"Bawa buku ini, kemanapun Anda pergi. Jadikan ia sebagai pengingat, bahwa nyawa mimpi kita tergantung seberapa besar semangat kita untuk mencapainya" - Pandji Pragiwaksono (Musisi, Komika, penulis buku Nasional.Is.Me dan Berani Mengubah)
“Di saat kita sering kali dihujani badai pesimisme terhadap bangsa dan negara, Anak-anak Angin muncul dengan kehangatan dari kisah-kisah kecil yang tidak kita dengar setiap hari, tetapi justru akan selalu membekas di hati.” - Alanda Kariza (pendiri Indonesian Youth Conference, penulis Dream Catcher)
"Bawa buku ini, kemanapun Anda pergi. Jadikan ia sebagai pengingat, bahwa nyawa mimpi kita tergantung seberapa besar semangat kita untuk mencapainya" - Pandji Pragiwaksono (Musisi, Komika, penulis buku Nasional.Is.Me dan Berani Mengubah)
“Di saat kita sering kali dihujani badai pesimisme terhadap bangsa dan negara, Anak-anak Angin muncul dengan kehangatan dari kisah-kisah kecil yang tidak kita dengar setiap hari, tetapi justru akan selalu membekas di hati.” - Alanda Kariza (pendiri Indonesian Youth Conference, penulis Dream Catcher)
Ini adalah satu cerita dari buku Anak-anak Angin, dari keping perjalanan Bayu Adi Persada seorang Pengajar Muda angkatan pertama Gerakan Indonesia Mengajar di Desa Bibinoi, Halmahera Selatan. Buku ini adalah buku catatan selama setahun mengajar pertama yang ditulis secara utuh oleh seorang Pengajar Muda.
oleh: Bayu Adi Persada (@adipersada)
fotografer: Edward Suhadi (@edwardsuhadi)
Bau Bangkai
Seperti bangkai, kecurangan yang disembunyikan lama kelamaan akan tercium juga baunya. Ketika sudah tercium, tak ada lagi rasa simpati. Bangkai hanya meninggalkan jijik dan keengganan untuk kita menyaksikannya. Apalagi untuk mendekatinya. Walaupun begitu, jikalau ada bangkai di rumah kita, pasti harus kita singkirkan agar baunya tidak cepat menyebar dan kita terhindar dari penyakit yang disebabkan ribuan bakteri yang hidup di dalamnya.
Bagaimana kalau bangkainya banyak? Banyak pula orang yang sengaja menyimpannya tanpa membuangnya? Tugas semakin berat. Bau busuk sudah menyengat. Kita sibuk membereskan bangkai yang satu, sedang bangkai-bangkai lain masih tercium jelas busuknya. Situasi yang pelik.
Sebagai insan yang memegang teguh paham ilahiah, penting bagiku untuk terus menjaga keyakinan. Aku yakin bahwa semua akan baik pada waktunya, walaupun hati terus menyimpan pertanyaan besar. Kapan?
**
Seminggu dua kali aku mengajar anak-anak Pondok Pesantren. Pelajarannya Matematika, salah satu pelajaran favoritku waktu SMA dulu. Karena mereka jurusan IPS, materi Matematikanya masih dasar, tidak terlalu rumit seperti integral, kurva, dan lain-lainnya. Meskipun sudah lama sekali sejak terakhir kali mengerjakan soal Matematika (yang kuingat, kuliah semester tiga), tak terlalu lama buatku untuk mahir berenang lagi di dalamnya.
Jujur, pada awalnya cukup sulit mengajar mereka. Kemampuan dasar anak-anak itu masih sangat kurang. Maklum, sudah dua tahun ini pondok kekurangan guru pelajaran umum yang siap mengajar di kelas. Kalau guru agama sih, banyak. Di desa ini banyak ulama dan ustaz. Itu mengapa Ustaz Rahman, kepala sekolah Madrasah Aliyah, meminta agar aku dan Adhi membantu mengajar di sana. Kami tak keberatan. Selama bisa berbagi, kenapa harus menolak?
Tinggal dua bulan sebelum Ujian Nasional ketika pertama kali aku masuk kelas, tugas yang sama sekali tidak ringan untuk membantu mereka lulus ujian. Kelulusan memang ditentukan oleh sekolah masing-masing, tapi tetap saja nilai UN menentukan. Kalau nilainya di bawah batas tertentu, otomatis anak “masuk kotak”. Tantangan lain, tipe soal UN dijadikan lima jenis. Berarti, dalam satu kelas, ada lima soal berbeda. Secara logis cara ini sangat mungkin meminimalisasi kecurangan.
Sudah dua tahun mereka tidak belajar Matematika. Perkalian dan pembagian masih banyak yang belum hafal. Penjumlahan dan pengurangan terkadang masih salah. Empat kemampuan dasar itu jauh dari mumpuni. Aku harus sabar dan telaten mengajar. Konsekuensinya, aku mesti menambah jam belajar dan mengurangi waktu istirahat siang. Bagaimanapun, aku percaya hal itu layak dilakukan.
Aku sempat marah suatu kali ketika hanya sedikit orang yang datang di kelas. Kebanyakan dari mereka masih tidur siang. Aku emosional sekali karena mereka seperti meremehkan hal besar yang akan datang, UN, sebuah penentuan untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Aku mempertanyakan komitmen dan keinginan mereka untuk lulus.
Malamnya mereka berbondong-bondong datang ke rumah untuk meminta maaf. Setelah itu, alhamdulillah mereka jauh lebih semangat dan antusias, walaupun masih sangat kesulitan. Aku sangat menghargai semangat mereka.
Minggu berganti bulan, waktu semakin dekat ke Ujian Nasional. Kemampuan beberapa orang, seperti Udin, Tabrani, dan Nahwa, jauh meningkat. Mereka sudah bisa mengerjakan persamaan suku banyak, turunan, dan limit. Namun masih banyak anak lain yang jauh dari siap. Aku pun sampai bingung bagaimana mengajar mereka. Entah saranku untuk belajar di luar jam kelas dilaksanakan atau tidak. Yang jelas, tidak ada perubahan signifikan bagi beberapa orang. Sebut saja Lutfi, Ahmad, Isra, Mu’min, dan Arnawi yang bahkan belum hafal perkalian.
Seminggu sebelum Ujian Nasional, sebagian besar kelas III mengikuti STQ (Seleksi Tilawatil Quran) di Desa Saketa, dua jam perjalanan laut dari Bibinoi. Ini acara besar kabupaten. Banyak anak kelas III menjadi andalan desa untuk mewakili kabupaten di tingkat provinsi. Jika menang di tingkat provinsi, mereka akan dikirimkan ke acara maha besarnya, MTQ, di Jakarta. Alhasil, dari dua belas anak kelas III, yang tersisa hanya enam orang.
Kebetulan anak kelas III yang tinggal di desa adalah mereka yang belum siap ujian menurut penilaianku. Jadi, dua hari sebelum ujian, kuberi mereka materi untuk mematangkan kembali kemampuan dasar. Meskipun saat aku menyudahi pelajaran masih ada kekurangan di sana-sini, tak masalah, yang terpenting mereka sudah berusaha mengerti.
Puncaknya, pada H-1 sebelum Ujian Nasional Matematika, kuminta mereka berkumpul pada siang hari untuk mendapatkan materi terakhir. Aku memberikan kilas balik dari apa yang sudah dipelajari. Aku tidak mengajarkan semua materi yang keluar di ujian. Dari awal, aku menargetkan mereka untuk benar minimal 16-18 nomor saja dari 40 soal. Jika berhasil, mereka akan dapat nilai 4,0-4,5, yang berarti lolos dari lubang jarum.
Hari itu aku benar-benar menghabiskan waktu istirahat untuk mengajar mereka. Dari siang, selepas sekolah dan makan siang, aku langsung berangkat ke pondok. Mengajar sampai menjelang Magrib. Kemudian mengajar lagi setelah Isya.
Pelajaran hari itu berakhir pukul 11 malam. Aku merasa sudah melakukan apa yang aku bisa untuk membantu mereka lulus. Aku meminta mereka banyak-banyak berdoa. Pesanku, jangan lupa salat malam agar dimudahkan untuk menjawab soal dan coba lihat lagi apa yang sudah diajarkan agar pikiran kembali segar saat dihadapkan dengan soal-soal. Aku menutup kelas dengan berkata semoga apa yang kuajarkan dapat bermanfaat untuk mereka.
Pukul 11 malam aku sudah amat lelah. Sesampai di rumah, aku tak bisa tidur karena sebelum mengajar tadi minum kopi. Aneh, badan tidak bisa dikompromikan tapi pikiran masih melayang ke mana-mana. Salah satu pikiranku, apakah anak-anak itu bisa menjawab soal besok? Di dalam hati, aku meminta kepada Tuhan untuk memberikan mereka mukjizat.
Hari H pun tiba. Aku minta izin kepada Pak Adin untuk mengawas ujian di Pondok Pesantren lalu lekas berangkat ke lokasi ujian. Bangunannya tak jauh dari SDN Bibinoi, hanya dua ratus meter jaraknya. Di sana, aku bertemu Ustaz Ahmad, salah seorang guru Pondok Pesantren, yang sudah berada di dalam kelas. Di jadwal tertulis aku mengawas sendirian. Setelah aku masuk, Ustaz Ahmad beranjak keluar ruangan.
Anak-anak sudah mulai mengisi lembar jawaban. Mereka terlihat mengisi data dengan saksama, tak ingin meninggalkan celah kosong pada setiap bulatan. Lama sekali mereka mengisi data-data itu, lima belas menit lebih. Aku jadi tak tega mengambil waktu mereka untuk mengerjakan soal yang hanya dua jam. Akhirnya kuputuskan untuk menghitung waktu setelah mereka selesai mengisi printilan data.
Waktu mengerjakan soal dimulai. Buatku, ini adalah pembuktian sejauh mana aku berhasil mengajar anak-anak ini.
Aku sendiri mencoba membuat kunci jawaban dengan mengerjakan soal yang ada. Satu demi satu soal selesai hingga tak terasa sampai nomor 40. Aku sebenarnya tak menyangka bisa mengerjakan 38 soal dengan yakin benar. Wah, pikirku, ini bisa jadi acuan untuk memeriksa jawaban anak-anak nanti, gambaran nilai akhir bisa langsung didapatkan.
Tapi aku sedikit heran kenapa anak-anak itu terlihat tidak menghitung sama sekali. Mencorat-coret sedikit sekali, lembar soal mereka bersih. Padahal aku sudah mengizinkan mereka berhitung di atas lembar tersebut. Meskipun ada larangan mencoret lembar soal, aku tetap memberikan perintah itu. Pikirku, agar lebih praktis. Lagi pula lembar soal tidak dikumpulkan kembali dan menjadi milik sekolah.
Detik berganti menit, menit berganti jam. Mereka berhasil juga menyelesaikan semua soal yang ada. Menurutku, kualitas soal cukup baik. Artinya tidak terlalu sulit, tetapi tidak mudah juga dijawab. Cocok dengan kisi-kisi dan standar kompetensi lulusan. Tidak seperti soal Ujian Sekolah yang dibuat DisDik (Dinas Pendidikan) Kabupaten sebulan sebelumnya yang kacau-balau. Integral dimasukkan ke soal IPS.
Dalam asumsiku, mereka banyak menebak jawaban. Harapanku, mudah-mudahan tebakan mereka benar. Mukjizat itu benar adanya kok.
Sekali lagi aku heran ketika tak menemukan perhitungan yang komplet dari corat-coret semua anak pada lembar soal mereka. Hanya sepotong-sepotong saja. Paling hanya Udin dan Nahwa yang lembar soalnya paling “kotor”.
Anak-anak kuminta menyalin jawaban di selembar kertas. Maksudnya, agar aku bisa langsung memberikan gambaran nilai kasar kepada mereka. Aku sudah membuat kunci jawaban untuk soal dengan Kode 52. Di kelas, hanya Nasrun dan Mu’min yang mendapat soal dengan kode itu. Karena penasaran, sesaat setelah lembar jawaban mereka dikumpulkan, aku langsung memeriksa hasil pekerjaan mereka. Tak menaruh ekspektasi besar tapi bagaimanapun sangat berharap agar hasilnya baik.
Dan... alhamdulillah! Mereka mendapat angka di kisaran 5 dengan 20 soal benar. Jika hitunganku tepat, mereka pasti lulus.
Aku sangat bersemangat memberitahu mereka kabar baik ini. Siang itu juga aku langsung menyampaikan keyakinanku akan kelulusan mereka dalam ujian Matematika. Di luar dugaan, ekspresi mereka biasa saja. Hanya tersenyum dan ikut berkata, alhamdulillah. Ah, tak usah banyak prasangka, kataku dalam hati. Membuat mereka lulus saja sudah memberikan kebanggaan tersendiri untuk diri pribadi. Seperti yang kubilang, ini adalah pembuktian proses belajar
selama ini.
Setelah semua orang keluar, aku memberitahu Ustaz Rahman bahwa insya Allah sudah dua murid yang lulus ujian Matematika. Beliau sangat terkejut seraya senang dan bersyukur. Ekspresinya tidak dibuat-buat. Terlihat dari raut wajahnya. Tulus.
Di rumah, aku sangat bersemangat ingin memeriksa hasil ujian anak-anak lain. Sesampainya di kamar, aku langsung membuka berkas soal dan jawaban. Satu persatu kuperiksa. Nilai mereka luar biasa. Semuanya di atas lima. Senang sekali nilai mereka baik. Jauh lebih baik daripada bayanganku.
Akan tetapi, perasaan itu sedikit demi sedikit pudar. Antusiasmeku makin lama makin hilang tak berbekas. Ada indikasi kecurangan dari jawaban-jawaban mereka. Aku tertegun. Malu.
Dari sembilan orang yang kuperiksa, rata-rata nilainya sama, 5 sampai 6. Dengan jumlah benar 20-24 soal. Anehnya, jawaban mereka hampir 90% sama untuk soal-soal tertentu. Seperti sudah dihafalkan. Kalau menebak jawaban, masa sih, sama dengan jawaban teman? Selain itu, sepanjang ujian, aku mengawasi mereka dengan ketat.
Dugaan akan adanya kecurangan semakin kuat mengingat tingkah laku mereka tadi saat ujian. Pantas saja lembar soalnya bersih tak berbekas! Buat apa menghitung kalau sudah tahu jawabannya? Mereka sudah hafal soal dan jawaban.
Dengan adanya lima tipe soal di kelas dan fakta bahwa jawaban mereka sama untuk soal-soal tertentu, kuduga mereka sudah mendapatkan soal beserta jawabannya pada hari sebelumnya. Meskipun kode soal berbeda, sebenarnya isi soal sama, hanya dibedakan saja nomornya. Jadi, tinggal menghafal soal ini dan jawaban itu. Beres. Astaghfirullah.
Aku kecewa berat.
Setelah ujian, Ustaz Rahman sempat bercerita, Dinas Pendidikan menjual kunci jawaban sebesar 500 ribu rupiah pada setiap kepala sekolah. “Iuran” ini bersifat wajib. Namun, Ustaz Rahman bercerita bahwa dia bisa menghindari oknum tersebut dengan menitipkan berkas soal pada orang yang dia percayai. Saat itu aku percaya betul ucapan beliau. Kupikir, Ustaz Rahman bukan orang yang seperti oknum itu. Aku yakin beliau punya harga diri untuk menolak tindakan haram tersebut.
Sekarang aku tidak tahu siapa yang harus dipercayai. Aku amat yakin bahwa anak-anak sudah mendapatkan jawaban soal itu entah kapan. Aku berani mempertaruhkan segalanya untuk dugaanku ini. Bukan tanpa alasan. Aku punya bukti yang sahih. Masalahnya sekarang, dari mana mereka mendapatkan jawaban itu?
Aku tak tahu jawabannya. Aku hanya merasa kalah. Bodoh. Dikhianati. Dibohongi. Tak berguna. Lelah. Sia-sia.
Percuma selama ini menghabiskan waktu untuk mengajar mereka kalau akhirnya begini juga. Apa gunanya belajar siang malam, bahkan berdoa, kalau pada akhirnya mereka pasti lulus? Tak perlu belajar, tak perlu berdoa, mereka pasti akan dibantu.
Aku tak sanggup lagi memeriksa sisa ujian itu. Aku bahkan tak sudi lagi melihat tumpukan lembar jawaban dan soal itu. Benar-benar merasa ditipu. Dalam bayanganku, saat malam terakhir memberi pesan pada mereka, mungkin dalam hati mereka berkata, “Terserah deh! Bapak kan nggak tahu apa-apa.”
**
Ibaratnya aku mencoba membuang bangkai di rumah mereka, tapi justru mereka sendiri yang mencegah bangkai itu disingkirkan, hingga rumah semakin kotor dan bau.
Dengan berat hati, aku masih berani percaya semuanya akan baik pada waktunya. Akan tetapi, kapan adalah pertanyaan yang hanya Tuhan yang tahu jawabannya.
19 April 2011
“Dedikasi anak negeri, untuk anak negeri. Sangat membangun!” - Abdul Gofar Hilman (Penulis Kotbah Timeline, Penyiar radio 87.6 Hard Rock FM Jakarta)
“Pernah terpikir untuk menuruti kata hati yang dinilai orang lain sebagai ide yang absurd? Bacalah buku ini dan lakukan! Buatlah lembaran-lembaran hidupmu semenarik lembaran-lembaran buku ini.” - Sammy Bramantyo (Bassis Seringai, penyiar 98.7 Gen FM Jakarta)
***
Bau Bangkai adalah salah satu kepingan cerita dari buku Anak-Anak Angin yang ditulis oleh Bayu Adi Persada yang akan terbit pada bulan Mei 2013.
Sinopsis
Nasib membawa Bayu dari rasa kalah karena ditolak oleh perusahaan multinasional ke Desa Bibinoi di Halmahera Selatan. Di sini dia bertemu dengan anak-anak angin: anak-anak SD yang sedang belajar bahwa kebanggaan harus diperjuangkan.
Namun bukan cuma mereka yang belajar. Bayu juga belajar banyak dari mereka. Dia belajar bahwa niat baik dan kekerasan hati saja tak cukup untuk mengubah keadaan. Belajar bahwa solusi hidup bukanlah kata-kata motivasi, tapi tindakan nyata, meski sesederhana menghentikan tangis salah seorang anak terpintar di kelas 3 yang frustasi karena tak bisa menulis huruf 'a' kecil.
Bayu akhirnya menghadapi masalah-masalah baru dalam hidupnya. Bukan cuma anak yang tak bisa membaca dan bandel, tapi juga keadaan masyarakat serta sistem pendidikan yang memungkinkan celah penyelewengan.
Ini adalah sebuah wajah pendidikan kita. Ini adalah sebuah cerita dari anak-anak yang tak muncul dalam berita. Ini adalah catatan seorang anak muda yang belajar bahwa hidup tak boleh sekadar mengikuti arah angin nasib.
No comments:
Post a Comment