, ia hanya ada saja. Dengarkan. Jangan terlalu dipikirkan, bukan
tugasmu. Dengarkan sajalah.
Serigala Pencerita.
*Gaia: diambil dari kata Gaea, Dewi Bumi, Ibu dari Cronus dan para
Titan (Mitologi Yunani)
*Gali: Bahasa Telugu, గాలి, Gāli. Artinya Udara.
@sbdrmnd | http://manuskriphujan.blogspot.com/2012/04/pepat-dalam-empat-ma-ma-magnet.html
No comments:
Post a Comment