Oleh: @WahyuSN
Pagi ini aku sudah duduk manis di kursi angkot. Ada di sebelah pak sopir yang kali ini seorang bapak berusia sekitar medio 50 tahun. Satu persatu penumpang yang menanti di pinggir jalan, naik dan duduk berjejer rapi. Tak butuh waktu lama, angkot terisi penuh.
“Selalu penuh ya, Pak?” Aku membuka suara.
“Kalo jam segini memang iya, Mbak. Jam berangkat dan pulang kantor, juga sekolah. Tapi yang sering sih, banyak kosongnya.”
Dia tersenyum. Aku mengangguk-angguk. Angkot masih berjalan. Penumpang naik turun naik silih berganti.
“Terus kalau kosong gimana, Pak?”
“Ya…sedapatnya, Mbak. Mau gimana lagi.”
“Rugi bensin, dong.”
“Kalau nggak jalan, juga nggak dapat apa-apa.”
Dia tersenyum. Aku hanya bisa menghela nafas. Seorang penumpang
turun. Membayar ongkos. Pak sopir menerima sembari tersenyum dan berucap
terima kasih. Angkot kembali melaju.
“Mbak kuliah?”
“Iya, Pak.”
“Nggak bawa kendaraan sendiri?”
“Enggak, Pak. Saya disini kost. Nggak bawa kendaraan. Dari kost
sampai kampus cuma satu kali angkot. Lagipula kalau bawa kendaraan
sendiri malah capek. Macetnya itu lho…”
Dia tersenyum. Angkot berhenti. Seorang ibu naik seorang diri. Tak lama, roda kembali berputar.
“Jadi ramenya cuma jam berangkat dan pulang kantor, Pak?”
“Iya, Mbak. Yaa…sama kalau hari Minggu atau libur. Kan trayek angkot ini lewat tempat pariwisata. Lumayanlah…”
Si bapak kembali tersenyum sambil menyebut salah satu tempat wisata tepi laut.
“Kadang juga suka ada yang carter. Ibu-ibu pengajian, atau rombongan
keluarga, rombongan anak sekolah. Bahkan ada yang jadi kendaraan antar
jemput buat pegawai-pegawai di mall.”
Aku manggut-manggut. Angkot berhenti. Seorang laki-laki menyodorkan
uang dua puluh ribu rupiah. Pak sopir menggeleng, tak punya kembalian,
lalu merelakan sang penumpang tidak membayar. Angkot kembali berjalan.
“Nggak apa-apa, Pak?”
“Maksud, Mbak?”
“Itu tadi. Nggak bayar.”
Dia tersenyum.
“Dia sudah niat bayar. Tapi saya nggak punya kembalian. Saya yang salah. Jadi ya nggak apa-apa.”
“Nanti yang lain ikut meniru, Pak.”
Dia tersenyum lebar.
“Moga-moga sih enggak ya, Mbak.”
Angkot masih melaju.
“Kalau sering sepi penumpang, setorannya gimana, Pak?”
“Untungnya angkot ini punya saya sendiri, Mbak. Jadi mau dapat rejeki
berapapun, nggak terlalu pusing. Kalau dibandingkan sopir lain yang
bawa angkot orang lain, mereka pasti bingung kalau sepi penumpang.
Setoran nggak penuh, nggak ada juga rejeki yang dibawa pulang.”
“Waa…jadi bapak santai-santai aja dong…”
Dia tertawa.
“Nggak juga, Mbak. Kalau santai nanti nggak dapat rejeki. Keluarga di kasih makan apa?”
“Tapi setidaknya bapak nggak pusing soal setoran. Kan angkotnya punya sendiri.”
“Iya, sih. Angkot dibawa sendiri juga biar awet, Mbak. Kadang kalau
dibawa orang lain suka nggak terawat. Bawanya juga ugal-ugalan.”
Masuk akal.
Tak terasa, kampus sudah di depan mata. Aku mengulurkan uang pas padanya.
“Terima kasih lho, Mbak. Rejeki kami ini lewat orang-orang yang masih
mau naik angkot seperti mbak. Coba kalau semua orang bawa kendaraan
sendiri. Dari mana lagi kami bisa dapat uang?”
Nelangsa dengarnya. Walau pak sopir berujar sambil tersenyum hangat.
Semoga rejekinya selalu sehangat senyumnya. Senyum yang tak lekang oleh
himpitan hidup. Senyum syukur atas pemberian Nya.
Demikian cerita hari ini milikku. Yang mengingatkanku untuk selalu bersyukur atas segalanya.
No comments:
Post a Comment