Sunday, March 25, 2012

Senja


Oleh: @deapeni 



Aku melihat lagi kerlingan mata cokelat tua yang membara di antara bulu-bulu mata yang lentik dan panjang, alis yang tebal dan senyum yang melukis cita-cinta harapan yang dia sembunyikan ragu-ragu , sedih dan malu. Sekilasku tatap wajahnya sekali lagi sebelum berpisah untuk jangka waktu yang tidak dapat ku pastikan.

“Dara, apa kau yakin dengan pilihan-mu? Ku rasa kau terlalu cepat mengambil keputusan.” Kataku sebagai sahabat baiknya.

“Aku sudah memikirkannya lama, Ernes. Anak ini… Anak ini bukan dosa, bahkan disaat ini terjadi tanpa cinta.” Dara mengelus perutnya yang masih rata, namun aku tahu jauh di dalamnya ada bayi tanpa dosa yang suatu hari akan membuat Dara menangis tiada henti dan menyesalinya.

“Tidak, Dara. Aldo tidak mencintai-mu dan dia tidak akan bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi padamu. Tolong Dara, sekali ini saja buang sifat pembangkang-mu. Dengar kan aku, Dara! Dengarkan aku!” Pintaku sambil meraih tangannya yang lembut.

Dara menggeleng dan mencoba melepaskan tanganku darinya. “Ernes, kau laki-laki yang baik. Kelak kau akan mendapatkan seseorang yang yang akan tulus mendengarkanmu. Tapi bukan aku.” Ia berkata pelan, air matanya turun perlahan.

“Kau masih 20 tahun. Jalanmu masih panjang, dan bayi ini kelak akan menghambatmu.” Kataku sinis.
“Tidak. Aku percaya, suatu hari nanti, ia kan membawa senyum sejuta warna, untukku dan untuk orang lain.”
“Tapi kau akan malu… bahkan laki-laki itu tidak akan bertanggung jawab sama sekali atas…” Ucapanku terputus, Dara menggenggam tanganku erat.
“Aku akan bahagia. Dengan atau tanpa Aldo.”

Itulah terakhir kalinya aku menatap wajah cantik Dara. Sore itu di Semarang, waktu aku masih duduk di tingkat pertama kuliah. Aku tak pernah bertemu Dara dan sungguh akupun kehilangan kontak dengannya. Terakhir ku dengar dia pulang ke kampung halamannya di Manado dan aku tidak tahu pasti kemana dia.

#CeritaHariIni bermula 20 tahun sejak perpisahanku dengan Dara. Aku mentap kota Jakarta dari atas gedung tempat kerjaku dan mengingat kembali kisah-kisah tentang aku dan sahabatku yang diam-diam aku cintai.

Senja menanungiku dengan sinarnya yang nila dan ungu. Tiba-tiba seorang laki-laki, pegawai baru berdiri di sampingku dan menyalakan rokoknya dan kemudian menghembuskannya.

“Pak Ernes, ini pemandangan yang bagus ya, Pak.” Katanya.
Aku tersenyum pada pegawai baru itu. Ia pindahan dari cabang di Manado.
“Eh, kok kamu tau tempat ini?” Tanyaku bingung. Setahuku, hanya aku dan beberapa teman akrab-ku yang tahu tempat ini.
“Kemaren saya iseng-iseng Tanya ke OB, soalnya kata Ibu saya, pemandangan Jakarta itu bagus kalo sore apalagi kalau dilihat dari atas gedung yang tinggi.” Katanya sambil tersenyum.

Wajahnya begitu familiar dan sangat akrab di benakku.

“Almarhum Ibu saya suka sekali waktu senja. Saya juga.” Katanya lagi.
“Dulu saya juga punya teman yang suka sekali sama sore hari. Dulu waktu saya di Semarang.”
“Oh, Bapak asli Semarang?!”
“Enggak, kuliah aja disana.” Kataku.
“Ibu saya juga dulu kuliah di Semarang, tapi gak sampe lulus.”
“Oh ya?”
“Mungkin dia setua bapak sekarang kalau masih hidup.”
Jantungku berdegup, aku semakin mengenali siluet anak ini. Hatiku menyebut nama seseorang yang sangat ku kasihi.
“Oh, ya? Jangan-jangan dia dari universitas yang sama kayak saya.” Kataku.
“Bisa jadi. Beliau tapi ambil Hukum di Universitas Diponegoro.”
“Saya juga lulusan Undip.” Kataku semakin terheran-heran ini sebuah kebetulan atau Tuhan yang memang menuntunku.
“Ah, universitas itu kan besar, belum tentu juga bapak kenal.”
“Betul juga. Omong-omong, kalau saya boleh tahu kenapa Ibu-mu bisa meninggal?”
“Tahun lalu beliau meninggal karena kanker serviks. Sebelum dia tahu saya akan ke Jakarta. Sepertinya dia meramal. Dia tahu saya akan kemana dan menjadi apa. Kata Ibu, yang penting saya bisa menorehkan senyum di wajah orang lain, itu sudah lebih daripada cukup.” Ceritanya dengan tegar dan bijaksana.
“Jadi, sekarang kamu tinggal sama Ayah-mu?” Tanyaku tak yakin.
Tommy hanya tersenyum tegar. “Saya gak pernah kenal ayah saya. Tapi yang saya tau, Ibu sudah mengasuh saya lebih daripada saya punya tiga orang tua sekaligus. Ibu orangnya baik, Pak.”
“Apa nama ibu-mu…”
“Dara Amelda.” Ucapan kami hampir berbarengan dan kami saling bertatapan dan tersenyum.

Aku tahu jauh disana, diatas senja yang hampir gelap, ada seorang malaikat tersenyum melihat kami. Dara akan selalu ada dihatiku, dan mengukir senyum ditiap waktu-waktu yang menetes. Aku mencintai Dara, bahkan sampai hari ini.

Tuntas sudah kegalauan hatiku dan kini bahkan langit sudah beranjak gelap. Bintang tersenyum malu-malu diatas bumi, seiring dengan pergolakan waktu, Dara yang selalu penuh semangat dan cinta yang tercurah pada diri Tommy, anaknya yang dikasihinya.
Aku tersenyum lagi pada Tommy dan segera menghabiskan puntung rokok yang terakhir.

Jakarta, Maret 2012

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan