Oleh: Sheva (@dearsheva)
Ilustrasi: Diani Apsari ( |
AMERICANO di depan mataku sudah mendingin. Sudah lama aku duduk di kursi kayu ini, mencoba merangkai kata-kata untuk diucapkan di depan perempuan bermata indah tersebut. Hari ini, ia berjanji akan menemuiku di Blue Romance. Coffee shop favorit kami.
Tempat
beratmosfer vintage
dengan kaca-kaca besar penuh tulisan cantik yang meneriakkan menu-menu andalan coffee
shop di dekat stasiun ini, adalah rumah kedua
bagiku. Buka 24 jam. Menyediakan chicken parmagiana terenak yang pernah kucoba, juga americano terenak. Mirip dengan restoran favoritku di Paris, La
Fourmi Ailée---yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama saat aku
meliput berita di ibukota yang romantis itu. Aku tidak menyangka ada tempat
sedahsyat ini di Jakarta.
Aku selalu bertanya-tanya, mengapa
nama tempat ini Blue Romance? Namanya bernuansa sedih, padahal tempatnya penuh
dengan tawa. Buku-buku tua di rak unik berjajar di salah satu sisi dinding,
telepon tua dan gramofon diletakkan dekat karung-karung kopi yang menambah
kentalnya harum kopi di ruangan, musik jazz
dari Griffith Frank mengalun sayup-sayup.
Renyah
tawa dari beberapa rekan bisnis menyeruak dari pojokan ruangan berkaca untuk area outdoor. Dinding-dinding coffee shop ini penuh gambar lucu,
lukisan-lukisan karya pelukis amatir, pajangan-pajangan seperti kaktus mini,
penjepit kertas-kertas berisi puisi berbentuk pot-pot kecil di rak buku.
Ada
satu set teko lengkap warna merah dan biru yang menghiasi rak pajangan
berbentuk kotak-kotak geometris yang menempel di salah satu sisi dinding. Semua
kopi yang dihidangkan Blue Romance dapat dilihat fotonya dari lembar-lembar
Polaroid yang dijepit pada seutas tali yang melintang di dekat bar. Semuanya
terlihat apik, menarik.
Dua
barista laki-laki dan satu barista perempuan sejak tadi sibuk
dengan gelas-gelas shot espresso untuk menyiapkan semua pesanan
kopi. Bunyi bel tanda ada hidangan yang harus diantar bersahutan dengan suara
oven yang digunakan untuk menghangatkan pastry.
Suara “fusss” dari steam pitcher
beradu dengan speaker coffee shop di
sudut langit-langit yang sekarang sudah berganti meneriakkan alunan lagu “Ache” dari James Carrington.
Sore
ini, orang-orang yang masih bersetelan kantor lengkap mengopi sambil membawa
pekerjaan mereka, berkumpul dengan beberapa kolega atau dengan teman-teman
mereka untuk melepas stres di sore hari. Ada juga anak-anak kampus yang asyik
mengobrol tentang restoran terbaru, gaya berpakaian mereka, maupun masalah
personal yang dibicarakan dengan volume suara keras, sehingga siapa pun di
ruangan ini bisa mendengar. Beberapa di antara mereka sibuk dengan laptop dan
asyik berselancar di internet.
Detail-detail
seperti itu selalu kuamati, dan itulah yang kusukai dari coffee shop ini. Walau agak riuh pada sore hari, seluruh tempat ini
membendung atmosfer nyaman yang tidak membosankan. Tempat duduk favoritku
berada di ujung, dekat puisi-puisi ironis yang dijepit di penjepit memo
berbentuk pot-pot kecil, yang terdapat di rak-rak berisi buku-buku.
Melihat puisi-puisi satir adalah hal yang tak pernah kutemukan dalam menulis berita tentang ibukota yang hendak dipindahkan, perusahaan yang menenggelamkan seluruh desa, skandal video porno (yang merupakan berita paling tidak penting yang pernah kutulis) di The Jakarta Tribune, sebuah koran lokal yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mencari berita berbahasa Inggris.
I’ve been languished by
your impersonation
We are fake friends and
now you make me in love
What a talented actress
you are
I’m dangling after your
shadow
And here you deserve
the Golden Palm
As the best director
cause you’ve directed my life so perfectly
I’m in love with your
charm because you direct it
As the best actress,
you’ve been a ghost to my life
And I’m just a naive
guy, stands alone here
Makes a standing
ovation and the biggest applause you will hear
in this universe
You are successfully
controlling my life
Aku
nyengir lebar setelah membaca puisi buruk yang tidak terlalu buruk tersebut.
