Oleh: @deapeni
Aku melihat lagi kerlingan mata cokelat tua yang membara di antara bulu-bulu mata yang lentik dan panjang, alis yang tebal dan senyum yang melukis cita-cinta harapan yang dia sembunyikan ragu-ragu , sedih dan malu. Sekilasku tatap wajahnya sekali lagi sebelum berpisah untuk jangka waktu yang tidak dapat ku pastikan.
“Dara, apa kau yakin dengan pilihan-mu? Ku rasa kau terlalu cepat mengambil keputusan.” Kataku sebagai sahabat baiknya.
“Aku
sudah memikirkannya lama, Ernes. Anak ini… Anak ini bukan dosa, bahkan
disaat ini terjadi tanpa cinta.” Dara mengelus perutnya yang masih rata,
namun aku tahu jauh di dalamnya ada bayi tanpa dosa yang suatu hari
akan membuat Dara menangis tiada henti dan menyesalinya.
“Tidak,
Dara. Aldo tidak mencintai-mu dan dia tidak akan bertanggung jawab atas
semua hal yang terjadi padamu. Tolong Dara, sekali ini saja buang sifat
pembangkang-mu. Dengar kan aku, Dara! Dengarkan aku!” Pintaku sambil
meraih tangannya yang lembut.
Dara
menggeleng dan mencoba melepaskan tanganku darinya. “Ernes, kau
laki-laki yang baik. Kelak kau akan mendapatkan seseorang yang yang akan
tulus mendengarkanmu. Tapi bukan aku.” Ia berkata pelan, air matanya
turun perlahan.
“Kau masih 20 tahun. Jalanmu masih panjang, dan bayi ini kelak akan menghambatmu.” Kataku sinis.
“Tidak. Aku percaya, suatu hari nanti, ia kan membawa senyum sejuta warna, untukku dan untuk orang lain.”
“Tapi
kau akan malu… bahkan laki-laki itu tidak akan bertanggung jawab sama
sekali atas…” Ucapanku terputus, Dara menggenggam tanganku erat.
“Aku akan bahagia. Dengan atau tanpa Aldo.”
Itulah
terakhir kalinya aku menatap wajah cantik Dara. Sore itu di Semarang,
waktu aku masih duduk di tingkat pertama kuliah. Aku tak pernah bertemu
Dara dan sungguh akupun kehilangan kontak dengannya. Terakhir ku dengar
dia pulang ke kampung halamannya di Manado dan aku tidak tahu pasti
kemana dia.
#CeritaHariIni
bermula 20 tahun sejak perpisahanku dengan Dara. Aku mentap kota
Jakarta dari atas gedung tempat kerjaku dan mengingat kembali
kisah-kisah tentang aku dan sahabatku yang diam-diam aku cintai.
Senja
menanungiku dengan sinarnya yang nila dan ungu. Tiba-tiba seorang
laki-laki, pegawai baru berdiri di sampingku dan menyalakan rokoknya dan
kemudian menghembuskannya.
“Pak Ernes, ini pemandangan yang bagus ya, Pak.” Katanya.
Aku tersenyum pada pegawai baru itu. Ia pindahan dari cabang di Manado.
“Eh, kok kamu tau tempat ini?” Tanyaku bingung. Setahuku, hanya aku dan beberapa teman akrab-ku yang tahu tempat ini.
“Kemaren
saya iseng-iseng Tanya ke OB, soalnya kata Ibu saya, pemandangan
Jakarta itu bagus kalo sore apalagi kalau dilihat dari atas gedung yang
tinggi.” Katanya sambil tersenyum.
Wajahnya begitu familiar dan sangat akrab di benakku.
“Almarhum Ibu saya suka sekali waktu senja. Saya juga.” Katanya lagi.
“Dulu saya juga punya teman yang suka sekali sama sore hari. Dulu waktu saya di Semarang.”
“Oh, Bapak asli Semarang?!”
“Enggak, kuliah aja disana.” Kataku.
“Ibu saya juga dulu kuliah di Semarang, tapi gak sampe lulus.”
“Oh ya?”
“Mungkin dia setua bapak sekarang kalau masih hidup.”
Jantungku berdegup, aku semakin mengenali siluet anak ini. Hatiku menyebut nama seseorang yang sangat ku kasihi.
“Oh, ya? Jangan-jangan dia dari universitas yang sama kayak saya.” Kataku.
“Bisa jadi. Beliau tapi ambil Hukum di Universitas Diponegoro.”
“Saya juga lulusan Undip.” Kataku semakin terheran-heran ini sebuah kebetulan atau Tuhan yang memang menuntunku.
“Ah, universitas itu kan besar, belum tentu juga bapak kenal.”
“Betul juga. Omong-omong, kalau saya boleh tahu kenapa Ibu-mu bisa meninggal?”
“Tahun
lalu beliau meninggal karena kanker serviks. Sebelum dia tahu saya akan
ke Jakarta. Sepertinya dia meramal. Dia tahu saya akan kemana dan
menjadi apa. Kata Ibu, yang penting saya bisa menorehkan senyum di wajah
orang lain, itu sudah lebih daripada cukup.” Ceritanya dengan tegar dan
bijaksana.
“Jadi, sekarang kamu tinggal sama Ayah-mu?” Tanyaku tak yakin.
Tommy
hanya tersenyum tegar. “Saya gak pernah kenal ayah saya. Tapi yang saya
tau, Ibu sudah mengasuh saya lebih daripada saya punya tiga orang tua
sekaligus. Ibu orangnya baik, Pak.”
“Apa nama ibu-mu…”
“Dara Amelda.” Ucapan kami hampir berbarengan dan kami saling bertatapan dan tersenyum.
Aku
tahu jauh disana, diatas senja yang hampir gelap, ada seorang malaikat
tersenyum melihat kami. Dara akan selalu ada dihatiku, dan mengukir
senyum ditiap waktu-waktu yang menetes. Aku mencintai Dara, bahkan
sampai hari ini.
Tuntas
sudah kegalauan hatiku dan kini bahkan langit sudah beranjak gelap.
Bintang tersenyum malu-malu diatas bumi, seiring dengan pergolakan
waktu, Dara yang selalu penuh semangat dan cinta yang tercurah pada diri
Tommy, anaknya yang dikasihinya.
Aku tersenyum lagi pada Tommy dan segera menghabiskan puntung rokok yang terakhir.
Jakarta, Maret 2012
No comments:
Post a Comment