Thursday, October 4, 2012

[Cerita Spesial] Blue Romance: A Farewell To A Dream

Oleh: Sheva (@dearsheva)

Ilustrasi: Diani Apsari (@dianiapsari)


Americano: Espresso dan air panas yang biasanya dicampur dalam jumlah yang sama. Americano diciptakan oleh tentara Amerika saat Perang Dunia I, yang menambahkan air panas untuk mengurangi kuatnya rasa espresso tradisional. 


AMERICANO di depan mataku sudah mendingin. Sudah lama aku duduk di kursi kayu ini, mencoba merangkai kata-kata untuk diucapkan di depan perempuan bermata indah tersebut. Hari ini, ia berjanji akan menemuiku di Blue Romance. Coffee shop favorit kami.
Tempat beratmosfer vintage dengan kaca-kaca besar penuh tulisan cantik yang meneriakkan menu-menu andalan coffee shop di dekat stasiun ini, adalah rumah kedua bagiku. Buka 24 jam. Menyediakan chicken parmagiana terenak yang pernah kucoba, juga americano terenak. Mirip dengan restoran favoritku di Paris, La Fourmi Ailée---yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama saat aku meliput berita di ibukota yang romantis itu. Aku tidak menyangka ada tempat sedahsyat ini di Jakarta.
Aku selalu bertanya-tanya, mengapa nama tempat ini Blue Romance? Namanya bernuansa sedih, padahal tempatnya penuh dengan tawa. Buku-buku tua di rak unik berjajar di salah satu sisi dinding, telepon tua dan gramofon diletakkan dekat karung-karung kopi yang menambah kentalnya harum kopi di ruangan, musik jazz dari Griffith Frank mengalun sayup-sayup.
Renyah tawa dari beberapa rekan bisnis menyeruak dari pojokan ruangan berkaca untuk area outdoor. Dinding-dinding coffee shop ini penuh gambar lucu, lukisan-lukisan karya pelukis amatir, pajangan-pajangan seperti kaktus mini, penjepit kertas-kertas berisi puisi berbentuk pot-pot kecil di rak buku.
Ada satu set teko lengkap warna merah dan biru yang menghiasi rak pajangan berbentuk kotak-kotak geometris yang menempel di salah satu sisi dinding. Semua kopi yang dihidangkan Blue Romance dapat dilihat fotonya dari lembar-lembar Polaroid yang dijepit pada seutas tali yang melintang di dekat bar. Semuanya terlihat apik, menarik.
Dua barista laki-laki dan satu barista perempuan sejak tadi sibuk dengan gelas-gelas shot espresso untuk menyiapkan semua pesanan kopi. Bunyi bel tanda ada hidangan yang harus diantar bersahutan dengan suara oven yang digunakan untuk menghangatkan pastry. Suara “fusss” dari steam pitcher beradu dengan speaker coffee shop di sudut langit-langit yang sekarang sudah berganti meneriakkan alunan lagu “Ache” dari James Carrington.
Sore ini, orang-orang yang masih bersetelan kantor lengkap mengopi sambil membawa pekerjaan mereka, berkumpul dengan beberapa kolega atau dengan teman-teman mereka untuk melepas stres di sore hari. Ada juga anak-anak kampus yang asyik mengobrol tentang restoran terbaru, gaya berpakaian mereka, maupun masalah personal yang dibicarakan dengan volume suara keras, sehingga siapa pun di ruangan ini bisa mendengar. Beberapa di antara mereka sibuk dengan laptop dan asyik berselancar di internet.
Detail-detail seperti itu selalu kuamati, dan itulah yang kusukai dari coffee shop ini. Walau agak riuh pada sore hari, seluruh tempat ini membendung atmosfer nyaman yang tidak membosankan. Tempat duduk favoritku berada di ujung, dekat puisi-puisi ironis yang dijepit di penjepit memo berbentuk pot-pot kecil, yang terdapat di rak-rak berisi buku-buku.


Melihat puisi-puisi satir adalah hal yang tak pernah kutemukan dalam menulis berita tentang ibukota yang hendak dipindahkan, perusahaan yang menenggelamkan seluruh desa, skandal video porno (yang merupakan berita paling tidak penting yang pernah kutulis) di The Jakarta Tribune, sebuah koran lokal yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mencari berita berbahasa Inggris.


I’ve been languished by your impersonation
We are fake friends and now you make me in love
What a talented actress you are
I’m dangling after your shadow
And here you deserve the Golden Palm
As the best director cause you’ve directed my life so perfectly
I’m in love with your charm because you direct it
As the best actress, you’ve been a ghost to my life
And I’m just a naive guy, stands alone here
Makes a standing ovation and the biggest applause you will hear
 in this universe
You are successfully controlling my life

Aku nyengir lebar setelah membaca puisi buruk yang tidak terlalu buruk tersebut. Mungkin nama Blue Romance memang cocok karena kehidupan percintaanku yang… hm… kurang beruntung. Kehidupan percintaanku bukan seperti Lois Lane dan Clark Kent, si jurnalis Daily Planet yang ternyata adalah manusia super dengan badan antipeluru dan kostum merah-biru, yang begitu menghangatkan hati setiap orang. Kehidupan percintaanku juga bukan seperti Bonnie & Clyde, partners in crime paling mesra dalam dunia film. Bukan juga seperti Marion Cotillard dan Guillaume Canet yang mesra dalam film Jeux d’enfants sekaligus dalam kehidupan nyata.
Anjani.
Ketika senja muncul dari balik lintasan kereta api yang cukup dekat dengan Blue Romance, Anjani datang. Ber-make up dan terlihat baru pulang dari kantor. Wajahnya sedikit-banyak berubah sejak kami pertama kali bertemu, bertahun-tahun yang lalu. Saat tagihan yang kami bayar satu-satunya hanyalah tagihan uang kos tiap bulan, bukan tagihan kartu kredit maupun pajak-pajak yang harus dibayar karena sudah punya pekerjaan.
     Uap panas dari cangkir kedua americano yang baru saja kupesan membuat pandanganku blur sesaat. Anjani sudah datang. Ia terlihat lebih cantik daripada biasanya. Lebih berkilau tepatnya. Kukedipkan mataku tiga kali, mengira uap masih memengaruhi mataku sehingga aku salah melihat, tapi ternyata tidak.
      Anjani mengenakan floral dress yang cantik berwarna kuning-hitam. Ia duduk sambil menyibak rambutnya yang berombak alami dan mengobral senyumnya pada pelayan yang menghampirinya, menanyakan pesanannya.
    Hot cappuccino dan cheese quiche.... Gulanya yang diet sugar.... Makasih.” Anjani tanpa perlu melihat buku menu cokelat yang disodorkan pelayan tersebut langsung mengatakan pesanannya.
       Dulu, Anjani dan aku sering ke Blue Romance. Letaknya di Cikini, tidak begitu jauh dari coffee shop lain, tapi coffee shop ini tidak kalah dengan saingannya. Tempat ini sudah lama menjadi saksi detail hidup serbasibuk yang kumiliki, dan sibuknya kehidupan wanita yang sekarang mulai memandangku dengan tatapan khasnya. Tatapan yang mengobservasi sebuah objek.
      “Tumben telepon, minta gue ke sini...,” Anjani bertanya dengan nada menggantung. Aku bisa melihat wajahnya yang terkesan menyembunyikan sesuatu. Entah apa. Perasaan senang? Kenapa harus senang? Apa karena bertemu denganku? Kenapa?
      Aku membersihkan tenggorokanku dengan dehaman yang dalam. “Gue manggil bukan buat ketemu lo aja. Gue manggil lo supaya lo bisa ngomong.
       Whaddya mean?” Anjani mengerutkan alisnya, gaya khasnya ketika ia sedang bingung. Aku menyibak rambut ikalku yang mulai gondrong. Mungkin aku akan terus membiarkannya gondrong setelah ini, mengingat sebentar lagi aku akan menikmati kesedihanku, lagi, setelah kesekian kalinya.
      Anjani Ramona. Perempuan dengan karisma yang besar. Rasanya aku ingin tertawa, karena aku bukan orang yang gampang mengucapkan kata-kata berat seperti karisma, pesona, ataupun hal-hal gombal lainnya yang begitu mudah diucapkan teman-temanku tentang perempuan-perempuan yang mereka pacari. Tapi Anjani membuatku bisa. Karena, nyatanya, ia memang memiliki karisma yang besar.
        Cantik, menyenangkan, smart. Bukan sekadar cewek tulalit, atau terlalu berusaha untuk menjadi yang terlemah sehingga para laki-laki bisa jatuh cinta padanya. Sejak aku mengenalnya saat SMA, ia benar-benar perempuan yang apa adanya. Ia punya kepedulian terhadap detail yang luar biasa. Cenderung berbakat menjadi detektif. Mungkin karena itulah ia memilih jurusan kriminologi saat kuliah.
        Dan mudah bagiku jatuh cinta kepadanya.
           
***

Apalagi sejak Bram mengenalkannya padaku. Masih kuingat peristiwa di kantin sekolah itu. Ia adalah murid baru yang masuk kelas IPA, namun karena tertidur di kelas saat ia masuk, aku tidak begitu memperhatikannya.
            “Kenalin, ini Anjani.... Anja, ini beruang kelas kita…. Kerjaannya tidur mulu karena selalu begadang nulis artikel. Bima....” Bram memperkenalkanku sambil tertawa terbahak-bahak.
            “Oh! Jangan-jangan lo Bimarendra Satyadwira? Gue pernah liat foto lo di majalah Sagacious. Elo juara satu Sagacious Talented Writers Contest, kan? Kalo nggak salah karena artikel lo tentang domestic violence, kan? Gila, gue suka banget sama artikel lo! Cara lo nulis, tuh, nggak sok kayak pengkhotbah, tapi benar-benar nyentek di hati para cowok-cowok tukang pukul.... Gue yakin banget! Lo masih nulis di Sagacious?” Anjani bertanya dengan nada berapi-api, penuh semangat. Matanya berkilat-kilat, bahkan tubuhnya sampai sedikit menggeser Bram, supaya ia bisa ngobrol lebih nyaman denganku.
          And just like a blink of an eye, she had me there.
          Belum pernah aku bisa seterbuka itu dengan perempuan. Dekat dengan perempuan selain ibuku dan sepupuku, Ambar. Selama ini, aku masih menulis di Sagacious dan majalah-majalah lain, adalah karena Anjani. Ia selalu mendorongku untuk terus menulis dan menulis. Bahkan ketika ideku benar-benar kering, ia tetap mendukungku. Sampai sekarang, saat umurku sudah 26 tahun, menjadi seorang penulis tetap majalah Sagacious dan  The Jakarta Tribune. Alasannya adalah karena dia.

***

Aku juga sempat berhenti menulis selama hampir enam bulan karena dia. Dan Bram.
           Aku masih ingat betapa kerasnya pintu kamarku digedor olehnya. Saat aku kuliah di Bandung, jadi anak kos dan cari uang tambahan dari nulis dan nulis. Bram mendorongku hingga aku terjatuh di lantai kamarku, padahal aku sedang sibuk mengerjakan tugas untuk mata kuliah English for Journalism.
        “Man! Lo mesti tau! Gue ama Anjani udah jadian!” pekik Bram. Bram setengah memeluk bahuku kencang. Ia tergial-gial, tertawa penuh bahagia.
           Aku ikut memeluknya senang. Menyelamatinya dan menepuk bahunya, tak lupa menyuruhnya mentraktirku piza satu kotak. Dan Bram saat itu juga langsung memesan satu kotak piza dan dua kaleng Coke. Ketika ia pulang, aku benar-benar mengagumi diriku yang mampu bersandiwara selama tiga jam kedatangan Bram ke tempat kosku.
  Aku tidak tahu bagaimana caranya agar perasaan kompleks antara sedih dan ikhlas harus dilepaskan. Aku sudah merencanakan banyak hal. Bram dan pengumuman yang ia berikan di hari itu bukan salah satu dari rencana yang kubuat.
        Aku, Anjani, dan Bram janji untuk kuliah sama-sama di Bandung. Kukira, di Bandung aku bisa lebih dekat dengannya, dan jadi orang yang selalu di sampingnya. Ternyata tidak.
      And like an old song you've heard, aku mencoba untuk tersenyum bahagia.
        Aku selalu ada di samping mereka. Saat mereka kembali ke Jakarta. Saat kami bertualang naik kereta ke Yogyakarta. Saat-saat ngopi bareng di Potluck yang ada di Bandung. Saat ngopi seru di Blue Romance. Saat-saat belanja bulanan di supermarket. Saat nonton World Cup, dan Anjani menangis karena negara yang ia dukung kalah.
          Aku mencoba untuk tidak pernah menghancurkan hubungan mereka. Aku tidak ingin Bram berang. Aku tidak ingin menambah permasalahan dalam otakku yang sudah menumpuk. Aku juga tidak ingin mencoba memikirkan rencana untuk membuat mereka putus, karena mereka teman-temanku. Rencana seperti itu bukan rencana yang seharusnya dilakukan oleh teman baik sepertiku. Seharusnya, seorang teman yang baik mendukung sahabatnya, bukan?
           Maka aku melakukannya dengan caraku sendiri. Pertama, aku menjaga jarak. Itu tindakan yang tepat. Aku bisa punya waktu untuk menyibukkan diriku sendiri. Namun, hal itu tidak semulus yang kukira.
  Aku mencoba membuat artikel lebih banyak untuk halaman delapan majalah Sagacious. Respons yang kuterima dari editor majalah itu bukan “Nah, cakep nih artikelnya…”, melainkan “Kalau lo nggak niat bikin artikel buat pembaca, nggak usah kasih artikel macam begini ke gue.... Gue mau artikel-artikel yang kayak dulu....”
  Aku terus mencoba, hingga di satu titik, aku menyadari hal yang tidak lagi sama. Semua ideku tidak lagi menarik. Hal yang paling mengerikan adalah ketika aku mengetahui, semua semangat dan ide brilian selama dua tahun terakhir itu bisa muncul karena satu sumber energi saja. Sumber energi yang membuatku begitu tergantung kepadanya.
 Rencanaku untuk menyibukkan diri dengan menulis artikel, menulis, menulis, dan menulis, malah membuahkan hasil yang buruk. Rencana hanya tinggal rencana. Deretan absenku di kelas bertambah karena aku tidak terlalu mood masuk kuliah. Waktu kosong karena bolos kuliah tersebut hanya kupakai untuk nongkrong di rooftop rumah kos yang hanya terpakai menjadi tempat jemuran, dengan iPod terpasang di telinga.
Semua ajakan Bram dan Anjani untuk jalan-jalan selalu kutolak dengan halus. “Ada urusan”, “Ada artikel yang harus ditulis”, dan “Ada tugas, nih” adalah sebagian kecil dari alasan-alasan bohong yang kuberikan agar bisa sendirian. Jauh dari semua.
  Tugas-tugas selalu berhasil kuselesaikan, tapi tak ada yang mendapat nilai istimewa seperti biasa. Majalah Sagacious masih terus menelepon, tapi aku selalu enggan menjawab. Ada istilah yang pernah terceletuk dari mulut ibu kos yang selalu melihatku berada di rooftop: kamu itu kayak hidup segan, mati ogah.
  Saat itu, sudah hampir memasuki bulan kelima dalam periode malas-malasan yang terjadi hampir sepanjang hari. Aku sendiri takjub melihat hasil dari semua ini: janggut yang makin memanjang, rambut yang semakin gondrong, kamar yang semakin berantakan, handphone yang sudah tidak ku-charge sejak empat hari yang lalu, dan artikel yang kuhasilkan dalam lima bulan terakhir hanya untuk tugas kampus yang memang wajib diselesaikan.
Aku sedang mengamati kaki kiriku yang setengah menggantung di udara, karena posisi dudukku yang duduk di selasar balkon dinding rooftop. Mataku mengamati ratusan pendar lampu rumah tinggal di sekeliling rumah kos.
“Bima...”
Anjani datang dengan rambut dicepol asal-asalan, kaus dengan tulisan Makassar, dengan huruf K membentuk pulau Sulawesi, jins belel, dan sandal jepit. Baru kali itu aku melihatnya tidak serapi biasanya. Dan tiba-tiba ia datang sambil marah-marah.
“Lo, tuh, cuti kuliah apa gimana, sih? Handphone lo juga nggak aktif. Gue udah beberapa kali beli majalah Sagacious, kok artikel lo nggak ada, Bim? Lo sebenarnya nulis artikel apa, sih? Lo udah berhenti nulis?”
Aku mengalihkan pandanganku ke rumah-rumah di sekeliling yang terlihat tumpang-tindih. Dan akhirnya aku mengangguk malas. Aku malas berdebat soal ini dengan sumber masalah yang menurutku seharusnya tak usah peduli dengan masalah impianku ini. Toh, selama ini, impianku bersama Anjani juga akan mati perlahan, tinggal tunggu waktu. Sekalian saja matikan semua impianku yang lain. Jadi jurnalis, lulus kuliah, jadi cerpenis favorit Kompas, dan bisa punya rumah dekat pantai di North Carolina. Matikan saja semua impian itu. 
PLAKK!!
    Pedas. Itulah rasa pipiku karena seketika itu tangan Anjani yang berjari-jari lurus panjang menghampiri pipiku, menamparku telak. Sakit juga. Untungnya aku tidak terjatuh dari selasar dinding balkon. Bagaimanapun juga, semalas-malasnya aku sekarang, aku belum mau mati.
Lo, tuh, aneh, tau gak?” Anjani menatapku dengan pandangan tidak suka. Ia menangkupkan tangan kirinya di atas kedua matanya, menelan ludah, –mencari kata-kata yang tepat.
Artikel lo itu selalu ada di halaman delapan, Bim…. Selalu. Lo tau itu artinya apa? Lo itu cerdas! Dan lo mau tinggalin itu semua? Setelah apa yang lo pupuk dan raih selama ini? Juara satu Sagacious Talented Writers tahun 2006-2008, tiga tahun berturut-turut, Bim! Belom pernah ada yang bisa ngalahin lo. Blog terbaik di Festival Blog Jurnalistik Majalah Perspektif tahun 2007-2008. Cerpen lo nggak pernah berhenti masuk majalah Horison, pernah masuk Kompas, sejajar sama Seno Gumira Anjasmara...”
      “Ajidarma, Anjani...,” koreksiku, sambil mencoba mencari tahu bagaimana ia bisa hafal semua prestasi yang kuraih selama ini. Oh ya, dia selalu mengingat hal-hal detail, dan dia selalu mengaku sebagai fansku nomor satu.
     Apa aja, deh.!” Suara Anjani meninggi. Anjani menarik napas. “Gue nggak mau lo kayak nyokap gue, Bim.... Ninggalin semua impian jadi penyanyi terkenal hanya karena bokap gue yang kayak diktator.... Hanya karena masalah yang kelihatannya nggak ada jalan keluarnya, dan akhirnya nyokap gue berhenti berjuang. Lo kenapa, sih, Bim? Kalo lo ada masalah, cerita, dong! Jangan lo pendem. Kenapa?” Anjani mendadak memperhalus nada suaranya.
   Ada satu titik ketika terkadang setiap orang merasa tidak mampu melakukan hal-hal yang ia tahu ia bisa lakukan dengan sempurna. Mereka bisa sampai pada titik itu karena banyak hal. Banyak penulis, sineas, maupun pekerja kreatif yang kehilangan muse untuk berkarya, dan berakhir antiklimaks.
Andy Warhol punya Edie Sedgwick yang bisa memberinya banyak ide untuk berkarya. Ketika mereka tidak lagi dekat seperti dulu, semua orang berpikir bahwa Andy Warhol tidak akan sesukses dulu, Semua orang beranggapan, dengan adanya Edie, maka Andy akan lebih produktif. Lebih bisa merealisasikan impian-impian absurdnya.
    Aku juga merasa sama dengan Andy Warhol, jika memang itu benar adanya. Hanya bisa bermimpi, tapi tidak bisa membuatnya menjadi sesuatu yang konkret. Impian-impian yang berubah menjadi rencana yang batal. Impianku banyak. Salah satunya bisa bersama Anjani. Tapi itu tinggal rencana yang batal. Hanya tinggal impian bodoh, yang tidak bisa direalisasikan, yang kalau terus dipertahankan akan menjadi masalah yang tak pernah selesai.
      Mendadak, malam itu menjadi hangat. Bulan sedang penuh. Bintang tidak terlalu banyak menghiasi langit malam itu, tapi cukup terang untuk melihat wajah Anjani yang… sedih? Kenapa?
    Please, Bim... Lo sahabat gue. Gue nggak mau ngeliat hanya karena masalah yang kayaknya nggak ada jalan keluarnya, lo tinggalin impian lo selama ini. Jangan. Jangan kayak nyokap gue, Bim. Jangan.... Jangan.” Tiba-tiba setitik air mata turun dari mata kiri Anjani. Dengan cepat aku menghapusnya sambil mengingatkan tanganku untuk tidak berlama-lama menghapus air matanya. Bisa-bisa aku jatuh makin dalam.
       Tapi aku gagal.
     Anjani menyentuh pipi kiriku. Pipi kiriku yang ditumbuhi rambut-rambut halus karena aku malas mencukur dagu dan area tumbuh janggut. Aku masih ingat, aku menyesal karena aku lupa bercukur. Rambutku juga gondrong dan kuikat.
     “Bimarendra Satyadwira.... Please, terus nulis, ya...? Ingat, kan, waktu pertama ketemu lo, elo langsung gue cecar dengan pertanyaan-pertanyaan dunia jurnalistik? Tiap gue baca majalah Sagacious, gue selalu cari artikel lo. Dan gue bersyukur bisa bersahabat dengan penulis hebat, seperti lo. Jurnalis cerdas dengan perspektif yang berbeda, menulis dengan gaya yang tidak sepenuhnya menuduh tapi membuat orang tergerak untuk berbuat sesuatu, dan juga cerpenis berimajinasi tinggi seperti Seno Gumira Anjasmara...”
        “Ajidarma, Anjani..., koreksiku sekali lagi, sambil tertawa kecil.
     “Oke, Ajidarma.... Keep writing....Tangan Anjani menyelipkan sehelai rambut ikalku ke belakang telinga. “Supaya gue selalu puas tiap kali baca Sagacious. Gue penggemar nomor satu lo, kan?” Anjani tersenyum, masih dengan mata yang basah. Mungkin aku sedang delusional, tapi aku melihat dua kata dari matanya. Kepercayaan. Kebanggaan.
      Seno Gumira Ajidarma pernah menulis sepotong kata dalam buku Kitab Omong Kosong, yang muncul di pikiranku saat itu.
“Seberapa indah mimpi, jika tetap mimpi?”
Mimpi hanya jadi siksa jika tidak terwujud. Aku menyadari itu. Tetapi, di satu sisi, mimpi ini sudah membawaku terlalu jauh.
Aku sudah tahu bagaimana mimpi ini berujung.
Aku sudah tahu, mimpi ini naif. Senaif ending film The Graduate. Aku juga menyadari bahwa aku bukan Ben Braddock yang diperankan Dustin Hoffman dalam film itu. Anjani juga bukan Elaine.
      Aku hanya tidak ingin mengakhirinya sekarang. Saat itu, aku memutuskan untuk terus dibawa oleh mimpi ini, entah berapa lama.
      Aku mengangguk tanda setuju. Dan aku tak bisa memungkirinya. I fall too deep. Moron.

***
           
Sekarang aku menemukan Anjani menangis lagi karena aku. Aku telah membuat dia menangis dua kali, sejak kami bersahabat. Pertama adalah karena aku berhenti menulis dan entah kenapa itu membuatnya kesal. Kedua, sepertinya aku harus menanyakannya.
         Jangan paksa gue balik sama Bram. Lo tau gue nggak suka dipaksa, kan?” Anjani berkata dengan suara mencekam. Ia menyeruput hot cappuccino-nya, sementara cheese quiche-nya belum habis juga dari tadi.
            Kalian, kan, selalu begitu, berantem, putus, dan balikan lagi.... Masa sekarang nggak bisa begitu lagi?”
          Gue udah nggak mau. Gue udah nggak kuat. Gue muak bohong terus.” Suaranya mendadak menjadi parau, seperti ada sesuatu di tenggorokannya.
    “Kenapa nggak kuat? Kita tau, kan, Bram itu orangnya emang temperamental, tapi dia nggak pernah main tangan, dan dia sayang banget sama lo. Dan gue yakin lo juga begitu. Terus tadi lo bilang, lo muak bohong terus? Memang lo bohong apa sama Bram?"
       Maskara Anjani luntur, menyisakan lautan hitam di kedua mata indahnya. Dan kata-kata yang terlontar dari mulutnya membuatku benar-benar bungkam.
       “Gue kayak jualan bakso, tapi juga jualan boraks, tau nggak? Ironis, ya? Gue sebenarnya nggak mau begini, Bim. Lo tahu, kan, gue paling nggak suka bohong….”
Aku mengernyitkan dahiku. “Maksudnya?”
I do care about you, more than friends.... I know you don’t...,” kata Anjani dengan suara pelan.
     Samar, aku melihat senyumnya. Senyum getir. Senyum yang tampak seperti menertawakan diri sendiri. Seperti sudah mengetahui bahwa ia tidak akan lulus ujian sebelum mendapat surat pernyataan kelulusan.
         Kamu salah, Anjani.
        “Dan sekarang aku udah muak untuk terus-terus bohong. Jangan paksa aku untuk bisa sama-sama Bram. But I’m dying to know. Do you?
          Aku berharap, pertanyaan selanjutnya tidak pernah ia tanyakan.
         Do you care about me, like I care about you?
      Aku ingat definisi “care” macam apa yang kami punya. Saat sedang nongkrong di atas rooftop bersama Bram, kami mengobrol tentang hal ini. Aku dan Anjani merasa bahwa kata tersebut sering diremehkan oleh banyak orang, bahkan Bram merasa tak ada yang spesial dari kata itu. Namun, definisi “care” menurut kami punya makna yang lebih dalam dibandingkan cinta. Aku tahu benar, kata itu tidak akan diucapkan Anjani pada sembarang orang.
    Aku memejamkan mata. Mendadak aku merasa berat. Kepalaku benar-benar pening. Aku juga merasa hal yang sama.
Kata-kata yang kuucapkan berikutnya adalah bagaimana aku mengungkapkan rasa “care” yang kupunya untuknya, dengan caraku sendiri. Cara yang menurutku paling baik. Untuk dia, dan semuanya.
        “Kamu harus balik sama Bram....
        So you don't?” Anjani bertanya, setengah terperangah.
       Mendadak aku merasa aku sungguh cengeng. Aku adalah jurnalis. Jurnalis selalu punya pikiran yang realistis bukan melankolis. Walaupun cerpenis, aku tidak boleh seperti ini. Like the old song that everyone has heard, aku terus berusaha untuk bisa menyenangkan banyak pihak. Pihak Bram dan Anjani.
    Bel yang ada di atas pintu masuk Blue Romance bergemerencing, seseorang masuk. Melangkah mendekat dengan napas terengah-engah. Mengikuti impuls, Anjani melihat siapa yang baru datang, setelah melihat mataku tertumbuk pada orang yang baru saja masuk.
        Bram.
       Aku tersenyum kecil. Rasanya aku ingin merebahkan diri di atas rooftop rumahku, dan merayakan akhir dari mimpi yang selalu tertunda untuk kuakhiri. Sebelum Anjani datang, aku menelepon Bram untuk datang menemuiku di Blue Romance.
    Seandainya aku bisa lebih cepat menyadari bahwa aku tidak boleh berlama-lama. Tapi, waktu tidak mungkin diputar balik.
     Menyesali apa yang sudah lewat tidak akan membuat aku menjadi manusia yang lebih baik. Tidak ada gunanya. Klise, tapi itulah yang harus kulakukan.
     Aku berdiri, mempersilakan Bram untuk duduk di tempatku. Aku melangkah pergi, berusaha keras tidak menoleh ke belakang, walaupun merasakan tatapan yang menusuk dari belakang, entah Bram atau Anjani. Aku beranjak ke arah kasir, membayar pesananku dan mengeluarkan kartu namaku, meminjam pulpen dari si penjaga kasir yang bernama Grace. Setelah menuliskan beberapa huruf, aku tersenyum getir dan meminta Grace untuk memberikannya pada gadis dengan dress floral kuning-hitam yang berdandan lebih cantik daripada biasanya, yang baru saja membuatku benar-benar bahagia. Tapi itu harus segera diakhiri, dan dia harus tahu aku juga begitu peduli padanya, lebih dari apa pun.
    Setelah ini, aku akan menyelesaikan packing karena besok aku akan berangkat ke Washington.
Seorang rekan jurnalis memintaku menulis sebuah artikel lepas yang membutuhkan perspektif jurnalis Asia untuk surat kabar The Washington Times. Setelah dua kali menulis, ia memintaku untuk mencoba memasukkan surat lamaran kerja di surat kabar itu. Aku memberanikan diri untuk bergabung menjadi jurnalis tetap, yang mengharuskanku untuk berdomisili di Amerika.
     Semua aplikasiku sudah lengkap. Rekan jurnalis yang membantuku itu membantuku melengkapi semuanya, termasuk mendapatkan visa untuk bekerja dan lain sebagainya. Aku resmi diterima di The Washington Times. Hari ini adalah hari terakhirku di Jakarta.
      Tidak akan ada masa-masa indah di Bandung, di Jakarta, di Potluck, di Blue Romance, dan di tempat lainnya. Aku memilih untuk tidak kembali. Jika aku bisa kembali ke Jakarta, aku tetap tidak ingin kembali.
    Menanggung beban karena menyukai, mencintai, seseorang yang tak pernah bisa digapai hanya membuat diri dihantui penyesalan dan kesengsaraan yang konyol. Jika pergi, aku lebih bisa menata hatiku dan mengubur semuanya perlahan.
    Klining. Bel pintu Blue Romance itu berbunyi, untuk terakhir kalinya kubunyikan untukku sendiri.

***

Bram merangkul pinggang Anjani dengan luwes, sementara mata Anjani masih me-recall sosok yang ia temui sebelum bertemu Bram. Anjani berjalan dengan mata kosong, berusaha mengangguk pada apa pun yang Bram katakan.
       “Sori, Mbak, mas yang gondrong tadi titip ini....” Grace, si penjaga kasir memberikan uang kembalian pada Anjani beserta dengan secarik kartu nama dengan tulisan Bimarendra Satyadwira, jurnalis The Jakarta Tribune, lengkap dengan alamat kantor dan nomor telepon kantornya. Anjani mengerutkan alis, membalik kartu nama tersebut dan mendapati deretan tiga huruf. Anjani goyah dan gelisah.

         I do.


***


A Farewell To A Dream merupakan salah satu cerita dalam novel omnibook Blue Romance karya Sheva yang diterbitkan PlotPoint Publishing

Blue Romance, sebuah coffe shop yang buka setiap hari, dan mungkin dilewati hari ini. Blue Romance menyediakan kopi ternikmat dan sahabat saat kau dituntut untuk terus terjaga. 

Blue Romance juga punya banyak cerita. Ada kisah jatuh cita dan patah hati, perpisahan dan pertemuan kembali. Kisah-kisah ini berbalut kafein dan aroma kopi, berderai tawa dan tangis, di sela desis coffe maker. Seperti Latte, Affogato, Americano, dan Espresso, setiap kisah punya kopinya sendiri. 

Kisah mana yang cocok dengan kopimu? Bisa kamu pilih mulai bulan Oktober ini ;)


Blue Romace bisa kamu dapatkan di toko buku reguler di seluruh Indonesia seperti Gramedia, Togamas, Gunung Agung, Leksika, Eureka, dan toko-toko buku online seperti mizan.com, kutukutubuku.com, pengenbuku.net, dll


Cover & Ilustrasi oleh: Diani Apsari (@dianiapsari)

4 comments:

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan