Keningmu berkerut membaca judul diatas? Bagaimana kalau itu merupakan
cita-citaku? Bagi sebagian orang mungkin terdengar aneh. Terlintas
pikiran kalau aku agak psycho. Tapi membuat cerita suspense merupakan hobi dan keahlianku. Dan aku ingin dikenal sebagai bloody love story teller. Apa bedanya dengan writer?
Aku tidak hanya ingin menulis, tapi menyampaikan isi pikiranku bahwa
cinta memiliki sisi mata uang lain yang bernama tragedi. Meski aku
menyampaikannya lewat tulisan.
Minat menulisku muncul saat Gramedia mulai menerbitkan teenlit. Saat
itu aku berusia 10 tahun. Aku tahu itu dari newsletter Gramedia yang
dikirimkan ke alamat tanteku tiap tiga bulan sekali. Aku cukup puas
hanya dengan membaca sinopsisnya. Mengapa? Karena saat itu mustahil
untuk meminta ibuku membelikan satu novel teenlit. Ibuku tidak suka
dengan keinginanku membeli buku karena memang saat itu perekonomian
keluarga kami sedang jatuh. Sementara tanteku takkan melirik teenlit.
Tak ada yang bisa menggantikan Sandra Brown sebagai penulis favoritnya.
Lagipula, jika aku bilang ingin membeli buku itu, mereka mungkin akan
memarahi aku yang membeli buku cinta-cintaan. DI umur yang ke-18 ini,
aku selalu tertawa mengingat hal itu. Betapa ibuku masih menganggapku
putri kecil saat itu. Padahal imajinasiku sudah ratusan langkah ke
depan. Hanya dengan membaca sinopsis novel-novel teenlit, aku dapat
membentuk plot teenlit di otakku. Untuk anak seusia itu, plot seperti
itu merupakan plot yang sangat complicated. Tidak mampu membeli novel teenlit, aku menulis novel teenlit sendiri.
Saat novel yang akuketik sudah mencapai 10 halaman (saat itu aku bangga pada diriku sendiri), aku merasa butuh feedback.
Akhirnya aku meminta teman ibuku yang saat itu sedang bertamu ke rumah,
untuk menilai tulisanku. Kata ibuku, temannya itu bergerak di dunia
penulisan. Dengan bangga aku mempersembahkan tulisanku. Aku ceritakan
bagaimana pendapatku akan cerita itu. Dan apa yang aku dapatkan diluar
dugaan. Teman ibukuberjengit jijik melihat tulisanku. Ia takut dengan
jalan pikiranku yang sudah mampu membayangkan kisah intrik keluarga yang
dibumbui dengan pengkhianatan, masa lalu, dan tragedi berdarah. Mungkin
dikira teman ibuku, cerita yang kubuat adalah cerita dengan tokoh
anak-anak yang menceritakan persahabatan dan kekeluargaan serta
mengandung pesan moral di akhir cerita. Aku tidak tahu bagaimana membuat
cerita seperti itu. Saat itu aku bahkan tidak punya novel! Jadi aku
tidak tahu darimana pengaruh itu dan darimana datangnya ide gila seperti
itu.
Selama tujuh tahun, aku tidak menyentuh keyboard atau pena dan
kertas. Semangat menulisku mati suri. Aku mencoba mencari bagaimana
membuat cerita yang ideal sesuai umur yang menceritakan persahabatan dan
mengandung moral. Dalam kesepian karena kehilangan passion, aku mencoba
menafsirkan lirik lagu favoritku, The Black Rose yang dinyanyikan oleh
L’arc-en-Ciel, menjadi bentuk tulisan. Cerita 10 halaman saja
diselesaikan dalam seminggu. Sulitnya seperti mencairkan gunung es. Tapi
aku menikmatinya, menikmati lirik yang penuh dengan ketegangan. Setelah
tujuh tahun vakum menulis, aku kembali menemukan kepuasan dari cerita
yang kubuat. Sesuai harapanku, mencekam. Setelah itu, perlahan aku
menumbuhkan kembali semangat menulisku. Kubuka kembali tulisanku yang
tetap 10 halaman. Dalam hati aku berjanji akan menggarap novel ini
sebagai masterpiece-ku. Aku tidak mau peduli dengan pendapat orang atau
menunggu orang menerima karyaku. Aku berkarya karena aku menikmatinya.
Aku percaya suatu hari orang akan mencari karyaku.
Untuk kembali memunculkan ide menulis, aku mulai dari menafsirkan
arti lagu. Juga mencari beberapa music video yang bercerita tentang
tragedi. Beberapa video yang memunculkan ide di otakku adalah Be Mine –
Infinite, Tell Me Goodbye – Bigbang, It’s War – MBLAQ.Meski akhirnya
ceritaku cenderung menjadi songfic dan fanfic. Tapi itu ampuh untuk
memanaskan oven ide di otakku. Beberapa karya yang kubuat dari lirik
lagu antara lain berjudul The Black Rose, Be Mine, Red Farewell Poison,
I’m Screamin, dan yang terbaru Missing Attack. Semua karya itu bisa
dibaca di blogku http://alovealivealove.wordpress.com.
Semuanya selalu berakhir dengan tragedi. Teman-temanku bergidik saat
membacanya. Tapi aku tidak peduli. Aku tak akan membiarkan passion-ku
mati lagi.
Akhir tahun 2011, aku kembali menemukan semangat menulisku secara
utuh. Aku dengan percaya diri mengikuti lomba Bentang Belia. Meski
gagal, itu merupakan langkah awal menuju kesempatan berbagai kompetisi
menulis. Selanjutnya aku ikut serta dalam beberapa proyek menulis,
seperti :
- #15haringeblogFF meski hanya tiga hari pertama karena keterbatasan waktu dimana waktuku habis untuk kegiatan sekolah. Tapi proyek ini yang pertama kali membuatku menulis sesuai tema.
- #DearMama. Aku turut berkontribusi dengan mengirimkan surat untuk ibu, untuk dibukukan. Lebih tepatnya, perasaan yang kupendam selama ini untuk ibu. Meski mengalami kesulitan untuk menulis bentuk surat, bukan fiksi tragedi, nyatanya aku bisa.
- #CeritaHariIni. Dari enam minggu diselenggarakan, aku hanya mampu membuat dua karya :’( Lagi-lagi karena keterbatasan waktu, meski seharusnya aku tidak menggunakan waktu sebagai excuse. Sama seperti poin 1, tema yang diberikan cukup menantang. Sejak mengikutinya, tema satu kata dengan mudah muncul di kepalaku J
Aku lebih banyak memuat karyaku di blog. Rupanya aku perlu membuat 30
karya fiksi untuk membuatku pede dan berencana untuk serius menekuni
dunia menulis ini, untuk mengirimkan cerpen ke media cetak atau
mengirimkan naskah novelku ke penerbit. Saat ini aku sedang dalam proses
editing naskah yang sempat kukirim dalam lomba Bentang Belia dan sedang
menggarap sebuah novel yang bercerita mengenai skandal seorang artis.
Kurencanakan salah satu novelku rampung akhir Juni sebelum aku sibuk
dengan masa perkuliahan. Cerpen-cerpenku sedang kusunting ulang agar
layak terbit di media. Selain itu dalam saat yang sama dengan deadline
akhir bulan, aku sedang mengerjakan tulisan untuk #MyLifeAs, #Ruang,
#MembunuhRindu, serta #KoreanStoryContest. Aku menjaga ritme menulisku
dengan menulis fiksi tiga halaman tiap harinya.
Sejujurnya, aku sedikit menyesal dulu langsung ciut hanya karena
kata-kata teman ibuku. Padahal jika aku menekuninya, mungkin dalam usia
12 tahun aku sudah menulis novel metropop sekelas Sidnye Sheldon. Hehe.
Tapi saat itu memang tidak ada fasilitas seperti internet untuk meriset
kelengkapan cerita. Jadi aku tidak bisa menyalahkan waktu. Kalau ada
yang harus dipersalahkan, adalah aku jika tidak juga merampungkan novel
sebulan setelah membuat tulisan ini. Yang berarti aku menyia-nyiakan
fasilitas era modern ini.
Sepertinya aku sudah tenggelam dalam candu untuk berkontribusi dalam
proyek tulisan. Mimpiku tampil memberi tanda tangan dalam acara
fansigning book, yang kubayangkan sejak SD, kini terbayang jelas.
Padahal aku baru mengambil langkah pertama. Kali ini aku tidak akan
mundur karena apapun, apalagi hanya karena aku gagal dalam kompetisi
menulis atau tulisanku ditolak media. Seorang bloody love storyteller tidak pantas menyerah begitu saja. Bukankah ia memang menyukai suspense, ketegangan, tragedi, dan twist?
No comments:
Post a Comment