Oleh: @sbdrmnd
Cerita hari ini adalah cerita biasa tentang hari tuanya Sugali, orang kampung biasa memanggilnya Gali. Kek Gali. Kakekku. Lebih tepatnya kakek tiriku, dan lupakan soal gelar tiri dibelakangnya. Itu tidaklah penting.
Seperti senja kemarin, kek Gali ajak aku duduk di serambi depan. Ada tiga cangkir di atas meja yang sama tuanya dengan usia kek Gali. Satu untuknya, satu untukku (meski ia tahu, aku tak akan meminumnya) dan satu untuk lukisan perempuan cantik di sisinya. Perempuan yang menurutku aneh, terlalu bersahaja. Tanpa kalung emas menjuntai, tanpa gelang perak merambat di lingkar tangannya, tanpa gincu, bedak dan segala benda yang biasa di pakai mpok Sirem, rentenir tua di kampungku. Tidak seperti mpok Sirem yang gemar mengeksploitasi tubuhnya sendiri agar terlihat cukup, perempuan dalam lukisan itu sepertinya memang sudah cukup seperti itu. Cukup tersenyum seperti itu. Dan seperti kebanyakan lukisan lainnya, lukisan perempuan itu pun tidak minum teh. Namun tetap saja kek Gali meletakkan secangkir teh dihadapannya. Lukisan perempuan itu adalah nenekku.
Kek Gali
mengangkat secangkir teh hangat. Keriput tangannya bergetar seiring
dengan laju gelas menuju tepi bibirnya. Namun senyumnya merekah; serasa
semua melambat dan ratus-titik-kenangan muncul satu persatu.
Kek Gali
membakar rokok kreteknya, ratus-titik-kenangan itu mulai menggagahi
wajahnya. Matanya jadi terpejam. Kembali ia pada suatu masa di mana Gali
muda adalah seniman terhebat, seniman yang karyanya dibicarakan oleh
jutaan orang. Patungnya di buru seperti paus biru. Lukisannya di pajang
di istana, di kamar tidur bahkan di kamar mandi raja-raja. Siapa tak
kenal Sugali? Bahkan jika kamu bisa bertanya pada seekor semut pun,
mungkin semut akan mengenalnya. Sugali si Seniman Istana.
Pada suatu
siang, Gali muda yang ingin melukis gunung pergi ke sebuah desa. Desa
Althea. Desa terjauh dari kota, desanya para budak. Sesampainya di desa
itu, ia langsung menyewa sebuah rumah milik warga yang menghadap gunung.
Namun hingga petang menjelang, kanvasnya masih kosong. Pandangannya
mulai lelah ketika seorang perempuan masuk membawakan secangkir teh
hangat, lengkap dengan asapnya, perempuan berusia dua puluhan itu cantik
sekali. Lebih cantik dari lukisan bidadarinya di rumah, lebih cantik
dari seluruh objek perempuan yang pernah ia lukis dijadikan satu.
Rambutnya yang kecokelatan berpadu dengan oranye senja dan seolah gunung
yang akan di belakang kehilangan makna indah.
“Maukah kamu menjadi objek lukisanku?” tawar Gali.
Perempuan itu hanya mengangguk kecil.
“Duduklah di kursi itu….” Perintahnya, perempuan itu pun menurut. Ia berjalan perlahan menuju kursi.
“Tersenyumlah!”
Nampaklah
dihadapan Gali muda, senyum terindah yang pernah ia lihat. Senyum tipis,
indah, dan misterius, seperti nebula Mata Kucing. Gali memutuskan untuk
melukis bibirnya terakhir, karena jujur saja itu bagian tersulit. Ia
mulai dari mata, menuju hidung, rambut hingga pakaiannya. Hatinya
berkata, ini akan menjadi lukisan terindah yang pernah ia buat. Sesaat
sebelum ia menggoreskan cat untuk melukis senyum perempuan itu,
perempuan itu mati. Mati tanpa sebab. Matanya terpejam. Perempuan itu
terjatuh dari kursi. Anehnya, senyum itu tak berubah. Tidak bergeser
sedikitpun. Masih sama indah ketika ia hidup. Mati, dan hanya Gali muda
yang ada di situ…
Malam kian menua. Dalam perjalanan menuju kota dengan kereta kuda, Gali muda terus mendekap lukisannya. Rahasiakan. Rahasiakan. Gumamnya pada dirinya sendiri.
Raja Hobes I
berkunjung keesokan harinya, tepat ketika Gali muda sedang mengagumi
lukisan Perempuan Tersenyum di dinding rumahnya. Tak lama kemudian Raja
Hobes I keluar lagi, membawa lukisan Perempuan Tersenyum itu.
Ditinggalkannya Gali muda yang nyaris mati dipukuli para pengawal karena
bersikeras menolak lukisannya di beli. Sementara itu di desa Althea
terjadi peristiwa menggemparkan, tubuh seorang perempuan di temukan mati
tergeletak di atas tempat tidur dalam sebuah kamar yang memperlihatkan
pemandangan gunung, hal biasa bagi para budak jika mati setelah mendapat
kunjungan dari orang lingkungan kerajaan. Yang membuat matinya menjadi
luar biasa adalah, bibir perempuan itu hilang. Hilang. Berganti lukisan
bibir dari cat minyak. Tak ada yang mengira bibir itu hasil lukisan cat
minyak, sampai seorang anak kecil tanpa sengaja menumpahkan minyak ke
wajah perempuan malang itu. Anak itu berusaha membersihkan wajah
perempuan itu dengan kain, dan terkejutlah ia ketika mengelap bagian
bibirnya. Bibir itu luntur.
Kabar
menghebohkan itu cepat sekali menyebar sampai lingkungan istana. Raja
Hobes I yang ketakutan, menyuruh orang-orang suci untuk segera
mengamankan lukisan itu dan memerintahkan pengawal untuk menangkap Gali
muda. Seniman itu di tuduh melakukan praktek sihir dan sebagaimana nasib
ratusan orang yang di tuduh penyihir, mereka akan di bakar hidup-hidup.
Terlambat, Gali
muda sudah kabur dari rumahnya. Ia bukan penyihir, dan lukisannya tak
mengandung sihir apapun. Hanya sebuah senyuman yang ingin ia abadikan.
Sekian waktu
berlalu, tersiar berita bahwa bibir itu memiliki kekuatan gaib dan bisa
membuat si pemiliknya cantik pula hidup abadi. Beberapa kali terjadi
percobaan pencurian. Mereka yang terobsesi dengan sihir, tak peduli
lukisan itu ada di kamar sang raja atau di sarang piranha, mereka tetap
akan mencurinya.
Kabar itu
sampai di telinga Gali. Gali sebenarnya tak kabur terlalu jauh, ia
melukis wajahnya sendiri. Menambahkan kumis dan jenggot. Kini, tak
satupun orang mengenalinya sebagai Gali si Seniman Istana melainkan Ali
si budak pelabuhan. Ia bekerja sebagai budak di pelabuhan kerajaan.
Sejak Gali
mendengar kabar bahwa lukisan itu berhasil di curi. Ia gelisah. Berdoa
sepanjang malam. Malam itu Gali tak bisa tidur, ia memikirkan lukisan
Perempuan Tersenyum miliknya, mulutnya tak henti-hentinya memanjatkan
doa. Dan entah Tuhan mengabulkan doanya, kebetulan, atau memang takdir
atau apapun kamu menyebutnya, lukisan itu kini berada tepat
dihadapannya. Lukisan itu tergeletak begitu saja di tempat sampah
pelabuhan. Sungguh heran, hanya bagian bibirnya saja yang hilang,
sisanya masih utuh dan masih indah meski ada yang kurang tanpa senyuman
itu. Orang gila macam apa yang nekat mencuri di istana hanya untuk mengambil bibir itu? Pikirnya.
Gali membawanya pulang. Meletakannya di bawah tempat tidur. Gali
berjanji tak akan kehilangan lukisan itu untuk kedua kali....
Kini Gali muda
sudah tua, Punggungnya sudah tidak lagi tegap, susah payah pula ia
menopang tubuh ringan-kurus itu, benar terasa sudah tidak lagi ringan.
Tetapi ajaib, ketika menceritakan kisah itu padaku di temani lukisan
Perempuan Tersenyum yang kini bibirnya sudah ada pada tempatnya lagi, ia
nampak lebih muda.
“Kau pasti
bertanya-tanya, bagaimana bibir yang sedang tersenyum itu kini berada di
lukisan ini lagi, bukan? Lukisan perempuan yang bahkan tak ku ketahui
namanya ini…” kek Gali seolah mampu membaca pikiranku, ia melanjutkan
“Pada suatu
hari, kapal kami berlayar ke sebuah negeri yang jauh. Sesampainya di
sana, entah kenapa aku ingin mengunjungi rumah ibadah. Mungkin rindu,
entahlah….aku memasuki rumah ibadah dekat pelabuhan, belum sempat aku
berdoa sampai kedua mataku tertuju pada sebuah kotak kaca di sudut ruang
peribadahan itu. Terkejutlah aku, di sana, di dalam sebuah kotak kaca,
senyum itu mengembang cantik sekali, ditemani ayat-ayat pengusir roh.
“Aku heran,
bagaimana mungkin senyum seindah ini di tuduh mengandung roh jahat.
Apakah mereka buta? Jadi ku pikir, percuma bila bibir yang sedang
tersenyum itu diletakkan di sana hanya untuk ditakuti saja. Mungkin
menurut mereka senyum itu misterius dan memiliki maksud tersirat, sebab
di atas kotak kaca itu terdapat tulisan 'Senyum Iblis'. Entah bagaimana
mereka menafsirkannya, padahal, aku sendiri yang menempelkan senyum itu
dulu, tidak bermaksud apa-apa…aku hanya ingin mengabadikannya dan tidak
mau senyuman terindah itu lenyap di makan belatung atau cacing tanah.”
Kek Gali menatapku,
“Dan ya, harus ku akui mungkin caraku salah…”
Matanya mendelik. Ia mengambil sebatang rokok lagi, kemudian membakarnya.
“Ku lukis
sebuah kotak kaca lengkap dengan ayat-ayat pengusir roh dan bibir yang
sedang tersenyum, meski senyum itu tak sama persis, tak memiliki roh,
tapi aku yakin tak akan ada yang menyadarinya. Sebab lukisan kotak kaca
itu sama persis kecuali bibir yang sedang tersenyum itu. Ah, andai saja
aku mampu melukiskan senyum itu dengan baik, tak mungkin aku harus
mencuri bibir pemiliknya dulu, dan itu mungkin dosa terbesarku.”
Tehnya sudah tak lagi hangat, asapnya sudah pergi beberapa menit yang lalu. Kek Gali tetap menikmatinya. Sama saja.
“Setelah aku
berhasil menyelundupkannya ke kapal, aku kembali lagi ke rumah ibadah
itu. Memohon ampun, ah, begitulah manusia bukan? Setelah menyadari
kesalahan yang mereka lakukan, mereka mengiba, memohon ampun pada Tuhan.
Entah Tuhan mengampuni atau tidak, manusia hanya tahu Tuhan maha
pengampun...dan senyuman ini, nak” matanya menatapku tajam, “ia tak
memiliki kekuatan sihir. Seperti senyuman yang lain, ia bisa memperkaya
orang yang melihatnya tanpa membuat miskin orang yang memberikan senyum.
“Senyuman tak
bisa di beli, anakku, meski Raja Hobes I sanggup membeli ratusan budak
untuk dijadikan pembantunya, ia tak akan pernah bisa membeli senyuman.
Senyuman tak bisa dipinjamkan, apalagi disewakan, senyuman hanya bisa di
bagi…”
Rumah ini
dibalut penuh oleh udara yang bercampur wangi kayu, juga wangi cat
minyak. Aroma yang sama sejak kali pertama kek Gali memutuskan untuk
tinggal di sini bertahun-tahun yang lalu, ah tentu saja, sudah sangat
kuhapal benar baunya, Tidak hanya aku, patung-patung yang lain juga
pastilah sangat hapal benar wangi ini. Wangi yang sejak kami di ciptakan
oleh kek Gali sudah seperti ini. Matahari tak akan pernah meninggi, tak
akan pula benar-benar tenggelam. Ia akan tetap di sana, antara timbul
dan tenggelam. Tertahan di posisi itu. Tak ada yang pernah bilang bahwa
lukisan bisa menenggelamkan seseorang.
***
Lukisan
Langit....Lukisan Mpok Sirem Si Rentenir. Lukisan Istana Raja Hobes I.
Lukisan Raja Hobes I. Lukisan Kereta Kuda. Lukisan Jembatan. Lukisan
Desa Althea. Lukisan.... Lukisan.... Lukisan....
Mata pemuda itu terbuka, dihadapannya masih terpampang sebuah lukisan cat minyak. Lukisan seorang lelaki tua sedang duduk menikmati senja sambil menikmati teh dan sebatang rokok terselip di jarinya,
sebuah patung anak kecil di sebelah kanannya dan lukisan perempuan
tersenyum di sebelah kirinya. Si lelaki tua kelihatan sedang berbincang
sendiri. Tiga cangkir teh tersaji di atas meja kayu. Wajah lelaki tua
itu kelihatan sangat bahagia. Dan mata patung anak kecil yang melihat
ke arahnya...pemuda itu baru menyadari apa yang terjadi barusan, antara
mabuk dan sakit jiwa memang sulit dibedakan, tetapi ia sangat yakin. Lukisan itu bercerita padanya.
Dengan ragu, pemuda itu mendekat untuk membaca nama pelukisnya…Sugali.
@sbdrmnd|http://manuskriphujan.blogspot.com/2012/03/sugali.html
No comments:
Post a Comment