Thursday, May 23, 2013

[Cerita Spesial] Hujan dan Pelangi

oleh: 
Idawati Zhang (@IdawatiZhang) 
Mikayla Fernanda (@MikaylaFernanda) 
Ch. Marcia (@chrmarcia)

ilustrasi oleh: Diani Apsari (@dianiapsari)


Dua hari Sabrina bertahan untuk diam di rumah, meng­acuhkan aldo yang menelepon, BBM, dan SMS. Hari Sab­tu, ia lebih banyak mendekam di kamar, merapikan kamar, dan menyusun ulang isi lemari baju, sampai menata ulang laci meja rias saking nggak ada kerjaan. Malam minggu dilewati dengan menonton sinetron nggak mutu di televisi, menemani Mama yang nangis­-nangis sesenggukan karena adegan orang bercerai di serial antah­-berantah. 

Hari Minggu, dirinya sudah tidak tahan lagi. Tiap sepu­luh menit, Sabrina melirik Blackberry­-nya, mengetik kata­-kata untuk aldo namun kemudian dihapus tanpa dikirim. Ratusan kali ia membuka profil aldo di contact-­nya, memandangi foto cowok yang terlihat keren dengan baju se­ragam basket SMA Pelita Nusa itu. 


Hingga akhirnya hari Senin tiba. Sepanjang perjalanan ke sekolah Sabrina mencengkeram lengannya kuat­kuat. Nervous. Ia akan bertemu aldo di sekolah. So pasti. Kelas mereka bersebelahan dan kemungkinan berpapasan nyaris mendekati seratus persen. Kalaupun tidak, ada rapat OSIS rutin tiap Senin setelah sekolah bubar. Nggak mungkin Sa­brina bisa kabur lagi.


Sabrina sukses mendekam di kelas sepanjang istirahat pertama, dan keluar kelas yang terakhir di jam istirahat kedua. Semua karena menghindari kemungkinan ketemu Aldo. Bukan apa-­apa.... Ia cuma butuh waktu untuk me­nulikan hati dan mengikis rasa cemburu buta di pikiran­nya. Setidaknya supaya batinnya agak mati rasa, agar sang­gup ikut rapat OSIS tanpa salah tingkah.


“Lo yakin ini catatannya Camm?” Suara itu membuat Sabrina menghentikan langkahnya tepat di depan ruang OSIS. Rasa jealous yang sudah menipis mendadak terba­kar lagi. Dengan cepat ia menyandarkan punggung ke din­ding, kemudian melongok perlahan lewat jendela.


“Aduh, Do. Camm doang yang catatannya mulai dari bab sebelas. Kan dia masuk di pertengahan tahun ajaran. Tuh, Lihat!” Suara James menyahut kencang, separuh menggema di ruang yang masih kosong.


Aldo mengernyitkan dahi. “Kenapa nggak lo aja yang balikin?”

“Gue selalu gelagapan, Bro. Biasa. Asma gue kambuh.”

“Ngasal lo!”


“Jadi gue minta tolong lo aja yang balikin. Tapi sebut nama gue, gitu. Kan gue yang nemuin ketinggalan di ruang perpus.”

“Oke. Tapi yakin beneran kan ini catatannya Camm?”


“Yakin, Bro.”

“Pasti?”

“Demi kucing gue yang mau beranak di rumah. Suer. Pasti!”


“Buset. Pake bawa­-bawa kucing segala.”

“Habisnya lo nggak percaya!”

“Yakin alamatnya di Jalan Permata, ya?” Aldo bertanya sambil merangkul pundak James. “Please. Kali ini nggak usah pake bawa­-bawa kucing segala.”

“Yakin. Pasti. Kan gue pernah ngikutin….”

“Hah? Sumpeh lo?” 

James terkekeh. Sebelah tangannya teracung, memben­tuk huruf ‘V’.

“Segitunya,” tukasnya sambil memasukkan catatan itu ke ransel birunya. “Beneran nggak mau ikut?”

James menggeleng. “Lo mau gue bengek di tempat? Ntar gue megap­-megap pingsan, gimana?”

Aldo tertawa lagi. “Kalo gitu kapan lo mau punya pacar? Kalo lo demen sama cewek, perjuangin dong. Sampai titik darah terakhir kalau perlu.”



Sabrina mengernyitkan dahi. Kalau suka sama sese­orang, perjuangkan sampai titik darah penghabisan. Ya­-ya­-ya... betul banget. itu yang akan ia lakukan.

“Aldo?”

Aldo tergagap. James menganga seperti kuda nil. Sete­ngah meter di sebelah mereka, Sabrina memasang muka super imut sambil bersandar di pintu masuk.

“Aku minta maaf ya. Soalnya aku nggak lihat missed call kamu kemarin.” Sabrina menghambur dan menyandar di lengan Aldo. Lagaknya manis. “Habis rapat pergi, yuk!”

Muka Aldo terlihat lega. “Aku udah dari pagi nungguin kamu.”

“Memangnya aku ke mana?” jawabnya berlagak inosen.

“Kamu menghilang,” sahutnya sambil tersenyum. “Setengah mati dicari dari weekend. Di sekolah aja nggak keliatan dari pagi.” 

Aldo menarik kursi dan duduk. Sebelah tangannya meraih rambut Sabrina yang tergerai, menyingkirkannya ke belakang telinga.

“Udah nggak ngambek sama aku, kan?”

“Siapa yang ngambek?” Sabrina menyahut. “Kamu?”

“Aku?”

“Iya. Kutunggu-­tunggu sampai ketiduran, kamu nggak ke rumah kayak biasa.” ia menarik kepalanya menjauh dari tangan Aldo. “Kamu lupa ya, kalau kemarin malam Ming­gu?”


“Hei! Aku berjuta-­juta kali SMS, BBM, dan missed call nggak kamu balas.”

“Ke rumah dong. Usaha! Katanya kalo sayang, sampai nyawa juga diserahin.” Sabrina mendengus. 

“Aduh. Mulai lagi.” Aldo mengerang. 

Seakan mengendus sesuatu yang akan terjadi, James keluar ruangan tanpa pamit.

“Jangan ngeles, deh.” Sabrina mulai berakting. “Kamu yang bilang kalau kenal aku seratus persen, secara udah pacaran dari kelas satu. Masa gara-­gara kejadian kecil jadi nggak malam mingguan?”

“Loh? Kamu yang kabur waktu hari Jumat. Inget nggak?”

“Ya, bujuk dong. Dateng ke rumah. Bawa bunga. Krea­tif dikit.”

Aldo menganga lebar. “Kamu tahu nggak, berapa kali aku missed call kamu? Delapan belas kali! Sms lebih dari dua puluh. Nggak dibalas. BBM juga dicuekin. Masa aku nekat datang? Bisa-­bisa diusir pulang nanti.”

“Yeee… itu sih namanya pengecut.”

Aldo menaikkan alis. “Jangan ngajak berantem, Sa.”

Sabrina terdiam. Salah omong. Seharusnya ia nggak se­gitu kasar.

“Mau berantem sih, gampang.” Sabrina melenggok pongah. “Cuma kamu yang rugi. Sogokan buatku mahal loh.” Ia melirik Aldo dengan sudut matanya. “Jadi mending sebelum aku mulai ngambek lagi, kamu minta maaf deh sekarang.”

“Kenapa aku yang minta maaf? Emangnya aku salah apa?”

“Nggak usah nanya-­nanya lagi!” Sabrina menyahut ke­tus. “Sekarang cepet bilang kalo kamu minta maaf.” 

“Eh, enak aja…”

“Cepet bilang!”

Aldo menganga lebar. “Kok maksa sih?”

“Ya udah, kamu dimaafkan.”

“Haaah?”

“Aku memaafkan kamu, Sayaaang...” Sabrina menda­dak mendayu­-dayu. “Nggak perlu diungkit-­ungkit lagi yang kemarin. aku udah nggak marah lagi sama kamu.”

Aldo mengernyit. Percakapan yang aneh. Cewek yang satu ini memang nggak pernah mau mengaku salah, atau menyelesaikan konflik dengan sebuah pengakuan. Pasti akhirnya ngomong muter­muter nggak keruan dan me­lempar kambing hitam ke orang lain. Lalu seluruh keab­surdan itu akan diakhiri dengan bermanja­-manja dengan suara yang dibuat-­buat, seolah tidak pernah ada apa-­apa di antara mereka.

“Jadi....” Sabrina menyandar ke lengan Aldo. “Tadi kamu mau bilang apa? Mau ajak jalan aku ke mana?”

Enngg... nggak ngajak ke mana-­mana.”

“Tadi yang kamu masukin ke tas apa? Sini lihat.”


“Ini...” Suara Aldo terhenti. Sabrina menarik buku dengan logo Pelita Nusa dari dalam tasnya.

“Nggak disampul. Nggak ada nama.” Sabrina membo­lak­-balik buku catatan biologi itu. “Tulisan cewek sih. rapi.”

“Punya Camm.”

Alis Sabrina terangkat sebelah. “Ngapain buku Camm ada di tasmu?”

“James yang kasih. Katanya ketinggalan di perpus.” Aldo menyambar buku itu dari tangan Sabrina dan mema­sukkannya kembali ke dalam ransel. “Mau aku kembalikan ke kosnya. Kan besok ulangan.”

“Kamu mau ke kos Camm???” Sabrina membelalak. “Nggak boleh!”

“Loh? Kenapa?”

“Karena... karena...” Sabrina gelagapan. “Karena aku mau ke sana. Mau pinjem.... Eh, tukeran komik. Jadi aku aja yang balikin ya!”

Lebih baik mengajukan diri daripada Aldo yang datang ke kos Camm. apalagi tempat kos kan nggak ada yang jaga. Isinya cewek­cewek liar semua. Udah pasti.... Uh! Sabrina bergidik membayangkan adegan yang mungkin terjadi di kos. Mungkin pegang­-pegangan, atau malah lebih parah.

Aldo berdiri depan Sabrina dengan muka bingung. Tapi akhirnya, buku catatan itu sukses berpindah tangan.

“Tahu alamatnya kan?” Aldo mengamati Sabrina de­ngan pandangan menyelidik.


Lagi-­lagi Sabrina gelagapan. “Sebenarnya, lupa.”

“Pokoknya habis Soto Dudung belok kiri….” Melihat Sabrina mengernyit, Aldo terkekeh sendiri. “Aku lupa ka­lau kamu nggak pernah makan di pinggir jalan.” Cowok itu meraih secarik kertas dan pulpen lalu mulai menggambar peta. “Setelah ITC Roxy Mas belok kiri. Cari pasar malam. Ke kanan sebelum Sevel. Tinggal cari nomor 27. Oke?”

“Oke.”

“Seberang kosnya ada kantin mi Bangka, yang pagarnya warna kuning.”

“Oke.”

“Titip salam buat Camm, ya. Bilangin James yang ne­muin bukunya di perpus.”

“Nggak mau titip beliin bakmi sekalian?”

“Hush! Ngawur....”

***

Ilustrasi cover oleh: Lidia Puspita (@lidiapuspita)

Hai, guys!
Gimana cuplikan cerita dari buku Hujan dan Pelangi di atas? Penasaran sama kelanjutannya? Yuk baca novel Hujan dan Pelangi! ;)

Hujan dan Pelangi merupakan salah satu dari Clara Ng Book Project. Clara Ng Book Project adalah program yang diadain sama PlotPoint Workshop & Plotpoint Publishing mulai tahun lalu. Jadi, para alumni kelas WORKSHOP NOVEL PLOTPOINT bersama Clara Ng, kita bikinin program penerbitan novel. 

Di sini, para alumni kelas diminta untuk bikin kelompok untuk mengerjakan naskah yang akan diterbitkan menjadi sebuah buku. Selama pembuatan buku ini, mereka didampingi oleh Clara Ng yang juga bertindak sebagai EDITOR.

Ini hasil dari Clara Ng Book Project:
- TIGA BURUNG KECIL 
- HUJAN DAN PELANGI 
- SKETSA TERAKHIR 

Sinopsis
Bagi Sabrina, Cammile adalah awan mendung di hari cerahnya. Oh, ralat, Camm ibarat hujan badai penuh petir yang bikin banjir mendadak. Kenapa? Karena sejak ada Camm hidupnya berubah total. Dia bukan lagi “queen bee” di sekolahnya, sahabatnya, Patrice, mendadak jadi musuh yang menyebalkan dan Aldo, pacar sekaligus bintang di sekolahnya, kini seperti orang yang tak dia kenal. Bahkan hubungan Sabrina dengan Ayahnya juga ikut berantakan.

Bagi Camm, Sabrina adalah pelangi di hari yang amat cerah.  Pelangi selalu mencuri perhatian dari indahnya cerah hari. Itulah Sabrina bagi Camm: cewek yang merasa dirinya pusat semesta dan titik dari segalanya. Bagi Camm, yang anak baru di SMA itu, justru ini saatnya untuk mengambil semuanya dari Sabrina.  Tak ada juga yang dia pertaruhkan. Ibunya juga sudah meninggal dunia. Siapa yang bisa melarang anak 
sebatang kara?

Hidup Sabrina dan Camm kini mendadak berada di bawah “langit” yang sama. Berselang-seling di antara dentam musik group dance, bel sekolah, dan rahasia besar di antara mereka berdua.














No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan