Tuesday, June 5, 2012

Seseorang yang Ingin Menjadi Penulis

Cita-citaku! Setiap kali mendengar, lebih-lebih membicarakannya, pikiranmu melayang entah kemana. Tatapan matamu pun menerawang melayang ke langit seakan mengejar sebaris kata cita-cita yang kamupun tidak pernah tahu apa tepatnya bentukan sebaris kata tersebut.
Sudah menjadi kebiasaanku, bahwa setiap pagi selalu mengawali hari di teras belakang rumah. Sebuah halaman belakang yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman. Pada salah satu sudut halaman terdapat kolam ikan kecil dengan air mancur yang menggericik perlahan. Satu hal lagi, segelas kopi hitam selalu setia menemani setiap pagiku. Aku selalu menikmati uapnya yang menjilat wajah dengan aromanya yang khas, yang selalu membawa ketenangan bagiku. Demikian juga pagi ini, saat aku mulai membaca sebuah catatan seorang kawan, tentang cita-cita dan impiannya. Kawanku mengawali catatannya dengan sebuah angan.
***
Anganmu kembali melayang jauh, mencoba melanjutkan gambar citamu yang belum usai. Setiap kali kau menggoreskan tinta di langit anganmu, setiap kali pula tergambar keinginanmu untuk menjadi seorang penulis. Setiap kali pula gambaran itu tak pernah mampu kau selesaikan. Demikian yang terjadi, berulang kali, dan selalu terulang. Anehnya, kau selalu bisa menikmati saat-saat yang tak usai itu.
Terlalu seringnya hal itu terjadi, membuatmu tak ingat sejak kapan hal itu menjadi kebiasaanmu. Tapi, pernah ingatanmu membawamu ke masa-masa saat kau masih duduk di sekolah dasar di sebuah desa. Beberapa muridnya mengenakan sepatu yang berlubang di bagian ibu jari kakinya. Bahkan ada satu temanmu yang bersekolah tanpa alas kaki. Di sekolah itulah kau pernah menulis sebuah skenario drama yang mengambil seting cerita persidangan, dan mendapatkan nilai terbaik. Jika mengingat hal itu, kau sering tersenyum sendiri dan berkata dalam hati, “Ah, anak SD”.
Mengenang kembali masa kecil, selain kenangan semasa duduk di bangku sekolah dasar, sepertinya tidak ada hal menarik yang berkaitan dengan menulis. Semuanya terjadi dan berlalu biasa-biasa saja, bermain dan belajar.
Sampai pada suatu hari saat kau sudah duduk di bangku sekolah menengah atas, kau mengenal seorang wanita yang telah menyita waktu dan perhatianmu. Dia telah mempesonamu, tetapi kau tak punya keberanian untuk mengungkapkan apalagi menyampaikan kekagumanmu itu kepadanya.
Saat itulah kau menyadari bahwa menulis adalah satu cara yang bisa kau gunakan untuk mencurahkan rasa hatimu, walau hanya satu paragraf. Tidak jarang kau memerlukan waktu satu jam hanya untuk menuliskan sebuah kalimat, karena lamunanmu bekerja lebih dahsyat daripada tanganmu. Sehingga sebenarnya tidak banyak tulisanmu dalam sebuah diary. Tidak pula setiap hari kau menulis dalam diarymu. Hanya saat kau merasa senang, kecewa atau marah.
Kebiasaanmu menulis dalam sebuah diary berlanjut hingga kau di perguruan tinggi. Tulisanmu pun tidak hanya bercerita tentang kisah romantis, tetapi juga tentang segala kegiatan yang kau alami. Itupun tidak banyak.
Sering sekali kau berpikir bahwa menulis diary itu adalah kebiasaan kaum perempuan, sedangkan kamu adalah seorang laki-laki. Apa kata teman-temanmu, sesama kaum pria bila mereka tahu kau menulis dalam sebuah diary. Kau pun menjaga diary itu dari sesama kaum pria agar mereka tidak mengetahuinya.
Bahkan kau menulis catatan demi catatan dalam sebuah agenda kerja agar tersamarkan dan tak seorang pun menyangka bahwa kau menulis sebuah diary. Kau pun lebih senang menyebutnya sebagai sebuah catatan harian daripada sebuah diary.
Kebiasaanmu menulis catatan harian, walau tidak setiap hari, terhenti saat kau harus menyelesaikan tugas akhirmu sebagai mahasiswa arsitektur. Berhenti sama sekali, dan tidak pernah ada catatan harian lagi.
***
Menjelang subuh. Hari ini, jam tiga pagi dini hari, aku mencoba melanjutkan membuka buku catatan harianmu. Sebenarnya kedua kelopak mataku sudah ingin terkatup, tetapi mengingat janjiku padamu untuk membaca catatanmu, maka kupaksakan untuk tetap terbuka.
Selama beberapa waktu kau bekerja setelah lulus perguruan tinggi, sama sekali kau tidak pernah membuat catatan sama sekali. Juga saat kau merasakan sebuah cinta yang lain, yang pernah kau ceritakan padaku, kau tak menuliskan apa pun. Bahkan ketika ternyata cinta itupun melukaimu, kau sama sekali tidak meninggalkan sebaris kata pun dalam catatanmu. Kau hanya mencurahkannya saat kita menghabiskan waktu dengan menikmati segelas kopi hitam di warung-warung lesehan, di pinggir jalan.
Sampai sebuah halaman membuat mataku yang tadi sudah hampir tertidur, kini membuka sedikit lebih lebar. Kau mulai mencatat lagi, walau sepertinya masih terbata. Kau sudah berpindah ke kota lain. Sebuah kota dimana kau pernah tumbuh dewasa dan juga merasakan indahnya cinta pertama, cinta yang membuatmu mulai menulis catatan kecil di harianmu. Sebuah kota kecil yang sejuk walau sekarang sudah menjadi lebih padat penduduknya, juga kendaraan dan pembangunan fasilitas-fasilitas publik. Di kota ini kau bekerja di sebuah usaha buku. Tak ingin dikatakan gagal dalam pendidikan arsitektur, walau kau mengakui bahwa dirimu adalah arsitek yang gagal, kau mengaplikasikan kaidah-kaidah seni dan desain dalam sebuah sampul buku. Walau tidak besar upah yang kau dapatkan namun kau menikmati sekali pekerjaan ini. Kau senang dan bangga saat buku yang kau rancang sampulnya terpajang dalam sebuah rak di toko buku. Hanya sebuah kebanggaan yang kau nikmati sendiri. Kau tak tahu harus menunjukkan kepada siapa bahwa buku yang terpajang itu, sampulnya adalah rancanganmu. Konyol kalau tiba-tiba kau mendekati salah seorang karyawan toko, atau pengunjung toko, kemudian mengatakan bahwa sampul buku itu kau yang membuatnya.
Pekerjaanmu yang baru sebagai freelance desainer sampul buku membuatmu dekat dengan dunia buku. Hanya saja kamu lebih sering merancang sampul buku untuk buku-buku perguruan tinggi. Sedangkan kamu sangat ingin membuat sampul buku-buku seni, sastra dan budaya, termasuk novel.
Pernah suatu saat ketika kau menyerahkan rancangan sebuah sampul buku, secara kebetulan almarhum Rendra sedang berbincang dengan pemilik perusahaan. Bertemu Rendra dan melihat dari dekat saja sudah beruntung, apalagi jika diberi kepercayaan membuat sampul bukunya. Kamu pernah juga bertemu dengan Mas Didik Nini Towok, tapi sayang dua bukunya dikerjakan oleh desainer internal perusahaan itu sendiri. Pada akhirnya, kamu bertemu dengan seseorang bernama Herlinatiens, seorang penulis dari Yogyakarta. Kamu belum pernah mendengar nama itu sebelumnya, lepas dari nama itu barangkali adalah nama samaran. Kali ini kamu beruntung karena dipercaya untuk membuat rancangan sampul bukunya yang berjudul Yang Pertama. Sayang sekali penjualan buku ini tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kedekatan dan keterlibatanmu di dunia buku tanpa kau sadari membangkitkan kembali keinginanmu untuk menulis. Semuanya begitu mengusik hati dan pikiranmu, hingga muncul sebuah cita-cita yang lebih dari sebuah keinginan dalam hatimu bahwa suatu hari kamu akan menulis sebuah buku dan menerbitkannya.
***
Pagi hari berikutnya. Seperti pagi-pagi sebelumnya, segelas kopi panas menemaniku membuka hari. Tetapi ada yang spesial hari ini. Karena persediaan gula habis, maka bukan kopi hitam seperti biasanya melainkan cappucino instan. Itupun diperoleh setelah mengaduk-aduk isi laci. Tradisi akhir bulan yang sering aku lakukan, sehingga hampir menjadi semacam ritual. Apakah ada hal-hal spesial yang aku peroleh dari catatan harianmu di pagi hari ini?
Setelah beberapa lama, dan sepertinya itu cukup lama, bekerja dekat dengan dunia buku, kau pun mulai merasakan kejenuhan. Lebih-lebih hal itu kau rasakan karena tidak terwujudnya harapan-harapan kecilmu dalam pekerjaanmu di dunia buku sementara kau merasa begitu dekat dengannya. Situasinya mirip saat kau berada di tepi sebuah jurang dan begitu dekat dengan tepi yang lain, tapi untuk ke sana kau harus berjalan memutar, menuruni lereng di salah satu sisinya dan menaiki bukit di sisi yang lain. Sementara saat kau utarakan maksudmu untuk membuat jembatan gantung yang menghubungkan kedua tepi jurang itu hingga lebih mudah mencapainya, kau pun tidak diperbolehkan. Kau pun kesal dan geram dibuatnya, tapi tak seorang pun mendengar. Kau tak tahu kepada siapa harus mengadu atau berbagi cerita sekadar mencari kelegaan hati. Situasi inilah yang kemudian menjadi pemicu bagimu untuk menulis catatan demi catatan, umpatan, maupun kisah-kisah penghiburan diri sendiri.
Gairah menulismu yang sedang memuncak saat itu membutuhkan tempat untuk dituangkan ke dalamnya. Media blogging gratisan menjadi salah satu pilihan yang kau sukai sebagai sebuah cara sekaligus media baru penulisan. Beberapa tulisan masih kau simpan dalam hard disk komputer lamamu. Bahkan ada pula dalam lembaran kertas. Media blogging benar-benar menjadi jendela bagimu untuk melihat keluar dari dalam ruang jenuhmu, mencari udara segar yang kau dambakan. Impian menjadi penulis semakin sering hadir dalam tidur malammu.
Seiring berjalannya waktu, kamu menyadari bahwa keinginanmu menulis tidak hanya sekadar karena ingin dan suka. Ada beberapa hal lain yang semakin meyakinkanmu bahwa kamu harus menulis. Sebagian karena kekecewaanmu terhadap beberapa harapan dalam hidupmu yang bertepuk sebelah tangan. Sebagian lagi karena kau merasa dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Tetapi di atas semua itu ada sebuah keyakinan baru bahwa kau harus menulis untuk hidup.
Pergeseran-pergeseran pemikiranmu tentang untuk apa kau menulis semakin mengerucutkan pandanganmu pada bidang datar yang lebih sempit. Di atas bidang datar itu kau pun sadar bahwa harus segera ada langkah nyata yang terencana dan terstrukur agar kau dapat menulis, membuat buku, dan menerbitkannya untuk hidup. Hidupmu, hidup istrimu, dan hidup anak-anakmu kelak.
***
Cappucino dalam gelasku telah habis. Matahari sudah lebih besar, pertanda hari sudah lebih siang. Hanya gemericik air mancur di kolam teras belakang rumahku saja yang tak berubah. Waktu sudah bergeser. Catatan kawanku pun selesai aku baca. Saatnya beranjak berdiri dan mengambil langkah berikutnya.
Kawanku pun sudah menentukan pilihannya, dan memulai langkah barunya, meski masih tertatih dan tak jarang terantuk kerikil ketidaktahuan bagaimana menjadi penulis. Aku menunggu catatanmu berikutnya kawan.

| http://secangkirkopihitamku.wordpress.com/2012/06/02/10/

No comments:

Post a Comment

PALING BANYAK DIBACA

How To Make Comics oleh Hikmat Darmawan