Mungkin nama Blue Romance memang cocok karena kehidupan percintaanku yang… hm…
kurang beruntung. Kehidupan percintaanku bukan seperti Lois Lane dan Clark
Kent, si jurnalis Daily Planet yang
ternyata adalah manusia super dengan badan antipeluru dan kostum merah-biru,
yang begitu menghangatkan hati setiap orang. Kehidupan percintaanku juga bukan
seperti Bonnie & Clyde, partners in
crime paling mesra dalam dunia film. Bukan juga seperti Marion Cotillard
dan Guillaume Canet yang mesra dalam film Jeux
d’enfants sekaligus dalam kehidupan nyata.
Anjani.
Ketika
senja muncul dari balik lintasan kereta api yang cukup dekat dengan Blue
Romance, Anjani datang. Ber-make up
dan terlihat baru pulang dari kantor. Wajahnya sedikit-banyak berubah sejak
kami pertama kali bertemu, bertahun-tahun yang lalu. Saat tagihan yang kami
bayar satu-satunya hanyalah tagihan uang kos tiap bulan, bukan tagihan kartu
kredit maupun pajak-pajak yang harus dibayar karena sudah punya pekerjaan.
Uap panas dari cangkir kedua americano yang baru saja
kupesan membuat pandanganku blur
sesaat. Anjani sudah datang. Ia terlihat lebih cantik daripada biasanya. Lebih berkilau tepatnya. Kukedipkan mataku
tiga kali, mengira uap masih memengaruhi mataku sehingga aku salah melihat,
tapi ternyata tidak.
Anjani mengenakan floral dress yang cantik berwarna kuning-hitam. Ia duduk sambil
menyibak rambutnya yang berombak alami dan mengobral senyumnya pada pelayan
yang menghampirinya, menanyakan pesanannya.
“Hot
cappuccino dan cheese quiche....
Gulanya yang diet
sugar....
Makasih.” Anjani tanpa perlu melihat buku menu cokelat yang disodorkan pelayan tersebut langsung mengatakan
pesanannya.
Dulu,
Anjani dan aku sering ke Blue Romance. Letaknya di
Cikini, tidak begitu jauh dari coffee shop lain,
tapi coffee shop ini tidak
kalah dengan saingannya. Tempat ini sudah lama menjadi saksi detail hidup
serbasibuk yang kumiliki, dan sibuknya kehidupan wanita yang sekarang mulai memandangku dengan tatapan khasnya. Tatapan yang mengobservasi
sebuah objek.
“Tumben telepon,
minta gue ke sini...,” Anjani bertanya dengan nada menggantung. Aku bisa
melihat wajahnya yang terkesan menyembunyikan sesuatu. Entah apa. Perasaan
senang? Kenapa harus senang? Apa karena bertemu denganku? Kenapa?
Aku membersihkan tenggorokanku
dengan dehaman
yang dalam. “Gue manggil
bukan buat ketemu lo aja. Gue manggil
lo supaya lo
bisa ngomong.”
“Whaddya
mean?” Anjani mengerutkan alisnya, gaya khasnya ketika ia sedang bingung.
Aku menyibak rambut ikalku yang mulai gondrong. Mungkin aku akan terus
membiarkannya gondrong setelah ini, mengingat sebentar lagi aku akan menikmati
kesedihanku, lagi, setelah
kesekian kalinya.
Anjani Ramona. Perempuan dengan karisma
yang besar. Rasanya aku ingin tertawa,
karena aku bukan orang yang gampang mengucapkan kata-kata berat seperti
karisma, pesona, ataupun hal-hal gombal lainnya yang begitu mudah diucapkan teman-temanku tentang
perempuan-perempuan yang mereka pacari. Tapi Anjani
membuatku bisa. Karena, nyatanya, ia memang memiliki
karisma yang besar.
Cantik, menyenangkan, smart. Bukan sekadar cewek tulalit, atau terlalu berusaha untuk menjadi
yang terlemah sehingga para laki-laki bisa jatuh cinta padanya. Sejak aku mengenalnya saat SMA,
ia benar-benar perempuan yang apa adanya. Ia punya
kepedulian terhadap detail yang luar biasa. Cenderung berbakat menjadi detektif.
Mungkin karena itulah ia memilih jurusan kriminologi saat kuliah.
Dan mudah bagiku jatuh cinta kepadanya.
***
Apalagi sejak Bram mengenalkannya padaku. Masih kuingat
peristiwa di kantin sekolah
itu. Ia adalah murid baru yang masuk kelas IPA, namun karena
tertidur di kelas saat ia masuk, aku tidak begitu memperhatikannya.
“Kenalin, ini Anjani.... Anja, ini beruang kelas kita…. Kerjaannya tidur mulu
karena selalu begadang nulis artikel. Bima....” Bram memperkenalkanku sambil
tertawa terbahak-bahak.
“Oh! Jangan-jangan lo
Bimarendra Satyadwira? Gue
pernah liat foto lo
di majalah Sagacious. Elo juara satu Sagacious
Talented
Writers Contest, kan? Kalo nggak salah karena artikel lo
tentang domestic violence, kan? Gila, gue suka banget sama artikel lo! Cara lo
nulis,
tuh, nggak sok kayak pengkhotbah, tapi benar-benar nyentek di hati para cowok-cowok tukang pukul.... Gue yakin banget! Lo masih nulis di Sagacious?” Anjani bertanya dengan nada berapi-api, penuh
semangat. Matanya
berkilat-kilat, bahkan
tubuhnya sampai sedikit menggeser Bram, supaya ia bisa ngobrol lebih nyaman
denganku.
And
just like a blink of an eye, she had me there.
Belum pernah aku bisa seterbuka itu
dengan perempuan. Dekat dengan perempuan selain ibuku dan sepupuku,
Ambar. Selama ini, aku masih menulis di Sagacious
dan majalah-majalah lain, adalah karena Anjani. Ia selalu
mendorongku untuk terus menulis dan menulis. Bahkan ketika ideku benar-benar
kering, ia tetap mendukungku. Sampai sekarang, saat umurku sudah 26
tahun, menjadi seorang penulis tetap majalah Sagacious
dan The Jakarta
Tribune. Alasannya adalah karena dia.
***
Aku
juga sempat
berhenti menulis selama hampir enam bulan karena dia. Dan Bram.
Aku masih ingat betapa kerasnya
pintu kamarku digedor olehnya. Saat aku kuliah di Bandung, jadi anak kos dan
cari uang tambahan dari nulis dan nulis. Bram mendorongku hingga aku terjatuh di lantai kamarku,
padahal aku sedang sibuk mengerjakan tugas untuk mata kuliah English for Journalism.
“Man! Lo mesti tau! Gue ama Anjani udah jadian!” pekik Bram. Bram setengah memeluk bahuku kencang. Ia tergial-gial,
tertawa penuh bahagia.
Aku ikut memeluknya senang.
Menyelamatinya dan menepuk bahunya, tak lupa menyuruhnya mentraktirku piza satu kotak. Dan Bram saat itu juga langsung memesan satu kotak piza dan dua kaleng Coke. Ketika ia pulang, aku benar-benar mengagumi diriku
yang mampu bersandiwara selama tiga jam kedatangan Bram ke tempat kosku.
Aku
tidak tahu bagaimana caranya agar perasaan kompleks antara sedih dan ikhlas
harus dilepaskan. Aku sudah merencanakan banyak hal. Bram dan pengumuman yang
ia berikan di hari itu bukan salah satu dari rencana yang kubuat.
Aku, Anjani, dan Bram janji untuk kuliah sama-sama di Bandung. Kukira, di Bandung aku bisa lebih dekat dengannya, dan
jadi orang yang selalu di sampingnya. Ternyata tidak.
And
like an old song you've heard, aku mencoba untuk tersenyum bahagia.
Aku selalu ada di samping mereka.
Saat mereka kembali ke Jakarta. Saat kami bertualang naik kereta ke Yogyakarta. Saat-saat ngopi bareng di Potluck yang ada di
Bandung. Saat ngopi seru di Blue Romance. Saat-saat belanja bulanan di
supermarket. Saat nonton World Cup, dan Anjani menangis karena negara yang ia
dukung kalah.
Aku mencoba untuk tidak pernah
menghancurkan hubungan mereka. Aku tidak ingin Bram
berang. Aku tidak ingin
menambah permasalahan dalam otakku yang sudah menumpuk. Aku juga tidak ingin
mencoba memikirkan rencana untuk membuat mereka putus, karena mereka
teman-temanku. Rencana seperti itu bukan rencana yang seharusnya dilakukan oleh
teman baik sepertiku. Seharusnya, seorang teman yang baik mendukung sahabatnya,
bukan?
Maka
aku melakukannya dengan caraku sendiri. Pertama, aku menjaga jarak. Itu
tindakan yang tepat. Aku bisa punya waktu untuk menyibukkan diriku sendiri.
Namun, hal itu tidak semulus yang kukira.
Aku
mencoba membuat artikel lebih banyak untuk halaman delapan majalah Sagacious. Respons yang kuterima dari
editor majalah itu bukan “Nah, cakep nih artikelnya…”, melainkan “Kalau lo
nggak niat bikin artikel buat pembaca, nggak usah kasih artikel macam begini ke
gue.... Gue mau artikel-artikel yang kayak dulu....”
Aku
terus mencoba, hingga di satu titik, aku menyadari hal yang tidak lagi sama.
Semua ideku tidak lagi menarik. Hal yang paling mengerikan adalah ketika aku
mengetahui, semua semangat dan ide brilian selama dua tahun terakhir itu bisa
muncul karena satu sumber energi saja. Sumber energi yang membuatku begitu
tergantung kepadanya.
Rencanaku
untuk menyibukkan diri dengan menulis artikel, menulis, menulis, dan menulis,
malah membuahkan hasil yang buruk. Rencana hanya tinggal rencana. Deretan
absenku di kelas bertambah karena aku tidak terlalu mood masuk kuliah. Waktu kosong karena bolos kuliah tersebut hanya
kupakai untuk nongkrong di rooftop
rumah kos yang hanya terpakai menjadi tempat jemuran, dengan iPod terpasang di
telinga.
Semua
ajakan Bram dan Anjani untuk jalan-jalan selalu kutolak dengan halus. “Ada
urusan”, “Ada artikel yang harus ditulis”, dan “Ada tugas, nih” adalah sebagian
kecil dari alasan-alasan bohong yang kuberikan agar bisa sendirian. Jauh dari
semua.
Tugas-tugas
selalu berhasil kuselesaikan, tapi tak ada yang mendapat nilai istimewa seperti
biasa. Majalah Sagacious masih terus
menelepon, tapi aku selalu enggan menjawab. Ada istilah yang pernah terceletuk
dari mulut ibu kos yang selalu melihatku berada di rooftop: kamu itu kayak hidup segan, mati ogah.
Saat
itu, sudah hampir memasuki bulan kelima dalam periode malas-malasan yang
terjadi hampir sepanjang hari. Aku sendiri takjub melihat hasil dari semua ini:
janggut yang makin memanjang, rambut yang semakin gondrong, kamar yang semakin
berantakan, handphone yang sudah
tidak ku-charge sejak empat hari yang
lalu, dan artikel yang kuhasilkan dalam lima bulan terakhir hanya untuk tugas
kampus yang memang wajib diselesaikan.
Aku
sedang mengamati kaki kiriku yang setengah menggantung di udara, karena posisi
dudukku yang duduk di selasar balkon dinding rooftop. Mataku mengamati ratusan pendar lampu rumah tinggal di
sekeliling rumah kos.
“Bima...”
Anjani datang dengan rambut dicepol asal-asalan, kaus
dengan tulisan Makassar, dengan huruf K membentuk pulau Sulawesi, jins belel, dan sandal jepit. Baru kali itu aku melihatnya tidak serapi
biasanya. Dan tiba-tiba ia datang sambil marah-marah.
“Lo,
tuh, cuti kuliah apa gimana, sih? Handphone
lo juga nggak aktif. Gue udah beberapa kali beli majalah Sagacious, kok artikel lo nggak ada, Bim? Lo sebenarnya nulis
artikel apa, sih? Lo udah berhenti nulis?”
Aku mengalihkan pandanganku ke rumah-rumah di sekeliling
yang terlihat tumpang-tindih. Dan akhirnya aku mengangguk malas. Aku malas
berdebat soal ini dengan sumber masalah yang menurutku seharusnya tak usah
peduli dengan masalah impianku ini. Toh, selama ini, impianku bersama Anjani juga akan mati
perlahan, tinggal tunggu waktu. Sekalian saja matikan semua impianku yang lain.
Jadi jurnalis, lulus kuliah, jadi cerpenis favorit Kompas, dan bisa punya rumah dekat pantai di North Carolina.
Matikan saja semua impian itu.
PLAKK!!
Pedas. Itulah rasa pipiku karena
seketika itu tangan Anjani yang berjari-jari lurus panjang menghampiri pipiku, menamparku
telak. Sakit juga. Untungnya aku tidak terjatuh dari
selasar dinding balkon. Bagaimanapun juga, semalas-malasnya aku sekarang, aku
belum mau mati.
“Lo,
tuh, aneh, tau gak?” Anjani menatapku dengan pandangan tidak suka. Ia
menangkupkan tangan kirinya di atas kedua matanya, menelan ludah, –mencari
kata-kata yang tepat.
“Artikel lo itu selalu ada di halaman delapan, Bim…. Selalu. Lo tau itu artinya apa? Lo itu cerdas! Dan lo mau tinggalin itu semua? Setelah
apa yang lo pupuk dan raih selama ini? Juara satu Sagacious
Talented
Writers tahun 2006-2008,
tiga tahun berturut-turut, Bim! Belom pernah ada yang bisa ngalahin lo. Blog terbaik di Festival Blog Jurnalistik Majalah Perspektif
tahun 2007-2008. Cerpen lo nggak pernah berhenti masuk majalah Horison, pernah masuk Kompas, sejajar sama Seno Gumira Anjasmara...”
“Ajidarma, Anjani...,” koreksiku, sambil mencoba
mencari tahu bagaimana ia bisa hafal semua prestasi yang kuraih selama ini. Oh
ya, dia selalu mengingat hal-hal detail, dan dia selalu mengaku sebagai fansku
nomor satu.
“Apa
aja, deh.!”
Suara Anjani meninggi. Anjani menarik napas. “Gue nggak mau lo kayak nyokap gue, Bim.... Ninggalin semua impian jadi penyanyi terkenal hanya
karena bokap gue yang kayak diktator....
Hanya karena masalah yang kelihatannya nggak ada jalan keluarnya, dan
akhirnya nyokap gue berhenti berjuang.
Lo kenapa,
sih, Bim? Kalo lo
ada masalah, cerita, dong! Jangan lo pendem. Kenapa?” Anjani mendadak memperhalus nada suaranya.
Ada
satu titik ketika terkadang setiap orang merasa tidak mampu melakukan hal-hal
yang ia tahu ia bisa lakukan dengan sempurna. Mereka bisa sampai pada titik itu
karena banyak hal. Banyak penulis, sineas, maupun pekerja kreatif yang
kehilangan muse untuk berkarya, dan
berakhir antiklimaks.
Andy
Warhol punya Edie Sedgwick yang bisa memberinya banyak ide untuk berkarya.
Ketika mereka tidak lagi dekat seperti dulu, semua orang berpikir bahwa Andy
Warhol tidak akan sesukses dulu, Semua orang beranggapan, dengan adanya Edie,
maka Andy akan lebih produktif. Lebih bisa merealisasikan impian-impian
absurdnya.
Aku
juga merasa sama dengan Andy Warhol, jika memang itu benar adanya. Hanya bisa
bermimpi, tapi tidak bisa membuatnya menjadi sesuatu yang konkret. Impian-impian
yang berubah menjadi rencana yang batal. Impianku banyak. Salah satunya bisa
bersama Anjani. Tapi itu tinggal rencana yang batal. Hanya tinggal impian
bodoh, yang tidak bisa direalisasikan, yang kalau terus dipertahankan akan
menjadi masalah yang tak pernah selesai.
Mendadak, malam itu menjadi hangat.
Bulan sedang penuh. Bintang tidak terlalu banyak menghiasi langit malam itu,
tapi cukup terang untuk melihat wajah Anjani yang… sedih? Kenapa?
“Please, Bim... Lo sahabat gue. Gue nggak mau ngeliat hanya karena masalah yang kayaknya
nggak ada jalan keluarnya, lo
tinggalin impian lo selama ini. Jangan. Jangan kayak nyokap gue, Bim. Jangan.... Jangan.” Tiba-tiba setitik air mata turun dari mata kiri Anjani.
Dengan cepat aku menghapusnya sambil mengingatkan tanganku untuk tidak
berlama-lama menghapus air matanya.
Bisa-bisa aku jatuh makin dalam.
Tapi aku gagal.
Anjani menyentuh pipi kiriku. Pipi
kiriku yang ditumbuhi rambut-rambut halus karena aku malas mencukur dagu dan area tumbuh
janggut. Aku masih ingat, aku menyesal karena aku lupa bercukur. Rambutku juga
gondrong dan kuikat.
“Bimarendra Satyadwira.... Please, terus nulis, ya...? Ingat, kan, waktu pertama ketemu lo, elo langsung gue cecar dengan pertanyaan-pertanyaan dunia jurnalistik? Tiap gue
baca majalah Sagacious, gue selalu cari artikel lo. Dan gue bersyukur bisa bersahabat dengan penulis hebat, seperti lo. Jurnalis cerdas dengan perspektif yang berbeda, menulis
dengan gaya yang tidak sepenuhnya menuduh tapi membuat orang tergerak untuk
berbuat sesuatu, dan juga cerpenis berimajinasi tinggi seperti Seno Gumira
Anjasmara...”
“Ajidarma,
Anjani...,” koreksiku
sekali lagi, sambil tertawa kecil.
“Oke, Ajidarma.... Keep writing....” Tangan Anjani menyelipkan sehelai rambut ikalku ke
belakang telinga. “Supaya gue selalu puas tiap kali
baca Sagacious. Gue penggemar nomor
satu lo, kan?” Anjani tersenyum, masih
dengan mata yang basah. Mungkin aku sedang
delusional, tapi aku melihat dua kata dari matanya. Kepercayaan. Kebanggaan.
Seno
Gumira Ajidarma pernah menulis sepotong kata dalam buku Kitab Omong Kosong, yang muncul di pikiranku saat itu.
“Seberapa indah mimpi,
jika tetap mimpi?”
Mimpi
hanya jadi siksa jika tidak terwujud. Aku menyadari itu. Tetapi, di satu sisi,
mimpi ini sudah membawaku terlalu jauh.
Aku
sudah tahu bagaimana mimpi ini berujung.
Aku
sudah tahu, mimpi ini naif. Senaif ending
film The Graduate. Aku juga
menyadari bahwa aku bukan Ben Braddock yang diperankan Dustin Hoffman dalam
film itu. Anjani juga bukan Elaine.
Aku hanya tidak ingin mengakhirinya sekarang.
Saat itu, aku memutuskan untuk terus dibawa oleh mimpi ini, entah berapa lama.
Aku mengangguk tanda setuju. Dan aku
tak bisa memungkirinya. I fall too deep.
Moron.
***
Sekarang
aku menemukan Anjani menangis lagi karena aku. Aku telah membuat dia menangis
dua kali, sejak kami bersahabat. Pertama adalah karena aku berhenti menulis dan
entah kenapa itu membuatnya kesal. Kedua, sepertinya aku harus menanyakannya.
“Jangan
paksa gue balik sama Bram. Lo tau gue nggak suka dipaksa, kan?” Anjani berkata dengan suara mencekam. Ia menyeruput hot cappuccino-nya, sementara cheese
quiche-nya belum habis juga dari tadi.
“Kalian, kan, selalu begitu, berantem, putus, dan balikan lagi.... Masa sekarang nggak bisa begitu lagi?”
“Gue
udah nggak mau. Gue udah nggak
kuat. Gue muak bohong terus.” Suaranya mendadak menjadi parau, seperti ada
sesuatu di tenggorokannya.
“Kenapa nggak kuat? Kita tau, kan, Bram itu orangnya emang temperamental, tapi dia nggak pernah main tangan, dan dia sayang banget sama lo. Dan gue yakin lo juga begitu. Terus tadi lo
bilang, lo muak bohong terus? Memang lo
bohong apa sama Bram?"
Maskara Anjani luntur, menyisakan
lautan hitam di kedua mata indahnya. Dan kata-kata yang terlontar dari mulutnya
membuatku benar-benar bungkam.
“Gue
kayak jualan bakso, tapi juga jualan boraks, tau nggak? Ironis, ya? Gue
sebenarnya nggak mau begini, Bim. Lo tahu, kan, gue paling nggak suka bohong….”
Aku
mengernyitkan dahiku. “Maksudnya?”
“I do care about you, more than friends.... I
know you don’t...,” kata Anjani dengan suara pelan.
Samar,
aku melihat senyumnya. Senyum getir. Senyum yang tampak seperti menertawakan
diri sendiri. Seperti sudah mengetahui bahwa ia tidak akan lulus ujian sebelum
mendapat surat pernyataan kelulusan.
Kamu salah, Anjani.
“Dan sekarang aku udah muak untuk
terus-terus bohong. Jangan paksa aku untuk bisa sama-sama Bram. But
I’m dying to know. Do you?”
Aku
berharap, pertanyaan selanjutnya tidak pernah ia tanyakan.
“Do you care about me, like I care about you?”
Aku ingat definisi “care” macam apa yang kami punya. Saat
sedang nongkrong di atas rooftop
bersama Bram, kami mengobrol tentang hal ini. Aku dan Anjani merasa bahwa kata
tersebut sering diremehkan oleh banyak orang, bahkan Bram merasa tak ada yang
spesial dari kata itu. Namun, definisi “care”
menurut kami punya makna yang lebih dalam dibandingkan cinta. Aku tahu benar,
kata itu tidak akan diucapkan Anjani pada sembarang orang.
Aku memejamkan mata. Mendadak aku
merasa berat. Kepalaku benar-benar pening. Aku juga merasa hal yang sama.
Kata-kata
yang kuucapkan berikutnya adalah bagaimana aku mengungkapkan rasa “care” yang kupunya untuknya, dengan
caraku sendiri. Cara yang menurutku paling baik. Untuk dia, dan semuanya.
“Kamu harus balik sama Bram....”
“So
you don't?” Anjani bertanya, setengah terperangah.
Mendadak aku merasa aku sungguh
cengeng. Aku adalah jurnalis. Jurnalis selalu punya pikiran yang realistis
bukan melankolis. Walaupun cerpenis, aku tidak boleh seperti ini. Like the old song that everyone has heard,
aku terus berusaha untuk bisa menyenangkan banyak pihak. Pihak Bram dan Anjani.
Bel yang ada di atas pintu masuk Blue Romance
bergemerencing,
seseorang masuk. Melangkah mendekat dengan napas terengah-engah. Mengikuti
impuls, Anjani melihat siapa yang baru datang, setelah
melihat mataku tertumbuk pada orang yang baru saja masuk.
Bram.
Aku tersenyum kecil. Rasanya
aku ingin merebahkan diri di atas rooftop rumahku, dan merayakan akhir dari mimpi
yang selalu tertunda untuk kuakhiri.
Sebelum Anjani datang, aku menelepon Bram untuk datang menemuiku di Blue Romance.
Seandainya aku bisa lebih cepat
menyadari bahwa aku tidak boleh berlama-lama. Tapi, waktu tidak mungkin diputar
balik.
Menyesali apa yang sudah lewat tidak akan membuat aku
menjadi manusia yang lebih baik. Tidak ada gunanya. Klise, tapi itulah yang
harus kulakukan.
Aku berdiri, mempersilakan Bram untuk duduk di tempatku. Aku melangkah pergi,
berusaha keras tidak menoleh ke belakang, walaupun merasakan tatapan yang
menusuk dari belakang, entah Bram atau Anjani. Aku beranjak ke arah kasir, membayar
pesananku dan mengeluarkan kartu namaku, meminjam pulpen dari si penjaga kasir
yang bernama Grace. Setelah menuliskan beberapa huruf, aku tersenyum getir dan meminta
Grace untuk memberikannya pada gadis dengan dress
floral kuning-hitam yang berdandan lebih cantik daripada biasanya, yang baru saja membuatku benar-benar bahagia.
Tapi itu harus segera diakhiri, dan dia harus tahu aku juga begitu peduli
padanya, lebih dari apa pun.
Setelah ini, aku akan menyelesaikan packing karena besok aku akan berangkat
ke Washington.
Seorang
rekan jurnalis memintaku menulis sebuah artikel lepas yang membutuhkan
perspektif jurnalis Asia untuk surat kabar The
Washington Times. Setelah dua kali menulis, ia memintaku untuk mencoba
memasukkan surat lamaran kerja di surat kabar itu. Aku memberanikan diri untuk
bergabung menjadi jurnalis tetap, yang mengharuskanku untuk berdomisili di
Amerika.
Semua
aplikasiku sudah lengkap. Rekan jurnalis yang membantuku itu membantuku
melengkapi semuanya, termasuk mendapatkan visa untuk bekerja dan lain
sebagainya. Aku resmi diterima di The Washington Times. Hari
ini adalah hari terakhirku di Jakarta.
Tidak akan ada masa-masa indah di
Bandung, di Jakarta, di Potluck, di Blue Romance, dan di tempat lainnya. Aku memilih untuk tidak kembali.
Jika aku bisa kembali
ke Jakarta, aku tetap tidak ingin
kembali.
Menanggung beban karena menyukai,
mencintai, seseorang yang tak pernah bisa digapai hanya membuat diri dihantui
penyesalan dan kesengsaraan yang konyol. Jika pergi, aku lebih bisa menata
hatiku dan mengubur semuanya perlahan.
Klining.
Bel pintu Blue Romance itu berbunyi, untuk terakhir kalinya kubunyikan untukku
sendiri.
***
Bram merangkul pinggang Anjani dengan luwes, sementara mata Anjani masih me-recall sosok yang ia temui sebelum
bertemu Bram.
Anjani berjalan dengan mata kosong, berusaha mengangguk pada apa
pun yang Bram katakan.
“Sori, Mbak, mas yang gondrong tadi titip ini....” Grace, si penjaga kasir memberikan uang kembalian pada
Anjani beserta dengan secarik kartu nama dengan tulisan Bimarendra Satyadwira, jurnalis The
Jakarta Tribune, lengkap dengan alamat kantor dan nomor telepon
kantornya. Anjani mengerutkan alis,
membalik kartu nama tersebut dan mendapati deretan tiga
huruf. Anjani goyah dan gelisah.
I
do.
***
A Farewell To A Dream merupakan salah satu cerita dalam novel omnibook Blue Romance karya Sheva yang diterbitkan PlotPoint Publishing.
Blue Romance, sebuah coffe shop yang buka setiap hari, dan mungkin dilewati hari ini. Blue Romance menyediakan kopi ternikmat dan sahabat saat kau dituntut untuk terus terjaga.
Blue Romance juga punya banyak cerita. Ada kisah jatuh cita dan patah hati, perpisahan dan pertemuan kembali. Kisah-kisah ini berbalut kafein dan aroma kopi, berderai tawa dan tangis, di sela desis coffe maker. Seperti Latte, Affogato, Americano, dan Espresso, setiap kisah punya kopinya sendiri.
Kisah mana yang cocok dengan kopimu? Bisa kamu pilih mulai bulan Oktober ini ;)
Blue Romace bisa kamu dapatkan di toko buku reguler di seluruh Indonesia seperti Gramedia, Togamas, Gunung Agung, Leksika, Eureka, dan toko-toko buku online seperti mizan.com, kutukutubuku.com, pengenbuku.net, dll
Blue Romance, sebuah coffe shop yang buka setiap hari, dan mungkin dilewati hari ini. Blue Romance menyediakan kopi ternikmat dan sahabat saat kau dituntut untuk terus terjaga.
Blue Romance juga punya banyak cerita. Ada kisah jatuh cita dan patah hati, perpisahan dan pertemuan kembali. Kisah-kisah ini berbalut kafein dan aroma kopi, berderai tawa dan tangis, di sela desis coffe maker. Seperti Latte, Affogato, Americano, dan Espresso, setiap kisah punya kopinya sendiri.
Kisah mana yang cocok dengan kopimu? Bisa kamu pilih mulai bulan Oktober ini ;)
Blue Romace bisa kamu dapatkan di toko buku reguler di seluruh Indonesia seperti Gramedia, Togamas, Gunung Agung, Leksika, Eureka, dan toko-toko buku online seperti mizan.com, kutukutubuku.com, pengenbuku.net, dll
Cover & Ilustrasi oleh: Diani Apsari (
Kerennnnnnnnnnnnnnn...
ReplyDeletecerita ini sangat menarik sekali, saya sangat kagun, ditunggu cerita selanjutnya
ReplyDeletehttp://www.maxisbola.com/NewIndex.aspx
Menyentuh sekali
ReplyDeleteSangat menyentuh
ReplyDelete