Monday, April 16, 2012

Pepat Dalam Empat: Ma Ma Magnet!

Semacam encore dari sebuah dongeng empat babak:

Ini, sesuatu yang konon. Anggap saja ini dongeng. Dongeng tak memiliki kedudukan yang jelas benar  atau tidaknya, ia hanya ada saja. Dengarkan. Jangan terlalu dipikirkan, bukan tugasmu. Dengarkan sajalah.

Nanas. Na-nas. N-a-nas. Nas. Na-na-s.
Ada satu jam aku duduk, dan selama itu aku yakin, aku duduk di tempat yang benar. Aku lapar. Bukan lapar yang ingin makan, ini lapar sebab tak sabar menunggu diisi informasi. Sebuah kabar. Kabar besar, lebih besar dari perhelatan akbar, aku yakin tidak sehambar  berita surat kabar yang seolah ingin menyaingi rasa teh tawar. Politis memang selalu magis. Selalu ada motif di dalam kata politis, motif-motif eksotis yang membuatnya jadi begitu menhipnotis. Hingga membuat semua pelakunya tak sadar jika mereka sedang membawakan lawakan yang satire, miris, ironis, sakastis dalam satu wacana yang tak terlalu bombastis. Magis. Sekutu terdekat politik adalah kepentingan. Apa lagi?

Sudahlah, bukan soal itu yang ku tunggu. Surat kabar di atas meja sengaja ku letakkan di situ. Biar terkesan berilmu. Meski sebenarnya kepalaku sekosong perut bambu. Aku sedang menunggu agen rahasiaku. Pastilah ia bekerja ekstra, sudah satu jam, dan aku belum mendapat kabar darinya. Sialan. Aku mengutuk. Entah mengutuk suntuk, atau hanya untuk mengusir rasa kantuk. Padahal ini masih sore. Sore bersama rindu yang membusuk.

Agen rahasiaku yang pertama datang. Namanya Gaia. Datang bersama deru angin, duduk di kursi kosong di hadapanku. Seperti hari sebelumnya, ia selalu datang dan duduk di situ.

“Sore, Bos! Maaf agak lama, tempatnya lumayan jauh dan foto yang dikasih juga tidak jelas. Gua jadi repot cari dia di antara orang banyak.” Ia mengelap dahinya, meski tak ada keringat di sana. Dibuat seolah ada, agar terkesan dramatis saja.
“Jadi, sudah lo tanam?” Tanyaku sambil membakar rokok, lagi-lagi agar kesan dramatis cerita ini keluar. Sama saja.
“Sudah, Bos! Di tempat yang tepat,” Ujarnya, matanya menatapku tajam, “dan tak seorang pun tahu, bahkan dia sendiri gak akan tahu.”
“Oke, gua percaya, terima kasih, Gai!”

Aku bersiul, bukan sembarang siul. Ini siulan untuk memanggil. Aku mempelajari teknik ini sejak kecil, sejak aku sering bermain layang-layang bersama ayah. Dulu ayah bilang, bila aku ingin menerbangkan layang-layang, aku membutuhkan angin yang cukup kuat. Lantas aku bertanya, bagaimana jika angin tak terlalu kuat? Ayah menjawab, bersiul saja lah. Aku pun bersiul. Gali pun datang. Gali Agen keduaku.

“Gali, siap bertugas?!” Aku bertanya sambil menghembuskan asap rokok, membiarkannya melayang-layang di depan wajahku. Seketika wajahku seperti hutan kebakaran.
“Siap, Bos!” Gali menjawab tegas, lantas pergi lekas-lekas.

Nanas. Na-nas. N-a-nas. Nas. Na-na-s.
Perempuan itu lelah, wajahnya dicumbui debu. Rambutnya pendek, liar, sepertinya ia tak pernah mengenal teknologi kecantikan bernama sisir. Kaca mata yang ia gunakan gagal menutupi mata lelahnya, gagal sama sekali. hanya sesekali dering telepon genggam yang mampu membuka matanya lebar-lebar. Semringah. Padahal, itu hanya pesan singkat dari seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Matanya menatap layar telepon selular sementara ibu jarinya menari lincah di atas tombol alfabet. Membalas pesan singkat menjadi begitu penting. Pesan singkat dariku, yang kini sedang menyaksikannya melalui sebuah televisi ajaib di depan mataku. Televisi yang sama sekali berbeda dengan televisi di rumahmu. Ini televisi super, sulit lah di jelaskan dengan kata-kata. bayangkan saja semaumu. Televisi ini berguna melaporkan hasil liputan Gali di sana.

Perempuan itu tak sadar. Ada yang memperhatikan.
Ia menaiki salah satu bus, tujuannya adalah Bekasi. Ia yakin tidak salah naik, dilihatnya ke arah kaca depan. Terbaca. …si. Akhirannya –si. Ya, Bekasi. Huruf di belakangnya tidak terbaca. Terhalang kepala-kepala.

“Hi hi hi, dia gak tahu bos!” Gaia terkekeh senang, sejauh ini tugasnya berjalanlancar.
“Ssst…jangan berisik!”
“Sorry bos.”

Aku sibuk membalas pesan singkat yang dikirim olehnya. Pesan singkat yang sebenarnya panjang sekali. kemudian, mataku tertuju lagi pada layar di hadapanku. Melihat keadaan perempuan yang baru ku kenali beberapa hari yang lalu.

Sambil menunggu pesan balasan, perempuan itu menerawang ke sekitar bus. Dari raut wajahnya, ia merasa ada yang tidak beres. Dilihatnya sekali lagi tulisan di kaca depan bus. Terbaca. …si. Akhirannya –si. Ya, Bekasi. Huruf di belakangnya tidak terbaca. Masih terhalang kepala-kepala. Tak lama pesan singkat dariku masuk, telepon selularnya bergetar. Perempuan itu tersenyum kecil dan mulai mengetik pesan balasan.

“Bos…” Gaia menegurku ragu
“Hemm?” Itu aku menjawab malas-malasan. Masih ingin memperhatikan layar di depan.
“Bos?”
“Apa sih?!”
“Enggak deh, gak jadi…”
“Labil lo, ah… lo kan udah tua, Gai. Sadar umur lah!”

Dan Bogor, hari ini dingin. Percayalah. Atau, kalau kamu tidak percaya silakan duduk di sini bersamaku. Di sini, di hari ke empat di bulan April tahun 2012.

Perempuan dalam bus itu menerima telepon dari seseorang, entah dari siapa. Matanya sibuk mengamati jalanan. Mulai menampakkan wajah cemas. Tapi, ya begitu lagunya. Masih sok tidak terjadi apa-apa. Matanya kembali memastikan ke kaca depan bus. Terbaca. …si. Akhirannya –si. Ya, Bekasi. Huruf di belakangnya tidak terbaca. Lagi-lagi terhalang kepala-kepala. Besok, perempuan ini lah yang akan ku jumpai. Berkenalan secara formal danselanjutnya, dan selanjutnya.

“Bos, Gali melapor!” Gaia berseru. Secarik kertas muncul begitu saja dari dalam televisi ajaib ini.

Lapor Bos! Nenek pengendali hujan sudah bersiap menurunkan hujan nih, gawatnya si Krip Krip juga mau main petir. Terpaksa, gambar agak terganggu deh. Maaf ya, Bos.

Jleb! 
Televisi mati.

“Ah!”
“Santai, Bos… kopi dulu, kopi.”
“Lo yakin, Gai udah diletakkan di tempat strategis?”
“Yakin lah, Bos! Kalau enggak, mana mungkin dia…hi hi hi….”
“Jantung gua kok deg-degan ya, Gai?”
“Efek samping, Bos.”
Tak lama, ada pesan masuk ke telepon selularku. Pesan dari perempuan itu.
Kamu tahu Cileungsi di mana?
Aku membalsa singkat.
Tahu, itu kan di Bogor. Kenapa? Kamu mau ke rumahku?
Aku tersenyum kecil, Gai terkekeh.
“Tuh kan, Bos! Gua berhasil…”
“Iya, iya… kerja bagus, Gai!”
“Tapi, Bos…”
“Tapi apa?”
“Tuan Takdir, Bos… dari tadi gua mau bilangin, lo udah hubungi dia atau belum. tapi gua takut, muka lo serem sih Bos,”
“ASTAGA!” Aku jadi memukul keningku sendiri, “lupa…”
“Yaaah…”

Dari dalam televisi, secarik kertas muncul lagi.

Lapor Bos! Nenek hujan membatalkan penyerangan di kawasan ini, dia bergerak ke arah rumah Bos. Siaran sudah bisa di nikmati lagi.

Klik! Televisi menyala.
Perempuan itu kini ada di… TEPI JALAN TOL! Gila! Aku sudah mengantisipasi kejadian ini, menurut prediksiku ketika ia sadar salah naik bus. Ia akan meneruskan perjalanan ke Cileungsi. Bukannya berhenti di tengah tol begini. Aku jadi merasa bersalah.
“Kerjaan Tuan Takdir nih, Bos….” Gaia berbicara dengan pose yang mengingatkan kita pada pemikir-pemikir Yunani.
“Sialan!” Kutukku, “lo kesana Gai, pastikan dia selamat!”
“Mana bisa? Lo kan tahu sendiri Tuan Takdir gimana.”
“Ah!”
“Sudahlah… berdoa saja, Bos!”

Perempuan itu memutuskan berjalan kaki, Tamini malam hari memang ramai, tetapi di pinggir tol, mana ada manusia? Kecuali, ya, kecuali perempuan nekat itu. Gila!

Huh, saya salah naik bus. Harusnya ke Bekasi malah ke Cileungsi. Akibat senang bermain rima, skrg malah dipermainkan rima jurusan bus.

Begitu bunyi pesan darinya. Aku agak heran juga, perempuan ini, sudah tahu salah jalan masih saja kegirangan. Saya balas pesannya, lalu, ia membalas lagi.

Pesan terakhir dari pak kondektur “tanya aja orang ke kampung rambutan lewat mana!” Iya, mudah. Kalau ada orang. Sayang, disini semua mobil berlalu lalang dengan cepat! Aaa, salam metal untuk pecel lele Bogornya. Kabarin, saya gak jadi nyasar sampe sana. \m/

Aku memperhatikannya dari televisi, rasa cemas menjalari. Tapi aku isa apa? Ah, andai saja perempuan itu tidak nekat berhenti di tengah tol. Tentu semua misiku akan berjalan dengan lancar. Tanpa perlu ia berjalan sendiri dengan pemandangan semak belukar di sebelah kiri. Tak lama kemudian, terlihat mobil polisi dari kejauhan. Aku agak lega melihatnya. Meski aku tak terlalu percaya pada polisi. Sama saja. Kita serahkan pada Tuan Takdir.

Saya ketemu orang! Yeah :D *sujud sukur di pinggir jalan tol* Terima kasih, saya jagoan kok. Otak dan mulut masih bisa jadi senjata.

Perempuan itu naik mobil polisi. Aku sedikit lega. Aku  sedang berusaha memberi polisi itu percaya. Televisi ku padamkan. Aku masih berusaha mengusir rasa bersalahku. Jika saja…

Saya sedang dalam perjalanan menuju kampung rambutan diantar pak polisi! Hahaha  ini pertama kalinya, dan WOW! Mobil polisi tuh memang aslinya keren ya! :D

Aku bingung, antara mau tertawa dan kesal sulit ditemukan garis batasnya. Akhirnya ku balas saja seadanya, tak lama ia membalas lagi.

