Cita-citaku! Setiap kali mendengar, lebih-lebih membicarakannya, pikiranmu melayang entah kemana. Tatapan matamu pun menerawang melayang ke langit seakan mengejar sebaris kata cita-cita yang kamupun tidak pernah tahu apa tepatnya bentukan sebaris kata tersebut.
Sudah menjadi kebiasaanku, bahwa setiap pagi selalu mengawali hari di
teras belakang rumah. Sebuah halaman belakang yang tidak terlalu besar
namun cukup nyaman. Pada salah satu sudut halaman terdapat kolam ikan
kecil dengan air mancur yang menggericik perlahan. Satu hal lagi,
segelas kopi hitam selalu setia menemani setiap pagiku. Aku selalu
menikmati uapnya yang menjilat wajah dengan aromanya yang khas, yang
selalu membawa ketenangan bagiku. Demikian juga pagi ini, saat aku mulai
membaca sebuah catatan seorang kawan, tentang cita-cita dan impiannya.
Kawanku mengawali catatannya dengan sebuah angan.
***
Anganmu kembali melayang jauh, mencoba melanjutkan gambar citamu yang
belum usai. Setiap kali kau menggoreskan tinta di langit anganmu,
setiap kali pula tergambar keinginanmu untuk menjadi seorang penulis.
Setiap kali pula gambaran itu tak pernah mampu kau selesaikan. Demikian
yang terjadi, berulang kali, dan selalu terulang. Anehnya, kau selalu
bisa menikmati saat-saat yang tak usai itu.
Terlalu seringnya hal itu terjadi, membuatmu tak ingat sejak kapan
hal itu menjadi kebiasaanmu. Tapi, pernah ingatanmu membawamu ke
masa-masa saat kau masih duduk di sekolah dasar di sebuah desa. Beberapa
muridnya mengenakan sepatu yang berlubang di bagian ibu jari kakinya.
Bahkan ada satu temanmu yang bersekolah tanpa alas kaki. Di sekolah
itulah kau pernah menulis sebuah skenario drama yang mengambil seting
cerita persidangan, dan mendapatkan nilai terbaik. Jika mengingat hal
itu, kau sering tersenyum sendiri dan berkata dalam hati, “Ah, anak SD”.
Mengenang kembali masa kecil, selain kenangan semasa duduk di bangku
sekolah dasar, sepertinya tidak ada hal menarik yang berkaitan dengan
menulis. Semuanya terjadi dan berlalu biasa-biasa saja, bermain dan
belajar.
Sampai pada suatu hari saat kau sudah duduk di bangku sekolah
menengah atas, kau mengenal seorang wanita yang telah menyita waktu dan
perhatianmu. Dia telah mempesonamu, tetapi kau tak punya keberanian
untuk mengungkapkan apalagi menyampaikan kekagumanmu itu kepadanya.
Saat itulah kau menyadari bahwa menulis adalah satu cara yang bisa
kau gunakan untuk mencurahkan rasa hatimu, walau hanya satu paragraf.
Tidak jarang kau memerlukan waktu satu jam hanya untuk menuliskan sebuah
kalimat, karena lamunanmu bekerja lebih dahsyat daripada tanganmu.
Sehingga sebenarnya tidak banyak tulisanmu dalam sebuah diary. Tidak pula setiap hari kau menulis dalam diarymu. Hanya saat kau merasa senang, kecewa atau marah.
Kebiasaanmu menulis dalam sebuah diary berlanjut hingga kau
di perguruan tinggi. Tulisanmu pun tidak hanya bercerita tentang kisah
romantis, tetapi juga tentang segala kegiatan yang kau alami. Itupun
tidak banyak.
Sering sekali kau berpikir bahwa menulis diary itu adalah
kebiasaan kaum perempuan, sedangkan kamu adalah seorang laki-laki. Apa
kata teman-temanmu, sesama kaum pria bila mereka tahu kau menulis dalam
sebuah diary. Kau pun menjaga diary itu dari sesama kaum pria agar mereka tidak mengetahuinya.
Bahkan kau menulis catatan demi catatan dalam sebuah agenda kerja
agar tersamarkan dan tak seorang pun menyangka bahwa kau menulis sebuah diary. Kau pun lebih senang menyebutnya sebagai sebuah catatan harian daripada sebuah diary.
Kebiasaanmu menulis catatan harian, walau tidak setiap hari, terhenti
saat kau harus menyelesaikan tugas akhirmu sebagai mahasiswa
arsitektur. Berhenti sama sekali, dan tidak pernah ada catatan harian
lagi.
***
Menjelang subuh. Hari ini, jam tiga pagi dini hari, aku mencoba
melanjutkan membuka buku catatan harianmu. Sebenarnya kedua kelopak
mataku sudah ingin terkatup, tetapi mengingat janjiku padamu untuk
membaca catatanmu, maka kupaksakan untuk tetap terbuka.
Selama beberapa waktu kau bekerja setelah lulus perguruan tinggi,
sama sekali kau tidak pernah membuat catatan sama sekali. Juga saat kau
merasakan sebuah cinta yang lain, yang pernah kau ceritakan padaku, kau
tak menuliskan apa pun. Bahkan ketika ternyata cinta itupun melukaimu,
kau sama sekali tidak meninggalkan sebaris kata pun dalam catatanmu. Kau
hanya mencurahkannya saat kita menghabiskan waktu dengan menikmati
segelas kopi hitam di warung-warung lesehan, di pinggir jalan.
Sampai sebuah halaman membuat mataku yang tadi sudah hampir tertidur,
kini membuka sedikit lebih lebar. Kau mulai mencatat lagi, walau
sepertinya masih terbata. Kau sudah berpindah ke kota lain. Sebuah kota
dimana kau pernah tumbuh dewasa dan juga merasakan indahnya cinta
pertama, cinta yang membuatmu mulai menulis catatan kecil di harianmu.
Sebuah kota kecil yang sejuk walau sekarang sudah menjadi lebih padat
penduduknya, juga kendaraan dan pembangunan fasilitas-fasilitas publik.
Di kota ini kau bekerja di sebuah usaha buku. Tak ingin dikatakan gagal
dalam pendidikan arsitektur, walau kau mengakui bahwa dirimu adalah
arsitek yang gagal, kau mengaplikasikan kaidah-kaidah seni dan desain
dalam sebuah sampul buku. Walau tidak besar upah yang kau dapatkan namun
kau menikmati sekali pekerjaan ini. Kau senang dan bangga saat buku
yang kau rancang sampulnya terpajang dalam sebuah rak di toko buku.
Hanya sebuah kebanggaan yang kau nikmati sendiri. Kau tak tahu harus
menunjukkan kepada siapa bahwa buku yang terpajang itu, sampulnya adalah
rancanganmu. Konyol kalau tiba-tiba kau mendekati salah seorang
karyawan toko, atau pengunjung toko, kemudian mengatakan bahwa sampul
buku itu kau yang membuatnya.
Pekerjaanmu yang baru sebagai freelance desainer sampul buku
membuatmu dekat dengan dunia buku. Hanya saja kamu lebih sering
merancang sampul buku untuk buku-buku perguruan tinggi. Sedangkan kamu
sangat ingin membuat sampul buku-buku seni, sastra dan budaya, termasuk
novel.
Pernah suatu saat ketika kau menyerahkan rancangan sebuah sampul
buku, secara kebetulan almarhum Rendra sedang berbincang dengan pemilik
perusahaan. Bertemu Rendra dan melihat dari dekat saja sudah beruntung,
apalagi jika diberi kepercayaan membuat sampul bukunya. Kamu pernah juga
bertemu dengan Mas Didik Nini Towok, tapi sayang dua bukunya dikerjakan
oleh desainer internal perusahaan itu sendiri. Pada akhirnya, kamu
bertemu dengan seseorang bernama Herlinatiens, seorang penulis dari
Yogyakarta. Kamu belum pernah mendengar nama itu sebelumnya, lepas dari
nama itu barangkali adalah nama samaran. Kali ini kamu beruntung karena
dipercaya untuk membuat rancangan sampul bukunya yang berjudul Yang
Pertama. Sayang sekali penjualan buku ini tidak seperti yang kamu
bayangkan.
Kedekatan dan keterlibatanmu di dunia buku tanpa kau sadari
membangkitkan kembali keinginanmu untuk menulis. Semuanya begitu
mengusik hati dan pikiranmu, hingga muncul sebuah cita-cita yang lebih
dari sebuah keinginan dalam hatimu bahwa suatu hari kamu akan menulis
sebuah buku dan menerbitkannya.
***
Pagi hari berikutnya. Seperti pagi-pagi sebelumnya, segelas kopi
panas menemaniku membuka hari. Tetapi ada yang spesial hari ini. Karena
persediaan gula habis, maka bukan kopi hitam seperti biasanya melainkan
cappucino instan. Itupun diperoleh setelah mengaduk-aduk isi laci.
Tradisi akhir bulan yang sering aku lakukan, sehingga hampir menjadi
semacam ritual. Apakah ada hal-hal spesial yang aku peroleh dari catatan
harianmu di pagi hari ini?
Setelah beberapa lama, dan sepertinya itu cukup lama, bekerja dekat
dengan dunia buku, kau pun mulai merasakan kejenuhan. Lebih-lebih hal
itu kau rasakan karena tidak terwujudnya harapan-harapan kecilmu dalam
pekerjaanmu di dunia buku sementara kau merasa begitu dekat dengannya.
Situasinya mirip saat kau berada di tepi sebuah jurang dan begitu dekat
dengan tepi yang lain, tapi untuk ke sana kau harus berjalan memutar,
menuruni lereng di salah satu sisinya dan menaiki bukit di sisi yang
lain. Sementara saat kau utarakan maksudmu untuk membuat jembatan
gantung yang menghubungkan kedua tepi jurang itu hingga lebih mudah
mencapainya, kau pun tidak diperbolehkan. Kau pun kesal dan geram
dibuatnya, tapi tak seorang pun mendengar. Kau tak tahu kepada siapa
harus mengadu atau berbagi cerita sekadar mencari kelegaan hati. Situasi
inilah yang kemudian menjadi pemicu bagimu untuk menulis catatan demi
catatan, umpatan, maupun kisah-kisah penghiburan diri sendiri.
Gairah menulismu yang sedang memuncak saat itu membutuhkan tempat untuk dituangkan ke dalamnya. Media blogging
gratisan menjadi salah satu pilihan yang kau sukai sebagai sebuah cara
sekaligus media baru penulisan. Beberapa tulisan masih kau simpan dalam
hard disk komputer lamamu. Bahkan ada pula dalam lembaran kertas. Media blogging
benar-benar menjadi jendela bagimu untuk melihat keluar dari dalam
ruang jenuhmu, mencari udara segar yang kau dambakan. Impian menjadi
penulis semakin sering hadir dalam tidur malammu.
Seiring berjalannya waktu, kamu menyadari bahwa keinginanmu menulis
tidak hanya sekadar karena ingin dan suka. Ada beberapa hal lain yang
semakin meyakinkanmu bahwa kamu harus menulis. Sebagian karena
kekecewaanmu terhadap beberapa harapan dalam hidupmu yang bertepuk
sebelah tangan. Sebagian lagi karena kau merasa dipandang sebelah mata
oleh sebagian orang. Tetapi di atas semua itu ada sebuah keyakinan baru
bahwa kau harus menulis untuk hidup.
Pergeseran-pergeseran pemikiranmu tentang untuk apa kau menulis
semakin mengerucutkan pandanganmu pada bidang datar yang lebih sempit.
Di atas bidang datar itu kau pun sadar bahwa harus segera ada langkah
nyata yang terencana dan terstrukur agar kau dapat menulis, membuat
buku, dan menerbitkannya untuk hidup. Hidupmu, hidup istrimu, dan hidup
anak-anakmu kelak.
***
Cappucino dalam gelasku telah habis. Matahari sudah lebih besar,
pertanda hari sudah lebih siang. Hanya gemericik air mancur di kolam
teras belakang rumahku saja yang tak berubah. Waktu sudah bergeser.
Catatan kawanku pun selesai aku baca. Saatnya beranjak berdiri dan
mengambil langkah berikutnya.
Kawanku pun sudah menentukan pilihannya, dan memulai langkah barunya,
meski masih tertatih dan tak jarang terantuk kerikil ketidaktahuan
bagaimana menjadi penulis. Aku menunggu catatanmu berikutnya kawan.
No comments:
Post a Comment