Berkarir dalam bidang sains adalah keinginan saya sejak kecil. Lebih
tepatnya menjadi seorang ilmuwan. Bahkan waktu berada di bangku SMP,
secara spesifik dan dengan rasa penuh percaya diri saya mendeklarasikan
bahwa saya ingin menjadi ahli fisika, physicist, atau fisikawati (karena saya perempuan! hehe). Iya, fisika yang sering kali ter-mindset sebagai pelajaran yang susah banget itu loh :D
Namun ketika kelas 2 SMA, saya lupa dengan cita-cita yang satu ini
karena fokus ke tujuan saya yang baru kala itu: jadi insinyur lulusan
suatu institut teknologi ternama di kota Bandung. Nyatanya walaupun udah
berusaha semaksimal mungkin, Yang Maha Kuasa tidak menghendaki saya
kuliah di sana. Atas permintaan kedua orang tua, maka saya ikut ujian
masuk ke kampus saya sekarang. Hingga kini tercatatlah saya sebagai
mahasiswa fisika sebuah universitas negri di kota Depok.
Saat menjadi maba (mahasiswa baru), saya sempat mengalami masa-masa
sulit lantaran masih menyimpan rasa kecewa karena ditolak menjadi
mahasiswa di kampus ‘tetangga sebelah’. Hehe. Tetapi ketika secara tidak
sengaja menemukan diary jaman SMP, akhirnya saya sadar bahwa
Tuhan tetap mengabulkan salah satu cita-cita terbesar saya di masa lalu:
menjadi seorang ilmuwan. Dalam diary tersebut tertulis dengan bahasa Inggris yang acak-kadut, “I wish I could be a scientist”.
So I’m still living on the main dream of mine right now.
Lantas kenapa saya ingin menjadi seorang ilmuwan di saat buanyak sekali
teman yang ingin menjadi seorang dokter? Terlebih dalam bidang fisika
yang selalu menjadi musuh bebuyutan anak sekolah di tingkat SMP dan SMA.
Bagi saya, ilmuwan juga tidak kalah berjasa dibandingkan dengan
dokter. Kehidupan manusia tidak akan semudah dan senyaman sekarang jika
saja tidak ada perkembangan di bidang sains sebelum diaplikasikan ke
dalam dunia teknologi. Sepak terjang para ilmuwan yang saya baca dalam
komik Seri Tokoh Dunia waktu masih SD menjadi inspirasi tersendiri kala
itu. Tanpa penemuan brilian mereka, mungkin kita masih menggunakan lilin
sebagai sumber penerangan dan masih mempercayai jasa merpati pos untuk
bertukar kabar dengan kerabat jauh. Ga bakal ada deh tuh yang namanya
narsis-narsisan di fitur BBM :p
Memang saya sempat ‘kelabakan’ saat berkenalan dengan fisika di
bangku SMP. Jika digambarkan, kondisi saya saat belajar fisika di bangku
sekolah, yaaa tidak beda jauh dengan yang dialami anak-anak sekolah
pada umumnya. Namun begitu, saya tetap menaruh perhatian lebih terhadap
fisika karena basically saya suka dengan bidang ini. Hingga ia juga tertulis dalam diary sebagai salah satu mata pelajaran yang saya sukai ketika SMP. Hahaa!
Suka dan minat. Hanya itu modal dan nyali saya untuk menekuni bidang
ini di bangku kuliah. Selama dua tahun pertama, mahasiswa fisika harus
bergelut dengan sekian banyak mata kuliah wajib. Ya, dua tahun. Fisika
memiliki banyak ‘cabang’ sehingga tidak sedikit materi fisika umum yang
harus dikuasai oleh setiap mahasiswanya.
Di tahun ketiga, mahasiswa akan diberi kebebasan untuk memilih satu
di antara enam konsentrasi ilmu fisika. Ada fisika instrumentasi yang
didominasi dengan mata kuliah elektronika. Fisika medis yang mempelajari
aplikasi ilmu fisika dalam dunia kedokteran. Geofisika, cabang yang
mempelajari ilmu kebumian dan cara pencarian ‘harta karun’ dalam perut
bumi. Kemudian ada fisika material dan material zat mampat yang secara
khusus meneliti sifat bahan-bahan material. Kelima cabang tersebut
banyak melakukan eksperimen dalam laboratorium.
Namun ada satu konsentrasi yang secara pragmatis hanya membutuhkan
kertas, pensil, dan program komputer. Konsentrasi tersebut adalah fisika
teori. Inilah yang menjadi pilihan saya karena dari sini saya bisa
mempelajari topik yang lebih spesifik lagi, yaitu kosmologi dimana
struktur dan sejarah dari alam semesta menjadi objeknya. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan ruang angkasa atau alam semesta selalu memiliki
daya tarik tersendiri di mata saya.
Ialah Michio Kaku, seorang kosmolog asal Amerika yang menjadi role model saya
saat ini. Tidak hanya banyak menerbitkan karya dan temuannya dalam
jurnal fisika internasional, ia juga turut mempopulerkan sains lewat
buku, siaran radio, televisi, dan juga film. Kepiawaiannya dalam
berdongeng sains mampu membuat masyarakat awam mudah memahami sains
dengan mudah dan fun.
Kemampuan ini pula yang ingin saya miliki ketika menjadi
seorang ilmuwan. Memang medali emas dalam olimpiade sains internasional
sering kali sukses disabet oleh para delegasi Indonesia. Namun sebetulnya tingkat literasi sains (atau
gampangnya, melek sains) masyarakat Indonesia secara umum masih sangat
jauh tertinggal. Bisa jadi hal ini dikarenakan adanya mindset awal
pada anak sekolah yang menyatakan bahwa sains itu sulit. Ditambah tidak
adanya media pengenalan dan pembelajaran sains dengan cara yang
menyenangkan.
Sebagai mahasiswa fisika, saya harus bergelut dan bermalam dengan paper dan buku-buku teks yang tebalnya bisa melebihi high heels setinggi
10 cm. Apalagi jika mengambil kelas praktikum, harus kuat dan siap
sedia begadang ketika menyelesaikan laporan. Di konsentrasi fisika teori
sendiri, saya harus bersahabat dengan teori dan logika fisis hingga
model matematika yang tidak simpel. Memang tidak jarang saya menemui
kesulitan dan kena tegur dosen pembimbing karena melupakan hal-hal basic.
Namun demi terwujudnya cita-cita menjadi seorang ilmuwan, saya
harus pantang mundur, berusaha keras, dan punya mental baja seribu
lapis. Ingin sekali mengikuti jejak dosen dan senior-senior saya
terdahulu: berkontribusi dalam pengembangan disiplin ilmu dan berkarir
sebagai ilmuwan yang seutuhnya.
Kegemaran dalam menulis saya jadikan salah satu modal untuk
bergelut dalam bidang ini. Jika seorang ilmuwan hendak menulis paper
atau buku teks, maka ia harus cakap dalam menulis toh? Terlebih lagi
dalam mempopulerkan sains. Saat ini saya memulai dari hal-hal simpel
dalam mempopulerkan sains, seperti membuat postingan berbau sains
popular dalam blog dan juga memasukkan unsur sains sederhana dalam
setiap obrolan saya bersama teman-teman. Just FYI, konsep fisika bisa dihubungkan dengan permasalahan sehari-hari loh! Bahkan dalam urusan asmara. Hihii
Secara perlahan dan berproses , saya terus mempelajari tentang
bagaimana negara-negara barat bisa menciptakan industri sains populer
yang bisa diterima masyarakat awam. Tokoh popular sains seperti Michio
Kaku belum ada di Indonesia, maka dalam hal ini pula saya harus kembali
berkiblat ke negara-negara maju yang tingkat literasi sainsnya sudah
tinggi.
Yah, seperti itu lah cita-cita dan misi saya dalam bidang
sains, khususnya fisika. Semoga segala usaha, kerja keras dan kesabaran
saya dalam melewati proses ini bisa berbuah manis di akhir, hingga
terwujud cita-cita saya menjadi [pop] physicist. Aamiin..
Dan tentunya dalam tenggat waktu ini saya ingin lekas
menyelesaikan skripsi dengan mulus dan sesuai rencana. Udah tingkat
akhir loh! Hehee..Wish me luck yaaa :’)
No comments:
Post a Comment