Oleh: @tiaraahere
Aku masih disini, sendiri di tempat yang sama sejak.. sejak daritadi. Maksudku daritadi adalah porsi waktu yang cukup lama. Ya, cukup lama. Duduk tanpa teman yang bisa diajak bercerita sudah biasa untuk ku. Aku bisa duduk nyaman berjam-jam tanpa siapapun dihadapanku ataupun disampingku. Bukan. Bukan tidak ada yang mau membuang sedikit waktunya untuk berbicara denganku, bukan juga karena aku tidak punya satupun teman disini. Hanya saja, aku lebih nyaman sendiri tanpa siapapun. Bukan berarti aku tidak ingin bergaul dengan yang lainnya, bukan ingin menjadi berbeda dan tak mau menjadi bersosialisasi seperti yang lainnya. Aku hanya, menikmati sepi tanpa hingar, aku juga tidak begitu menyukai keramaian. Aku lebih menikmati duduk sendiri dengan membaca buku daripada mengobrol soal pacar ataupun sale di mall dengan teman-teman perempuanku. Anehkah ? entahlah.
Aku
melihat jam tanganku, 18 menit lagi tepat satu jam aku duduk disini.
Tebak berbuat apa ? hanya untuk memandangi orang itu dari titik yang
(lumayan) dekat dengannya. Bodohkah memandangi seseorang selama hampir
satu jam hanya untuk melepas rindu ? entahlah.
Jadi, #CeritaHariIni masih tentang “Rindu”.
Biasanya
aku duduk disini ditemani sebuah buku. Hari ini tidak, aku
mendedikasikan waktuku kali ini hanya untuk melihatnya. Sudah 2 hari aku
tidak bertemu dengannya. Entahlah, aku mencarinya tapi dia seperti
menghilang. Dan kali ini ada kesempatan bertemu dengannya, tentu saja
aku tidak akan melewatkannya. Tidak sekalipun. Karena aku, merindunya.
Seperti rindu tanah kering pada hujan yang tak kunjung datang.
Sudah
42 menit yang kulakukan hanya terus memandanginya, melihatnya berbicara
dengan orang itu. Mengamati cara dia bertutur kata, cara dia tersenyum
dan tertawa dengan orang itu. Tidak apa dia bukan disampingku, tidak apa
dia bukan milikku. Asal setiap aku memandang mencarinya titiknya, aku
selalu menemukannya, asal setiap aku berbalik belakang, dia selalu ada
disitu. Itu sudah cukup. ya cukup.
Bukankah cinta tidak selalu saling memiliki ?
Aku masih melamun, seperti terkena hipnotis olehnya, oleh gerak-geriknya.
“DHEG. DHEG. DHEG”
Kurasakan
debar yang hampir tak bisa kubendung. Dia. akhirnya memandang ke
arahku, dengan senyum dan lambaian tangan khasnya. Aku kaget, lamunanku
buyar. Sekarang aku pasti terlihat bodoh didepannya.
Senyum itu yang selalu membuatku luluh, yang selalu membuatku tak bisa selalu tepat akan membalas apa. Senyumnya seperti sihir. Sihir Cinta.
Aku
akhirnya membalas senyumnya dengan sedikit wajah yang entah seperti apa
sekarang. Tidak bisakah dia mengatakan terlebih dahulu bahwa dia ingin
tersenyum padaku ? hanya agar aku bisa menyiapkan balasan seperti apa
yang paling tepat. Ha-ha-ha gila. Aku pasti sudah gila.
Setelah melemparkan senyuman maut kepadaku, ia kembali berpaling pada orang didepannya, kembali dengan cerita mereka.
Aku hanya bisa memandanginya lagi, menyisakan senyum khas di bibirku.
Andai aku yang ada disana, didepannya. Tapi kenyataan menyadarkanku, bahwa disinilah aku.
Bagiku,
untuk orang dewasa, senyum tidak selalu berarti bahagia. Orang dewasa
yang tersenyum bisa saja untuk menutupi segala bentuk rasa kecewa, sedih
atapun rasa sakit. Tersenyum seperti itu rasanya menyakitkan, aku tau
pasti rasanya. Sebab sejak menaruh perasaan ini padanya, aku sering
melakukannya. Tidak peduli ada seberapa sakit luka dibaliknya, aku tetap
tersenyum. Selalu seperti itu.
Kalian tahu apa yang paling menyedihkan dari sebuah senyuman ?
Pertama
adalah menyadari bahwa kalian tidak benar-benar ingin tersenyum. Dan
yang kedua adalah luka tak terjelaskan dibalik senyum itu sendiri.
Semoga
nanti, entah kapan, akan ada ruang untukku dan cintakku di dalam
hatinya. Hingga aku akan tersenyum kepadanya, layaknya makna senyum yang
sebenar-benarnya. Senyum bahagia.
Gimana kirim cerpen ke plotpoint, ya? :)
ReplyDelete