Kalau malam ini tidak salah naik bus dan diturunkan di depan tamini, saya jg gak akanpernah punya pengalaman naik mobil polisi. Hahaha.

Perempuan itu gila. Sudah tahu salah jalan, masih saja kegirangan.

Gali tiba.
“Liputan yang bagus, Gal!” Aku memberi selamat.
“Ah, padahal gua mau ngeliput dia sampai rumah, Bos….” Gali membanting kameranya, mau dibanting sekeras apapun kamera itu tak akan rusak. Sebab kameranya terbuat dari lapisan udara.
“Brengsek ya si Tuan Takdir, gak bisaaa gitu liat orang senang! Huh!” Ujar Gaia sebal.
“Biarin deh. Lebih dari itu semua, kerja kalian bagus, teman-teman!”
“terima kasih, Bos. Senang bisa membantu…” Gaia tersenyum. Keduanya berpamitan. Aku meraih telepon selular. Ya. Aku akan menelepon perempuan itu.

“Halo?”
“Ya, nanasnya sudah dicuci bersih…mau disajikan dalam bentuk apa?” Jawab perempuan itu, baru selesai mandi rupanya.

Dan aku mendengarkan segala ceritanya hari ini, petualangan tersesat –yang merupaka hasil pekerjaanku. Hingga cerita lain yang tak kalah seru. Meski aku tak mengerti apa yang diceritakannya. Aku juga tak kenal siapa tokoh-tokoh dalam ceritanya. Itu bukan masalah besar, karena yang perlu ku lakukan hanya mendengar. Set a chair, set a table. Set a good conversation. Set my eyes, set my ears to hear you now, set yourself out to believe. It’s my feeling for you now, complete. Lebih dari seratusduapuluhmenit, tak terasa sudah pukul dua dini hari. Saatnya tidur.

Kalimat terakhirnya masih terngiang.
“Aku kayak ditarik kamu deh, sampai gak sadar salah naik bus yang justru menuju ke kotamu, kebetulankah? Ha ha ha…”

Ah andai ia tahu, itu bukan kebetulan. Sebab Gaia tadi kuberi tugas untuk menanamkan bongkahan magnet di tempat paling strategis di tubuh perempuan itu. Tak akan terjangkau oleh siapapun. Kecuali Tuan Takdir. Ia pun tak akan menyadarinya. Magnet itu tertanam di jantungnya. Sementara magnet pasangannya tertanam di jantungku. Itulah kenapa ia ‘ditarik’ ke kotaku malam ini. Itulah kenapa beberapa kali ia bilang ‘deg-degan’ dalam percakapan kami tadi. Aku. Perempuan itu, Nanas. Kita terhubung. Love is a magnet. It will pull to it and hold only material nature has designed it to attract.

Nanas. Na-nas. N-a-nas. Nas. Na-na-s.
Pesan terakhir dari perempuan itu, sebelum aku berpetualang ke alam mimpi:

Tolong jangan jadikan cerita saya malam ini untuk cerpenmu. Memalukan!

Tenang, tentu saja tidak. Itulah kenapa aku akhiri cerita hari ini dengan sebuah pesan:

Cerita ini, sesuatu yang konon. Anggap saja ini dongeng. Dongeng tak memiliki kedudukan yang jelas benar atau tidaknya, ia hanya ada saja. Dengarkan. Jangan terlalu dipikirkan, bukan tugasmu. Dengarkan sajalah.
Serigala Pencerita.

*Gaia: diambil dari kata Gaea, Dewi Bumi, Ibu dari Cronus dan para Titan (Mitologi Yunani)
*Gali: Bahasa Telugu, గాలి, Gāli. Artinya Udara.
| http://manuskriphujan.blogspot.com/2012/04/pepat-dalam-empat-ma-ma-magnet.html

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan